Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semboja Kedhung Jati (Part 9)


JEJAKMISTERI - "Kriiyyeeeeetttt...!!!" bersamaan dengan masuknya Ningrum kedalam kamar, terdengar suara derit yang terasa menggigit indera pendengaran dari arah sudut kamar tempat ranjang Bu Nengsih berada. Serempak kami menoleh ke arah asal suara, dan betapa terkejutnya kami saat melihat Bu Nengsih yang awalnya tergolek tak berdaya tanpa bisa berbuat apa apa, kini terlihat bergerak. Hanya sedikit gerakan yang ia lakukan, menggeser kepalanya hingga miring ke arah pintu. Namun gerakannya yang hanya sedikit itu sudah mampu membuat kami semua yang melihatnya menjadi merinding.

Bagaimana tidak, wajah kurus berbalut kulit keriput kehitaman, pipi kempot dengan tulang rahang yang bertonjolan, mata cekung yang menjorok sangat dalam, serta rambut putih beruban yang entah sudah berapa lama tak tersentuh sisir itu, nampak begitu menyeramkan dimata kami. Apalagi saat perempuan tua itu berusaha untuk membuka mulutnya yang selama ini seolah telah terkunci itu. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya. Gigi geligi yang tinggal beberapa biji itu terlihat menghitam, serta air liur yang terus menetes keluar, membuat aroma tak sedap yang sejak tadi tercium kini semakin tajam.

"Ndhuk, Ningrum, kowe mulih Ndhuk? Mrene, nyedhak Ibu mrene, Ibu wis kangen Ndhuk," (Ndhuk, Ningrum, kamu pulang Ndhuk? Sini, mendekatlah ke Ibu, Ibu sudah kangen Ndhuk.) suara lirih bergetar keluar dari mulut perempuan tua itu, membuatku semakin merinding. Benarkah itu Bu Nengsih? Secepat itukah kesehatannya bisa membaik hanya karena kedatangan Ningrum?

"Jangan mudah tertipu dengan tipu daya iblis! Ingat, dia bukan Bu Nengsih! Jangan biarkan dia menyentuh Ningrum, atau Ningrum akan celaka!" (semua bisikan yang kudengar itu diucapkan dalam bahasa jawa gaes, namun biar semua reader paham dan ane juga ga capek ngetik terjemaahannya, langsung aja ane translate ke bahasa Indonesia, meski jadinya agak kurang greget) kembali bisikan aneh itu menggema di otakku. Aku sedikit bimbang, haruskah kuturuti bisikan bisikan yang aku bahkan tak tau darimana datangnya itu? Tapi kalau melihat kondisi Bu Nengsih, sepertinya bisikan yang kudengar itu tak bisa kukesampingkan begitu saja.

"Bodoh! Kenapa malah diam saja? Cepat cegah Ningrum agar sampai mendekati ibunya!" bisikan itu kini terdengar sangat keras, membuatku tersentak kaget. Benar saja, kulihat Ningrum melayang pelan mendekat kearah ranjang. Dan karena kaget juga oleh bisikan itu, tanpa sadar aku segera menahan Ningrum dengan berdiri di hadapannya.

"Tunggu Rum, jangan buru buru mendekat," desisku tajam.

"Lho, kenapa Mas?" tanya Ningrum heran.

"Apa kau tidak melihat ada yang aneh dengan kondisi ibumu itu?" aku balik bertanya.

Ningrum mengintip sang ibu dari balik punggungku. Akupun tak sedikitpun melepaskan pandanganku dari sosok renta diatas ranjang itu.

"Sial! Ambar...!" terlalu sibuk memperhatikan Ningrum, aku sampai tak menyadari kalau Ambar ternyata telah mendekat ke ranjang itu.

"Ibu, alhamdulillah, doamu mujarab Mas Indra! Lihat, Ibu sudah bisa bergerak dan bicara lagi!" seru Ambar sambil menghampiri sang ibu.

"Ambar, tunggu! Met, tahan Ambar, jangan biarkan...." terlambat! Belum selesai aku bicara, Ambar telah sampai disisi ranjang. Gadis itu berusaha menyentuh tangan sang ibu. Namun diluar dugaan, tangan kurus kering berbalut kulit keriput kehitaman milik Bu Nengsih itu tiba tiba bergerak menepis tangan Ambar.

"Aku gak butuh awakmu! Sing tak butuhno saiki Ningrum!" (Aku tak butuh dirimu! Yang kubutuhkan sekarang adalah Ningrum! dengus Bu Nengsih sambil menepis tangan Ambar. Pelan saja gerakan tangan si nenek tua itu. Namun efeknya sungguh diluar dugaan. Bagai disapu badai tubuh Ambar terpental dan nyaris saja menghantam tembok kamar kalau saja Slamet tidak buru buru menahannya. Alhasil keduanya jatuh bergulingan diatas lantai dengan posisi tubuh Ambar yang menindih tubuh Slamet.

"Aaawwww...!!!" Ambar mengaduh.

"Djanc*k! Apa apaan ini?!" Slamet berteriak marah.

"Bawa Ambar keluar Met!" aku berseru.

"BRAAAKKK...!!!" seolah mendengar ucapanku, pintu kamar itu tiba tiba terhempas menutup dengan sendirinya. Slamet mendorong tubuh Ambar yang menindihnya hingga terguling kesamping, lalu berdiri dan terpincang pincang menuju ke arah pintu.

"Wedhus! Pintunya terkunci Mas! Ndak bisa dibuka!" teriak Slamet sambil memutar mutar handle pintu dengan kasar.

"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" hampir serempak Ambar dan Ningrum bertanya.

"Ibu kalian ini, maksudku ibumu ini Mbar, beliau telah lama dirasuki oleh iblis! Dan dia sekarang mengincar Ningrum!" sebisa mungkin aku menjelaskan, sambil terus mengawasi Bu Nengsih yang kini beringsut turun dari atas ranjang.

"Bruuukkk...!!!" tubuh renta itu terjatuh dari atas ranjang dengan posisi tengkurap.

"Buuu...!!!" Ambar yang sepertinya belum sepenuhnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kembali berusaha mendekat ke arah Bu Nengsih. Beruntung Slamet cepat tanggap. Dengan cepat Slamet menarik tangan Ambar dan membawanya menjauh.

"Percaya saja sama temanku itu Mbak, meski tampangnya agak culun tapi kalau disaat saat seperti ini hanya dia yang bisa kita andalkan," ujar Slamet.

"Wedhus!" aku masih sempat mengumpat karena dibilang culun, namun perhatianku masih tak lepas dari sosok Bu Nengsih yang kini telah mengangkat wajahnya dan menyeringai ke arahku.

"Hihihihi...!!! Rupanya kau tau banyak tentang aku bocah! Tapi sebuah kesalahan besar jika kau berniat untuk ikut campur urusanku!" aku kembali bergidik ngeri. Bukan hanya karena penampakan wajah Bu Nengsih yang menyeramkan itu, tapi juga suaranya yang kini telah berubah menjadi serak dan berat. Kini aku benar benar telah yakin, bahwa apa yang dikatakan oleh entah siapa yang membisikiku tadi adalah benar adanya. Dia yang kini telah berusaha merangkak dengan susah payah dihadapanku itu memang bukan Bu Nengsih.

"Persetan dengan semua urusanmu! Tapi jika kau menginginkan Ningrum, aku tak akan membiarkannya begitu saja," entah darimana aku mendapatkan keberanian hingga bisa bicara seperti itu. Yang jelas ucapanku itu telah berhasil membangkitkan kemarahan makhluk yang bersemayam didalam raga Bu Nengsih itu.

"Khikhikhikhi.....!!!" makhluk itu tertawa mengikik. "Besar juga nyalimu bocah! Mari kita lihat, apakah kemampuanmu sebanding dengan mulut besarmu itu!" sosok Bu Nengsih itu lalu mengangkat tubuhnya. Dengan bertumpu pada kedua tangan dan kaki kurusnya, ia merangkak kedepan dan menerjangku. Gerakan yang sangat cepat. Sangking cepatnya aku sampai dibuat terkesima dan tak sempat untuk menghindar atau memberikan perlawanan. Alhasil tubuh renta yang ternyata memiliki kekuatan sangat besar itu sukses menerjangku dan melemparkan tubuhku kebelakang.

"Bruuaaakkk...!!!" meja kecil di sudut ruangan menjadi korban. Hancur berkeping keping tertimpa oleh tubuhku. Aku sendiri juga merasakan kalau tulang belulang di sekujur tubuhku nyaris remuk.

"Bodoh! Masih sempat sempatnya melamun saat sedang diserang!" lagi lagi kudengar suara bisikan di otakku.

"Sial! Apa yang..."

"Matilah kau!!!"

Belum sempat aku berusaha untuk berdiri, sosok Bu Nengsih itu kembali menerjang ke arahku. Gerakannya mirip kucing saat sedang berlari, merangkak dengan sangat cepat dengan menggunakan kedua tangan dan kakinya. Dan lagi lagi aku tak sempat untuk menghindar. Aku hanya bisa pasrah dan memejamkan mataku.

"Bodoh! Benar benar tak bisa diharapkan! Cepat, pegang tangan Ningrum dan pejamkan matamu! suara bisikan di otakku kembali terdengar. Seolah terhipnotis aku meraba raba mencari tangan Ningrum. Sudah tak terpikir lagi apakah aku bisa memegang tangan gadis itu atau tidak, mengingat dia adalah hantu, namun perintah dari suara yang kudengar didalam otakku itu seolah benar benar telah menghipnotisku.

"Dapat!" ujarku begitu aku menyentuh tangan Ningrum, bersamaan dengan sosok Bu Nengsih yang telah melesat ke arahku.

"Grrooooaaaarrrr....!!!" entah darimana datangnya, suara geraman keras terdengar menggetarkan seisi kamar itu, disusul dengan angin yang bertiup sangat kencang dan berputar putar memporak porandakan seluruh isi kamar. Dengan mata masih terpejam dan tangan menggenggam tangan Ningrum, aku merasakan tubuhku seolah tersedot oleh pusaran angin itu, terombang ambing lalu jatuh ditempat yang terasa empuk dan kenyal.

Refleks tanganku berserabutan mencari pegangan, karena yang kurasakan saat itu adalah aku duduk diatas sesuatu yang melayang turun dengan cepat, dengan kedua kakiku yang menggantung, yang berarti aku berada di tempat yang tinggi. Segera kupeluk 'sesuatu' yang berada tepat di hadapanku, yang ternyata adalah pinggang Ningrum.

"Eh, maaf," sadar bahwa perbuatanku itu kurang sopan, segera kulepas lagi pelukanku pada pinggang Ningrum. Namun tangan gadis itu justru menahan tanganku.

"Jangan dilepaskan, aku takut jatuh," bisik gadis itu lirih. Akupun mengurungkan niatku, dan justru semakin mempererat pelukanku.

"Dimana kita?" bisikku disela sela rambut Ningrum yang meriap riap terbawa angin dan sesekali mengenai wajahku. Aroma wangi kembang Semboja yang lembut menyapa indera penciumanku.

"Aku juga nggak tau," jawab Ningrum, juga dengan berbisik.

"Bruukkk..." benda yang kami naiki itu kini telah berhenti melayang turun. Sepertinya telah mendarat dengan mulus di daratan, entahlah. Aku masih belum mengerti akan apa yang sedang kualami saat ini. Suasana sekitar begitu gelap, hingga semua yang kulihat hanya terlihat samar.

"Kita berada di alam gaib!" kembali kudengar suara serak dan berat yang sejak tadi membisikiku. Namun kali ini yang kudengar bukanlah sebuah bisikan, tapi suara nyata.

"Alam gaib?!" hampir serempak aku dan Ningrum berseru.

"Lihat sekelilingmu!" kembali suara itu terdengar, disertai sepasang cahaya bulat kemerahan yang menyala di depan Ningrum. Sepasang mata yang menerangi seraut wajah dari sosok yang sedang aku naiki itu.

"Wuanjiiiirrr....!!!" aku terpekik kaget saat menyadari bahwa saat itu aku tengah duduk diatas punggung seekor harimau loreng sebesar kerbau bersama Ningrum yang duduk di hadapanku. Sedikit risih aku kembali berusaha untuk melepaskan kedua tanganku dari pinggang gadis itu, namun lagi lagi Ningrum kembali menahannya.

"Jangan dilepaskan dulu! Aku masih takut," bisik gadis itu tanpa menoleh.

"Tapi kan kita sudah mendarat, kenapa masih takut?" tanyaku.

"Tetap saja aku takut. Yang kita naiki ini harimau, bukan kuda," jawab Ningrum.

Ah, benar juga. Biar bagaimanapun harimau bukanlah hewan yang lazim untuk dinaiki. Niat untuk melepaskan tangankupun aku urungkan. Bahkan aku semakin mempererat pelukanku, karena benar kata Ningrum, bisa berabe kalau sampai jatuh dari punggung makhluk yang kami naiki itu. Dan karena posisi kami berhimpitan, dengan Ningrum yang berada di hadapanku, kini dengan jelas dapat kucium aroma wangi kembang semboja yang menguar dari tubuh gadis itu. Tanganku juga merasakan kalau tubuh Ningrum benar benar nyata, bisa kusentuh dan kupeluk seolah olah dia adalah manusia, bukan hantu.

"Bodoh! Jangan berpikir yang macam macam! Kita sedang berada di alam gaib, dan coba kau lihat kesekelilingmu!" ah, aku baru ingat sekarang. Suara ini, yang ternyata keluar dari mulut si harimau yang sedang aku naiki bersama Ningrum....

"Kyai, ternyata sampeyan..."

"Benar benar bodoh! Baru sadar kau sekarang! Sudah, nanti saja ngobrolnya. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan!"

Dengan bantuan cahaya kemerahan yang memancar dari mata si harimau yang menjadi tunggangan kami itu, aku lalu memperhatikan sekeliling. Dan lagi lagi aku dibuat terkejut saat menyadari bahwa tempat dimana kami berada saat itu dipenuhi oleh sosok makhluk makhluk menyeramkan.

Sepasang genderuwo nampak duduk diatas sebuah batu besar menatap ke arahku dengan kedua pasang mata mereka yang tajam, lalu sesosok pocong yang berdiri menyandar pada pohon pisang, sesosok kuntilanak yang duduk ongkang ongkang diatas dahan pohon sambil mengusap usap rambut panjangnya, beberapa ekor tuyul yang asyik bermain main dan berlarian kesana kemari, lalu wewe gombel yang tersenyum sinis ke arahku sambil memamerkan sepasang buah pepaya besar miliknya yang menggelantung bebas tanpa penutup sama sekali, dan masih banyak lagi makhluk makhluk seram yang tanpa sadar membuatku gemetar ketakutan dan semakin erat memeluk pinggang Ningrum.

"Hihihi..., kamu takut ya?" kudengar Ningrum tertawa mengikik.

"Tega kamu ya mentertawakanku. Kamu sendiri juga tadi kan ketakutan gitu," sungutku sedikit kesal.

"Aku cuma takut jatuh tadi, bukan takut karena melihat mereka," kilah Ningrum. "Kalau yang seperti mereka mah, aku sudah biasa melihatnya. Teman temanku di waduk juga rata rata seperti mereka."

"Tak perlu takut! Mereka cuma rakyat jelata! Selama kalian berada didekatku, mereka tak akan berani mengganggu!" harimau tunggangan kami itu menjelaskan.

"Rakyat jelata?" tanyaku tak mengerti.

"Ya, sama seperti di duniamu, penghuni di tempat ini juga ada yang cuma rakyat biasa, dan ada juga yang jadi penguasa. Sekarang kalian pegangan yang erat. Aku mau mengajak kalian jalan jalan sebentar." kata harimau itu.

"Jalan jalan? Kemana Kyai?" tanyaku.

"Bodoh! Sepertinya kau terlalu menikmati memeluk gadis di depanmu itu, sampai lupa dengan tujuanmu yang semula!" dengus harimau itu, membuatku tertawa terkekeh. Sementara Ningrum memberengut dengan wajah memerah.

"Hehe, maaf Kyai. Jadi..."

"Kita temui penguasa di tempat ini! Dia yang menjadi sumber masalah yang menjerat keluarga gadis itu!"

"Tapi Kyai...."

"Sudah! Jangan berisik! Pegangan saja yang erat!" harimau itu mulai berjalan. Mau tak mau aku kembali berpegangan pada pinggang Ningrum. Sedang Ningrum sendiri kini tanpa segan berpegangan pada leher harimau tunggangan kami itu. Makhluk makhluk menyeramkan yang berada di dekat kami segera menyingkir begitu makhluk besar yang kami naiki itu mulai bergerak, seolah mereka memberi jalan kepada kami.

"Makhluk yang akan kita temui itu, kira kira seperti apa wujudnya Kyai?" tanyaku.

"Nanti juga kau akan tau sendiri. Yang perlu kau ingat, jaga matamu! Jangan sampai kau nanti justru terpikat dengan tipu muslihatnya!"

"Terpikat bagaimana maksudmu Kyai?"

"Dia itu dhemit cabul! Siluman mesum! Jangankan manusia sepertimu, aku sendiri dulu pernah nyaris menjadi korban nafsu bejatnya!"

"Eh,...." aku nyaris tertawa mendengar ucapan harimau itu.

"Jangan tertawa! Kau belum melihat seperti apa pesona makhluk itu!" harimau itu mendengus kesal.

"Awas! Ada yang datang! Pegangan yang erat!" seru harimau itu tiba tiba sambil berlari ke arah depan, dimana nampak dua cahaya menyilaukan melesat cepat menuju ke arah kami.

"Whuuussss...!!!" angin berkesiur menebar hawa panas saat kedua cahaya itu melesat disisi kami. Beruntung harimau tunggangan kami itu, meski bertubuh besar namun cukup gesit menghindari serangan itu.

"Bluuaaarrrr...!" ledakan dahsyat terdengar saat kedua cahaya itu terus melesat dan menghantam batu besar tempat kedua genderuwo tadi duduk berduaan. Kedua makhluk hitam tinggi besar itupun terlempar jatuh dan meraung keras.

"Sebuah sambutan yang tak ramah!" harimau tunggangan kami itu menggeram sambil terus berlarian menghindari serangan serangan lanjutan yang datang bertubi tubi. Cahaya menyilaukan yang menebarkan hawa panas itu terus menerus melesat dari arah yang sama, susul menusul mencecar ke arah kami. Sambil melompat kesana kemari menghindari serangan, harimau tunggangan kami itu semakin mendekat ke arah asal keluarnya cahaya itu.

Semakin dekat, aku semakin bisa melihat dengan jelas tempat yang kami tuju itu. Sebuah mulut goa batu dengan beberapa sosok perempuan dengan penampilan yang tak biasa berdiri di depannya. Dari tangan tangan sosok itulah cahaya cahaya yang menyerang kami itu berasal.

"Glek!" tanpa sadar aku menelan ludah. Bagaimana tidak, sosok sosok perempuan yang kesemuanya berwajah sangat cantik itu nyaris telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit binatang sebagai penutup tubuh bagian bawahnya. Sedang perabotannya yang lain dibiarkan keleleran kemana mana tanpa penutup sama sekali, seolah sengaja dipamerkan kepada siapapun yang melihatnya.

"Jaga matamu!" dengus Ningrum yang sepertinya bisa membaca apa yang sedang kupikirkan.

"Jangan menatap mata mereka!" harimau tunggangan kami itu ikut mengingatkan, sambil terus berlari zig zag menghindari serangan yang datang secara bertubi tubi itu.

Hingga pada satu kesempatan, begitu posisi kami sudah semakin dekat, harimau tunggangan kami itu melompat tepat kearah pintu goa, tempat dimana gadis gadis berpenampilan seronok itu berada, sambil menggeram keras.

"GRROOOAAAARRRR....!!!" raungan si harimau yang ternyata begitu dahsyat itu mampu menggetarkan seluruh tempat itu, disertai dengan angin kencang yang memporak porandakan apapun yang diterjangnya. Dan...

"Bhuuummmm...!!!" begitu si harimau menjejakkan keempat kakinya ke tanah, bumipun berguncang hebat, membuat sosok sosok perempuan berpenampilan seronok itu terpental ke segala arah. Jeritan mereka menggema kesegala penjuru tempat itu.

"Kurang aja! Siapa yang berani membuat onar ditempatku hah?!" dari dalam goa terdengar gema suara seorang perempuan, disusul kemunculan cahaya terang benderang yang melesat keluar.

Harimau tunggangan kami itu mundur beberapa tindak. Sementara cahaya terang itu melayang mendekat. Aku kembali tercekat, karena yang kulihat kini adalah sosok perempuan telanjang bulat dengan sekujur tubuh diselimuti oleh cahaya terang. Sebelah tangan sosok itu berkecak pinggang, sementara tangan satunya lagi memegang trisula bergagang panjang yang diacungkan ke arah kami.

"Ingat, jangan tatap matanya," bisik harimau tunggangan kami itu padaku.

"Kau rupanya Jambrong!" dengus perempuan itu sambil mengacungkan trisulanya ke arah kami. "Beraninya kau masuk dan mengacak acak daerah kekuasaanku ini. Apa maumu sebenarnya?"

"Ya mau gimana lagi. Anak ingusan yang kau usik ini adalah momonganku! jadi kalau kau berani mengusiknya, maka aku juga akan membelanya!" berbeda dengan siluman perempuan yang bicara dengan suara lantang hingga menggema keseluruh penjuru tempat asing ini, Kyai Jambrong justru menjawab dengan nada yang sangat santai dan terkesan ogah ogahan.

"Cih! Dia yang mengusikku Jambrong! Bukan aku yang mengusik dia! Apa kau tak pernah mengajari tata krama kepada momonganmu yang masih bocah ingusan itu?!"


"Jangan bicara soal tara krama kepadaku! Kau sendiri, dimana letak tata kramamu? Manggil orang Jombrang Jambrong seenak udelmu! Tak bisakah kau bicara sedikit lebih mesra?" ledek harimau tunggangan kami itu, membuatku hampir tertawa.

"Dasar macan tua ompong tak tau malu! Gadis yang kau bawa itu milikku! Lekas berikan dia padaku, atau..."

"Atau apa? Masih mau bermain main denganku heh?"

"Bedebah! Kau masih belum berubah rupanya Jambrong! Baiklah, kalau itu maumu, maka jangan salahkan aku kalau kali ini aku tak akan berbelas kasihan lagi padamu! Juga kepada bocah ingusan itu!"

"Whuuusss...!!!" dengan cepat sosok perempuan itu menerjang ke depan. Tak mau ketinggalan, harimau tunggangan kami itu juga melompat, menyambut serangan si perempuan, dan...

"BLLAAARRRRR.....!!!"
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close