Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 82)


Jalan ke luar menuju jalan lintas dari sekolah nampak ramai karena berbarengan dengan mahasiswa yang baru saja ke luar kampus. Aku berjalan beriringan dengan kawan-kawanku ketika seorang anak laki-laki kecil menghadang kami lalu memberikan secarik kertas.

“Kak, ada titipan dari Bang Wahyu” Ujarnya memberikan secarik kertas. Sejenak kupandang. Si anak tersenyum manis. Wajah dan tatapan anak kecil ini sangat teduh. Nampaknya anak ini rajin ibadah. Anak soleh.

Di tengah mahasiswa dan pelajar yang berdesakkan, aku mencium aroma lain selain manusia. Kutatap kembali anak yang masih berdiri di hadapanku. Rupanya aroma itu dari bocah di hadapanku. Dia bukan manusia, tapi makhluk astral berbentuk sempurna seperti manusia.

“Terimakasih adik ganteng. Kamu tinggal di mana?” Sapaku lembut. Sinar matanya saja seperti tersenyum.

“Di pondok, Kak” Ujarnya tanpa menyebutkan pondok apa. Kusambar secarik kertas yang disodorkannya. Ada getar tiba-tiba terasa berbeda.

“Semoga bukan dari Guntoro” Aku membatin teringat beberapa tahun lalu Guntoro menemuiku di luar sekolah, dan menitip pesan dengan teman sekelasku.

“Yeiiiii…dapat surat cinta yaa” Ujar Neti sahabatku. Aku senyum-senyum mendengar candaannya. Sahabatku satu ini ikut penasaran ingin membacanya. Tanpa sungkan kubuka di depannya;

“Dek, besok ditunggu di sekretariat Ratu Samban Hiking Club, bakda ashar. Penting! Terimakasih”

Baru saja aku mengangkat kepala hendak mengucapkan terimakasih pada anak lelaki kecil itu, tiba-tiba sudah tidak ada lagi di hadapan kami. Aku menyimpan kekagetanku. Neti pun nampaknya tidak terlalu menghiraukan kehadiran anak kecil tadi. Aku yakin yang menyuruhnya mengantarkan secarik kertas ini bukan Bang Wahyu seniorku di Pencipta Alam. Aku penasaran, siapa yang berada di belakang peristiwa petang ini.

“Nah, puitis ya Net, isi surat cintanya. Pasti ni senior-seniorku ngajak mendaki lagi. Mau ikut?” Aku dan Neti tertawa berderai. Neti yang semula penasaran jadi tersenyum malu. Padahal hatinya ingin sekali tahu perihal perasaanku, pengalaman asmaraku dan sebagainya. Sebagaimana Neti kerap bercerita tentang dirinya. Termasuk saat ini dia tengah jatuh cinta dengan salah satu mahasiswa, kampus tetangga sekolahku.

“Dek, ada salam kak Hasan” pernah suatu kali Neti berkata demikian. Kak Hasan adalah salah satu kakak kelasku. Apakah benar titip salam atau Neti sengaja memancing dan hendak menjadi mak coblang, aku tidak peduli. Aku hanya menjawab salamnya. Lebih dari itu tidak kuhiraukan. Berkali-kali Neti mengajakku ke kantin, atau sekadar lewat kelas Kak Hasan. Dan itu selalu kutolak. Akhirnya, Neti menyerah.

Aku dan Neti berpisah di simpang jalan masuk sekolah. Seperti biasa aku bergegas menuju Simpang Bali. Belum sampai di pemakaman Kampung Bali, tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Pohon tinggi di pemakaman seperti hendak tercabut saking kencangnya. Sebentar lagi hujan pasti turun. Aku bergegas mencari tempat berlindung. Beberapa atap seng rumah penduduk terlihat terangkat dan mengeluarkan suara berisik. Beberapa bak sampah yang terbuat dari plastik terbanting-banting hingga ke badan jalan.

“Ayo, Eyang antar pulang. Air laut akan naik, badai akan datang” Tiba-tiba Eyang Kuda berdiri di hadapanku. Curah hujan sudah mulai rapat. Aku menoleh kiri-kanan. Sejenak kukasatkan diri. Aku langsung berlari dan melompat ke punggung Eyang. Eyang Kuda meringkik sekali lalu melesat seperti angin. Dalam sekejap aku sudah ada di teras rumah.

“Alhamdulilah, untung sudah sampai. Ibu khawatir kamu terjebak di jalan. Kayaknya badai ini. Ibu ngeri, atap rumah kita seperti terangkat” Ibu menyambutku di depan pintu. Sementara Eyang Kuda sudah lenyap dari pandanganku.

Sebenarnya hari belum terlalu petang. Namun karena hujan angin, langit gelap, suasana jadi seperti sangat senja. Aku menuju kamar dan ganti pakaian. Suara angin menderu seakan akan menumbangkan pepohonanan dan mengangkat atap rumah kami yang panjang. Jika sebelumnya hanya ada hujan dan angin kencang, sekarang suara petir bertubi-tubi. Kilatan lidah api terlihat menyambar pucuk pohon kelapa tetangga. Ledakan mengeluarkan api membuat orang di sekitar kaget dan serentak ke luar. Entah apa maksudnya ibu nampak buru-buru ke dapur lalu menyisipkan pisau di sela-sela jedela dapur mengarah ke luar. Ketika kutanya, apa maksudnya, ibu menjelaskan jika yang dia lakukan adalah menangis petir. Maksudnya, jika dipasang lisau menghadap ke luar, kilatan api tidak akan menyambar rumah. Tapi akan ditolak oleh untung pisau. Aku senyum-senyum sendiri. Jika tidak dihubungkan ke bumi, bagaimana pisau itu akan menolak jilatan petir? Tapi tak apalah, toh banyak sekali ilmu alam yang dimiliki oleh nenek moyang zaman dulu relevan hingga kini. Mereka tidak mendalami dan mempelajari di bangku sekolah. Namun pengalaman dan membaca alam justru membuat mereka peka.

Kulihat Bapak justru wudu, lalu membuka Al quran’an. Aku hanya mendengar suara Bapak berdegung di antara deru angin hujan dan petir. Suasana rumah terasa adem dan damai. Beberapa makhluk astral kulihat mendekat dan menyimak di samping Bapak. Mereka adalah jin-jin muslim yang tinggal di atap-atap rumah. Aku pura-pura tidak peduli dengan aktivitas mereka. Andai Bapak bisa melihat dan mendengar, makhluk-makhluk astral tersebut ikut membaca dan bersuara. Mereka seperti duet jika di alam nyata.

Aku menghitung bulan. Tinggal beberapa hari lagi purnama akan tiba. Aku tengah mencari strategi bagaimana agar semuanya aman ketika kutinggalkan ke Timur Laut Banyuwangi menemui Nini Ratu sekaligus melihat keadaan istana. Semakin hari aku bersyukur karena Nyai Ratih selalu mengabarkan rakyatku ada yang bersyahadat. Semua tanpa paksaan. Bahkan kemarin, kurang lebih tiga puluhan orang diantar pandita untuk di Islamkan. Masya Allah, ketika mendengar kabar itu jiwaku bergetar. Aku menangis ketika sujud syukur. Sulit kulukiskan perasaan haruku.

Aku selalu ingat cerita Kakek Haji Yasir kalau berbicara tentang keyakinan ini. Zaman dahulu, menurut Kakek Haji Yasir, sebelum di Seberang Endikat kenal agama, moyang-moyangnya yang primitif, menyembah pohon, batu, matahari dan lain sebagainya. Sebagian lagi sisa-sisa warisan kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di negeri ini membuat masyarakat di sepanjang aliran sungai, sudah kenal agama lebih dulu, yaitu agama Buddha. Tidak sedikit pelajar dari sekolah Buddha yang berasal dari kerajaan menyebarkan ajaran Budhis ke masyarakat. Lalu muncul pula agama Hindu yang dibawa oleh para pedagang dari India. Mereka pun diterima dan menyebarkan agama Hindu. Hampir semua dataran Tanah Sriwijaya memeluk agama hindu. Para Pandita berjalan memasuki hutan-hutan belantara Sumatera, tidak saja bertapa, namun singgah-singgah pula ke perkampungan-perkampungan kecil mengenalkan ajaran Dharma.

Seiring itu pula para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, beramai-ramai datang dan melakukan transaksi dengan masyarakat hingga ke pedalaman. Mereka berdagang sambil menyebarkan ajaran masing-masing, menyusuri sungai-sungai hingga ke hulu. Hingga akhirnya keyakinan masyarakat pun bervariasi. Ada yang masih bertahan dengan animismenya, ada yang memeluk Budha, ada yang Hindu, ada pula yang Islam.

“Nenek moyangmu, leluhur dari ibumu yang perempuan, itu berasal dari China, beliau seorang mualaf. Namanya Thian Jin. Menikah dengan moyang kakekmu yang berasal dari Malaysia. Beliau seorang ulama. Menyebarkan agama Islam sampai ke pedalaman Semende. Akhirnya, mereka menetap di sana. Merekalah cikal bakal leluhur dari ibumu. Keduanya dimakamkan di dataran tinggi Pajar Bulan semende.” Demikian tutur Kakek Haji Majani ketika itu.

Jadi jika berbicara tentang perpindahan keyakinan, bukan suatu yang aneh bagiku. Nenek moyangku mulai dari animisme, sebagian lagi memeluk Budha, Hindu, lalu terakhir memeluk Islam sudah berproses sejak dulu kala.

Aku merebah di atas dipan. Pagi tadi ketika aku pergi, tempat tidurku masih berantakan. Aku tidak sempat membereskan kamar karena buru-buru. Aku pergi, dan mengunci pintu. Kunci kamarku kuletakkan di tempat agak tersembunyi seperti biasanya. Tapi setelah pulang, kulihat kamarku bersih dan tertatah rapi. Hal seperti ini bukan sekali dua kali. Sering kali. Bahkan pernah suatu kali di belakang pintu kamarku penuh dengan tumpukan bajuku kotor. Baju-baju kotor itu, sengaja kusimpan agar tidak dicuci oleh ibu. Maksudku ketika aku ada waktu senggang, baru kucuci. Ternyata ketika aku pulang setelah pergi seharian, baju-bajuku bersih tertata rapi di atas dipan. Kutanya dengan ibu siapa yang mencuci dan menyetrika bajuku? Ibu tidak tahu. Katanya beliau tidak melakukannya. Setelah kutelusuri, ternyata Darna makhluk astral yang tinggal di bedeng tujuh milik Ibu. Perempuan sederhana itu, masa hidupnya bekerja di rumah Belanda. Diam-diam dialah yang kerap mencuci baju-bajuku lalu dilipatnya rapi seperti usai disetrika. Termasuk juga kamarku bersih seperti ini, pasti pekerjaan dia juga.

Pernah suatu kali, Darna membersihkan kamarku. Sementara aku sedang ‘muncak’. Di rumah hanya ada Ibu. Mendengar suara seperti ada orang yang menyeret kursi, memukul bantal dan kasur, mengepel di kamarku yang terkunci, Ibu ketakutan. Padahal siang hari. Ibu lari ke rumah tetangga dan penceritakan hal ganjil itu. Ketika mereka kembali, suara itu tidak ada. Tetangga membuka pintu kamarku. Mereka hanya melihat kamarku yang tertata rapi dan tidak ada sosok siapa-siapa. kalau bukan Darna yang bercerita padaku, aku tidak tahu jika ibu ketakutan ketika itu. Untuk selanjutnya kupesan dengan Darna agar kalau ke kamarku jagan sampai terdengar suara apa pun. Silakan mau bersih-bersih, tidur-tidur, yang penting jangan bersuara. Sejak saat itu Darna mematuhi pesanku. Padahal aku sudah lama tidak bersua dengannya. Tapi ternyata dia masih juga datang membantuku.

Aku menatap langit-langit kamar hingga tembus ke langit. Langit nampak gelap. Bulan miring, posisinya masih rendah di timur. Di luar suara jangkri mulai mengetik berpacu dengan irama kodok dari segala penjuru. Satwa-satwa malam itu selalu ceria tiap kali menyambut gelap. Sementara pikiranku, masih melanglang buana. Banyak sekali yang harus kepilah-pilah antara kehidupan nyata dan tak kasat mata.

Setelah berpikir agak panjang, akhirnya aku memutuskan, sebelum purnama bulat sempurna aku sudah ada di Timur Laut Banyuwangi. Aku ingin berjumpa Puyang Purwataka di gunung Slamet, lalu ke Dieng bersua Eyang Putih. Aku akan gunakan ajian memecah diri untuk menggantikan aktivitasku di sekolah dan di rumah. Termasuk juga program penghijauan bersama kawan Pecinta Alamku, bersamaan dengan purnama kelak.

Lama aku bolak- balik berpikir sendiri merencanakan segala sesuatu dengan rapi. Aku tidak ingin gegabah sehingga salah satu rencanaku menjadi kacau. Apalagi meninggalkan Ibu, salah sedikit, atau tercium sedikit mistis, bisa membuat jantungnya berhenti. Oleh sebab itu hingga kini ibu nyaris tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya bercerita pada Bapak dan Kakek Haji Yasir tentang beberapa hal penting saja. Termasuk kuceritakan jika aku punya kerajaan di pulau Jawa. Bapak dan kakek Haji Yasir bisa memahami. Jika ibu tahu, maka akan muncul ketakutannya. Ketakutan beliau bukan tanpa alasan. Beliau takut aku hilang seperti salah satu leluhurnya yang pulang ke alam gaib hingga kini tidak kembali. Aku memaklumi kekhawatirannya.

Ke luar dari sekolah, aku berencana langsung ke sekretariat Pecinta Alam untuk memenuhi undangan Bang Wahyu kemarin. Lagi-lagi di simpang masuk gang sekolah aku bertemu dengan anak kecil laki-laki yang menemuiku kemarin.

“Kakak, hari ini kakak di suruh Bang Wahyu datang menemuinya” Ujarnya mengingatkan. Aku segera memegang lengannya. Terasa lembut dan halus sekali.

“Kau mau ikut bersamaku ke sana” Ujarku. Si anak tersenyum sambil mengangguk senang. Akhirnya aku berjalan bersamanya berbarengan sambil ngobrol.

“Hei! Dari tadi kulihat kamu ngoceh sendiri? Belajar jadi wong sinting ya?” Aku dikagetkan Akhirudin yang menepuk pundakku dari belakang. Rupanya dari tadi sahabatku satu ini memperhatikan aku.

“Enak saja, kamu salah lihat kali” Ujarku mengelak.

“Tuu..tanganmu saja seperti menggenggam sesuatu” Kata Akhirudin lagi. Aku kembali kaget. Memang aku tengah menggenggam lengan adik kecil yang berjalan di sampingku. Kuangkat tangan kami berdua tinggi-tinggi.

“Ni lihat, tidak ada apa-apa kan?” Lanjutku lagi. Adik kecil tertawa melihat wajah Akhirudin agak cemberut. Akhirnya kami berjalan bertiga. Untung adik kecil ini bukan kategori iseng. Kalau model A Fung, bisa dijahilinya Akhirudin.

Berjalan kaki dari sekolah ke Anggut Dalam, lumayan jauh. Tapi karena ada Akhirudin terpaksa aku ikut berjalan pelan. Setelah sampai di simpang Jamil, kami berpisah. Aku ajak adik kecil untuk berjalan lebih cepat. Tidak lama kami sudah di depan pintu pagar sekretariat. Aku melihat pintu terbuka. Di halaman beberapa alat mendaki tergeletak. Nampaknya habis dicuci dan dijemur. Di dalam, terdengar suara orang sedang bercengkrama. Aku sedikit menahan diri ketika terasa ada energi yang menarik tubuhku dari dalam.

“Assalamualaikum…” Aku mengucapkan salam sambil melangkah masuk. Benar, rupanya ada beberapa teman PA-ku sedang asyik diskusi. Di antara mereka ada satu yang tidak kukenal. Melihat aku masuk, dia tersenyum ramah dan menyalamiku. Aku langsung duduk memilih tempat yang masih kosong di lantai.

“Bang Wahyu kemarin kirim surat, ada program kemana ni?” Tanyaku sambil membenahi posisi duduk. Kulihat Wahyu diam saja sambil menatapku. Sementara adik kecil cekikikan di sampingku.

“Bukan Bang Wahyu, Kak. Itu, Abang Alif” Ujarnya sambil menunjuk orang yang tak kukenal. Aku mencoba mengendalikan diri agar kawan-kawan yang lain tidak tahu jika aku tengah berbicara dengan makhluk astral. Tamu tak kukenal masih tersenyum. Apalagi ketika adik kecil menunjuk dirinya. Dalam hati aku bertanya siapa dia? Sejak awal memang aku sudah merasakan energinya, jika dia bukan manusia biasa.

“Jangan ge er Dek, siapa yang ngirim surat untukmu. Perasaan paling cantik saja. Kalau aku mau denganmu, tidak pakai surat cinta lagi Dek, langsung kulamar!” Ujar Bang Bayu tandas. Aku tertawa kencang mendengar candaan Bang Wahyu.

“Iya, deh, lamarlah aku segera” Aku balik mencandainya.

“Kita belum punya program dalam waktu dekat. Hanya ada kegiatan-kegiatan ‘Bengkulu Hijau’. Kita akan menanam ketapang dan cemara, sepanjang pantai, mulai dari Pasir Putih sampai ke pantai Nala saja dulu” Ujar Bang Bayu.

“Oh, begitu. Kukira kamu akan menanam harapan padaku” Aku masih menanggapinya main-main. Spontan saja kuas di sampingnya dilemparkannya padaku. Di sisi lain, aku agak malu juga karena tidak mendeteksi kebenaran pengirim surat itu lebih dulu.

“Akulah yang menitip pesan untukmu, Kanjeng Ratu Putri Selasih. Maaf, jika surat kecil itu mengganggu, dan pakai nama sahabatku Wahyu. Sebab kalau kusebut namaku, Kanjeng tidak kenal aku” Ujarnya teman Bang Wahyu berdialog batin padaku. Aku kaget mengapa dia menyebutku Kanjeng Ratu? Di mana dia tahu? Siapa pemuda ini? Beberapa pertanyaan saling kejar dalam benakku. Aku jadi penasaran.

“Mohon maaf juga kalau surat itu kutitip lewat adik gaibku” Orang yang bernama Alif ini kembali minta maaf.

“Kau kenal aku?” Aku bertanya.

“Iya, sangat kenal. Aku ikut guruku membangun istanamu. Di situlah kuketahui jika Kanjeng bukan makhluk astral, tapi bangsa manusia yang memiliki kemampuan dasyat, dan tidak semua manusia mampu seperti Kanjeng. Makanya aku bertekad untuk mencari sosok manusia Kanjeng. Ternyata tidak jauh, Kanjeng Ratu kutemui di bumi Raflesia ini.” Sang tamu masih menunduk dan memejamkan mata mengajakku berdialog lewat batin. Sejenak aku tertegun. Jadi di hadapanku ini salah satu sosok yang ikut membangun istana Timur Laut Banyuwangi?

“Maafkan ketidaktahuan saya. Terimakasih sudah berkenan membantu pembangunan istanaku beberapa waktu lalu. Siapakah saudara kalau aku boleh tahu” Aku balik bertanya.

“Namaku Alif, tinggal di salah satu pondok pesantren di kota ini. Guruku berasal dari Jawa Timur” Lanjutnya lagi.

Akhirnya aku dan Alif sepakat ngobrol di alam nyata saja. Agar teman-Teman yang lain tidak heran melihat kami sama menunduk dan diam.

“Oke, kapan kita bersih-bersih pantai” Ujarku berusaha mengabaikan tentang surat. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan lain.

“O iya, ini tamu kita anggota baru atau dari club PA lain?” Tanyaku.

“Nah, ini dia. Kenalkan Dek, ini sahabatku. Kami satu Tsanawiyah, Aliyah, satu kamar, satu daerah ketika sama-sama mondok. Dia calon Kyai ni. Sangat cocok untuk menakhlukan keliaranmu. Dia anak Kyai As’ad” Lanjut Bang Wahyu. Kyai As’ad salah satu tokoh agama yang cukup terkenal di Bengkulu. Beliau sering mengisi kajian di majlis taklim, masjid-masjid, dan organisasi Islam mahasiswa. Setahuku beliau salah satu tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi di kota Bengkulu ini. Beberapa kali aku pernah ikut pengajian beliau. Setelah kupikir-pikir, benar juga. Alif mirip wajah Kyai itu.

Sekilas aku menatap Alif kembali. Beliau tidak penampakan diri sebagai seorang anak ulama dengan atribut-atribut religius, misalnya memakai peci, sorban, gamis, atau apalah seperti anak kyai pada umumnya. Bedanya hanya terlihat pakaian yang dipakainya baju koko, wajahnya bersih, bahkan sangat bening untuk ukuran anak laki-laki. Ada sedikit jenggot mengantung di dagunya yang belah, kumis tipis tertata rapi.

Mendengar penjelasan Bang Bayu tentangnya, akhirnya aku mengenalkan diri di alam nyata. Kami berbicara layaknya manusia. Alif pun demikian, mengenalkan diri tanpa menyebutkan anak siapa. Selanjutnya obrolan-obrolan ringan seputar ketika mereka mondok, sampai bercerita tentang peraturan pondok yang mereka langgar. Aku ikut tertawa membayangkan pengalaman lucu mereka.

“Kamu siapanya Bang Alif? Namamu siapa?” Aku membatin bertanya pada adik kecil yang senyum-senyum saja sejak tadi.

“Namaku Azam, Kak. Aku selalu ikut kemana Bang Alif pergi” Jawabnya. Jin kecil ini rupanya sahabat Alif. Pantas keduanya seperti memiliki kesamaan sikap. Sama-sama alim dan beretika. Hanya saja Azam terlihat manja.

Azam bukan bangsa jin pendamping seperti A Fung adik gaibku. Tapi dia memang makhluk jin yang fisiknya seperti manusia. Kuketahui jika Azam dirawat orang tua Alif sejak kecil. Azam anak yatim piatu. Orang tuanya gugur ketika ikut berjuang membela kaum muslimin di Palestina. Orang tua turun ke medan perang bersama makhluk astral lainnya. Selanjutnya mereka saling dukung bersama bangsa manusia ikut berjuang mempertahankan masjidil Aqso dari serangan kaum kafir. Ternyata di sana, tidak hanya bangsa manusia saja yang perang, namun banyak bangsa jin yang angkat senjata ikut berjuang mempertahankan masjid itu. Konon lawan mereka selain manusia, ada iblis, setan, dan jin fasik. Bangsa-bangsa ini banyak membantu mengobarkan agar terjadi peperangan.

Bapak dan Ibu Azam adalah syuhada yang gugur di pihak makhluk astral yang turut berjuang membela Palestina. Aku merinding setelah mengetahui hal itu. Apalagi melihat ekspresi Azam tetap menampakan keceriaan meski tidak punya orang tua. Sebuah latar belakang yang jauh berbeda dengan A Fung. Jika A Fung, jin korim manusia yang mati sekeluarga karena di bunuh para perampok di Pagaralam. Bertemu denganku karena kebetulan. Lalu ia minta disyahadatkan karena tidak ingin jauh denganku.

Usai puas berbincang-bincang, akhirnya aku izin pulang. Alif juga ternyata ikut pamit pulang. Akhirnya kami ke luar berbarengan. Alif menawarkan diri hendak mengantar aku sampai ke rumah. Aku menolak. Pertama aku baru kenal. Ke dua di alam nyata dan alam tak kasat mata tentu berbeda. Aku lebih nyaman bersua di alam tak kasat mata saja pada orang-orang seperti ini.

Melihat aku menolak untuk diantar Azam turut membujukku.

“Ayo kak, biar Bang Alif antar ke rumah kakak, Azam ikut” Rengeknya. Aku menatap wajah polosnya.

“Jangan sekarang, adik ganteng. Suatu saat kita jumpa lagi. Kapan-kapan Bang Alif main ke rumah kakak, kamu ikut ya” Ujarku membujuknya. Alif sepertinya sepakat. Sekali lagi aku mengucapkan terimakasih pada Alif karena dia ikut membantu pembagunan istanaku beberapa waktu lalu.

Aku menatap punggung Alif yang mulai menjauh dengan vespa hijaunya. Hari sudah senja. Aku celingak-celinguk melihat jalanan sepi. Aku bermaksud hendak berjalan cepat sedikit mengeluarkan kemampuanku. Inilah bedanya siang dengan malam. Kalau siang aku tidak bisa sesukaku untuk menghilang. Khawatir ada manusia yang melihat, kalau mereka melihatku bisa jadi muncul rasa takut, dan akan bermunculanlah rumor hingga sampai pada fitnah.

Baru saja aku membaca Bismillah hendak melanjutkan doa dan mantra, tiba-tiba Eyang Kuda sudah berada di samping.

“Naik, biar Eyang antar pulang”. Ujarnya. Tanpa pikir panjang aku langsung melompat. Seperti terbang dalam waktu singkat aku sudah ada di dekat rumah. Aku sengaja turun di halaman dekat pohon-pohon yang agak tepi demi menghindari Ibu yang asyik ngobrol dengan tentangga di pintu pagar. Diam-diam, tanpa sepengetahuannya, aku buru-buru masuk.

Aku bersama Bapak duduk di teras. Bapak banyak bertanya tentang kelanjutan sekolah, dan kemana tujuanku. Banyak alternatif yang diberikan Bapak. Yang jelas, seperti orang tua pada umumnya, Bapak mengharapkan agar aku melanjutkan pendidikan ke jurusan yang kira-kira terbuka lebar peluang kerjanya.

“Aku ingin menginjak daerah lain, Pak. Boleh kan kalau aku ingin melanjutkan pendidikan di kota lain?” Tanyaku mantap.

“Boleh, asalkan masih di tanah Sumatera ini” Ujar Bapak lagi. Aku menarik nafas lega. Artinya aku boleh ke Lampung, Palembang, Jambi, Sumbar, Pekanbaru, Sumut, dan Aceh. Aku menimbang-nimbang pilihan. Sementara jika ikut Sepenmaru, aku hanya punya tiga pilihan perguruan tinggi.

“Sudah, tidak usah jauh-jauh. Susah pulangnya nanti” Suara Nenek Kam mempengaruhiku.

“Tapi aku ingin merantau, menimba ilmu di daerah orang, Nek. Aku ingin belajar mencari pengalaman di daerah lain” Ujarku membalasnya dengan batin.

“Jangan jauh-jauh, Cung. Tugasmu bukan hanya belajar. Tapi ikut menjaga keseimbangan dan menjadi perentara nenek gunung dan bangsa kita. Leluhurmu di gunung Dempu butuh kamu” Lanjut Nenek Kam lagi. Aku sangat paham kekhawatiran Nenek Kam. Aku senyum-senyum sendiri.

“Percayalah dengan Cucung Nenek Kam. In sya Allah semuanya bisa berjalan baik, Nenekku sayang” Batinku. Kudengar suara Nenek Kam sedikit mendesah.

Bulan masih terlihat lonjong. Tinggal beberapa malam lagi akan sempurna. Aku menatap bulan tanpa berkedip. Meski cahaya belum sempurna, tapi aroma mistisnya telah terasa. Apalagi dalam hitungan jawa, kata Eyang Kuda, ketika purnama nanti tepat malam jumat kliwon. Di mana malam itu seperti malam sakral para makhluk halus melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Aku tidak paham tentang hitungan hari tanggal jawa. Namun yang jelas, tepat bulan purnama aku harus menemui Nini Ratu.

Angin berhembus semilir. Beberapa kelelawar melintas di hadapan kami. Aku dan Bapak hanyut dengan pikiran masing-masing. Malam besok, aku sudah mulai dengan petualangan gaibku. Aku akan tinggalkan Bengkulu barang beberapa hari.

Ketika cuaca sudah mulai terasa dingin, aku dan Bapak masuk. Kulihat ibu masih asyik mengukur-ukur bahan katun lebar yang hendak dijahitnya menjadi bantal. Perempuan hebat ini, masih saja menyempatkan diri membuat segala macam kerajinan. Menjahit sprei, kebaya, menyulam, bahkan merenda pun beliau lakukan. Sementara aku, tidak satu pun keterampilan ibu aku warisi. Ibu memang hebat!

***

Saat tengah malam, seperti biasa aku terjaga. Ternyata bersamaan waktunya Puyang Pekik Nyaring berdialog padaku. Beliau sudah tahu jika akan pergi ke Timur Laut Banyuwangi ketika purnama.

“Iya, Puyang. Aku akan bertemu dengan Nini Ratu sesuai permintaan beliau” Sahutku ketika beliau menanyakan perihal kepergianku beberapa waktu mendatang.

“Iya, berangkatlah. Ketika kamu pulang Puyang jemput kamu” Ujar beliau. Mendengar itu aku senang sekali. Energi semangat untuk segera ke seberang semakin membara.

Kusampaikan jika aku akan menemui Puyang Purwataka di Gunung Slamet, lalu menemui Eyang Sahida di Dieng. Aku akan mulai perjalanan malam besok. Puyang Pekik Nyaring menyetujui rencanaku sembari mengingatkan aku agar tetap hati-hati melakukan perjalanan. Menurut Puyang, namaku sudah menjadi pembicaraan di alam gaib sebagai ratu kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Seperti kekhawatiranku sejak awal, demikian pula kekhawatiran para Puyang. Mereka tetap was-was dengan kekuatan-kekuatan makhluk astral yang menginginkan kerajaan baru itu.

“Meski Puyang akui kekuatan istanamu sudah berlapis, melihat kemegahan dan kejayaannya tentu akan banyak bangsa lain yang ingin tahu, bahkan mungkin ingin memilikinya. Kau tetap harus waspada” Itu pesan terakhir Puyang Purwataka.

Belum sempat aku melanjutkan istirahat jelang fajar, tiba-tiba aku merasakan isyarat ada yang akan datang.

“Assalamualaikum Kanjeng Ratu” Suara lembut menyapaku. Aku berpikir sejenak sepertinya aku mengenal suara itu. Aku berpikir sembari buru-buru menjawabnya.

“Maafkan saya mengganggu istirahat Kanjeng Ratu. Saya Alif, santri yang kurang ajar mengusik istirahat Kanjeng Ratu” Lanjutnya lagi.

“Oh! Masya Allah! Maafkan aku tidak langsung mengenal suaramu, Bang Alif” Jawabku kaget. Alif tertawa kecil.

“Selamat melanjutkan ibadah, Kanjeng. Mari kita awali jelang fajar ini dengan solat hajat, zikir, dan lainnya. Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin, kanjeng Ratu senantiasa dirahmati Allah SWT, sehingga dapat melaksanakan tugas berat Kanjeng. Tetap jaga kesehatan, Kanjeng. Mohon maaf jika saya menyapa kanjeng kurang sopan. Assalamualaikum Kanjeng Ratu Putri Selasih” Suara Alif lagi. Aku segera mengaminkan. Baru kali ini aku mendapat teman ngobrol panjang sekali doanya. Belum sempat aku menanggapi banyak pembicaraan sudah terputus karena Alif sudah mohon diri. Tiba-tiba naluri kamanusiaanku hadir. Sebagai seorang dara, aku merasa tersanjung. Jiwaku bergetar. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini.

Mendengar Alif berbicara panjang seperti itu, aku seperti baru sadar, jika aku manusia normal. Aku juga ingin ada teman lelaki yang memberikan perhatian lebih, tepatnya perhatian khusus padaku. Mengingatkan aku dari hal yang kecil dengan getar. Ah! Aku jadi malu sendiri. Selama ini aku tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta seperti ketika aku jatuh cinta pada Guntoro. Tapi Alif telah membuatku tersanjung. Diam-diam hatiku sangat bahagia. Langitku serasa penuh harum bunga. Tapi ketika aku sadar, aku segera istighfar. Aku buang perasaan itu jauh-jauh. Kumarahi diriku sendiri yang buru-buru menyimpulkan perasaan nyaman dan merasa diperhatikan khusus.

“Terimakasih Bang Alif, Terimakasih atas doa dan telah mengingatkan aku” Suaraku agak bergetar. Kusesali diri mengapa aku bisa salah tingkah seperti ini? Bisa jadi Alif berdoa seperti itu bukan hanya padaku. Tapi pada semua orang yang dikenalnya. Atau karena dia seorang santri, telah terdidik dengan adab yang baik. Sehingga bersikap demikian pada siapa saja. Akulah yang salah perasaan. Menyadari hal seperti ini sangat terasa pergolakan batin antara menolak dan menerima. Hal seperti ini kerap membuat seorang takhluk. Termasuk juga aku yang selama ini berjiwa tarung, menyukai tantangan, tidak pernah merasa takut kecuali pada sang Khalik. Tapi ketika menghadapi pergolakan batin seperti ini kerap kalah karenanya.

Suasana hening. Alif sudah tak terdengar lagi suaranya. Sebenarny aku bisa saja menemuinya, atau melihat aktivitasnya saat ini juga. Atau balik menyapanya. Namun niat itu kuurungkan. Kutekan perasaan aneh yang mulai merayap batinku. Banyak hal yang lebih penting yang harus kupikirkan dibanding hal seperti ini. Biarlah waktu saja berbicara.

Aaah!!!
Kuhentak batin demi mengusir hal yang terasa menekan dada. Aku mencoba untuk tidur kembali.

Aneh, rasa kantukku benar-benar hilang. Mataku terbelalak meski berulang kali kupejam-pejamkan. Akhirnya aku malu pada diri sendiri. Kupagari diriku agar tidak tembus dipandang oleh makhluk lain. Tidak menutup kemungkinan makhluk yang paling iseng seperti Macan Kumbang tiba-tiba datang menggodaku. Benar saja, di luar pagar gaibku ada suara seperti membaca syair;


Anak dara suka dimanja
Sebagai pengganti kasih sayang
Jika asmara telah meraja
Siang malam selalu terbayang


Suara Macan Kumbang!
Demi menghindari godaannya yang bakal membuat aku malu, suara itu tak kutanggapi. Aku tetap bertahan di dalam pagar gaibku sambil senyum-senyum sendiri. Syair itu diulang-ulangnya beberapa kali.

“Keluarlah, Selasih. Mari ikut subuh ke masjid Jamik bersama Eyang Kuda. Berhentilah bersembunyi. Tidak ada gunanya. Aku tahu perasaanmu” Ujar Macan Kumbang. Mendengar itu kututup kembali wajahku. Dalam hati aku menyesal mempunyai perasaan aneh itu. Bikin kacau saja. Belum apa-apa sudah hebo.

“Ke luarlah, Selasih yang keras kepala! Mengapa harus sembunyi. Putri Selasih dengar ya, setiap insan berhak dan sudah ditakdirkan memiliki rasa sayang, haru, benci, senang, termasuk rasa cinta. Jangankan manusia, makhluk gaib seperti saya pun dikaruniai Allah perasaan suka sama suka dengan lawan jenis. Terimalah takdir itu, nikmati perasaan yang baru saja membuatmu gelisah itu. Asal jangan terhanyut. Belum apa-apa sudah terhanyut bahaya. Pilah mana yang perlu kau prioritaskan, meski tetap kepikiran jagan jadi yang utama. Ok?” Akhirnya Macan Kumbang seperti juru nasehatku. Apa yang dikatakannya masuk akal. Yang membuat aku malu adalah belum apa-apa, baru sekadar mendengar nasehat, pesan, doa, perasaanku sudah ke mana-mana. Ada maghnit membuat aku memikirkannya.

Allahu Akbar!
Pagar gaibku terbuka. Aku tertawa melihat Macan Kumbang berdiri seperti orang kena strap.

“Aman Tuan, bukan Selasih kalau tidak bisa mengendalikan diri, Ok!” Ujarku.

“Nah, gitu dong. Baru cucung Nenek Kam kalau seperti itu” Lanjutkan tersenyum. Samar azan di masjid Akbar ujung gang sudah terdengar. Macan Kumbang yang bergamis buru-buru pamit, menghilang. Seperti katanya, ia akan solat di masjid Jamik bersama Eyang Kuda. Aku pun bergegas ke kamar mandi, berwudu, lalu berserah.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku sedang berkemas untuk melakukan perjalanan jauh. Selintas muncul keinginan dalam batin untuk bercerita pada Alif jika aku akan pergi ke Timur Laut Banyuwangi. Tapi setelah kutimbang-timbang, aku batalkan niat itu. Mengapa aku harus memberitahu dia kegiatanku? Apa dasarnya? Apakah karena Alif telah membantu pembangunan istanaku? Bukankah jutaan makhluk dan bangsa manusia yang membantu? Ah! Itu bukan alasan. Aku kembali menimbang-nimbang rasa. Satu sisi ada perasaan gengsi jika menyapa lebih dulu. Di sisi lain aku ingin tahu keberadaannya, aktivitasnya. Tapi apa kata Alif jika seorang Ratu menyapanya? Apa tidak akan membuat dirinya jadi besar kepala?

Aduh!
Aku menggeleng-geleng tanpa arti.

Usai wudu aku duduk di atas sajadah. Aku baru mau mulai fokus, berserah diri lalu pergi. Tapi baru hendak mulai, tiba-tiba angin kencang berhembus di kamarku. Aku menunggu siapa yang datang. Tak lama muncul tiga sosok nenek gunung dari gunung Dempu. Rupanya mereka diutus Puyang Pekik Nyaring untuk mengawal perjalananku ke gunung Slamet, gunung Dieng, dan gunung Ijen hingga ke kerajaan Timur Laut Banyuwangi.

“Assalamualaikum Putri Selasih. Aku Muk, bersama saudaraku Lak dan Kik, diutus Puyang untuk pendampingi dalam perjalanan malam ini.” Ujar Muk mewakili saudaranya Lak dan Kik. Aku langsung mengiyakan. Tidak bertanya mengapa aku harus dikawal. Aku yakin, Puyang Pekik Nyaring mengutus pengawal dari kerjaannya ini bukan tidak ada alasan. Pasti ada sesuatu yang beliau baca sebelum terjadi. Akhirnya ketiganya duduk diam di belakangku ketika aku mulai membaca Bismillah lanjut dengan rangkaian doa dan zikir kudengar ketiga nenek gunung juga fokus berzikir. Pelan-pelan diriku telah berubah menjadi dua. Bayangan kutinggalkan, selanjutnya aku bersama tiga nenek gunung sudah mulai melangkah ke luar rumah.

Di remang cahaya bulan yang belum sempurna, aku memanggil angin. Selendang pemberian Puyang Bukit Selepah kubentang, lalu kami naik di atasnya. Aku duduk menghadap ke depan. Muk, Lak, dan Kik, duduk di belakangku. Tidak ada obrolan sepanjang perjalan. Mereka dari tadi khusuk berzikir. Aku ikut mengimbangi energi yang mereka ke luarkan.

Langit nampak cerah. Awan bergumpal-gumpal diam. Kami terus melaju melewati laut, gunung dan bukit. Kerlap-kerlip gugusan bintang, persis seperti mata indah kelilipan. Sementara bulan yang lonjong, seperti mengintip di serpihan langit. Cahayanya indah dan lembut.

Aku besyukur malam ini nampak cerah. Tujuan utama perjalanan kami ke gunung Slamet terlebih dahulu. Dalam perjalanan aku sudah membatin mengontak Puyang Purwataka. Terakhir beliau mengatakan sedang tirakat di salah satu gua dan menungguku di gubuknya.

Aku bersama tiga nenek gunung langsung menuju gubuk Puyang. Di sana kutemui ada beberapa murid beliau yang masih ibadah. Ada yang solat, ada yang mengaji, ada juga yang sedang berzikir. Bahkan ada yang terlelap di atas sajadah. Sebuah pemandangan yang menentramkan. Melihat kehadiranku, beberapa orang langsung bangkit, lalu menyilahkan duduk. Selebihnya ada yang sibuk menyediakan minuman hangat. Wedang jahe. Aromanya benar-benar menyegarkan. Kami segera menyeruputnya untuk menghangatkan badan.

“Kanjeng nampaknya tidak sendiri. Siapa tiga sosok itu, Kanjeng?” Ujar salah satu murid Puyang Purwataka ketika melihat tiga nenek gunung berkeliling-keliling di sekitar gubuk Puyang Purwataka. Kujelaskan jika mereka adalah bangsa manusia manusia yang menetap di gunung Dempu. Sengaja mendampingi perjalananku. Akhirnya mereka berkenalan dengan wujud nenek gunung masih dalam bentuk harimau sumatera. Mereka sengaja tidak mengubah diri selama dalam perjalanan.

Tidak terlalu lama, Puyang Purwataka datang. Lelaki yang terlihat sederhana ini sudah tersenyum lebar dari jauh. Cahaya emas seperti selimut membalut tubuh beliau. Gerakannya yang ringan, nyaris tidak terdengar. Bahkan gerakan angin pun tidak tersibak di tiap geraknya. Aku segera sujud pada beliau sebelum menyampaikan akan ke Dieng menemui Resi Sahida.

“Sebelum ke sana, mari ikut Puyang terlebih dahulu” Puyang Purwataka mengayunkan tangannya lalu aku dan tiga nenek gunung seperti diraihnya tiba-tiba sudah berada di sebuah perkampungan.

“Kampung apa ini Puyang?” Tanyaku heran. Kami berdiri di atas pasir berbatu. Di hadapan kami ada kampung hening yang tandus. Namun aku merasakan sesuatu yang aneh di dusun ini. Ada sesuatu yang menyelubunginya. Aku tidak banyak bertanya pada puyang, tapi segera membaca situasi dan keadaan dusun. Di kampung ini ada puluhan rumah sederhana. Tepatnya gubuk-gubuk layaknya kehidupan perkampungan yang memang masih sangat sederhana. Yang membuatku heran mengapa seperti ada selaput menaungi dusun ini? Lalu nyaris satu dusun mengalami sakit. Ada semacam serbuk terbang ke sana ke mari. Aku mulai curiga, bisa jadi serbuk yang terbang-terbang inilah yang membuat semua masyarakat mengalami berbagai penyakit.

Sejurus aku terkejut, rupanya serbuk-serbuk itu adalah perwujudan makhluk astral yang menggerogoti penduduk. Sepertinya ada semacam komando sengaja membuat dusun ini menjadi dusun penuh dengan penderitaan.

“Dusun ini terisolir, karena akses ke berbagai daerah seperti sengaja tertutup. Ada energi gaib menghalangi pandangan sehingga membuat orang dari dusun lain tidak tertarik ke mari. Bahkan lupa sama sekali” Ujar Puyang Purwataka. Mendapatkan penjelasan itu jiwa kemanusiaanku langsung terpanggil. Susun kecil ini butuh bantuan.

“Bantulah mereka, Cu. Bebaskan mereka” Kata Puyang lagi. Aku segera duduk bersila. Tiga nenek gunung ikut juga bersila. Ketiganya menyatukan energi ikut membaca doa dan zikir untuk mengetahui masalah yang menaungi dusun ini lebih jauh. Tidak berapa lama, akhirnya kuketahui jika pergerakan makhluk astral yang menaungi dusun ini ada kekuatan iblis yang hendak menguasai wilayah dusun. Mereka tengah membangun kerajaan. Sudah puluhan warga besar kecil yang mati pelan-pelan karena mengidap penyakit aneh. Ada yang tubuhnya dibalut kurap, ada yang mengidap mirip seperti kusta sehingga daging jari tangan, jari kaki seperti kayu lapuk yang rapuh. Daging-dagingnya runtuh. Ada juga yang lumpuh tiba-tiba, tanpa mampu bergerak sama sekali. Dan yang lebih banyak adalah seperti kena stroke, ayan, dan berperut buncit. Bau anyir menyengat membuat perutku mual seketika.

Aku mengunci pernafasan segera. Berusaha menyenergikan diri pada suasana dusun. Hasilnya aku semakin kaget. Jutaan belatung bahkan ada yang sudah tumbuh bulu dan bersayap, merayap lalu menempel ke mana-mana. Belatung-belatung itu tidak hanya merayap di tanah dan dinding, tapi juga masuk ke dalam tubuh manusia. Inilah penyebab semua orang menderita gatal-gatal. Ternyata wabah ini sengaja diciptakan.

Di tengah rasa geli dan ingin memecahkan misteri dusun ini, tiba-tiba aku kembali mual dan hendak muntah tatkala melihat sekelompok makhluk astral tengah berkerumun menyantap bangkai anjing, ayam, kambing, itik, bahkan sapi milik penduduk yang mati tiba-tiba. Mereka makhluk astral pemakan bangkai. Aroma busuk berbelatung tidak menghalangi mereka untuk makan. Justru mereka makan sangat lahap. Tangan dan mulut mereka belepotan dengan darah beku dan cairan hitam berasal dari hewan-hewan yang mati. Belatung-belatung yang berwarna kehitam-hitaman berasal dari hewan-hewan yang mati tersebut. Menjinjikan!

Berkali-kali aku istghfar. Dadaku terasa turun naik dengan cepat antara jijik dan marah. Yang membuatku emosi karena makhluk-makhluk astral ini telah menyiksa orang sekampung. Aku berusaha untuk tahu lebih jauh apa alasan mereka memilih dusun ini untuk jadi istana? Bukankah alam ini terkembang luas? Aku harus bersua dengan pemimpinnya.

Belum selesai aku berpikir mencari solusi untuk menetralisir dusun ini, tiba-tiba makhluk bercahaya yang terbang-terbang membuat sebuah lingkaran menari-nari ke sana ke mari. Tak lama makhluk itu mirip sebuah tali mengitari kami seperti siap mengikat. Ini sungguh bahaya. Bahaya bagi kami dan juga bagi dusun ini jika dibiarkan.

Huf! Huf! Huf!
Puyang Purwataka menyapukan tangannya secepat kilat. Kami berlima seperti dibalut pelapis yang tidak bisa didekati oleh makhluk-makhluk gaib ini. Nyaris aku tidak percaya melihat mereka bergerak dengan kekuatan-kekuatan magisnya. Tanpa dikendalikan oleh kekuatan dasyat, mustahil makhluk-makhluk ini bisa terlihat ganas seperti ini.

Ketika tangan Puyang Purwataka bergerak, pasukan seperti cahaya ini buyar. Mereka cerai berai kena sapuan energi Puyang Purwataka. Kami semua dipagari Puyang. Tiga nenek gunung mempercepat zikirnya. Tenanga yang mereka kerahkan seperti ribuan lebah menggema mengisi dusun. Melawan kekuatan-kekuatan yang tidak jelas di mana titiknya.

Aku berusaha berinteraksi dengan mereka. Pengakuan mereka, memang diperintah oleh rajanya untuk menguasai wilayah dusun ini. Karena di dusun ini telah berdiri kerajaan mereka. Ketika kutanya mengapa harus di dusun ini mendirikan kerajaan. Sekali lagi mereka mengatakan mereka telah tinggal di dusun ini sebelum ada kehidupan bangsa manusia. Semula mereka merasa aman-aman saja hidup berdekatan. Namun semakin hari semakin banyak manusia membuat mereka menjadi tidak nyaman. Manusia merusak rumah-rumah mereka. Menjadikan rumah mereka ladang, pemukiman, dan lain sebagainya. Ketika kukatakan, bukankah alam kita berbeda. Kita punya wilayah kehidupan masing-masing, mereka tidak terima. Alasannya manusia telah banyak mengganggu mereka.

Di dalam pikiranku, ini tidak adil. Mereka menyerang bangsa manusia yang tidak paham sama sekali kehidupan mereka. Sementara mereka seenaknya mengusik kehidupan manusia. Manusia tidak bisa melihat mereka, sementara mereka dengan leluasa bisa melihat dan berbuat apa saja pada manusia.

“Ini tidak adil. Bangsa kami tidak melihat wujud kalian, sementara kalian dengan leluasa berbuat apa saja. Sama halnya kalian melawan orang buta. Kalian harus hentikan perbuatan jahat ini” Ujarku.

Ternyata tawaranku tidak mereka terima. Bahkan dengan ganas mereka serentak menyerang kami bersamaan. Ketika aku maju lebih depan, puyang Purwataka mengingatkan aku agar hati-hati. Aku mengeluarkan selendangku. Langkah pertama aku harus melumpuhkan cahaya -cahaya yang terbang ini.

Dengan sigap kusapukan selendangku. Kutarik mereka lalu kukumpulkan menjadi satu. Ternyata perlawanan mereka luar biasa. Getaran tenaga mereka sampai hingga ke lenganku. Aku kembali mengerahkan kemampuan. Kusalurkan hawa panas pada selendangku. Semakin lama semakin panas seiring asma Allah, mereka kubakar. Suara erangan makhluk astral itu melengking menggali lubang telinga. Mereka menjerit minta tolong sembari memanggil raja mereka. Sementara belatung yang jumlahnya jutaan itu pun ikut menyerang bersama makhluk astral pemakan bangkai.

Wusst! Wussst! Wussst!
Sabetan selendangku menghancurkan gerombolan belatung. Tiba-tiba muncul makhluk bersayap seperti kumbang raksasa terbang mengepak-ngepakkan sayap. Suaranya berdengung seperti helikopter hendak mendarat. Aku melihat mulut, ekor, dan ujung jarinya beracun. Benar-benar aneh makhluk astral ini. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu. Kuhantam raja lebah itu dengan ujung selendangku. Akibatnya, racun yang ditaburnya menyebar memenuhi udara. Dengan sigap Puyang Purwataka membantuku. Racun yang menyebar itu dihisap oleh ular yang berasal dari tongkatnya.

“Puyang, rajanya belum ke luar. Kita harus menakhlukan Rajanya terlebih dahulu” Ujarku. Puyang mengangguk setuju. Aku segera menggerakkan tangan ke atas berusaha memanggil rajanya. Tak lama angin berkesiur kencang. Bahkan kekuatan angin melebihi badai. Kami serentak bertahan melawan angin itu. Tak lama muncullah sosok besar tinggi bertanduk, taringnya panjang, rambutnya panjang, tubuhnya berbulu, sinar matanya seperti nyala api. Tangannya menggenggam tombak bermata segi lima. Kulihat rambutnya bisa bergerak-gerak runcing seperti jarum.

“Mengapa kalian datang kemari? Kalian telah membunuh pasukanku. Ggrrrrhhh!” Suaranya besar bergetar. Sekilas makhluk astral satu ini nampak mengerikan. Sinar matanya menyala-nyala.

“Kami datang untuk mengusir kalian dari dusun ini, karena kalian telah meneror pendusuk dusun” Ujarku. Mendengar perkataanku hendak mengusir mereka, dia marah. Melalui tongkatnya dia lakukan penyerangan. Aku tidak tinggal diam. Pukulannya langsung kuhadang dengan cepat. Benturan tak dapat dihindari. Kami mulai pertarungan.

Melihat raja jin menyerangku, ternyata pasukannya yang semula bersembunyi dan menjaga jarak semua ke luar bergerak cepat mengeroyokku. Jumlah mereka ribuan dengan berbagai wujud. Di antara wujud yang ada, ada tiga sosok harimau yang paling ganas. Matanya menyala dengan mulut terbuka. Memamerkan taringnya yang tajam dan menjulurkan lidah. Melihat lawan mengeroyokku, Muk, Lak, dan Kik tidak tinggal diam. Mereka maju menghadang tiga sosok harimau.

Aku berhadapan dengan raja jin. Beliau mengelilingi aku bekali-kali. Nampaknya mencari sela untuk bisa membekukku. Aku mulai waspada. Nampaknya dia kecewa tidak bisa menembus pagar Puyang Purwataka. Sesekali dia menggeram marah. Cahaya matanya seperti bara.

Beberapa sisa belatung yang masih hidup tetap berusaha menyerang kami. Sebagian ke luar dari tubuh-tubuh bangsa manusia yang selama ini mer3ka diami. Mereka adalah sisa-sisa belatung yang dimusnakan puyang Purwataka masih bertahan hidup.

Melihat Raja Jin sudah semakin marah, rambutnya sudah mekar, aku mulai ancang-ancang melakukan penyerangan.

Hiiiiaaaat!
Aku mengirimkan pukulan. Raja jin mampu menolak pukulanku. Seterusnya beturan demi benturan terjadi. Kadang-kadang pukulan raja jin memercikkan api. Kuakui kekuatannya luar biasa. Satu kesempatan kukeluarkan pedang pemberian kakek Andun. Kuhantamkan pada tombaknya yang yang selalu berayun. Namun setiap kali berbenturan, aku seperti merasakan dua bukit yang bertabrakan.

Kraaaak! Crass!
Raja jin kaget bukan kepalang. Satu tanduknya kupapas dengan pedang. Raja jin meraung marah. Dia tidak menyangka jika aku bisa berkelebat secepat itu. Sekarang giliran aku yang heran. Meski sudah terluka dan kena pukulan mematikan berkali-kali, makhluk astral satu ini seperti tidak merasakan apa-apa.

Entah berapa ajian telah kulakukan untuk melumpuhkan raja jin yang satu ini. Tapi belum juga ada tanda-tanda jika dia melemah. Di sela pertarungan sengit itu aku mencoba mencari titik kelemahannya. Kubaca semua gerakkannya. Energinya ternyata berpusat di kalung yang dipakainya. Ada permata biru menggantung di lehernya. Entah permata apa yang dipakai makhluk ini. Dia bisa sekuat batu karang. Hantaman gunungku tidak membuat kuda-kudanya goyang. Dia bahkan masih bisa melesat ke udara. Beberapa kali kami bertarung di udara.

Ketiga nenek gunung melakukan perlawanan tak kala sengitnya. Mereka bertarung hingga ke puncak bukit. Sabetan cahaya berwarna biru kerap kali terlihat berputar cepat. Nampaknya perlawanan mereka berimbang. Aku tidak terlalu khawatir dengan mereka. Mereka ahli dalam bertarung. Ilmu yang mereka miliki pun aku yakin sangat mumpuni untuk melawan harimau-harimau pasukan Raja Jin tersebut.

Aku tengah berpikir keras untuk menghancurkan permata yang tergantung di leher raja jin. Puyang Purwataka kulihat tidak ada lagi di tempatnya berdiri. Beliau turun ke dusun mengobati orang-orang yang sakit. Nampaknya beliau percaya padaku, sehingga membiarkan aku bertarung sendiri.

Melihat perlawanan raja jin seperti tak ada habisnya, aku sudah berpikir lain. Kapan selesainya pertarungan jika masih terus seperti ini?

Akhirnya aku gunakan aja ajian pamungkas dari gunung Dempu. Kuangkat tangan ke atas, kuhimpun kekuatan dari matahari dan langit. Selanjutnya aku menggeram, aku telah berubah menjadi harimau putih . Kucakar tanah hingga berlubang pertanda aku siap melakukan perlawanan selanjutnya.

Melihat perubahanku, raja jin terkejut. Dia celingukan seperti mencari wujud asliku. Dengan cepat aku menyerangnya dan menikamkan cakaran ke dadanya.

Brreet!
Kalung yang dipakainya kutarik dengan ajian gajah mengamuk. Dalam sekejap permatanya sudah di genggamanku. Anehnya permata ini justru membawa tubuhku melesat ke udara. Cukup lama aku seperti terbanting dan berputar. Aku berusaha mengendalikannya sambil terus berzikir. Ternyata energinya memang luar biasa. Akhirnya kubalut dengan dengan selendangku sembari kukeluarkan ajian menjaring cahaya matahari. Lambat laun kekuatan permata itu terkunci. Aku kembali turun berhadapan dengan raja jin yang nampak lemas. Ketika permata kekuatannya ada di tanganku, ternyata semua pertarungan spontan terhenti. Termasuk tiga harimau yang luka-luka usai bertarung dengan tiga manusia harimau pengawal Puyang Pekik Nyaring.

“Kembalikan permata itu anak manusia. Aku tidak punya kekuatan apa-apa tanpanya.” Ujarnya menunduk lesu dengan tanduk tinggal satu.

“Tidak! Aku tidak mengembalikan permata ini jika engkau dan pasukanmu tidak membersihkan dusun ini. Kalian harus pindah dari sini” Ujarku.

“Tapi ini kampung yang kami huni sejak lama, sebelum ada bangsa manusia di sini”lanjutnya lagi. Kukatakan, bumi ini milik Allah, siapa pun berhak untuk menempati bagian mana saja.

“Jika sudah kubersihkan dan kami pindah dari dusun ini, apakah permata itu akan dikembalikan padaku?” Ujarnya penuh harap.

“Iya, aku akan kembalikan dengan syarat, kalian bersihkan pasukan pembawa penyakit dari dusun ini. Jangan ada yang tersisa. Jangan pernah datang mari lagi. Kalian harus pindah ke tempat lain. Tapi jika kau berkhianat, ingkar dengan janjimu, maka akulah yang akan datang untuk memusnakan kalian” Ujarku lagi. Sang raja jin tertunduk. Aku mengayunkan tangan mencari tempat kosong yang layak untuk memindahkan mereka.

“Hai raja jin, lihat ke sana, aku sudah sediakan tempat yang layak untuk kalian. Kalian tinggal di sana, dirikanlah kerajaan kalian di sana” Lanjutku.

“Baiklah, kami akan membangun istana di sana. Kami akan tinggalkan dusun ini?” Ujarnya.

“Obati dan bersihkan dulu dusun ini. Dan bawa semua pasukan kalian” Sahutku. Akhirnya raja jin itu berputar lalu tubuhnya seperti cahaya menyambar ke sana ke mari. Tak lama, pasukannya ada di dalam genggamannya. Lalu dengan kekutannya, pasukannya dikirimi ke tempat yang sudah kutentukan.

Raja jin kembali melesat ke sana ke mari. Kali ini dia membersihkan dusun, mengambil sisa-sia energi penyakit yang disebabkan oleh anak buahnya. Dimusnakannya semua baik lewat udara, tanah, apalagi ditubuh-tubuh manusianya. Puyang Purwataka yang tengah mengobati masal penduduk, seketika mundur memberi kesempatan pada raja jin bekerja. Ternyata raja jin yang ganas ini menepati janjinya. Dusun menjadi bersih dan terang benderang. Tidak ada lagi kabut yang menyelimutinya.

“Siapa namamu, raja jin?” Tanyaku.

“Namaku Jeram, Tuan Putri” Ujarnya tiba-tiba berubah memanggilku Tuan Putri.

“Baiklah Jeram, ini permatamu aku kembalikan. Belajarlah untuk berubah menjadi baik. Namaku Putri Selasih” Ujarku sambil menyerahkan permatanya.

“Apa? Putri Selasih? Ratu dari Timur Laut Banyuwangi? Ampunkan hamba Kanjeng Ratu. Aku sudah mendengar nama ratu disebut-sebut oleh bangsa kami. Terimakasih Ratu berkenan mengampuni saya” Jeram tiba-tiba sujud.

“Bangkitlah Jeram. Bangunlah kembali istanamu. Kembali kuingatkan, berubahlah menjadi lebih baik” Ujarku lagi.

Akhirnya Jeram bersama pasukannya bermain-ramai menuju perkampungan baru mereka. Aku ikut membantu memberi kekuatan pada mereka menuju tempat baru. Tak lama Puyang Purwataka datang menghampiriku. Beliau tersenyum puas ketika melihat dusun kembali bersih.

“Dalam beberapa waktu, biar Puyang yang merawat dusun dan penduduk bersama santri lainnya. Sekarang berangkatlah ke Dieng. Sampaikan salam Puyang pada Eyang Putih”. Puyang Purwataka mengizinkan kami pergi. Setelah sujud, akhirnya aku bersama tiga nenek gunung melanjutkan perjalanan ke Dieng.

Sampai di Dieng, Eyang Putih sudah menunggu. Beliau cekikikan ketika melihat aku.

“Asyik ya, baru sampe disuguhi pertarungan. Cucuku memang manusia pilihan, dan Resi Purwataka ternyata pandai sekali mendidikmu menjadi sosok yang peka” Kembali Eyang cekikikan. Kami tidak lama di tempat Eyang Putih. Beliau justru hendak ikut aku ke Timur Laut Banyuwangi. Akhirnya kami berangkat bersama mengendarai angin.

Sampai di istana, sungguh aku terharu. Di gerbang istana, rakyat kerajaan dengan antusias menyambut kedatangan kami. Aku menjadi tersanjung ketika beberapa orang menaburkan kembang dan beras kuning pertanda memuliakan tetamu. Kami berjalan diiringi dengan tembang. Aku bahagia sekali melihat semua nampak bergairah.

“Terimakasih Nyi Ratih sudah menjaga kerajaan dengan baik” Ujarku ketika bersua dengannya dan memeluknya. Ada perasaan haru mengembang di dadaku ketika sepanjang jalan, besar kecil rakyatku berderet setengah merunduk. Mereka membuatku semakin sayang. Belum lagi tokoh agamanya berdiri berdampingan dengan wajah-wajah sumringah.

Aku bersama Eyang Putih, dan tamuku tiga nenek gunung Dempu, langsung menuju ruang tengah istana. Di sana sudah menunggu para sesepuh kerajaan. Tak lama para tokoh agama pun ikut masuk. Mereka mulai melaporkan kegiatan masing-masing dan berbagai macam kemajuannya.

“Ada hal yang perlu diwaspadai, Kanjeng Ratu. Barangkali kanjeng bisa menyampaikan ini ke pada Resi Purwataka bahwa masyarakat sekitar gunung Slamet harus waspada karena gunung Slamet mengatakan akan memuntahkan lahar panasnya beberapa waktu ke depan. Akan terjadi erupsi, maka waspadalah. Tingkatkan iman, karena pada dasarnya alam di sekitar gunung sudah gerah dengan penyimpangan-penyimpangan golongan manusia mau pun kejahatan bangsa gaib di sana, yang menginginkan nyawa manusia untuk dikorbankan” Ujar salah satu sosok sesepuh Timur Laut Banyuwangi. Mendengar itu sejenak aku tertegun. Artinya, menurut beliau akan terjadi musibah? Gunung Slamet akan meletus! Aku jadi ingat beberapa dusun yanh kudatangi bersama Puyang Purwataka. Rasanya tidak tega jika kampung-kampung miskin dan sakit itu turut menjadi korban. Terbayang banyaknya tua renta tinggal di lereng itu.

“Mengapa engkau harus risau Cucuku. Kita serahkan saja pada yang Maha Kuasa, yang Maha mengatur hidup kita. Yang penting adalah, tingkatkan iman rajinlah beribadah. Karena hanya itu yang dapat menyelamatkan kita baik di dunia mau pun akhirat. Alam akan menyeleksi itu semua. Biarlah alam bekerja dengan kodratnya masing-masing” Puyang Purwataka mengajakku berdialog dengan batin. Aku menatap Eyang Purwataka yang tersenyum sambil mengangguk kecil.

Aku jadi ingat, suatu kali Puyang Pekik Nyaring pernah berkata sembari menasehati aku. Bencana alam umumnya adalah bentuk kemarahan alam yang disebabkan ulah manusia. Manusia kadang lupa mensyukuri nikmat yang telah alam berikan. Gunung berapi enggan memuntahkan laharnya, air bandang enggan mengalirkan airnya, gempa bumi enggan menggeserkan lempeng buminya, tatkala masih ada bayi yang menangis dan menetek pada ibunya, serta orang tua renta yang masih khusuk dengan ibadahnya. Darahku berdesir kala ingat itu. Ingin rasanya kusuarakan agar seisi bumi ini mendengar pesan itu.

Bersambung..
close