Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 2)


JEJAKMISTERI - "Sasa, Nak. Kamu di mana?" 
Bergetar suara Wiwik, memanggil-manggil nama Sasa, putrinya.

Tak ada sahutan. Hening dan begitu dingin, saat itu di rasakan Wiwik.
Ia terdiam, mengedarkan pandanganya, mengelilingi sekitaran tempatnya berdiri.

"Ibu, Sasa di sini."
Tersentak Wiwik, ketika baru akan melangkah mendengar suara lirih Sasa, seperti begitu dekat, atau seolah di sampingnya. 
Namun, ketika ia memalingkan kepalanya, tak ada apapun, tak ada siapapun.

Wiwik mulai melangkah, memanggil, mengulang, dan terus menerus tanpa lelah. Hingga sampai di satu titik jalan bersimpang, langkahnya baru terhenti.
Ia tertegun, saat mendengar suara ramai anak-anak tertawa riang di sisi sebelah kanan ia berdiri. Di balik sebuah gerbang tak berpintu, bertanda dua pilar batu bersusun menguncup.

Sejenak Wiwik ragu, saat mengharuskan kakinya menapak tujuh tangga berbatu, sebagai jalan masuk ke gerbang. 
Tapi demi niatnya mencari Sasa, ia memantapkan diri.

Sesampainya Wiwik di gerbang, ia terbengong. Mendapati tempat yang jelas-jelas ia dengar ramai suara anak-anak, terlihat kosong. Hanya tumpukan batu-batu besar dan sebuah lorong panjang terlihat di mata Wiwik. Sebentar Wiwik berpikir, sebelum membalikan tubuhnya dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Namun urung, sebab baru dua langkah Wiwik melangkah, ia di kejutkan sebuah suara tangisan.

"Ibu... Ibu...."

Lirih, namun terdengar jelas di telinga Wiwik, suara Sasa memanggil di sela-sela tangisannya.

"Sasa, Kamu di mana? ini Ibu." sahut Wiwik, seraya kembali masuk ke dalam Gerbang.

Kali ini tubuh Wiwik seketika kaku. Matanya melotot, mendapati pemandangan memilukan di dalam gerbang, tepanya, di jalan lorong memanjang, tubuh kecil putrinya, Sasa, tengah di seret paksa sesosok perempuan tua berambut acak-acakan.

Saat itu juga, dengan nalurinya sebagai seorang ibu, Wiwik berlari mengejar, sambil berteriak memanggil. Akan tetapi, semakin ia kencang mengejar, semakin cepat pula, sosok perempuan itu menyeret tubuh Sasa.

Wiwik tak menyerah, ia masih terus berusaha untuk mengejar, menyusuri lorong redup nan lembab, meski berkali-kali ia harus terjatuh, namun tak menyurutkan tekatnya. 

Sampai beberapa saat kemudian, Wiwik berhenti, saat sosok tua dan putrinya, Sasa, berhenti di sebuah pintu besar penuh ukiran. Jerit histeris Wiwik spontan tak terbendung, manakala mendapati kondisi Sasa berlumuran darah. Bahkan, tubuh Wiwik menggigil dan jatuh tersimpuh, melihat wajah Sasa yang sudah tak bermata.

***

"Sasa....!" 

Wiwik kembali menjerit histeris. 
Namun, kali ini, bukan kengerian wujud sosok wanita tua dan Sasa anaknya yang ia lihat, melainkan kerumunan orang-orang yang sebagian ia kenal, juga tengah menatapnya penuh kesedihan.
"Ada apa? di mana Sasa, Buk?" Wiwik yang baru tersadar, terlihat bingung, dan mencoba bertanya pada salah satu Guru yang berada di sampingnya.

Sang guru yang berkerudung hijau, hanya menunduk sambil terisak. Bibirnya seolah terkunci untuk menjawab pertanyaan Wiwik.
Sampai beberapa saat kemudian, suasana kembali riuh dengan suara dari beberapa lelaki berseragam menggunakan pengeras, di susul jeritan dan teriakan, saat sebujur tubuh kecil membiru, di angkat dari puseran air yang memutar.

Wiwik terpaku, bibirnya bergetar, matanya tak berkedip menatap tubuh kecil yang basah kuyup dengan rambut terjuntai. Sekilas rasa tak percaya menggurat di wajahnya, sebelum benar-benar melihat dengan jelas, wajah pucat membiru yang sangat ia hafal.

"Tidak... Tidak mungkin...!" gumam Wiwik lirih.
Perlahan tubuhnya bangkit, mengabaikan rasa sakit dan linu yang mendera, menolak beberapa tangan yang mencoba menahannya, demi memastikan dan berharap jika apa yang ia lihat bukan suatu kenyataan. Namun, ketika tinggal beberapa langkah lagi ia sampai pada tubuh kecil membujur kaku, kakinya sudah tak mampu lagi menopang tubuhnya. Wiwik jatuh tersimpuh, nafasnya tersengal, tubuhnya sedingin bongkahan Es, ketika yakin tubuh kecil tanpa nafas di depannya, adalah Sasa, putrinya.

Dunia di rasa Wiwik seolah berhenti berputar. Tangisannya tak lagi bersuara, meski air mata masih deras mengalir, saat mendampingi mayat putrinya dalam perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah, suara tangisan kembali pecah bersahut-sahutan. Menggambarkan duka mendalam dari semua keluarga, tetangga, kerabat, serta teman-temanya. Melihat tubuh kecil berwajah imut yang begitu ceria saat berangkat, namun kembali hanya tinggal nama dan tubuh yang membujur kaku, pucat tak bernyawa.

Wiwik yang sudah terkuras semuanya, kembali menangis histeris sambil menghambur, memeluk kaki Mbah Han, yang berdiri mematung di dalam ruang tamu. Berkali-kali di sela tangisannya ia meminta maaf. Tapi, tampak sekali wajah Mbah Han saat itu berbeda. Ia hanya diam, tatapanya kosong tertuju pada tubuh pucat tak bernyawa Cucunya, yang sedang di bopong masuk. Bahkan, Mbah Han seolah tak mendengar, menganggap ada Wiwik yang masih meraung di kakinya.

"Maafkan, Wiwik Pak. Maafkan...." Untuk kesekian kalinya, Wiwik meminta maaf. Dan kali ini terlihat kepala Mbah Han sedikit merunduk.
"Iki ora Kabeh salahmu. Seng kudu di salahke iku Bojomu!" (Ini tidak semua salahmu. Yang harus di salahkan itu Suamimu)" Mbah Han menyahuti ucapan Wiwik dengan suara lirih dan bergetar. 

Ketika itu, Wiwik yang mendengar ucapan Mbah Han menyalahkan suaminya, ia anggap sebuah kekesalan saat Zul, suaminya mengijinkan dirinya dan Sasa ikut bertamasya. Akan tetapi, anggapan itu salah. Manakala Zul, yang memang biasa pulang larut malam, tiba-tiba muncul sambil menenteng tas kecil dari pintu depan. Raut wajah Zul yang sudah di penuhi kesedihan mendalam, sejenak tertegun menatap Wiwik yang masih tersimpuh di kaki  Mbah Han, Bapaknya. Namun, bukan itu yang membuat Zul, menunda melihat jasad putrinya, melainkan wajah penuh amarah Mbah Han, yang tengah menatapnya sengit penuh kebencian.

Perlahan Zul melangkah dan mendekat ke arah Wiwik dan Mbah Han, pikirannya bercampur aduk, antara sedih dan takut. Hingga sesampainya ia di depan Mbah Han, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya.

"Iki seng tok karepke! Kae... Kae deloken Sasa! Arep tanggung jawab opo koe Saiki" (Ini yang kamu inginkan! Itu... Itu lihatlah Sasa! Mau tanggung jawab apa Kamu sekarang!)" 
Keras dan tegas suara Mbah Han, setelah tangannya menampar Zul. 
Wiwik sendiri yang menyaksikan itu, terkejut dengan apa yang di lakukan Mbah Han pada Zul. Ia tak menyangka Mbah Han bisa semarah itu pada suaminya. Tapi, di balik itu, Wiwik merasa ada sesuatu antara Zul dan Mbah Han, yang tak dirinya ketahui.

Hampir saja Zul kembali menjadi sasaran kemarahan Mbah Han, kalau saja tak segera di sadarkan beberapa orang kerabat dan salah seorang pemuka agama, jika tengah dalam keadaan berduka. Bahkan, jasad Sasa sendiri saat itu belum sama sekali terurus, sehinggga membuat Mbah Han, seketika menahan letupan amarah yang seperti sudah memuncak.

Malam itu juga, tepatnya setelah waktu 'Isya', Sasa di kuburkan. Dari sekian banyak pelayat, dan kerabat yang ikut membantu proses pemakaman Sasa. Hanya Mbah Han, dan Mbah Malik, pemuka agama di desa itu, yang mengetahui jasad asli Sasa. Di mana, ketika Mbah Han untuk terakhir kalinya membuka kafan penutup tubuh Sasa, sebelum di bawa ke liang lahat, terlihat buru-buru menutup kembali kain kafan itu. Raut wajahnya berubah aneh, seolah ada kengerian yang ia lihat. 

Sempat ingin menanyakan hal itu pada Mbah Malik yang berada di dekatnya. Tapi urung, sebab Mbah Malik seperti tau apa yang ingin di katakanya, sehingga langsung memberinya sebuah isyarat gelengan kepala, sambil berkata pelan.

"Cukup Dewe seng weroh, Mbah. Ojo sampek wong liyo melu ngerti. Mulo ayo ndang di kubur ae." (Cukup kita berdua yang tau, Mbah. Jangan sampai orang lain ikut tau. Makanya ayo segera di kuburkan saja.)" Ucap Mbah Malik, sebelum ia memimpin Do'a dan acara pelepasan jenazah Sasa terakhir kalinya...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close