Berburu Di Hutan Kopi (Part 2)
JEJAKMISTERI - Sejenak kualihkan pandanganku, sambil berusaha mengatur degup jantungku yang tak beraturan. Sungguh, tatapan serta senyuman (atau seringaian?) si nenek tua tadi nyaris membuat jantungku terlepas dari tempatnya. Namun rasa penasaran kembali memaksaku untuk mendekatkan mataku ke lensa scope, dan menyapu area dimana si nenek tua tadi berada.
Nihil! Sosok yang kucari itu ternyata telah lenyap kini. Benar benar lenyap bagai ditelan lebatnya rimbunan tanaman kopi. Aneh! Ini benar benar aneh! Seingatku hanya sepersekian detik tadi mataku teralihkan dari lensa scope. Mustahil nenek tua itu bisa menghilang dengan begitu cepat.
"Aneh," gumamku sambil pelan pelan beranjak dari tempatku berdiri. Matahari sudah naik semakin tinggi. Akupun lalu memutuskan untuk kembali ke rumah warga yang menjadi basecamp kami. Warga yang sama yang mengundang kami untuk membantu mereka membasmi babi hutan yang merupakan hama utama di perkebunan kopi ini.
Langkah kakiku terasa berat, meski jalur menuju ke desa cenderung menurun. Seolah ada yang menahan langkahku dan tak mengharapkan aku meninggalkan tempat ini. Ah, mungkin ini hanya faktor lelah setelah tadi menempuh perjalanan yang lumayan berat, batinku mencoba untuk tetap berpikir positif.
Baru beberapa tindak aku berjalan, langkahku terhenti saat tiba tiba kudengar samar samar suara kecipak air yang ditingkahi suara senandung dari arah sebelah kiriku. Siapa yang mandi di tengah hutan begini? Pakai acara nyanyi nyanyi segala? Jangan jangan...
Naluriku sebagai seorang pemburu bekerja dengan cepat. Refleks tanganku mencabut pisau yang terselip di pinggangku, lalu menghunusnya sambil mengendap endap ke arah asal suara itu. Semakin lama suara senandung dan kecipak air itu semakin jelas terdengar. Lalu saat kusibak rumpun semak yang menghalangi pandanganku....
"'Cuk!" aku mengumpat sejadi jadinya saat mendapati si Junior tengah asyik berendam di sebuah mata air yang membentuk kolam alami di tengah tengah rimbunan tanaman kopi itu.
"Lah, ngapain sampeyan disitu Mas? Ngintipin aku lagi mandi ya?" seru Junior yang sepertinya juga kaget melihat kedaranganku.
"Ngintip matamu!" dengusku kesal. "Lagian kamu juga ngapain mandi di tempat seperti ini? Pakai acara nyanyi nyanyi segala kayak anak perawan! Kukira tadi suara kunti!"
"Hahaha...!!! Ternyata sampeyan masih takut juga ya sama kunti!" Junior tergelak.
"'Cuk!" kembali aku mengumpat, sambil berbalik dan bermaksud untuk melanjutkan perjalananku.
"Lho, mau kemana Mas?" seru Junior.
"Balik!" sahutku ketus.
"Woy! Kalau mau balik ke desa ke arah sana Mas. Kalau kesitu jurang!"
"Blaik!" refleks aku menahan langkahku, karena apa yang dikatakan oleh Junior itu ternyata benar. Di hadapanku kini menganga mulut jurang yang nampaknya lumayan dalam. Sedikit saja tadi aku terlambat menahan langkah, entah apa jadinya. Rumpun rumpun semak yang lebat menjadi kamuflase yang sangat sempurna untuk tempat bersembunyi mulut jurang itu.
"Tadinya aku mau mengecek apakah jurang ini dalam atau tidak! Tapi karena mulutmu terlalu bawel kayak mulut perempuan, mending nggak jadi aja deh," ujarku asal sambil berbalik dan berjalan ke arah yang benar, arah menuju desa yang tadi ditunjukkan oleh Junior. Bisa habis menjadi bahan ejekan kalau anak itu sampai tau aku sudah keder dan tak ingat jalan kembali ke desa lagi, padahal hari masih siang.
Sampai di desa, kami lalu mengisi perut dan beristirahat sejenak, sebelum kembali untuk melakukan survey lokasi. Ini pertamakalinya kami berburu di tempat ini. Jadi penting untuk mengenali medan sebelum malam nanti kami melaksanakan tugas kami yang sebanarnya. Persiapanpun kami lakukan dengan sebaik mungkin.
Rompi US army KW yang aku kenakan dengan pistol airgun yang terselip di dada, serta senapan serta sepatu dan topi benar benar membuatku merasa menjadi seorang tentara, kenginan yang sejak lama aku aku dambakan namun tak pernah kesampaian.
Sedangkan Pak Hadi, membawa senapan Sniper asli dengan peluru yang juga asli. Luar biasa. Eks tentara memang jos gandhos. Mas Dedy sendiri, yang sudah dikenal sebagai pemburu profesional diantara kami, justru tampil kalem.
Dengan motor trail yang sudah disiapkan oleh penduduk desa, kami lalu berpencar, setelah sebelumnya mendapat sedikit pengarahan dan juga peringatan, karena sebelumnya pernah ada pemburu bandel yang timah panasnya tak sengaja mengenai rumah warga. Beruntung tak sampai makan korban.
Kami berpencar, dengan masing masing dibekali pesawat HT untuk berkomunikasi, kecuali si Junior yang selalu mengintili Mas Dedy kemanapun ia pergi. Aku menaiki gundukan tanah yang menyerupai bukit, lalu menyapukan teropongku ke segala arah. Kulihat Junior sedikit kepayahan mengikuti Mas Dedy menyusuri medan. Dengan sabar Mas Dedy sesekali membatu anak itu.
"Tinggal aja tuh Junior kalau nyusahin Mas," ledekku melalui pesawat HT, yang hanya disahuti dengan tawa oleh Mas Dedy.
Aku kembali menyapukan teropongku ke arah lain, dimana nampak Pak Hadi telah menemukan calon buruannya. Laki laki itu membidik. Namun tembakannya meleset. Babi hutan itu kabur entah kemana. Ah, sepertinya kemampuan mantan militer itu sudah mulai berkurang.
Aku lalu menurunkan teropongku, dan bermaksud kembali ke motor trailku yang kuparkir tak jauh dari tempatku berdiri. Ngapain juga aku ikut survey, toh tadi aku sudah sempat menjelajah tempat ini, pikirku sambil berbalik, dan...
"Djanc*k!" kembali jantungku nyaris dibuat copot saat menyadari bahwa seseorang telah berdiri di hadapanku. Si nenek misterius dengan senyumnya yang juga misterius itu.
"Berburu babi hutan?" sapa nenek itu sambil melirik senapan yang kusandang.
"Eh, i..., iya Nek," sahutku gugup sambil berusaha menyembunyikan rasa keterkejutanku.
"Oh, terimakasih ya, sudah mau membantu warga desa membasmi hewan perusak itu," ujar nenek itu lagi.
"I..., iya nek."
"Bawa air minum? Nenek haus," perempuan tua itu melirik ranselku. Dengan tangan sedikit gemetar kukeluarkan botol air dari dari dalam ransel dan kuberikan kepadanya. Nenek itu meneguknya sampai habis hampir setengah, lalu mengembalikan botol itu kepadaku, dan berlalu begitu saja, tanpa mengucap sepatah katapun. Kupandangi kepergian nenek itu dengan tatapan penuh rasa heran. Nenek setua itu, begitu lincah dan gesit menapaki area perkebunan dengan kontur tanah yang naik turun menyerupai perbukitan itu. Langkahnya begitu ringan dan cepat, hingga dalam sekejap bayangannyapun telah menghilang dibalik lebatnya hutan.
"Benar benar misterius," gumamku sambil kembali menyapu area di sekitarku dengan teropongku. Tak satupun babi hutan yang menjadi target utama kami yang menampakkan batang hidungnya. Lensa teropongku hanya menangkap seekor burung dara yang tengah bertengger diatas dahan.
"Burung dara?" gumamku heran, sambil menyiapkan senapanku. "Aneh kalau ada burung dara ditengah belantara seperti ini."
Merasa janggal, aku urung membidik binatang itu.
"Woy! Napa bengong! Kesambet baru tau rasa!" seruan Junior mengagetkanku. Heran! Sejak kapan mereka sampai di tempat ini? Aku bahkan tak mendengar suara mesin trail mereka.
"Dapat apa?" tanyaku menutupi keterkejutanku.
"Cuma ini," Junior menunjukkan beberapa butir telur ayam hutan yang dibawanya.
"Serius masih ada ayam hutan di tempat seperti ini?" tanyaku lagi.
"Lha ini buktinya," Junior memamerkan telur telur yang dibawanya itu.
"Sudah sore! Lebih baik kita kembali kedesa dulu," sela Pak Hadi. "Kita masih butuh persiapan untuk aksi kita nanti malam."
Kamipun kembali turun ke desa. Sambil menunggu malam datang kami kembali mengecek semua persiapan. Senapan beserta amunisinya, teropong malam, senter dan pesawat HT yang telah terisi daya full, juga tak lupa persiapan logistik. Sedikit makanan dan air minum sangat diperlukan.
Ingat dengan hal itu, aku lalu mengeluarkan botol air minumku yang isinya tinggal setengah setelah kubagi dengan si nenek misterius tadi siang.
"Lho, kok masih penuh?" gumamku tanpa sadar.
"Kenapa Mas?" Junior yang melihat aku kebingungan bertanya.
"Ini, botol air minum perasaan tadi isinya tinggal setengah, kok sekarang jadi penuh lagi?"
"Wah, sudah mulai pikun sepertinya. Masa bekal sendiri bisa lupa!" ledek Junior.
"Pikun dhengkulmu!" dengusku kesal.
Meski merasa aneh, akhirnya kusimpan kembali botol itu. Mungkin memang aku yang lupa tadi telah mengisi kembali botol itu, lagi lagi aku mencoba untuk berpikir positif.
Setelah semua siap, kamipun berangkat menuju spot dengan motor trail. Sampai tujuan kami lalu mempersiapkan senapan senapan kami.
"Peralatan lengkap, plus dandanan keren, kalau sampai nggak dapat aku sikap ya kamu," sindir Pak Hadi. Memang, diantara kami akulah yang penampilannya paling keren.
"Haha, biar kayak kopassus gitu lho Pak! Dulu kan pengen banget masuk militer, tapi nggak kesampaian," gurauku.
Kamipun lalu berpencar. Gelap menyambutku saat aku memasuki area hutan. Sejauh mata memandang, tak ada setitikpun cahaya yang terlihat. Benar benar seperti di negeri antah berantah.
Namun bagi seorang pemburu, gelap bukanlah halangan. Naluriku yang tajam akhirnya menemukan juga mangsa yang kami cari. Seekor babi hutan nampak samar di kejauhan. Tak mau membuang waktu akupun segera membidik.
"Jreeeetttt!"
Senapan anginku menyalak. Timah panaspun melesat. Aku yakin, bidikanku tak meleset. Namun yang terjadi sungguh diluar dugaan. Peluru khusus yang biasanya sanggup menembus batok kepala gajah itu justru mental saat mengenai sasaran.
"Djanc*k!" desisku, saat melihat reaksi babi hutan yang sepertinya meledekku itu. Binatang itu hanya menoleh sekilas ke arahku, lalu merebahkan tubuhnya. Tidur!
"Wedhus!" kesal aku lalu mengeluarkan pistol air gun dan kembali membidik.
"Dor!"
"Djanc*k!" lagi lagi aku mengumpat, saat peluru yang kutembakkan kembali mental, dan binatang itu sama sekali tak bereaksi.
"Ah, setan!" baru aku sadar, kalau peluru senapanku saja tak mempan, apalagi air gun!
Sadar akan hal itu, akupun memilih untuk mudur pelan pelan, daripada nanti justru aku yang menjadi buruan binatang itu. Setelah berhasil menjauh, aku kembali menyapu area itu dengan teropong malam. Kiri, kanan, depan, dan, dapat!
Sekilas nampak kilatan sepasang mata binatang. Pelan aku mengendap untuk mendekat, karena aku belum tau pasti binatang apa itu. Sambil berjalan mengendap, tanganku kembali mempersiapkan senjataku, dengan mata masih tertuju kearah mangsaku. Semakin lama semakin dekat dan semakin jelas, hingga aku manyadari bahwa yang aku lihat itu adalah....
"Astaghfirullah....!!!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya