Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berburu Di Hutan Kopi (Part 3)


JEJAKMISTERI - "Astaghfirullah...!" tanpa sadar aku mendesis, saat mendapati seekor musang yang berukuran sangat besar. Benar benar besar, diatas rata rata ukuran musang yang selama ini pernah kulihat.

Segera aku mengendap dan membidik. Satu tembakan telak mengenai tubuhnya. Tapi rupanya musang itu cukup tangguh. Binatang itu masih sempat lari sampai beberapa meter sebelum akhirnya menggelepar di semak semak.

Kudekati binatang malang itu, lalu kuakhiri penderitaannya dengan satu tembakan pistol airgun tepat di kepalanya. Mati!

"Ah, lumayan," kubungkus tubuh binatang malang itu dengan plastik lalu kumasukkan kedalam tas khusus yang sudah kupersiapkan. Aku lalu kembali menyapu area disekitarku dengan bantuan teropong malam. Suara burung hantu menarik perhatianku. Kuarahkan teropongku ke asal suara itu. Dapat! Burung itu bertengger diatas dahan tak begitu jauh dari tempatku. Segera kubidik binatang itu. Tapi kali ini nasib baik tak memihakku. Tembakanku meleset, karena hampir bersamaan dengan aku menarik pelatuk, burung itu terbang dan hinggap di dahan lain yang letaknya lebih jauh dari tempatku.

Penasaran aku kembali membidik dan meelepaskan tembakan. Namun lagi lagi sial. Peluru rak mau keluar. Cuk!, ternyata aku lupa mengisi ulang peluru! Buru buru aku mereload senapanku dan kembali membidik, tapi dengan cepat burung itu kembali menghindar. Aku isi lagi senapanku dan kembali membidik. Meleset lagi. Isi lagi. Membidik lagi. Dan lagi lagi meleset. Entah sampai berapa kali burung itu mempermainkanku, sampai aku nggak sadar kalau burung itu telah menuntunku semakin jauh masuk kedalam hutan.

"Met...! Met...!" suara dari pesawat HT mengejutkanku.

Sinar senter dari arah belakang memaksaku untuk menoleh. Nampak Mas Dedy dan Junior dibelakangku.

"Tahan Met! Mundur pelan pelan!" kata Mas Dedy.

Mas Dedy seorang pemburu senior. Dan kata kata itu diucapkan dengan nada sangat serius. Tak ada alasan bagiku untuk membantahnya. Kuikuti saja instruksinya itu. Pelan pelan aku mundur mendekat ke arah mereka.

"Tuk!" Mas Dedy menjitak dahiku. Lumayan keras.

"Eh, sakit Mas," seruku.

"Kamu nggak sedang kesurupan kan?"

"Kesurupan?!"

"Kamu nggak sadar kalau barusan kamu nyaris dibawa ke alam kubur sama tuh burung?"

"Eh?"

"Masih belum mengerti juga? Ini jebakan Met! Burung itu berusaha menjebakmu!"

"Jebakan? Masa iya burung bisa...."

"Matamu sudah benar benar buta rupanya! Lihat!" Mas Dedy mengarahkan senternya ke tempat aku tadi berdiri sambil membidik burung buruanku itu.

"Jiangkrik!" seruku saat menyadari bahwa kalau saja tadi aku maju selangkah saja, jurang yang menganga gelap sudah pasti akan menelanku. Kesal, kubidik lagi burung yang masih kelihatan bertengger di dahan itu dengan pistolku. Namun lagi lagi burung itu berhasil kabur.

"As*!" sungutku kesal.

"Sudah! Balik yuk," ajak Mas Dedy.

Kamipun kembali ke tempat dimana kami memarkirkan trail kami. Seekor luwak nampak telah berhasilas Dedy dapatkan. Namun nalurinya sebagai seorang pemburu kawakan tak akan bisa terpuaskan oleh seekor luwak. Saat tengah menyeberangi sungai, laki laki itu tiba tiba menghentikan langkahnya, menyapukan cahaya senter ke suatu arah, lalu senapannya menyalak. Kembali seekor luwak menambah koleksinya. Aku sampai berdecak kagum melihat aksinya itu. Meski usianya sudah lebih dari empat puluh, tapi matanya masih sangat awas dengan keadaan.

"Lumayan, bisa buat tambahan makan malam," ujarnya sambil memungut luwak itu dan memasukkannya kedalam tas khususnya. Kami kembali berjalan. Dan baru beberapa langkah, suara letusan senjata mengejutkan kami. Jelas, dari suaranya itu senjata milik Pak Hadi. Pasti tangkapan besar, pikirku.

Tak lama pesawat HT mendesis. Suara Pak Hadi terdengar meminta bantuan. "Tangkapan besar!" katanya melalui pesawat komunikasi jarak jauh itu. Kami lalu saling meniup peluit untuk mengetahui posisi Pak Hadi.

Mataku terbelalak seketika, saat kami sampai di tempat Pak Hadi berada. Seekor babi hutan sebesar anak sapi telah tergeletak tak bernyawa. Berempat kami lalu saling bahu membahu membuat tandu sederhana untuk menggotong hasil tangkapan besar itu. Dengan sedikit bersusah payah kami akhirnya berhasil membawa tangkapan besar itu ke tempat kami memarkirkan motor. Kamipun lantas beristirahat sejenak.

"Dapat apa kamu Met?" tanya Pak Hadi sambil memijit mijit punggungnya. Sepertinya encoknya mulai kumat setelah tadi berjibaku dengan babi hutan itu.

"Musang Pak," kupamerkan hasil yang kudapat malam ini. "Mas Dedy dapat dua luwak."

"Kamu?" Pak Hadi menoleh ke arah Junior. Junior hanya diam, sementara Mas Dedy tak bisa menahan tawanya lagi.

"Hahaha! Dia cuma dapat kumbang pohon! Itupun dari hasil memanjat, bukan menembak!" ujar Mas Dedy.

"Wah, payah kamu! Apa apaan berburu kok manjat, bukannya nembak!" ledekku.

"Yang penting kan dapat Mas," Junior membela diri.

"Payah!"

"Heleh! Kayak kamu enggak aja Met! Nggak ingat apa dulu kamu beberapa kali ikut aku, nggak pernah dapat malah cuma nyusahin! Biasa berburu di sawah ya gitu!" Pak Hadi meledekku.

"Lha kan aku nggak pernah ke medan yang kayak gini Pak."

"Heleh! Bacot!"

Serempak kami tertawa.

Setelah puas beristirahat, Pak Hadi lalu turun ke desa bersama Junior, untuk meminta bantuan warga membawa babi buruan kami turun. Sedang aku dan Mas Dedy tinggal untuk menjaga hasil buruan kami. Sambil menikmati pemandangan malam, kami terus mengobrol, sambil sesekali menikmati bekal kami. Keju lembaran yang kubawa cukup lumayan untuk sekedar pengganjal perut yang mulai terasa lapar.

Tengah asyik mengobrol, tiba tiba angin behembus lumayan kencang dari arah belakangku, menerpa tengkukku hingga terasa merinding. Mas Dedy yang duduk berhadapan denganku segera melempar bungkus keju yang dipegangnya, lalu berdoa melantunkan ayat kursi. Entah apa yang membuatnya takut dan melotot ke arahku, (atau arah belakangku?) aku mencoba menoleh ke belakang, namun Mas Dedy menahannya dengan sebuah isyarat sambil terus membaca doa doa dengan suara yang makin kencang. Suaranya bergetar. Wajahnya berkeringat. Ia lalu memejamkan matanya sambil terus membaca doa doa.

Pelan pelan tiupan anginpun mereda, bersamaan denga Mas Dedy yang kembali membuka matanya dan menyeka keringat di wajahnya. Laki laki itu hanya membisu saat kutanyakan apa yang terjadi sebenarnya, dan malah kembali asyik menikmati kejunya, sampai setitik cahya menyorot ke arah kami dan deru raungan knalpot motor mendekat ke arah kami, aku belum mendapat kejelasan tentang apa sebenarnya yang tadi dilihat oleh Mas Dedy.

Warga telah datang dengan ojek gunung. Aku segera membantunya menaikkan babi hasil buruan kami itu, lalu mengikutinya dari belakang menuju ke arah desa.

Kedatangan kami disambut meriah, karena berhasil mendapat buruan besar plus dua ekor luwak dan seekor musang. Sampai di desa, Pak Hadi segera membawa babi hasil tangkapannya ke belakang rumah. Entah apa yang akan dilakukannya dengan babi sebesar itu. Aku sendiri bersama Mas Dedy sibuk menguliti dan memotong motong daging luwak serta musang hasil tangkapan kami.

Sambil bekerja aku yang masih penasaran mencoba kembali bertanya kepada Mas Dedy tentang apa yang kami alami dihutan barusan. Namun lagi lagi Mas Dedy lebih memilih untuk diam.

"Beneran kamu nggak melihatnya Met? Sangat menyeramkan lho," hanya itu yang diucapakn oleh Mas Dedy.
Ya sudahlah. Mungkin Mas Dedy punya alasan tersendiri hingga tak mau bercerita. Aku lalu fokus pada daging yang sudah siap masak ini. Anak perempuan dari si pemilik rumah datang membantu. Seorang gadis desa dengan kecantikan yang khas dan usia yang sudah matang sukses membuat mataku enggan untuk berkedip.

"Ini biar saya saja yang masak ya Mas, Mas istirahat aja dulu," kata gadis itu, sebut saja namanya Annisa, dengan suaranya yang terdengar sangat merdu di telingaku.

"Iya Mbak," jawabku.

"Jangan panggil Mbak, panggil aja Nisa Mas."

"Iya Nisa Mas," kataku lagi mencoba sedikit ngebanyol.

"Iiihhhh..., Nisa. Nggak pake Mas dibelakangnya," gadis itu memasang wajah cemberut lalu beranjak menjauh dariku. Ekor mataku masih sempat melirik tangan gadis itu yang begitu luwes meracik bumbu. Rasa kagum mulai tumbuh di hatiku....

"Udah siap nikah lagi?" tanya Mas Dedy seolah bisa membaca pikiranku. Aku hanya tersenyum kecut.

"Sudah dua tahun semenjak istrimu meninggal, kurasa sudah waktunya untuk...."

"Ah, nanti kupikir pikir dulu Mas," cepat kupotong ucapan Mas Dedy itu.

"Met, semenjak istrimu meninggal, kuperhatikan kamu tuh kayak orang linglung. Masa lalu, cukup kamu jadikan pelajaran aja Met. Dan sudah waktunya kamu memulai lembaran hidup yang baru," ujar Mas Dedy lagi.

"Aku merasa belum siap Mas, sampai detik ini aku masih sering terbayang istri sama anakku!"

"Yach..., yang namanya kehilangan itu memang nggak enak Met. Apalagi kehilangan orang orang yang paling kita sayang."

Kembali aku hanya bisa tersenyum kecut, mengingat almarhumah istri dan anakku membuat hati ini kembali merasa sakit. Tapi benar kata mas Dedy, aku nggak boleh berlarut larut.

"Kalau mau nanti aku kenalin. Kayaknya Annisa cocok buat kamu," bisik Mas Dedy lagi.

Tak kuhiraukan kata kata laki laki itu. Aku justru menghampiri Pak Hadi yang tengah sibuk memasukkan potongan potongan daging celeng kedalam freezer.

"Emang mau buat apa daging celeng sebanyak ini Pak?" tanyaku.

"Ada kok yang beli di sekitaran sana," Pak Hadi menyebutkan salah satu nama daerah yang sangat familiar di telingaku, membuatku merasa mual tiba tiba.

"Jangan bercanda Pak! Aku lumayan sering jajan cilok disana," kataku. Tak terbayang kalau cilok yang biasa kubeli dan kumakan itu ternyata....

"Memang wajahku ini terlihat sedang bercanda?"

Aku semakin mual mendengarnya. Jadi benar kalau...., ah, aku tak mau membahas lebih lanjut.

"Mana Junior Pak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Tadi diminta buat nemenin ambil air di sumber kalau nggak salah," jawab Pak Hadi.

"Siapa yang minta Mas?" si pemilik rumah, yang juga adalah adik dari Pak Hadi dan ayahnya Annisa, bertanya.

"Itu lho, anaknya Pak Kliwon," jawab Pak Hadi.

"Si Aini?!"

"Iya."

"Astaghfirullah, sampeyan serius Mas?"

"Lha memang kenapa to?"

"Aini itu sudah meninggal lima tahun yang lalu Mas!"

"Yang bener?"

"Iya Mas. Dan Pak Kliwon serta istrinya juga sudah meninggal dua tahun yang lalu!"

"Jangan bercanda kamu ya," Pak Hadi terlihat gusar. "Aku memang sudah lama tidak datang kemari, tapi...."

"Aku tidak bercanda Mas!" ujar si pemilik rumah yang segera dibenarkan oleh salah seorang penduduk yang mendengar percakapan itu.

"Innalillahi! Jadi Junior tadi...." pekik Pak Hadi dengan nada cemas. Sorot matanya jelas menampakkan kekhawatiran yang teramat sangat, mengingat si Junior memang masih benar benar seorang junior yang sama sekali belum tahu menahu soal seluk beluk hutan.

"Kita cari Mas!"

Sontak suasana menjadi gaduh. Aku segera mengenakan rompiku kembali dan mempersiapkan peralatan seperti saat berburu tadi. Pencarianpun segera dilakukan, sementara para wanita ditahan dirumah. Aku bersama Mas Dedy langsung menuju ke sumber mata air. Tapi tak ada Junior disana.

"Gimana nih Mas?" tanyaku cemas.

Alih alih menjawab, Mas Dedy justru meniup peluitnya, yang segera mendapat balasan dari segala arah. Tanda bahwa para pencari telah berpencar. Beberapa kali Mas Dedy mengulang meniup peluitnya, dan jawaban yang sama.

"Kita juga berpencar Mas," ujarku sambil berbalik dan mengambil arah ke kiri. Namun naas, aku justru terpeleset dan jatuh terguling.

"Meeettt...!!!" masih sempat kudengar teriakan Mas Dedy yang mencoba untuk menolongku. Namun terlambat. Tubuhku telah menggelinding kebawah dan berguling guling beberapa kali sebelum tersangkut di akar pohon. Remuk terasa sekujur tubuhku, ditambah rasa pusing yang teramat sangat dan mata yang berkunang kunang membuatku benar benar tak berdaya. Pelan namun pasti kesadaranku mulai memudar. Namun masih sempat kulihat sesosok bayangan yang mendekat ke arahku, sebelum semuanya benar benar terlihat gelap...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close