Berburu Di Hutan Kopi (Part 4)
JEJAKMISTERI - "Arrgghhh...!!!" aku mengerang lirih saat berusaha bergerak dan merasakan sakit di sekujur tubuhku. Pelan kubuka mataku, dan yang bisa kulihat hanyalah kegelapan.
"Dimana ini?" gumamku sambil tanganku meraba raba mencari senterku. Seingatku tadi aku sedang bersama Mas Dedy di sumber mata air untuk mencari Junior yang hilang, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk berpencar dan aku terpeleset jatuh ke dalam jurang.
Nasib baik aku masih sempat tersangkut di sebuah akar, hinnga tubuhku tak sampai terhempas ke dasar jurang. Dan aku juga masih ingat, sebelum kesadaranku benar benar hilang, masih sempat kulihat sesosok bayangan hitam yang mendekat ke arahku.
Sosok itukah yang telah menyelamatkanku? Tapi siapa? Dan dimana ia sekarang? Segera kunyalakan senter yang telah kutemukan, lalu kuarahkan sinarnya ke segala arah. Hanya lebatnya pepohonan yang terlihat. Juga tebing yang menjulang tinggi di sebelah kiriku. Ini berarti aku berada di dasar jurang.
Sekali lagi aku menerangi area di sekitarku. Peralatan dan perbekalanku nampak berceceran diantara dedaunan kering yang berserakan diatas tanah. Segera kubereskan benda benda itu. Senapan kusandang di bahu. Pesawat HT alhamdulillah masih bisa digunakan.
Kucoba untuk menghubungi rekan rekanku yang tadi ikut melakukan pencarian dengan pesawat HT itu. Namun tak ada jawaban. Kuulangi sampai beberapa kali sambil sesekali mereset frekwensi. Namun hasilnya tetap saja nihil. Hanya suara gemerisik yang terdengar. Peluit yang kutiup berulang ulang juga sama sekai tak mendapat jawaban.
"Sial!" Gerutu sambil menyorotkan senterku ke atas. Tebing ini lumayan tinggi dan terjal. Namun sepertinya masih bisa kudaki. Sulur sulur tanaman dan akar akar yang menjuntai mungkin bisa aku jadikan pijakan dan pegangan.
Berpikir begitu, aku mulai berusaha merangkak naik dengan berpijak dan berpegangan pada apa saja yang bisa kuraih. Rasa sakit dan perih di sekujur tubuhku sudah tak kuhiraukan lagi. Hanya Junior yang saat itu aku pikirkan.
Setelah berusaha keras dan mati matian, akhirnya aku sampai diatas juga. Senter kembali kuarahkan ke segala arah untuk mengetahui dimana sekarang aku berada. Dan aku bisa sedikit bernafas lega, setelah menyadari bahwa aku masih berada di area sumber mata air. Jurang tempat aku terjatuh juga adalah jurang yang sama dengan yang tadi siang ditunjukan oleh Junior kepadaku.
Junior! Dimana anak itu sekarang? Dan bagaimana nasibnya. Aku mendekat ke kolam sumber air, bermaksud untuk sekedar membasuh luka di keningku. Namun langkahku terhenti saat ekor mataku menangkap sesosok bayangan yang meringkuk di salah satu sudut sumber air itu. Segera kuarahkan senterku ke arah sosok itu, dan betapa terkejutnya aku, saat mengetahui bahwa sosok itu adalah Junior, orang yang sedang kami cari cari.
"Astaghfirullah! Junior!" Aku segera menghambur ke arah anak itu dan mencoba membantunya berdiri. Kondisinya sudah sangat mengenaskan. Sekujur tubuhnya basah kuyup dan menggigil kedinginan. Dengan nanar anak itu menatapku. Sorot matanya terasa sangat aneh, seolah anak itu sama sekali tak mengenaliku.
"Tenang Cuk! Aku akan menolongmu! Kamu akan baik baik saja! Akan kubawa kau kedesa! Disana nanti kau akan mendapatkan makanan yang enak enak dan minuman hangat. Jadi kuatkan dirimu!" Seruku memberi semangat kepada anak itu.
Sambil memapah Junior menjauh dari mata air itu, aku meniup peluit berulang ulang, berharap mendapat balasan dan ada yang datang memberi bantuan. Aku tak yakin bisa membawa Junior kembali ke desa seorang diri, mengingat kondisinya yang sudah lumayan parah, dan aku sendiri juga telah didera rasa lelah.
Beruntung, tak lama kemudian terdengar balasan suara peluit dari kejauhan. Aku membalasnya juga dengan tiupan peluit untuk memastikan posisiku. Suara peluit lalu menyusul bersahutan dari segala arah, menandakan kalau para pencari masih berpencar. Dan sepertinya suara peluit itu juga menarik perhatian mereka yang tak suka mendengarnya. Samar ekor mataku mulai menangkap gerakan gerakan di balik rimbunnya semak dan tanaman kopi. Perasaan tak enak kembali menghantuiku. Apalagi suara gemerisik dari ranting dan dedaunan yang saling bergesekan itu semakin gencar terdengar. Seolah mereka tak rela jika aku membawa Junior pergi dari sumber mata air ini.
"Djanc*k!" Aku mengumpat sambil mencabut pistol airgun yang terselip di dadaku, dengan sebelah tanganku memaksa Junior untuk menjauh dari tempat itu.
"Jangan macam macam! Aku bawa senapan!" Ancamku dengan suara lantang, meski aku tak yakin sosok dibalik semak itu akan gentar dengan gertakanku.
Tertatih aku terus memapah Junior menjauh dari sumber mata air itu, sambil sesekali kembali meniup peluitku. Tak lama beberapa warga yang tadi ikut melakukan pencarian datang menyongsongku. Mereka dengan sigap segera membantuku membawa Junior kembali ke desa.
Junior lalu dibawa masuk ke rumah oleh beberapa warga perempuan. Aku sendiri kembali berusaha untuk menghubungi Pak Hadi dengan pesawat HT-ku. Alhamdulillah, kali ini ada respon. Aku segera mengabarkan bahwa Junior telah diketemukan dan telah dibawa kembali ke desa. Pak Hadi lalu menyebarluaskan berita baik itu kepada semua orang yang ikut melakukan pencarian dan meminta mereka semua untuk kembali le desa.
Namun masalah sepertinya belum selesai sampai disitu. Saat para pencari telah kembali, ternyata Mas Dedy tak ada diantara mereka. Aku lalu menceritakan bahwa sebelumnya Mas Dedy bersamaku di sumber mata air sebelum akhirnya kami memutuskan untuk berpencar dan aku jatuh kedalam jurang.
Pak Hadi lalu berinisiatif untuk menghubungi Mas Dedy dngan pesawat HT. Tapi tak ada respon. Akhirnya diputuskan untuk menyusul Mas Dedy ke sumber mata air. Aku yang sebenarnya sudah benar benar lelah, mau tak mau harus kembali berjibaku dengan gelapnya malam dan lebatnya hutan.
Peluit ditiup berulang ulang, sampai akhirnya mendapat jawaban. Sialnya, sahutan peluit itu berasal dari bawah, atau tepatnya dari dasar jurang. Tak mau ambil resiko, (atau justru tak peduli dengan resiko) beberapa warga nekat menuruni tebing. Gurat kecemasan jelas terpancar dari raut wajah mereka, membuatku sedikit terheran heran. Mas Dedy seorang pemburu kawakan, semua orang tau itu. Rasanya terlalu berlebihan jika mereka sampai mencemaskan beliau seperti ini.
Suara balasan peluit dari Mas Dedy sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa beliau baik baik saja. Jadi aku tak mau ikut bersusah payah menuruni tebing. Kunyalakan sebatang rokok untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan, sambil menunggu mereka yang turun kembali naik ke permukaan.
Benar saja. Tak menunggu lama mereka telah kembali bersama Mas Dedy. Dan seperti yang kuduga, kondisi Mas Dedy memang baik baik saja. Hanya sikapnya yang kurasakan agak sedikit aneh. Sorot matanya terlihat menusuk tajam saat menatapku, dan wajahnya juga terlihat sedikit pucat. Entah kelelahan, atau baru saja bertemu dengan setan.
Kami segera kembali lagi ke desa. Sepanjang perjalanan Mas Dedy hanya diam. Pertanyaan pertanyaan dari para warga tak ada satupun yang ia jawab. Bahkan saat sampai di desa, ia segera memisahkan diri dari rombongan dan memilih untuk segera beristirahat.
Aku sendiri lalu menyempatkan diri untuk melihat kondisi Junior yang kini telah terbaring diam diatas dipan dengan mata terpejam. Entah tidur ataubpingsan, tapi kata warga perempuan setengah baya yang menjaganya, tak ada yang perlu dicemaskan lagi. Kondisi Junior sudah aman terkendali.
Aku lalu beranjak menuju ke teras. Sebagian warga telahbmembubarkan diri dan pulang ke rumah masing masing. Hanya tinggal beberpa yang masih asyik ngobrol di dalam rumah. Duduk di bangku teras aku lalu membongkar ransel dan menemukan sisa sisa keju lembaran bekalku tadi. Rasa lapar mulai mendera. Namun untuk minta makan kepada tuan rumah rasanya sedikit sungkan. Semalaman ini kami sudah banyak merepotkan. Dan aku tak mau lebih merepotkan lagi dengan meminta makanan.
Alhasil, dengan rakus aku melahap sisa sisa bekalku itu, sampai tak sadar bahwa ada sepasang mata yang tengah mengawasiku. Annisa. Gadis itu datang menghampiriku sambil membawa sepiring makanan.
"Lapar ya Mas?" Gadis itu tersenyum sambil mengulurkan piring yang dibawanya ke arahku. "Nih, makan dulu"
Aku tersenyum masam, dan tanpa sungkan menerima piring itu dan melahap isinya dengan rakus.
"Pelan pelan saja makannya, nggak bakalan ada yang minta kok," ujar gadis itu setengah menyindir, sebelum pergi meningalkanku.
Tak butuh waktu lama, isi piring itu telah tandas. Aku lalu beranjak ke halaman, duduk diatas kap mobil sambil menyalakan rokok dan menenggakbminuman penghangat badan. Kulihat Annisa kembali keluar dan menghampiriku, lalu duduk disebelahku.
"Nggak tidur Mas?" Sapanya lembut.
"Belum ngantuk Mbak," jawabku sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
"Jangan panggil Mbak dong. Mas kan lebih tua dari aku," gadis itu tersipu.
"Iya deh Dik Nissa," selorohku.
Annisa nyengir.
"Mas lagi mikirin sesuatu ya?" tanyanya.
"Kok tau?"
"Wajah Mas masih terlihat tegang, kayak orang habis ngelihat setan."
"Nggak kok. Aku hanya merasa sedikit aneh. Kejadian yang menimpa Junior tadi, kurasa agak sedikit janggal," ujarku pelan.
Gadis itu menatapku sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun sepertinya masih enggan. Ia lalu justru menunduk, menungguku untk melanjutkan ceritaku.
"Tadi aku bersama Mas Dedy langsung menuju ke sumber mata air untuk mencari Junior. Namun saat sampai disana ternyata Junior tak ada. Aku dan Mas Dedy lalu memutuskan untuk berpencar, namun aku justru terpeleset dan jatuh kedalam jurang yang ada di dekat sumber mata air itu."
Annisa masih diam.
"Dan kamu tau Nis? Tadi Junior sempet cerita, bahwa dia sebenarnya melihat aku dan Mas Dedy saat datang ke sumber mata air itu. Ia bahkan berteriak teriak memanggilku, namun seolah aku tak mendengar dan melihat dia. Dan saat aku jatuh, Junior bilang kalau aku jatuh bukan karena terpeleset, tapi karena didorong setan dari belakang. Junior berusaha mencegah dan menolongku, namun tubunhnya tiba tiba kaku dan tak bisa digerakkan."
Annisa mengangkat wajahnya dan menatapku. Mulutnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu, namun lagi lagi niat itu ia urungkan.
"Gadis bernama Aini itu, apa kamu mengenalnya?" Tanyaku sedikit ragu.
Annisa kembali menunduk sambil memainkan jari jemari tangannya, seolah sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku.
"Ya. Dia temanku Mas?" Jawab gadis itu akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Sudah kuduga, batinku. Aku lalu sengaja diam, menunggu gadis itu untuk kembali bicara.
"Tadi Mas bilang kalau Mas jatuh ke jurang yang ada di dekat sumber mata air itu?"
"Iya."
"Mas beruntung."
"Beruntung?!" Kini aku yang terheran. Jatuh ke jurang dan dibilang beruntung?
"Ya. Karena seharusnya Mas sudah mati."
"Hah? Mati?!"
Alih alih menjawab, gadis itu justru bangkit dari duduknya dan melangkah pelan masuk kedalam rumah, meninggalkanku sendirian dengan berjuta pertanyaan yang masih menggelayut di benakku.
"Gadis aneh!" Sungutku sambil kembali menyalakan sebatang rokokku. Sambil menikmati asap bernikotin itu aku mulai berpikir dan menduga duga. Annisa, gadis itu, aku yakin ia mengetahui sesuatu lebih dari apa yang ingin kuketahui. Aku harus bisa mengorek keterangan dari gadis itu. Tapi aku tak mau buru buru. Butuh kesabaran lebih untuk membuka hati seorang gadis.
Aku tersenyum samar saat akhirnya kulihat gadis itu kembali keluar sambil menenteng kotak kecil di tangannya. Ia lalu kembali duduk di sampingku dan membuka kotak yang dibawanya.
"Dahimu terluka Mas. Sini biar aku obati, sebelum nanti menjadi infeksi," gadis itu mengambil sejumput kapas dari dalam kotak, membasahinya dengan cairan alkohol, dan mengoleskannya pada luka di dahiku.
"Aw! Perih!" Seruku saat gadis itu menyeka luka di dahiku.
"Dimana mana yang namanya luka memang selalu terasa perih Mas," gadis itu lalu memberikan selembar plester kepadaku.
"Aini itu, dia meninggal di jurang itu Mas, kurang lebih lima tahun yang lalu," ujar gadis itu sambil menutup kembali kotak yang dibawanya.
"Jatuh?" Tebakku.
"Ya. Gadis yang malang. Dan dua tahun kemudian, kedua orang tuanya juga meninggal."
Aku terdiam, berharap Annisa melanjutkan ceritanya.
"Karena itu tadi kubilang seharusnya Mas sudah mati saat jatuh di jurang itu."
"Kenapa begitu?"
"Karena kedua orang tua Aini itu, mereka meninggal dengan cara yang sama dengan Aini."
"Jatuh ke jurang juga?!"
Annisa tak menjawab. Ia justru kembali bangkit dan membawa kotak yang dibawanya kembali masuk kedalam rumah. Gadis yang aneh. Aku yakin sebentar lagi ia akan kembali. Tinggal menunggu.
Aku kembali menyalakan sebatang rokokku, lalu mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru halaman yang tak begitu luas itu. Halaman yang berbatasan langsung dengan area hutan. Hanya dibatasi oleh barisan tanaman liar yang berfungsi sebagai pagar. Tanaman liar yang tiba tiba bergerak gerak, lalu disusul dengan kemunculan sesosok makhluk yang membuatku refleks menyambar senapanku. Babi hutan.
"Cari mati kau kalau berani datang kemari!" Desisku sambil membidik ke arah makhluk itu. Kali ini aku tak mau meleset lagi. Kalau semalam peluruku tak mampu menembus kulit binatang itu, maka kali ini aku membidik tepat di mata makhluk itu. Mustahil kalau peluruku tak sanggup menembus mata binatang itu.
Bersamaan dengan tanganku yang bersiap menarik pelatuk, binatang itu juga menoleh dan menatapku, seolah sadar kalau sedang kuincar. Anehnya, binatang itu bukannya lari tapi justru berdiam diri sambil terus menatapku.
"Benar benar cari mati!" Desisku sambil bersiap menarik pelatuk, dan..., "Jrrreeenbbb...!!!" Senapanku menyentak, bersamaan dengan sebuah tangan yang bergerak cepat menghentak ujung senapanku hingga sedikit terdongak ke atas. Timah panas yang melesatpun meluncur beberpa inci diatas tubuh babi hutan itu.
"Dik Nissa?" Aku menatap nanar ke arah pemilik tangan yang tadi menggagalkan bidikanku itu.
Gadis itu menggeleng pelan sambil tersenyum. Mau tak mau aku menurunkan senapanku, dan membiarkan binatang buruanku itu melenggang pergi dengan langkah gemulai.
"Babi hutan memang hama dan musuh utama kami para petani Mas, tapi ada hal hal tertentu yang makhluk itu juga memiliki hak untuk hidup."
Meski tak begitu mengerti alan arti ucapan gadis itu, toh akhirnya aku menyimpan kembali senapanku di bagasi, lalu kembali duduk diatas kap mobil.
"Berburunya dilanjutkan besok saja nggak papa kan Mas?" Gadis itu juga kembali ikut duduk disebelahku.
"Iya, nggak papa dik"
Kami lalu sama sama membisu untuk sepersekian detik, tenggelam dalam pikiran kami masing masing.
"Desa ini, semakin lama semakin sepi Mas," desah gadis itu memecah kebisuan. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh tanya.
"Sadar nggak mas kalau anak muda di desa ini tinggal aku seorang saja?"
"Kenapa bisa begitu?" Tanyaku.
"Satu persatu, pemuda pemudi desa ini mulai pergi Mas. Merantau, bekerja atau sekolah di kota, dan banyak lagi alasan yang lainnya."
Ah, alasan klasik rupanya, batinku. Urbanisasi, memang sudah semenjak lama menjadi sebuah 'tradisi' di negeri ini.
"Dan sebagian lagi yang bertahan untuk tinggal, harus bernasib sial dengan mati di jurang itu seperti Aini."
Kalimat yang diucapkan dengan nada datar dan pelan oleh gadis itu sukses membuatku terperanjat.
"Kamu nggak sedang bercanda kan dik?"
"Untuk apa aku bercanda dengan hal seperti itu Mas?"
Kutatap wajah gadis itu untuk memastikan, dan aku melihat keseriusan dibalik manis wajahnya itu.
"Kalau Mas masih belum percaya, Mas boleh hitung jumlah rumah di desa ini. Jari tangan dan kaki Mas lebih dari cukup untuk menghitungnya."
Aku terdiam. Apa yang diucapkan oleh gadis itu memang benar adanya. Meski aku tak sungguh sungguh menghitung, aku sangat yakin jumlah rumah di desa ini tak sampai duapuluh buah
"Hanya orang orang tua yang masih sanggup bertahan disini. Kehidupan mereka sebagai petani yang sudah mendarah daging, membuat mereka enggan untuk pergi. Tapi generasi selanjutnya, aku yakin, dalam beberapa tahun kedepan desa ini akan menjadi desa mati seperti desa yang dibawah itu."
Keheningan kembali tercipta. Untuk ukuran gadis desa, jalan pikiran Annisa lumayan kritis juga. Heran kalau dia justru memilih untuk bertahan disaat anak anak seusianya berlomba lomba untuk hengkang.
"Kehidupan di kota itu seperti apa sih Mas?" Kembali suara lembut gadis itu memecah keheningan.
"Kamu belum pernah ke kota?" Tanyaku heran.
"Pernah dulu, tapi cuma fokus buat sekolah, tak pernah terpikir untuk merasakan kehidupanya."
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Gadis secantik dan secerdas Annisa, belum pernah merasakan kehidupan di kota?
"Pernah juga dulu ke pantai dua kali saat acara rekreasi sekolah, tapi aku sudah lupa seperti apa sensasinya," gadis itu tertawa renyah, tawa pertama yang pernah kudengar darinya.
"Sebenarnya aku juga ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Mas. Aku baru lulus tahun ini, dan kemaren gagal saat ikut tes masuk perguruan tinggi. Mudah mudahan tahun depan aku berhasil. Doakan ya Mas."
"Amiiinnn!!! Pasti akan kudoakan dik."
"Oh ya, kudengar Mas kerja di Jakarta ya? Jakarta tuh seperti apa Mas? Apa seperti yang sering aku lihat di TV itu?"
Aku nyaris tergelak mendengar pertanyaannya yang begitu polos dan lugu itu. Sambil menggaruk kepala yang tak gatal aku mencoba mencari kata yang pas untuk menjelaskan kepada orang yang tak pernah keluar kandang semacam Annisa ini.
"Kudengar juga Jakarta itu kota yang tak pernah tidur ya Mas?" Tanyanya lagi.
"Ya bisa dibilang begitulah. Mau sampai jam tiga pagi mau keluar beli makan juga bisa. Kalau males keluar tinggal pesan juga bisa, nanti ada yang nganterin, kita tinggal mengganti uangnya plus ditambah uang bensin. Mau belanja juga bisa, tak perlu capek capek pergi ke toko, tinggal duduk manis di rumah belanjaan sudah ada yang mengantar "
"Sepertinya menyenangkan ya Mas. Kata Pakdhe Hadi Mas di jakarta kerjanya di kantoran ya? Kerja di kantoran itu seperti apa Mas?" kembali pertanyaan yang begitu polos ia tanyakan, membuatku jadi bingung sendiri untuk menjawabnya.
"Ya begitu deh, kerja kantoran itu ya kerjanya di dalam kantor, duduk di kursi ngadepin meja dan komputer, kerja dari senin sampai jumat, sabtu minggu bisa libur. Di Jakarta juga banyak pendatang dari berbagai daerah yang datang untuk mengadu nasib dan peruntungan."
"Banyak gadis gadis cantik juga ya Mas? Kata orang gadis kota itu cantik cantik. Kalau seandainya aku ke Jakarta kira kira mampu bersaing nggak ya Mas?"
"Kalau itu sih tergantung."
"Kok tergantung?"
"Ya tergantung dari cara kamu merawat dan membawa diri."
"Begitu ya," gadis itu manggut manggut seolah telah memahami semua ucapanku.
"Di Jakarta Mas punya cewek nggak?"
"Kok nanya begitu?"
"Ya pengen tau aja."
"Enggak tuh. Aku nggak punya cewek, pacaran juga nggak pernah."
"Kenapa Mas? Kan cewek Jakarta cantik cantik, masa Mas nggak tertarik sih?"
"Bukan nggak tertarik, tapi tujuan Mas ke Jakarta kan mau kerja, jadi disana ya cuma fokus buat kerja. Nggak pernah mikirin soal cewek. Lagian Mas kan udah lumayan tua, sudah bukan waktunya untuk pacar pacaran lagi."
"Justru karena udah lumayan tua itu, kan sudah waktunya Mas punya pendamping."
"Aku belum kepikiran sampai kesana Dik."
"Kenapa Mas? Bukankah hidup Mas juga sudah mapan? Paling enggak udah punya kerjaan tetap? Kurang apa lagi coba?"
"Anu dik, sebenarnya Mas sudah pernah....., emmm, gimana ya jelasinnya. Mas ini...., sebenarnya seorang duda," ujarku sedikit ragu.
"Eh...., emmm..., duh, maaf Mas. Aku nggak tau. Aku nggak bermaksud...."
"Nggak papa dik. Santai aja."
"Aku jadi nggak enak Mas."
"Nggak papa kok."
"Emmm, tapi kalau boleh tau, bagaimana ceritanya sampai..."
***
"Emmm..., tapi kalau boleh tau bagaimana ceritanya sampai Mas...."
"Panjang ceritanya dik."
"Aku punya banyak waktu kok buat mendengarkan cerita Mas."
"Hufh," aku mendesah pelan sambil merebahkan tubuhku diatas kap mobil. Gadis ini, mungkin tak akan pernah diam kalau aku belum bisa menuntaskan rasa penasarannya. Tak mau banyak berargumentasi, sambil menikmati kelap kelip indahnya bintang di langit, pelan namun pasti dari mulutku akhirnya meluncur semua kisah pilu yang pernah kualami bersama mendiang istri dan anakku. Kisah yang sebenarnya hanya ingin kusimpan sendiri di dalam hati.
Annisa nampak mendengarkannya dengan sangat serius. Bahkan kini gadis itu merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku. Entah sangking seriusnya atau bagaimana, tanpa sadar wajah gadis itu semakin condong dan mendekat ke arah wajahku yang sedang berbaring terlentang. Aku mulai merasa jengah. Apalagi saat wajah kami kini hanya tinngal berjarak sejengkal, hingga aku dengan jelas bisa merasakan hembusan nafas gadis itu. Jantungku berdetak semaki cepat, bulu bulu halus di sekujur tubuhku berasa meremang, dan deru nafasku juga mulai memburu.
Tak kuasa menahan gejolak yang semakin memburu, pelan pelan kupejamkan mataku, lalu kurasakan sebuah sentuhan di pipiku, diiringi suara "PLAKKKK...!!!" yang cukup keras.
Sebuah tamparan yang lumayan keras ternyata telah mendarat di pipiku, diiringi suara tawa renyah Annisa yang menunjukkan telapak tangannya yang sedikit bernoda merah.
"Nyamuk Mas," ujar gadis itu tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Aku hanya bisa nyengir sambil mengusap usap pipiku yang terasa panas.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya