Berburu Di Hutan Kopi (Part 5)
JEJAKMISTERI - Aku menggeliat dan membuka mataku saat kurasakan hawa hangat menjalar di wajahku. Rupanya semalam aku tertidur di dalam mobil. Dan melihat matahari yang sinarnya telah menerobos jendela mobil dan mengenai wajahku, bisa kutebak kalau hari sudah lumayan siang. Aku segera keluar dari dalam mobil, bersamaan dengan Junior yang berjalan santai menghampiriku.
"Baru bangun Mas?" Sapanya dengan nada riang, seolah sudah tak ingat lagi dengan kejadian yang menimpanya semalam. Benar benar anak yang konyol.
Kuacuhkan sapaan anak itu. Aku justru bergegas menuju ke sumber air untuk sekedar mencuci muka atau mandi. Sekukujur tubuhku sudah terasa lengket akibat semalaman berjibaku di dalam hutan untuk mencari Junior.
"Wow! Benar benar eksotis," gumamku saat sampai di sumber mata air. Pemandangan hutan di pagi hari sungguh sangat berbeda dengan yang kulihat semalam. Setelah celingak celinguk sebentar untuk memastikan bahwa tak ada orang disekitar tempat itu, aku segera membuka seluruh pakaianku, lalu merendam sekujur tubuhku didalam kolam penampungan di sumber air itu.
Segar rasanya, meski terasa sedikit dingin. Sambil menggosok sekujur tubuhku dengan sabun, mataku tak lepas mengagumi keindahan alam disekitar sumber air itu. Benar benar sangat luar biasa. Alam yang menghijau, udara yang sejuk, serta suasana yang sunyi, seolah telah menghipnotis alam bawah sadarku.
Iseng aku lalu mengambil ponselku, dan masih sambil berendam kurekam semua pemandangan yang menakjubkan itu dalam format video HDR4K. Tak puas merekam sambil berendam, aku lalu naik ke permukaan setelah memastikan bahwa tak ada seorangpun disekitar sumber air itu.
Masih dengan tubuh telanjang, kupuaskan nafsuku untuk mengabadikan pemandangan di tempat ini dengan ponselku. Kiri, kanan, depan, dan belakang, semua tak luput dari incaran kameraku. Hingga saat aku mengarahkan kamera ponselku ke satu arah, nampak segerombolan ibu ibu dari desa yang tengah berjalan menuju ke sumber ini sambil menyunggi bakul berisi cucian kotor. Suara mereka lamat lamat terdengar sambil menunjuk nunjuk dan melambai ke arahku. Aku terus merekam sambil membalas lambaian tangan mereka. Mereka semakin antusias melambai dan menunjuk nunjuk ke arahku. Sepertinya mereka sangat kegirangan karena kurekam. Samar kulihat Annisa juga berada diantara mereka. Namun berbeda dengan para ibu yang terlihat antusias, Annisa justru menutupi wajahnya dengan handuk. Suara mereka semakin jelas terdengar, seiring dengan langkah mereka yang semakin mendekat ke arahku.
"Orang kota memang seperti itu kali ya?" Kudengar suara dari salah seorang diantara mereka.
"Iya, sudah biasa mungkin, mandi telanjang dilihatin orang gitu. Apa nggak malu ya?"
Anjiiiiirrrr...!!! Baru sadar kalau sejak tadi aku merekam mereka dengan posisi berdiri dan tubuh telanjang tanpa tertutup sehelai benangpun. Tanpa pikir panjang aku segera melompat dan membenamkan tubuhku ke kolam sumber mata air, membuat rombongan ibu ibu itu tertawa terbahak bahak.
"Djanc*k," dengusku sambil membalikkan badanku memunggungi mereka. Mau kusembunyikan dimana mukaku kalau nanti bertemu dengan Annisa?
Beruntung rombongan ibu ibu itu tak langsung mendekat ke arahku. Mereka menunggu diatas gundukan tanah yang berada agak jauh dari sumber mata air dan menungguku sampai selesai mandi.
"Cepatan mandinya Mas, gantian kami mau nyuci nih!" Kudengar Annissa berteriak.
Akupun buru buru membilas tubuhku, lalu dengan terburu buru juga mengeringkan badanku dengan handuk dan berpakaian. Semua yang kulakukan itu tak lepas dari perhatian para ibu ibu yang masih nampak berbisik bisik itu. Aku tau mereka sedang membicarakanku.
Tak mau lama lama menjadi bahan gunjingan mereka, akupun segera berlalu untuk kembali ke desa, sementara rombongan ibu ibu itu turin ke sumber mata air.
"Cih! Tak tau malu!" Kudengar Annisa mendesis sambil menatapku tajam saat kami berpapasan.
"Mas, tunggu!" Belum jauh aku aku melangkah, kudengar salah satu dari mereka memanggilku. Aku berbalik, dan kulihat salah seorang dari ibu ibu itu melambai ke arahku. "Sini sebentar!"
Waduh, ada apa lagi ini? batinku. Selintas pikiran buruk singgah di hatiku. Jangan jangan mereka merencanakan sesuatu yang buruk terhadapku, setelah apa yang aku lakukan tadi.
"Ada apa ya Bu?" Seruku tanpa beranjak dari tempatku berdiri.
"Wis to! Kesini sebentar aja!" Seru perempuan itu sambil menyeringai jahat. Sedikit ragu aku kembali naik ke sumber mata air itu.
"Ini lho, walkman sampeyan ketinggalan!"
"Walkman?!" gumamku heran. Perasaan aku nggak bawa Walkman. "Walkman? Walkman apa Bu? Saya ndak bawa Aalkman kok."
"Lha ini apa?" ibu itu menunjukkan benda yang dipegangnya.
"Oalah, itu HP Bu, bukan walkman," nyaris saja aku menepuk jidat melihat keluguan perempuan perempuan desa itu.
"Tapi kok merknya s*ny?"
Hadeecchhh...! Kali ini aku bener bener tepuk jidat. Selugu inikah orang orang desa ini? Memang cuma walkman doang yang merknya s*ny?
"Makasih ya Bu," tak mau banyak berdebat aku lalu beranjak untuk kembali ke desa setelah mengucapkan terimakasih. Bisa mati ketawa kalau aku lama lama ngobrol dengan mereka.
Sambil berjalan menuju ke desa aku kembali mengabadikan pemandangan di sekitar jalan setapak yang kulalui dengan kamera ponselku, hingga tanpa sadar aku telah sampai di tempat yang terasa asing bagiku. Perasaan sudah lumayan lama aku berjalan, dan seharusnya telah sampai di desa tapi ini....
"Sial!" Dengusku saat sadar bahwa aku telah mengambil arah yang salah. Mungkin karena terlalu asyik merekam, desa tempat aku menginap telah terlewat jauh. Mau tak mau aku harus kembali naik. Segera kumatikan kamera di ponselku dan kukantongi benda itu. Aku lalu berbalik untuk kembalinke atas. Namun saat aku berbalik jantungku nyaris saja terlompat dari tempatnya, saat mendapati ada sosok yang telah berdiridi hadapanku. Sangan dekat, hingga wajah kami nyaris bersentuhan.
"Astaghfirullah!" Refleks aku melompat mundur karena kaget. Namun naas, kakiku justru tersangkut pada seuntai akar yang merambat di permukan tanah hingga aku terjengkang dan jatuh terduduk kebelakang. Mataku menatap nanar sosok di depanku yang ternyata adalah si nenek pencari kayu bakar.
"Mau kemana?" tanya nenek itu dengan nada datar, sedatar wajahnya yang tanpa ekspresi itu.
"Eh, ini Nek, tadi habis dari sumber mau balik ke desa, tapi salah jalan," jawabku gugup sambil mencoba untuk berdiri.
"Hati hati! Di belakngmu itu jurang."
What?! Sontak aku menoleh ke belakang. Dan benar saja. Mulut jurang yang menganga dalam kini terpampang jelas dibelakngku. Bulu kudukku merinding seketika, saat menyadari bibir jurang itu hanya berjarak sekian inci dari tempatku jatuh terduduk tadi. Hanya nasib baik yang membuatku tak sampai tergelincir kedalam jurang itu.
Pelan aku beringsut menjauh dari bibir jurang itu, lalubpelanbpelan nerdiri dan menyeka keringat dingin yang mengalir di dahiku. Tempat macam apa ini? Jurang selebar dan sedalam itu sampai tak terlihat saat aku nerjalan tadi. Dan kenapa terlalu banyak jurang disini? Di dekat mata air ada jurang, disini ada jurang. Dan keduanya, nyaris saja merenggut nyawaku.
"Terimaksih Nek sudah diingatkan," ujarku dengan nada seramah mungkin.
"Desa berada disebelah sana!" Nenek itu menunjuk keatas, dimana nampak rumah rumah penduduk yang berjajar tak beraturan. Lagi lagi terasa aneh, karena tadi aku sama sekali tak melihat rumah rumah itu.
"Iya Nek. Ini juga saya mau balik ke atas."
"Ya sudah! Hati hati. Jangan terkecoh sama siapaun disini. Tetap ingat dengan sang pencipta dan jangan sekalipun sampai lengah." Ujar nenek itu sambil melangkah menuruni undak undakan di jalan menurun yang dibuat menyerupai tangga itu. Mungkin undak undakan itu sengaja dibuat oleh para petani untuk memudahkan jalan mereka saat hendak menujunbke ladang.
"Nenek mau kemana?" Tanyaku.
"Mau kebawah sana." Jawab nenek itu tanpa menoleh.
"Oh ya, nenek bawa air nggak? Kalau enggak ini saya ada bekal air, siapa tau nanti nenek haus."
"Nenek sudah bawa air kok," lagi lagi nenek itu menjawab tanpa menoleh.
"Ya sudah kalau begitu, hati hati Nek," seruku sambil memperhatikan si nenek yang begitu lincah menyusuri jalan setapak yang lumayan terjal itu.
"Luar biasa," decakku kagum sambil berbalik dan melangkah naik untuk kembali ke desa. "Manusia gunung mang sangat luar biasa. Sudah setua itu tapi...., eh...?!"
Sadar bahwa merasa ada yang sedikit janggal dengan nenek itu, aku kembali berbalik untuk memastikan apa yang terlihat janggal dari si nenek itu. Tapi....
Anjriiittt....!" Kemana nenek itu? Tak mungkin ia bisa menghilang secepat ini dari pandanganku. Dan jalan tanah berundak yang tadi dilewatinya itu, aku yakin, itu arah yang tepat mengarah ke mulut jurang. Jangan jangan.....
Setengah berlari aku kembali ke bibir jurang itu dan melongok ke dalam. Tak ada apa apa dibawah sana. Hanya lebatnya dedaunan yang terlihat. Bahkan dasar jurang itupun sama sekali tak terlihat karena tertutup oleh lebatnya pepohonan. Jika nenek itu manusia sepertiku, sudah pasti ia tak alan selamat kalau sampai terjerumus kedalam jurang ini. Tapi mustahil juga kalau ia sampai jatuh le jurang ini, mengingat bahwa beberapa detik yang lalu nenek itu sendiri yang mengingatkanku bahwa ada jurang di tempat ini. Kecuali, nenek itu memang sengaja menjatuhkan dirinya ke dalam jurang!
"Djanc*k!" Dengusku sambil berbalik dan bergegas kembali naik ke desa.
****
Sampai di desa, tuan rumah ternyata telah mempersiapkan hidangan untuk sarapan.Annisa juga sepertinya telah kembali dari sumber. Kamipun sarapan bersama. Hidangan sederhana, namun dinikmati di tengah suasana kekeluargaan dan udara pegunungan yang sejuk membuat makanan yang kami santap terasa begitu nikmat.
Selesai sarapan, aku lalu mendekati Junior yang tengah asyik membersihkan senapannya. Semalam aku belum puas menginterogasinya. Dan pagi ini sepertinya waktu yang tepat untuk mengorek keterangan dari anak itu. Apa sebenarnya yang membuat Junior sampai menghilang tadi malam?
"Semalam kau kemana?" tanyaku to the point.
Sejenak Junior mengangkat wajahnya dan menatapku. Hanya sejenak, lalu kembali menunduk dan pura pura kembali mengelap senapannya. Jelas kalau anak itu berusaha untuk menghindari pertanyaanku.
"Kenapa semalam kau bisa sampai berada di sumber itu?" tanyaku lagi.
Kembali Junior menatapku nanar. Ada rasa bimbang yang jelas terpancar dari sorot matanya. Dan alih alih menjawab, ia justru celingak celinguk memperhatikan sekeliling, seolah takut kalau apa yang akan dikatakannya itu didengar oleh orang lain.
Pelan pelan anak itu lalu mbuka mulutnya, berusaha untukwnjawab pertanyaanku. Namun niatnya tertahan saat tiba tiba suara Pak Hadi terdengar memanggilku.
"Mau ikut nggak?" Tanya Pak Hadi sambil menghampiri kami.
"Kemana pak?"
"Turun! Menjual hasil panen warga, sekalian belanja kebutuhan warung," jelas Pak Hadi. Ayahnya Annisa memang membuka warung sederhana yang menjual aneka kebutuhan warga desa ini.
"Ikutlah," sahutku aambil berdiri.
"Aku juga ikut," Junior tak mau ketinggalan.
Kami lalu membantu beberapa warga menaikkan hasil panen mereka kedalam sebuah mobil pick up yang akan membawa kami turun ke kaki gunung. Juga beberapa tabung gas kosong milik ayahnya Annisa yang nantinya akan diisi ulang dan dijual di warungnya.
"Semalam, aku diminta untuk menemani anak salah satu warga ke sumber. Mau ambil air katanya," ujar Junior saat pick up yang kami tumpangi mulai merayap turun.
"Perempuan?" Tanyaku sambil menahan karung yang nyaris menimpaku akibat gucangan mobil yang berjalan di jalanan yang tak rata. Saat itu kami memang hanya duduk berdua di bak belakang, sementara Pak Hadi yang menjadi pengemudi berhimpit himpitan dengan Annisa dan ayahnya di kabin depan.
"Iya." Jawab Junior singkat.
"Matamu memang nggak bisa lihat perempuan bening dikit!" dengusku.
"Ya siapa yang sangka kalau itu perempuan jadi jadian Mas, orang nggak ada yang aneh sama sekali kok. Cantik, kakinya juga napak tanah. Dan bodinya Mas, kayak gitar spanyol. Saat jalan di depanku, bweeehhh..., goyangan bokongnya....."
"Nah itu, belum apa apa matamu sudah jelalatan kemana mana. Pantas saja nggak bisa bedain mana orang mana setan jadi jadian!" Sungutku kesal. Anak itu hanya nyengir seolah tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Trus?" Tanyaku lagi.
"Ya kuantar gadis itu sampai ke mata air Mas. Dia jalan di depan, aku ngikutin dari belakang. Bau parfumnya memang agak aneh sih Mas, kayak wangi bunga apa gitu aku lupa. Nah, pas sampai di sumber itu mas, sambil nunggu gadis itu mengambil air, aku iseng iseng metik buah kopi mas. Cuma beberapa biji, nggak sampai hitungan menit, pas aku noleh ke sumber lagi gadis itu sudah nggak ada mas."
"Terus?"
"Ya jelas aku panik mas. Mana tempat itu gelap banget dan berada di tengah hutan. Aku lalu berniat untuk kembali ke desa dan minta bantuan. Tapi gadis itu tiba tiba menghadangku Mas. Dan wajahnya sudah berubah Mas. Hancur sehancur hancurnya. Penuh darah dan berbau sangat busuk. Dia menghadangku dan mendekat ke arahku Mas. Tentu saja aku takut mas. Aku mundur. Tapi sialnya aku justru terpeleset dan jatuh kedalam sumber! Gadis itu masih terus mendekat ke arahku mas, sementara tubuhku yang masih nerada didalam kolam sumber itu tiba tiba menjadi kaku, nggak bisa digerakkan sama sekali Mas."
"Lalu?"
"Lalu sampeyan datang sama Mas Dedy. Aku senang bukan kepalang mas. Aku berteriak teriak memanggilmu Mas, tapi sepertinya sampeyan nggak dengar. Bahkan nggak milihat keberadaanku sama sekali. Hantu itu yang nutupin telinga dan pengelihatanmu dan Mas Dedy Mas. Bahkan hantu itu juga yang dorong sampeyan sampai jatuh ke dalam jurang."
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan Junior itu. Sangat tak masuk akal sepertinya. Tapi tak mungkin juga junior berbohong, mengingat semalam saat kutemukan kondisinya sudah nyaris mati kedinginan.
"Lama aku di sumber itu Mas. Nyaris tenggelam di dalam sumber tanpa bisa bergerak sama sekali. Aku ketakutan waktu itu Mas. Juga kedinginan dan kelaparan. Beberapa warga yang juga datang mencariku ke sumber itu juga tak bisa melihatku. Kalau sajasampeyan nggak cepet cepet datang dan menolongku mungkin aku sudah mati mas.
Kembali aku terdiam, mencoba mencerna cerita junior itu. Hanya Junior yang diberi penampakan oleh makhluk itu? Tapi 'dia' juga berusaha untuk mencelakaiku dengan mendorongku ke dalam jurang. Dan sebelumnya, siang harinya aku juga nyaris terperosok ke dalam jurang di dekat sumber kalau saja tidak diingatkan oleh Junior. Juga tadi pagi, hal yang sama juga terjadi saat nenek pencari kayu bakar itu mengingatkan saat aku nyaris terjun ke jurang.
Gadis misterius dan jurang, aku jadi ingat cerita Annisa tentang Aini, anak warga desa setempat yang dulu mati jatuh ke jurang. Lalu kedua orang tuanya menyusul beberapa tahun kemudian, juga di jurang yang sama. Dan ada beberapa warga desa lagi juga mengalami hal yang sama
Mungkinkah ada hubungannya antara Aini dan kejadian yang menimpa Junior semalam? Kalau iya, kenapa justru kami yang diteror oleh penampakan gadis itu, bukan warga desa setempat? Lalu nenek pencari kayu bakar yang misterius itu, apa maksud dari pesan yang diucapkannya tadi pagi?
Hati hati! Jangan terkecoh oleh siapapun disini! Selalu ingat dengan sang pencipta, dan jangan pernah lengah sedikitpun! sebuah pesan yang justru menimbulkan sejuta pertanyaan di hatiku. Hati hati terhadap apa? Terkecoh oleh siapa? Dan lengah dari apa?
Sampai mobil pick up tiba di kaki gunung, otakku masih belum mampu untuk menjawab semua teka teki itu.
***
Sampai di kaki gunung, aku lalu membantu menurunkan muatan dari bak pick up, dan setelahnya ikut Annisa ke sebuah toko besar yang ada di kecamatan.
Aku jadi bingung sendiri. Pak Hadi bersama Junior sibuk membantu ayahnya Annisa menjual hasil bumi. Sementara Annisa nampak asyik berbincang dengan seorang gadis cantik yang sepertinya adalah anak si pemilik toko. Dilihat dari wajahnya aku menduga bahwa gadis itu masih keturunan chinese.
Melihat gadis itu, timbul niat isengku. Setengah berbisik aku menanyakan nama gadis itu pada si sopir pick up, lalu dengan rasa penuh percaya diri kuhampiri gadis itu, setelah Annisa pergi meninggalkannya untuk mengurus belanjaan.
"Raden Mas Firmansyah Slamet Tjatoer Oetomo dari keluarga Oetomo Family," kusebutkan namaku sambil mengulurkan tanganku ke arah gadis itu. Namun dia hanya menatapku dengan pandangan aneh.
"Boleh tau namanya?" Tanyaku sambil menarik tanganku yang tak mendapat sambutan itu. Dan lagi lagi gadis itu hanya menatapku sinis.
"Jangan takut ah, aku nggak nggigit kok," ujarku lagi mencoba berseloroh.
Gadis itu masih memandangiku, kali ini dengan tatapan malas.
Ah, biar kutebak, namamu diawali dengan huruf A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M.., emmph, ya, M, atau L ya? L. Lana? Lani? Lina? atau Lisa? Ya. Lisa. Lisa Maharani. Nama yang cocok untuk gadis secantik kamu. Benar begitu?"
Gadis itu nampak terkejut. Namun seulas senyum samar mulai mengembang di bibirnya. Aku bersorak dalam hati. Tentu saja aku bisa menebak namanya dengan benar, karena sebelumnya telah diberitahu oleh si supir pick up.
"Mei Ani cantik deh..., wo ai ni!" Selorohku semakin berani.akhirnya jebol juga pertahanan gadis itu. Kami lalu mengobrol tentang berbagai hal yang tak penting. Melihat penampilan gadis itu yang lumayan intelek, sengaja aku memilih topik yang juga lumayan berat, dari membahas mekanika quantum, teori relativitas, sampai soal tokoh Oppenheimer dengan salah satu penelitiannya yaitu Manhattan Projek. Aku juga menyinggung soal apakah roket terbang lurus atau melawan maupun mengikuti orbit bumi. Membahas pasal ISS yang menelan dana tak sembarangan, juga berangan angan butuh waktu berapa lama untuk menembus inti Milky way. Tak lupa juga bahan bakar centaurus dan bintang proxyma...., entah paham atau justru menteetawakan kebodohanku, gadis itu menanggapi semua ocehanku hanya dengan sesekali tersenyum dan manggut mangut, hingga setelah beberapa saat, seruan Annisa menganggu keasyikan kami.
"Mas, ayo balik!" Seru Annisa.
"Iya! Sebentar!" Sahutku sambil melambaikanbtangan.
"MAAASSSS!!! AKU TINGGAL NIH!" seruan Annisa bernada tak senang kini, membuatku terpaksa menyudahi obrolanku dengan Mei Ani.
"Ya udah ya Mei, Nona besar sudah memanggil tuh. Sampai jumpa di lain kesempatan Mei...,"
****
Pulang dari kaki gunung, hari sudah siang. Setelah makan siang bersama, aku kembali melakukan survey ke tempat yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri untuk masuk lebih dalam ke dalam hutan. Pepohonan semakin rapat disini, hingga sinar matahari kesulitan untuk menembusnya, membuat udara disini menjadi terasa lebih dingin, bahkan saat siang bolong sekalipun.
Kucoba memanjat sebuah pohon besar dengan bantuan tali webing. Dari atas pohon ini aku bisa lebih leluasa untuk mengamati seluruh penjuru hutan. Beberapa kali aku melihat pergerakan hewan hutan yang membuat tanganku menjadi gatal untuk segera menarik picu senapan.
Puas mengamati, aku kembali turun, lalu menjelajah inci demi inci sudut hutan itu. Seekor musang yang merunduk diam diantara akar pepohonan menarik perhatianku. Aku segera mengendap dan mempersiapkan senapanku. Lalu begitu binatang itu telah berada dalam jangkauan, senapanku menyalak, timah panas melesat dan mendarat telak di kepala binatang malang itu.
Headshot! Musang itu terkapar tanpa sempat menggelepar. Segera kupungut binatang itu dan kumasukkan kedalam plastik sebelum kusimpan dalam ranselku.
Aku kembali berjalan. Namun baru beberapa tindak, aku merasa kalau ada yang sedang mengikutiku. Manusiakah? Atau ...
Aku mulai waspada. Sambil terus berjalan dan pura pura tak tau kalau sedang diikuti, tanganku meraba dan membuka sarung pisau yang terselip di pinggangku. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat aku berbalik sambil menghunus pisau yang kini telah tercabut dari sarungnya.
Nihil! Tak ada siapa siapa dibelakangku. Padahal tadi dengan jelas aku mendengar langkah kakinya. Atau hanya perasaanku saja? Memang kuakui, hawa di hutan ini mulai terasa tak nyaman. Terlalu dingin kurasa. Memang sinar matahari tak bisa menembus lebatnya pepohonan. Tapi tetap saja, tak akan sedingin ini kecuali ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Sesuatu yang misterius.
Aku kembali berjalan, dengan tetap penuh kewaspadaan. Dan lagi lagi aku merasa sedang diikuti. Pisau ditangan kusarungkan, lalu tanganku beralih meraba pistol airgun yang terselip di dadaku.
"MAM....pu...s!!!" Lagi lagi dengan gerakan secepat kilat aku berbalik sambil menodongkan pistol yang siap tembak. Dan kembali aku dibuat penasaran, karena yang kudapati hanyalah lebatnya pepohonan. Tak ada sosok yang bergerak sama sekali.
"Djanc*k!" Aku mendengus kesal, berbalik untuk melanjutkan perjalanan, dan...
"Nyari mati nih orang!" Aku berlari mengejar sosok berpakaian putih yang menyelinap dibalik pohon besar tak jauh di depanku. Pistol di tanganku sudah siap tembak. Namun lagi lagi sosok itu menghilang.
Aneh! Ini benar benar aneh. Jeda waktu antara kelebatan sosok itu ke balik pohon dengan kecepatan lariku untuk sampai di balik pohon itu hanya beberapa detik. Tak mungkin sosok itu bisa menghilang dengan begitu cepat, kecuali....
"Whuuuussss....!" Benar! Terbang! Sosok putih itu kini terbang dari arah depanku, melesat cepat lewat diatas kepalaku. Refleks aku memutar tubuh mengikuti arah gerak sosok itu, dan....
"Whuaaaaassssuuuu...!!!" Kembali aku dibuat jatuh terjengkang oleh kehadiran nenek pencari kayu bakar yang tiba tiba muncul di depanku. Sangat dekat, hingga kedua ujung hidung kami sempat bersentuhan.
Rasa kaget yang bukan kepalang membuat kerja jantungku menjadi tak terkendali. Rasa nyeri terasa menggigit, membuat dadaku terasa sangat sesak. Buru buru aku meraba salah satu kantong ranselku, mencari obat yang memang selalu tersedia disitu dan langsung menelannya.
Sejenak aku terbaring diam dengan mata terpejam, mencoba menetralkan kerja jantungku yang nyaris kolaps. Juga mengatur nafasku yang sudah nyaris putus di tenggorokan.
"Kamu kenapa?" Tanya si nenek tanpa rasa bersalah.
"Aduh Nek! Jangan suka bikin kaget gitu napa. Hampir saja jantungku copot tadi. Untung saja aku selalu siap obat obatan yang ...."
"Masih muda kok kagetan. Pake obat begituan segala lagi. Memangnya kamu sakit apa?"
"Enggak Nek, ini cuma obat buat...."
"Kamu itu nggak sakit. Cuma kondisimu saja yang lemah. Kamu kurang latihan, makanan yang kau makan juga kebanyakan nggak sehat. Dan pikiranmu, sepertinya lebih nggak sehat lagi. Apa yang mengganggu pikiranmu anak muda?"
"Eh, enggak kok Nek, tadi cuma ..., mungkin ada warga yang usil menakut nakutiku,"
"Oh, nggak usah takut. Paling itu cuma orang gila yang suka kelayapan disini."
"Eh, memang ada ya Nek orang gila yang suka keluyuran di hutan ini?".
"Banyak! Sering kulihat orang gila yang sengaja dibuang dan dibiarkan mati disini."
"Oh, begitu ya Nek," aku manggut manggut meski tak sepenuhnya percaya dengan ucapan nenek itu. Sekejam kejamnya orang, masa tega sih membuang orang sembarangan di hutan seperti ini. Ya meskipun mereka gila tapi kan mereka tetaplah manusia.
"Nenek sendiri ngapain disini?" Tanyaku.
"Biasa, tuh, lagi nyari kayu bakar," sahut si Nenek sambil mengerling ke arah tumpukan ranting ranting kering yang telah berhasil dikumpulkannya.
"Nenek setiap hari nyari kayu bakar begini?"
"Iya. Itu sudah jadi kerjaan Nenek tiap hari."
"Kerjaan? Jadi...?"
"Iya. Nenek tukar dengan makanan san kebutuhan Nenek sehari hari."
Ah, iba rasanya aku mendengar penuturan wanita tua itu. Di usianya yang sudah sangat senja, iya masih harus bersusah payah keluar masuk hutan hanya demi untuk mendapatkan sesuap makanan. Kemana gerangan keluarga si Nenek? Apakah mereka juga sudah hijrah ke kota seperti yang diceritakan oleh Annisa kemaren?
"Biar saya bawain ya Nek?" Aku lalu berusaha untuk membantu membawakan ikatan kayu bakar milik si nenek yang sepertinya lumayan berat itu.
"Beneran mau bawain? Ini berat lho," ujar si nenek.
"Ya beneran lah Nek. Sini biar saya bawakan, nenek jalan duluan aja, biar saya ikutin dari belakang," ujarku serius. Ujaran yang kemudian aku sesali sampai detik ini. Bagaimana tidak, ikatan kayu bakar yang terlihat nggak seberapa itu ternyata lumayan berat gaees.
Setelah aku mengikat tumpukan kayu itu dengan tali webing yang kubawa dan menaikkan ke pundakku, akupun melangkah tertatih tatih mengikuti langkah si nenek yang terlihat sangat santai. Langkahnya begitu ringan menyusuri jengkal demi jengkal jalan setapak di hutan itu, tanpa memperdulikan aku yang sudah ngos ngosan berjalan di belakangnya sambil membawa beban berat.
Syukurlah, tak lama kami sampai juga di tepi hutan. Hangatnya sinar mentari sedikit demi sedikit mulai bisa kurasakan. Sambil berjalan aku terus memperhatikan langkah si nenek yang sepertinya selalu berusaha menghindari sinar sang mentari. Aneh!
Dan saat sudah mendekati desa, tiba tiba langkah si nenek terhenti. Aku yang berjalan di belakangnya otomatis juga ikut berhenti. Dan beban di pundakkupun kian terasa berat.
"Ada apa Nek? Kok berhen..."
Belum selesai aku bertanya, tiba tiba angin bertiup dengan sangat kencangnya. Aku nyaris terjengkang akibat hembusan angin yang datang tiba tiba itu, kalau saja tidak cepat cepat berlindung di sebalik pohon besar di dekatku. Aneh! Lagi lagi aneh! Angin tiba tiba datang seperti ini!
Saat tiupan angin itu berhenti, kulihat si nenek telah menaiki gundukan tanah yang menuju ke jalan desa. Akupun dengan sedikit buru buru segera menyusulnya. Sampai diatas, segera kuturunkan ikatan kayu bakar itu dari pundakku.
"Nek, ini kayu...., lho, kemana...., anjriittt!!!" Lagi lagi itu nenek ternyata telah menghilang secara misterius! Benar benar aneh!
"Hei, ini niat berburu apa cari kayu?" Tanya Annisa dari dalam pick up yang melintas di jalanan itu. Ah, aku bahkan tak menyadari kedatangan kendaraan itu.
"Niatnya tadi cuma survey, tapi kok malah nemu rejeki nomplok," sahutku sambil memamerkan musang yang tadi kudapat di hutan.
"Lha terus kayu bakar ini?" Pick up berhenti, lalu Annisa turun dan menghampiriku.
"Ini punya nenek. Tadi ketemu di hutan. Karena kasihan ya sekalian aja aku bawain sampai kesini."
"Nenek? Nenek siapa?"
Aku lalu menceritakan soal nenek pencari kayu bakar yang sudah beberapa kali aku temui selama berada di desa ini itu. Annisa mendengarkan dengan sangat serius, demikian juga si sopir pick up. Bahkan kini keduanya saling pandang dengan wajah yang sedikit menegang.
"Kamu serius Mas ketemu nenek itu?"
"Ya serius lah. Lha ini buktinya, kayu bakar ini...."
"Kita pulang sekarang Mas!"
"Eh, tapi..."
"PULANG SEKARANG!"
Suara Annisa yang bernada sangat tegas itu membuatku tak bisa membantah lagi. Segera kustarter motor trailku dan kulajukan mengikuti mobil pick up yang dinaiki Annisa. Seonggok kayu bakar milik si nenek, terpaksa aku tinggalkan di tempat itu. Juga tali webing yang tadi kugunakan untuk mengikatnya.
Sampai di base camp, aku segera mengeluarkan hasil buruanku yang langsung disambut oleh Annisa. Dengan cekatan gadis itu lalu menguliti dan mengolah jasil buruanku itu. Benar benar gadis yang pengertian. Ia memasakan masakan spesial untukku. Urap urap yang rasanya luar biasa enak. Tak mau mengecewakan usaha gadis itu, akupun lalu makan dengan lahap.
Selesai makan kulihat Junior datang dengan wajah segar. Sepertinya ia baru saja selesai mandi. Ah, lebih baik aku juga mandi. Baru jam empat ini. Masih ada waktu untuk sekedar mandi dan beristirahat, sebelum jam lima nanti kami harus kembali beraksi memburu babi hutan lagi.
Akupun segera bergegas menuju ke sumber mata air, melucuti pakaian dan merendam tubuhku dia air yang sejuk dan menyegarkan itu. Dan seperti tadi pagi, kali ini aku juga mandi sambil merekam pemandangan alam disekitaran sumber. Tak puas puasnya aku mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan yang luar biasa indah ini, sambil menikmati sensasi angin sore yang menerpa tubuhku yang basah. Aku benar benar merasa bisa menyatu dengan alam di tempat ini.
Tengah asyik dengan kameraku, telingaku sayup sayup mendengar suara cekikikan dari arah atas. Dan saat kutoleh, Astaganaga! Lagi lagi perempuan perempuan desa itu mendapat pemandangan gratis dari tubuhku yang telanjang tanpa busana.
Ampun dah! Lagi lagi aku harus kena zonk!
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya