Berburu Di Hutan Kopi (Part 6)
JEJAKMISTERI - Pulang dari sumber, hari belum terlalu sore. Masih ada waktu untuk sekedar beristirahat sebentar sambil memeriksa peralatanku. Dan saat aku tengah duduk di teras sambil mengelap senapanku, kulihat Annisa datang menghampiriku. Ini kesempatan bagus buatku untuk mengorek keterangan dari gadis itu, kenapa sikapnya mendadak berubah saat tadi aku menyinggung soal si Nenek pencari kayu bakar.
"Kamu serius tadi ketemu sama nenek itu Mas?" Annisa justru balik bertanya, saat aku menanyakan soal si nenek.
"Kenapa kamu seolah tak percaya gitu?" Tanyaku.
"Bukan tak percaya Mas, tapi..." Annisa nampak sedikit ragu.
"Tapi kenapa?" Cecarku.
"Mas lihat pohon besar di kejauhan sana itu?" Annisa menunjuk ke tengah hutan, dimana nampak sebatang pohon yang menjulang tinggi, lebih tinggi dari pohon pohon lain yang tumbuh di hutan itu, seolah pohon itu menjadi induk dari semua pohon yang tumbuh di hutan itu. Sedikit banyak aku bisa membayangkan betapa besarnya pohon itu, mengingat dari desa ini saja pohon itu bisa terlihat dengan sangat jelas, padahal letaknya nun jauh di tengah hutan sana.
"Kenapa dengan pohon itu?" Tanyaku lagi tak mengerti.
"Di bawah pohon besar itulah dulu jasad si nenek pencari kayu bakar itu ditemukan oleh warga," jawab Annisa lirih.
"Jasad?! Berarti..."
"Ya. Nenek yang kau maksud itu sudah mati Mas. Bahkan sudah lama sekali, beberapa tahun yang silam. Saat ditemukan, tinggal menyisakan tulang belulangnya saja yang terbungkus pakaian yang dikenakannya. Dari pakaiannya itulah warga masih bisa mengenali kalau itu adalah sisa sisa dari jasad si nenek."
Aku terdiam sejenak mendengar penuturan gadis itu. Antara percaya dan tidak, karena jelas jelas aku telah bertemu dengan nenek itu. Bukan hanya sekali malah.
"Nenek itu Mas, sudah menjadi semacam legenda di desa ini. Aku bahkan sama sekali nggak tau tentang kisah hidupnya. Ayahku yang tau. Karena itulah kubilang mustahil kalau kamu bilang tadi telah bertemu dengannya."
"Tapi aku benar benar melihatnya Nis, tidak hanya sekali malah. Dan aku juga sempat berbincang denganya. Lagipula, kalau nenek itu benar sudah mati, masa iya sih hantu bisa muncul di siang bolong?" Sanggahku.
"Mas bilang tadi tidak hanya sekali bertemu dengan nenek itu?"
"Ya. Dan dia selalu muncul disaat aku hampir celaka. Seolah dia memang muncul untuk menyelamatkanku. Pertama di dekat jurang yang di dekat sumber. Aku nyaris terperosok ke dalam jurang itu kalau saja nenek itu tidak muncul dan memperingatkanku. Lalu tadi pagi saat aku pulang dari sumber dan tak sengaja nyasar ke hutan bawah sana, aku juga nyaris terjerumus kedalam jurang kalau nenek itu tidak datang dan mengingatkanku."
"Ya. Tadi aku juga sempat lihat Mas di hutan bawah sana, seperti sedang bicara seorang diri gitu."
Hmmm, jadi Annisa melihatku waktu aku tak sengaja nyasar tadi pagi? Tapi tunggu, bukankah saat aku pulang dari sumber tadi pagi Annisa juga sedang berada di sumber bersama perempuan perempuan desa yang lain? Bagaimana bisa dia.....
"Lalu?" Suara Annisa membuyarkan lamunanku.
"Ya?" kutatap wajah gadis itu lekat lekat.
"Yang tadi itu, sampai Mas bela belain membawakan kayu bakar si nenek?"
"Oh, aku sedang survey di hutan sana. Nenek itu kembali muncul saat ada orang aneh yang berusaha mengerjaiku."
"Orang aneh?"
"Aku tak tau pasti. Mungkin warga yang iseng. Mengikutiku diam diam dan mencoba menakutiku. Tapi kata si nenek itu paling cuma orang gila yang memang kadang sengaja dibuang dan ditelantarkan di hutan sana."
"Orang gila?!" Annisa mengernyitkan dahinya.
"Ya. Begitu kata si nenek tadi."
"Tak ada orang gila disini Mas. Apalagi di hutan sana. Kalaupun ada, itu sudah pasti orang gila yang sudah mati."
Lagi lagi orang yang sudah mati! Entah sudah berapa kali Annisa mengucapkan kata mati seharian ini tadi.
"Maksudmu?" kini aku yang mengerutkan dahiku.
"Mas ingat ceritaku kemarin tentang warga desa yang mati di jurang dekat sumber sana?"
"Ya. Kenapa dengan mereka?"
"Sebelumnya mereka memang sempat bertingkah seperti orang gila."
Eh...?!"
"Iya. Mereka tertawa tawa sendiri, menangis dan mengoceh tak jelas layaknya orang yang hilang ingatan. Semakin hari semakin parah, sebelum akhirnya nekat melompat dan terjun ke dasar jurang sana."
"Bunuh diri?" aku bergidik ngeri mendengar ucapan Annisa itu.
"Lebih dari sekedar bunuh diri kurasa, kalau melihat tingkah mereka sebelumnya yang seperti orang hilang ingatan. Menurutku Mereka nekat terjun ke jurang, iru sudah diluar kendali akal sehat mereka. Aku sendiri tak akan percaya kalau tak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."
"Lalu yang yang iseng mengerjaiku di hutan tadi?"
"Bisa jadi itu semacam arwah gentayangan atau semacamnya dari orang orang yang sudah mati itu. Mereka mati tak wajar Mas. Dan bukan hal yang mustahil kalau akhirnya mereka penasaran dan menjadi penghuni tetap di hutan itu."
"Tapi ini siang hari lho Nis! Masa iya hantu muncul di siang bolong! Dan aku juga sangat jelas melihat mereka meski hanya sekelebatan. Aku juga mendengar suara mereka tertawa tawa dan...."
"Dan terbang kan?" Annisa memotong ucapanku. "Sekarang coba Mas pikir, orang gila mana yang bisa melayang di udara seperti itu? Di tengah hutan belantara pula. Orang waras sekalipun butuh alat untuk bisa terbang atau melayang. Apa Mas pikir orang gila bisa menciptakan alat seperti itu? Dan sekali lagi ingat Mas, ini di tengah hutan! Tak ada wahana Flying fox di tengah hutan sana!"
Arrgghh...!!! Aku mengacak rambutku yang tak gatal. Semua yang diucapkan oleh Annisa itu, sepertinya ada benarnya juga. Tapi aku juga tak bisa mengesampingkan apa yang telah kudengar dan kulihat dengan panca inderaku sendiri. Jadi mana yang harus kupercaya?
Ah, aku ingat pesan si Nenek pencari kayu bakar tadi pagi. Jangan percaya dengan siapapun di sini. Mungkin pesan nenek itu bisa sedikit kujadikan bahan pertimbangan.
Annisa, maaf. Aku juga menaruh curiga kepadamu. Tadi kaubilang melihatku saat aku nyasar di hutan bawah, padahal jelas jelas aku tau kamu sedang sibuk mencuci di sumber. Dan soal orang gila yang bisa melayang, seingatku aku belum pernah menyinggungnya. Bagaimana kau bisa tau Annisa?
Suara Pak Hadi yang memanggilku untuk bersiap siap, mau tak mau membuatku harus menyudahi obrolanku dengan Annisa. Setelah mengisi perut dan menyiapkan semua perlengkapan, kamipun lantas berangkat menuju ke hutan, melanjutkan tugas berburu di malam yang kedua ini.
****
Jam empat sore, kami berlomba memacu trail kami naik ke atas. Kali ini Junior bersamaku. Duduk di boncengan trail sambil memeluk pinggangku erat erat, membuatku merasa sedikit risih. Kuputar gas dalam dalam agar cepat sampai di tempat kami biasa memarkir kendaraan kami.
Sampai diatas, ternyata sudah ada trail yang tadi dikendarai oleh Pak Hadi. Sepertinya aku kalah cepat dengan si tua mantan militer itu. Akupun lalu segera mendaki ke atas. Dan lagi lagi aku kalah cepat. Sudah ada Pak Hadi disana. Mau tak mau aku harus mengalah dan kembali turun ke bawah, ke hutan tempat aku bertemu si nenek pencari kayu sore tadi.
Tanpa ragu aku segera masuk ke hutan itu, dengan Junior yang mengikuti di belakangku. Belum jauh aku masuk ke hutan, aku sudah merasakan suatu kejanggalan. Langkah Junior tak terdengar lagi di belakangku.
Anjriiittt!!! Lagi lagi anak itu menghilang. Benar benar merepotkan! Terpaksa aku harus kembali dan berteriak memanggil manggil nama anak itu.
Syukurlah, tak begitu lama aku akhirnya menemukan anak itu. Tengah berdiri mematung sambil menatap ke satu arah dengan tatapan kosong. Kuikuti arah pandangan anak itu. Tak ada apapun disana selain lebatnya pepohonan. Wah, sudah nggak beres nih anak.
"Woy! Kamu kenapa hah?" sedikit keras kukeplak kepala Junior. Namun anak itu tak bergeming sedikitpun.
"Ada kuntilanak Mas," setengah menggumam anak itu menjawab, tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.
"Jangan ngaco!" segera kutarik lengan Junior untuk meninggalkan tempat itu. Namun anak itu justru memberontak dan menepis tanganku.
"Wah, benar benar ndak beres nih anak," aku segera berdoa dan membaca rapalan, lalu kuraupkan telapak tanganku ke wajahnya. Junior menggeragap, seolah baru tersadar dari mimpi buruknya.
"Apaan sih Mas?" sungutnya sambil melihat ke sekeliling. Ketegangan di wajahnya berangsur menghilang. Mungkin sesuatu yang tadi dilihatnya itu kini sudah tak nampak lagi di matanya.
"Kamu tuh yang apaan! Sudah, ayo jalan lagi. Ingat! Kita sedang di tengah hutan. Jangan kebanyakan bengong! Dan jangan jauh jauh dariku!"
Kamipun lalu kembali melanjutkan langkah. Dengan batuan nightvision aku menyapu area sekitar. Kudapati seekor babi hutan yang berukuran sangat besar tengah berdiri diam diantara lebatnya pepohonan. Aku segera menyiapkan senapanku dan membidik tepat di mata makhluk itu. Tepat sasaran! Senapanku menyalak dan timah panas melesat menembus mata makhluk itu.
Namun binatang itu rupanya lumayan tangguh juga. Sebutir peluru tak lantas membuatnya tumbang begitu saja. Ia justru berbalik lalu berlari kencang menerjang ke arahku. Sadar kalau mendapatkan perlawanan, akupun segera bersiaga. Sambil melompat dan menghindar kucabut pisauku dan kuhunuskan ke makhluk itu.
Ujung pisau yang tajam dan runcing berhasil menyayat kulitnya. Tapi makhluk itu belum mau menyerah juga. Begitu serangan pertamanya gagal, makhluk itu kembali berbalik dan menerjang.
Lagi lagi aku melompat menghindar. Serangan makhluk itu meleset. Tubuhnya melaju le depan tak terkendali dan menabrak sebatang pohon yang lumayan besar. Kesempatan itu tak kusia siakan. Sambil melompat kuhujamkan pisau tepat di kepala makhluk itu.
Makhluk itu mendengking keras, lalu terhempas ke tanah dan tak bergerak gerak lagi. Mati! Aku tersenyum puas sambil mencabut pisauku dari kepala makhluk itu. Sebuah tangkapan besar. Tak mungkin aku membawanya seorang diri ke tempat parkiran trail. Mau minta bantuan Pak Hadi atau Mas Dedy sepertinya juga tak mungkin. Frekwensi HT masih berada diluar jangkauan. Beruntung ada Junior yang bersamaku.
Eh, tapi kemana anak itu? Lagi lagi Junior menghilang. Benar benar menyebalkan. Aku berteriak memanggil namanya, dan kepala anak itu nongol dari balik batang pohon kelapa yang tumbuh tak jauh dari tempatku berada. Asem! Bukannya membantuku dia malah ngumpet.
Seekor babi hutan lain yang bertubuh kecil tiba tiba muncul dan langsung menerjang ke arahku. Mungkin ini anak dari babi yang sudah berhasil aku lumpuhkan itu. Lagi lagi aku harus berjibaku dengan binatang buruanku itu. Masih dengan trik yang sama aku menghadapi serangan dari babi itu. Melompat menghindar sambil menghunus pisauku.
Kali ini cukup hanya dengan satu serangan pisau berhasil menancap di kepala anak babi itu. Binggo! Belum pernah aku mendapatkan hasil tangkapan besar dua ekor sekaligus dalam satu perburuan. Ini suatu prestasi yang bisa kubanggakan di depan Pak Hadi dan Mas Dedy.
Kembali kupanggil Junior yang kini kembali menghilang entah kemana. Sebutir buah kelapa jatuh di dekatku. Aku segera mendongak dan menepuk jidat saat mendapati Junior telah nangkring diatas pohon kelapa seperti monyer. Memang pohon kelapa itu tak terlalu tinggi dan batanganya agak melengkung sehingga Junior dengan sangat mudah bisa memanjatnya.
Bener bener nih anak. Berburu bukannya tertarik dengan babi hutan malah tertarik dengan buah kelapa. Aku segera menyuruhnya turun dan membantuku mengurus hasil buruanku. Kami mengikatnya dengan tali lalu menyeretnya begitu saja menuju keluar hutan.
Sampai di tempat yang agak lapang, frekwensi HT kami mulai terhubung. Aku segera menghubungi Pak Hadi dan mengabarkan kalau mendapat tangkapan yang lumayan besar dan butuh bantuan.
Tengah sibuk aku bicara dengan Pak Hadi, Junior tiba tiba kembali bertingkah aneh. Anak itu bersujud dan berteriak teriak histeris seperti anak perempuan. Aku segera mencoba menenangkannya. Kubantu anak itu berdiri. Wajahnya masih terlihat tegang dan pucat. Matanya menatap ke satu arah sambil tangannya menunjuk ke depan. Kuikuti arah telunjuk Junior dengan mataku. Dan kali ini aku bisa melihat apa yang dilihat oleh Junior.
Sesosok manusia gondrong dengan pakaian serba putih tengah nangkring diatas dahan sambil tertawa tawa aneh. Tingkahnya benar benar mirip orang gila. Atau memang orang gila akibat gagal naik haji, mengingat pakaian serba putih yang dikebakannya.
Aku mencoba menghardik sosok itu dengan berteriak dan memintanya untuk tak menganggu kami. Tapi teriakanku sama sekali tak digubrisnya. Sosok itu masih terus saja tertawa tawa dengan suaranya yang melengking menyakitkan telinga.
Edan! Jelas ini bukan manusia! Jelas ini bukan makhluk bumi! Akupun segera membidik sosok itu dengan senapanku. Peluru melesat menerjang dahan tempat sosok itu bertengger. Sosok itu melayang jatuh. Aku segera memburunya sambil menyiagakan pistol airgunku, berjaga jaga kalau saja sosok itu tiba tiba melakukan gerakan yang tak terduga.
Namun saat aku tiba di tempat sosok itu terjatuh, aku tak menemukan apapun. Jangankan sosok gondrong berbaju putih itu, bekas jatuhnyapun tak terlihat sama sekali. Sudah jelas kini. Sosok itu memang bukan manusia. Kalau manusia, meski berhasil kabur tapi pasti menyisakan bekas dari ranting dan dedaunan yang tersibak atau patah saat ia jatuh tadi.
Tengah sibuk aku mengamati tempat itu, suara tawa melengking kembali terdengar. Aku mendongak ke arah asal suara itu. Sosok serupa kini nampak duduk ongkang ongkang kaki sambil tertawa tawa diatas dahan, beberapa tombak di depanku.
"Aku punya pistol! Jangan macam macam! Atau akan kulubangi kepalamu!" ancamku. Sosok itu tak bergeming. Ia terus saja tertawa tawa dengan suaranya yang melengking menyakitkan telinga.
Kesal aku kembali membidik ke arah sosok itu. Pistol airgunku kembali menyalak. Sosok itu kembali melayang jatuh. Dan lagi lagi saat aku mencarinya sosok itu telah menghilang bagai ditelan bumi.
Ini sudah nggak bener! Sosok itu seolah ingin mempermainkanku. Aku lalu teringat kejadian kemarin saat aku memburu burung hantu di dekat sumber. Ya. Jelas ini jebakan! Makhluk itu mencoba menjebakku seperti yang dikatakan oleh Mas Dedy kemarin.
Sadar akan hal itu, maka saat suara tawa itu kembali terdengar dari arah depanku, aku sudah tak memperdulikannya lagi. Aku segera berbalik dan bermaksud kembali ke tempat Junior yang sedang menjaga babi hasil tangkapanku tadi.
Suara tawa itu terdengar semakin melemah, lalu menghilang. Berganti dengan suara syahdu mendayu dayu yang memanggil manggil namaku. Aku mencoba untuk tetap tak mengacuhkannya.
Namun semakin lama suara itu semakin terdengar jelas. Dan aku merasa kalau suara itu begitu familiar di telingaku. Suara dari orang yang sudah sangat kukenal. Tetapi mungkinkah...?
Penasaran aku berbalik. Dan aku terkesiap saat mendapati istri dan anakku kini telah berdiri tak jauh di depanku sambil melambai dan memanggil namaku.
Bagai dihipnotis, pelan aku melangkah maju. Kesadaranku sempat blank seketika. Tak ingat kalau istri dan anakku itu sudah meninggal. Tak sadar bahwa sangat mustahil kalau mereka tiba tiba bisa berada di tempat ini. Yang aku rasakan saat ini hanyalah rasa kerinduan yang teramat sangat, dan keinginan untuk segera memeluk kedua orang yang dulu pernah sangat dekat denganku itu.
Selangkah demi selangkah aku terus maju, tanpa menyadari bahaya apa yang sedang menunggu di hadapanku. Hingga entah pada langkah keberapa, sesuatu seolah mengingatkanku.
Dia bukan istriku. Anak itu bukan putriku. Mereka telah berada di surga sekarang. Yang ada di hadapanku ini tak lain dan tak bukan hanyalah setan laknat yang sedang berusaha memperdayaku.
Sadar akan hal itu, aku kembali membidik. Pistolku menyalak. Peluru melesat. Sosok menyerupai istriku itu terjengkang ke belakang, lalu terhempas ke tanah dan menghilang.
"Arrrggghhh...!!!" sekuat tenaga aku lalu berteriak dan menendang sosok balita yang tengah merangkak diatas tanah itu. Sosok itu juga langsung menghilang.
"Djanc*k!!!" sambil berteriak marah aku lalu berbalik dan kembali ke tempat Junior menungguku. Ternyata Pak Hadi dan Mas Dedy juga sudah sampai disana.
"Darimana Met?" tegur Pak Hadi penuh selidik.
"Enggak kok Pak. Cuma ngecek aja tadi apakah masih ada buruan lagi atau enggak," jawabku asal.
"Mengecek? Selama itu? Kaupikir sudah jam berapa sekarang hah?!"
Aku terkejut saat melihat bar waktu di ponselku ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan. Ini aneh! Tadi kami mulai masuk ke hutan sekitar jam lima sore. Dan aku yakin, aku berada di dalam hutan nggak lebih dari dua jam.
Ada apa ini sebenarnya? Ketiga manusia itu juga tak kalah bingung. Pak Hadi, Mas Dedy, dan bahkan junior sempat mengira kalau aku hilang di dalam hutan. Tapi aku segera mencairkan suasana dengan mengatakan hal hal yang masuk logika, agar masalah ini tak sampai berkepanjangan. Mas Dedy dan Junior sepertinya percaya. Tapi tidak dengan Pak Hadi. Laki laki itu masih terdiam. Dari sorot matanya aku tau, Pak Hadi mengetahui sesuatu.
"Sudah malam! Kurasa buruan kita sudah cukup! Ayo kita bawa ke tempat trail!"
Kamipun segera mengangkut buruan kami ke tempat kami memarkirkan trail kami. Aku tak menyangka kalau ternyata masih sangat banyak babi hutan di hutan ini. Selain dari tangkapanku, Pak Hadi dan Mas Dedy rupanya juga mendapatkan tangkapan yang tak kalah besar. Malam ini kami benar benar akan berpesta dengan hasil buruan kami.
Mas Dedy lalu mengajak Junior untuk turun ke desa, mengambil pick up untuk mengangkut hasil buruan kami itu. Sementara aku dan Pak Hadi menunggu di trmpat parkiran trail.
"Apa yang kaulihat di dalam hutan tadi?" tanya Pak Hadi saat kami sedang duduk melepas lelah.
"Bukan apa apa pak, cuma babi hutan dan..."
"Jangan bohong! Aku lahir dan dibesarkan di desa ini Met! Jadi percuma kalau kau ingin membohongiku. Aku tau semua seluk beluk hutan ini. Hutan tampatmu berburu tadi, itu adalah hutan larangan. Jadi, apa yang kaulihat di hutan tadi?"
"OK! Aku melihat semuanya," jawabku akhirnya.
"Juga nenek itu? Keponakanku bilang kalau...."
"Ya. Hampir setiap aku nyaris terperosok ke jurang nenek itu muncul. Aku sudah ceritakan semuanya keoada Annisa Pak."
Pak Hadi terdiam. Aku juga memilih untuk bungkam. Suasana menjadi sedikit kaku. Aku lalu memutar lagu lagu campursari Banyuwangian untuk memecah keheningan.
Hinggga pick up datang dan membawa hasil buruan kami turun ke desa, Pak Hadi masih tetap diam membisu. Sampai di desa, kami disambut bak pahlawan, dengan hasil buruan kami yang cukup lumayan. Junior segera menyiapkan air kelapa muda yang tadi dipetiknya di hutan. Sementara para perempuan sibuk menyiapkan hidangan di dapur. Aku sendiri, sambil menikmati segarnya air kelapa muda, memperhatikan kelihaian tangan Pak Hadi dalam menguliti babi babi hasil buruan kami.
Aku juga menambahkan gotri pada pistol airgunku dan menambah tekanan angin. Tak lupa membersihkan pisau yang tadi kugunakan untuk membantai buruanku serta mengisi ransel kecilku dengan perbekalan seperti biasa. Entah kenapa aku merasa kalau malam ini aku masih memerlukan semua peralatanku itu. Aku bahkan merasa segan untuk melepas rompi yang kukenakan dan ransel yang kusandang.
Tak butuh waktu lama, Pak Hadi telah selesai dengan tugasnya. Kulit dan tulang tulang babi itu lalu dikubur, sementara dagingnya disimpan di dalam frezer. Dari arah dapur kudengar Annisa dan para perempuan yang sedang sibuk memasak sedikit ribut. Rupanya mereka hampir kehabisan kayu bakar.
Memang, meski sudah ada tabung gas tapi untuk memasak yang berat berat warga desa ini masih mengandalkan kayu bakar, mengingat untuk mendapatkan gas mereka harus bersusah payah turun gunung, jadi mereka sebisa mungkin menghemat persediaan gas mereka.
***
Aku lalu berinisiatif untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Bukan hal yang sulit kurasa, karena disekitaran hutan banyak ranting ranting kering yang berserakan. Namun baru saja aku keluar dari pintu dapur, kulihat setumpuk kayu bakar teronggok disana.
"Lha ini, masih ada kayu bakar gitu kok," seruku.
"Nggak ada Mas. Tadi siang aku lupa nyari," Annisa berseru dari dalam dapur.
"Lha ini apa?" seruku lagi sambil mendekati onggokan kayu bakar yang terikat tali.....
Tunggu! Tali webing? Aku segera merogoh saku bagian pinggang rompiku yang biasa kugunakan untuk menyimpan tali webing. Tak salah lagi. Kantong itu kosong. Aku ingat siang tadi tali webing itu kugunakan untuk mengikat kayu bakar milik si nenek yang kubawakan sampai ke ujung desa.
Annisa datang menghampiriku. "Lho, ini bukannya kayu bakar yang kamu bawa tadi siang Mas?" tanya gadis itu.
"Kayaknya sih iya. Ini tali yang dipakai buat mengikat tali webing milikku," aku segera melepas tali itu dan menyimpannya kembali di kantong rompiku.
"Ya udah pakai kayu ini aja buat masak, daripada repot repot nyari," ujarku lagi.
Meski awalnya sedikit ragu karena Annisa tau bahwa kayu itu adalah milik si nenek, toh akhirnya ia mau juga menggunakannya setelah aku mengangkat dan menaruh kayu itu di dekat tungku dapur.
Aku lalu kembali ke teras, ikut bergabung dengan mereka yang sedang asyik mengobrol sambil menikmati air kelapa muda.
Annisa kembali keluar. Kali ini ia kehabisan persediaan air, dan meminta Junior untuk menemaninya mengambil air ke sumber. Aku menawarkan diri untuk ikut, namun Annisa menolak.
"Mas kan masih capek habis berburu tadi, lebih baik istirahat aja dulu. Biar aku dan Junior saja yang ambil air. Nggak lama kok," demikian ujar gadis itu.
Akhirnya Annisa berdua bersama Juniorpun berangkat menuju ke sumber. Kami masih terus asyik mengobrol sambil sesekali bersendau gurau. Warga terlihat sangat senang dengan hasil buruan kami yang mengurangi hama bagi tanaman kopi mereka. Dan untuk merayakan keberhasilan kami, mereka akan ikut makan makan malam ini.
Tengah asyik kami mengobrol dan bersendau gurau, Annisa datang tergopoh gopoh dari arah sumber sambil berteriak teriak.
"Junior jatuh ke jurang...!!!"
Sontak orang orang yang sedang asyik mengobrol itupun bubar, menyambar perlengkapan kami masing masing dan berlari ke arah sumber. Sementara aku masih terhenyak seolah tak percaya. Firasatku ternyata benar. Malam ini aku masih membutuhkan peralatanku.
Sebelum pergi sempat kusambar tangan Annisa dengan sedikit kasar, hingga gadis itu meringis kesakitan.
"Apa sih Mas....!"
"Jawab dengan jujur! Kaukah yang mendorong Junior hingga jatuh ke jurang?!" tanyaku sinis.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu Mas?" gadis itu mendelik ke arahku. "Teganya kamu...."
"Jawab saja! Iya atau enggak?!" tandasku.
Gadis itu menunduk.
"Kamu terlalu pintar untuk gadis seumuranmu Nis!" desisku tajam.
Annisa menunduk semakin dalam, tak berani membalas tatapan mataku. Kulihat ada sedikit goresan di bibir gadis itu.
Ah, Annisa, aku masih belum percaya kalau kamu....
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya