Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berburu Di Hutan Kopi (Part 7)


JEJAKMISTERI - "Jawab! Apa kamu yang mendorong Junior hingga jatuh ke jurang?!" tanyaku.

"Kamu jangan fitnah aku Mas!" Bantah Anissa.

"Kamu terlalu pintar untuk gadis desa seumuranmu!" kataku lagi.

Annisa menunduk. Ada sedikit goresan di bibirnya.

Marah dan kesal! Itu yang kurasakan saat ini. Aku belum bisa percaya kalau Annisa...., aku belum bisa percaya kalau sampai bisa dibodohi oleh gadis ini. Emosiku memuncak.

"Kamu apakan Junior?!"

"Aku nggak apa apain Mas!"

"Aku nggak percaya!" Ketusku.

"Aku berani sumpah Mas!"

"Sumpahmu nggak berguna buatku!" Sungutku mencoba terus menekannya. Aku tak mau sampai tertipu oleh wajah polosnya itu.

"Terserah Mas mau percaya atau tidak! Kita tak punya banyak waktu Mas! Kita harus cepat cepat mencari Junior sebelum terlambat, atau...."

Atau apa?!"

"Atau kita hanya akan menemukan mayatnya di hutan sana!" Annisa bermaksud untuk menyusul warga yang telah terlebih dahulu pergi ke tepi jurang, tapi aku terus mencoba menahannya.

"Di hutan katamu? Kenapa kamu begitu yakin kalau Junior berada di hutan itu?!"

"Karena aku satu satunya orang yang berhasil selamat dari hutan itu setelah dulu jatuh ke jurang!"

Peganganku pada tangan Annisa terlepas. Rasa terkejut membuat cengkeraman tanganku pada lengan gadis itu mengendur. Aku tertegun sesaat. Jadi Annisa juga pernah jatuh ke jurang itu? Dan dia selamat? Tapi benarkah? Aku lalu teringat akan perkataan nenek pencari kayu bakar itu, agar aku tak mempercayai siapapun disini. Jadi kata kata Annisa barusan tak bisa kutelan mentah mentah begitu saja.

Kalau ada kata kata Annisa yang harus kupercayai adalah saat tadi ia bilang bahwa kami memang harus segera mencari dan menemukan Junior. Berpikir begitu, aku lalu menyusul Annisa yang telah terlebih dahulu kembali ke tepi jurang.

Suara warga yang memanggil manggil nama Junior terdengar saling bersahutan. Akupun tak mau ketinggalan. Namun sekalipun tak ada jawaban dari Junior. Hal ini membuatku semakin was was. Aku lalu mencari jalan yang landai melalui kebun kopi untuk menuruni jurang itu. Sesekali aku memanggil nama Junior dan meniup peluit. Namun lagi lagi tak ada jawaban dari Junior.

Sambil berjalan aku mulai merasa kalau tempat ini memang bukan tempat yang biasa. Namun rasa takut segera kubuang jauh jauh. Segenggam batu yang kupungut asal selama berjalan rasanya cukup untuk kulemparkan kepada makhluk makhluk laknat yang mungkin akan mengganggu pencarianku. Lagipula, orang gila ataupun hantu, mereka sama sama makhluk ciptaan Tuhan sepertiku, yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi untuk apa aku harus takut?

Benar saja! Belum juga aku sampai di dasar jurang, sesosok makhluk dengan ciri khas yang sangat kukenal menghadang langkahku. Segera kubaca rapalan sambil melayangkan tinjuku ke arah makhluk itu. Makhluk itupun langsung menghilang bagai debu tersapu angin. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa aku sanggup untuk mengadapi mereka.

Aku terus menyusuri area kebun kopi itu. Sesekali aku harus merosot karena jalanan yang menurun terjal. Peluit terus kutiup dengan rentang jarak yang teratur. Ada balasan suara peluit dari Mas Dedy dan Pak Hadi. Namun balasan dari Junior yang kuharapkan tak kunjung terdengar juga.

Sampai di dasar jurang aku menatap ke atas. Nampak kilatan cahaya dari para warga yang diatas, memberi tanda kepadaku akan keberadaan mereka. Aku lalu menambah lumens agar cahaya senterku juga bisa dilihat oleh mereka.

Dari kejauhan aku melihat cahaya kekuningan yang mengarah ke arahku. Aku belum bisa memastikan, apakah cahaya itu berasal dari warga yang ikut melakukan pencarian atau dari sosok lain. Meski begitu aku tetap melangkah ke arah cahaya itu.

Terlalu fokus pada kedatangan cahaya kekuningan itu membuatku menjadi kurang fokus pada medan yang kulalui. Alhasil kakiku tanpa sengaja tersandung pada sesuatu yang membuatku nyaris terjungkal kalau saja tidak cepat cepat menjaga keseimbangan tubuhku.

Kuarahkan cahaya senterku ke arah sesuatu yang menghalangi langkahku itu. Dan mataku terbelalak lebar seketika saat melihat bahwa apa yang barusan tersandung oleh kakiku itu ternyata adalah tubuh Junior yang tergeletak tak berdaya.

Aku segera berjongkok dan memeriksa sekujur tubuh anak itu. Syukurlah, ia masih bernafas. Namun kondisinya sepertinya sedang tak sadar alias pingsan akibat terjatuh dari ketinggian. Segera kutiup peluit untuk memberi tanda bahwa aku telah menemukan Junior. Namun kali ini tak ada balasan sama sekali. Hanya kesunyian yang kudengar. Ini Aneh! Mengingat belum juga semenit yang lalu aku masih mendengar balasan tiupan peluit dari Mas Dedy dan Pak Hadi.

Aku lalu mencoba menyadarkan Junior. Sementara cahaya kekuningan itu juga semakin mendekat hingga mampu memantulkan bayanganku. Aku sangat berharap mereka adalah para warga yang datang untuk membantuku.

Junior tersadar. Anak itu mengerang sambil memegangi kepalanya. Segera kuperiksa kepala anak itu. Sepertinya tak ada cidera yang serius. Sungguh suatu keajaiban, mengingat cerita Annisa bahwa siapapun yang jatuh ke jurang ini pasti tak akan bisa selamat. Aku semakin meragukan kejujuran gadis itu.

Aku lalu mencoba membantu Junior untuk berdiri. Anak itu meringis. Sepertinya ada cidera di kakinya. Aku tak tau seberapa serius, karena tak sempat untuk memeriksanya. Tarapan Junior ke arah cahaya kekuningan yang semakin mendekat itu membuatku waspada. Apalagi wajah Junior nampak sedikit menegang.

"Anjriittt!!!" Aku mengumpat sejadinya saat menoleh dan mendapati kalau yang datang itu ternyata bukanlah para warga desa, melainkan para manusia gila. Bayangan mereka menari nari dalam keremangan. Terlihat sangat menyeramkan, seolah hendak menerkam dan merampas jiwa Junior.

Aku segera bersiaga dan menghadang mereka, sambil berusaha untuk melindungi Junior. Makhluk makhluk itu menggeram. Seolah hendak menunjukkan kuasa mereka. Sedikit ciut juga nyaliku mendengar geraman mereka yang terdengar menyeramkan itu. Tapi aku tak boleh takut. Keselamatanku dan juga Junior bergantung di tanganku. Andaipun aku harus mati di dasar jurang ini, aku ingin mati sebagai seorang kesatria.

Makhluk makhluk itu semakin mendekat sambil menggeram geram. Kulayangkan tendanganku ke arah makhluk yang paling dekat denganku.
"Whuuusss...!!!" Ujung sepatuku telak menghajar wajah sosok itu. Sosok itupun lalu menghilang bagai debu tersapu angin.

Melihat salah satu temannya berhasil aku lumpuhkan, makhluk makhluk itu terlihat semakin beringas. Mereka berjalan terseok seok mengepungku. Batu batu yang masih kugenggam lalu kulemparkan ke arah makhluk makhluk itu. Namun batu batu itu hanya melayang menembus sosok mereka.

Batu di tanganku telah habis kini. Dan makhluk makhluk itu semakin dekat mengepungku. Aku lalu membaca rapalan dan melayangkan tendangan dan pukulan ke arah mereka. Aku nggak yakin apakah hantu hantu ini benar benar nyata atau hanya sekedar imajinasi otakku saja. Aku terus menghujani mereka dengan tendangan dan pukulan hingga satu persatu makhluk makhluk itu lenyap tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

Entah sudah berapa lama aku berjibaku menghajar makhluk makhluk itu. Yang jelas aku merasakan lelah yang teramat sangat begitu makhluk makhluk itu telah habis menghilang. Hanya menyisakan cahaya kekuningan yang tak jelas darimana sumbernya menerangi dasar jurang ini.

Aku lalu kembali membantu Junior untuk berdiri. Anak itu kembali meringis menahan sakit pada kakinya yang cidera.

"Siapa yang mendorongmu sampai bisa jatuh ke jurang?" Tanyaku penuh selidik.

Junior hanya diam.

"Annisa?!"

"Bukan," jawab Junior masih sambil meringis menahan sakit.

Aku mengulang pertanyaanku untuk memastikan. Dan lagi lagi Junior hanya menggeleng. Wajah anak itu terlihat takut melihat aku yang datang menolongnya. Entah apa yang ada di pikiran anak itu. Mungkin jiwanya sedikit terguncang saat menyadari bahwa ia hampir saja kehilangan nyawanya.

Aku lalu mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tak kutemukan lagi jalan yang kulalui saat turun tadi. Yang kulihat justru cahaya kekuningan yang kembali mendekat ke arahku.

Sial! Aku sudah cukup lelah untuk kembali berkelahi. Cara satu satunya untuk mebela diri hanyalah menggunakan pistol airgunku. Persetan kalau malam ini aku terpaksa harus menembak dan membunuh, daripada aku yang harus mati konyol di hutan terkutuk ini. Segera kusiagakan pistolku. Kugeser pin pengaman dan pistol itupun siap memuntahkan peluru.

Cahaya kekuningan itu semakin mendekat. Aku menghela nafas lega. Sepertinya aku tak perlu menjadi pembunuh malam ini, karena ternyata yang datang dengan cahaya kekuningan itu adalah si nenek pencari kayu bakar.

Aku sedikit terkejut. Apalagi tanpa banyak bicara nenek itu lalu menarik tanganku dan menuntunku ke arah jalan yang sedang kucari cari. Hal ini kembali membuatku bertanya tanya dalam hati. Kecurigaanku kepada Annisa semakin bertambah. Gadis itu bilang kalau nenek ini sudah lama mati.

Kalau apa yang dikatakan Annisa itu benar, lalu siapa yang sedang menarik tanganku dan menunjukkan jalan untuk kembali naik keatas jurang ini?

Tak mungkin kalau hantu, meski aku merasakan pegangan tangan si nenek di pergelangan tanganku memang terasa dingin dan kaku. Junior yang berjalan terpincang pincang mengikutiku dari belakang kudengar sedang komat kamit dan menggumamkan rapalan. Entah apa yang dirasakan oleh Junior saat ini.

Nenek itu terus menarik tanganku ke satu arah. Sedikit demi sedikit akupun mulai menyadari bahwa arah yang kami lalui ini memang jalanan yang menuju ke kebun kopi yang tadi kulalui saat menuruni jurang. Aku lalu berinisiatif untuk kembali meniup peluitku. Samar samar kudengar balasan dari kejauhan.

Nenek itu menghentikan langkahnya, lalu melepaskan pegangannya pada tanganku. Ia menunjuk ke satu arah, lalu segera berlalu dari hadapanku, tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk mengucap sepatah katapun.

Aku tertegun sesaat sambil memandangi kepergian si Nenek yang melangkah begitu cepat, hingga dalam sekejap sosoknya menghilang di kegelapan. Cahaya senterku semakin meredup. Sepertinya aku tak punya waktu untuk memikirkan segala kejanggalan yang membingungkan ini. Aku harus segera membawa Junior naik sebelum senterku benar benar padam.

Dengan sedikit bersusah payah aku membantu Junior merangkak naik hingga sampai di kebun kopi. Sampai di undakan tempat tadi siang aku bertemu dengan si nenek pencari kayu bakar, aku kembali meniup peluit untuk memberitahukan posisi kami. Peluit balasan terdengar, lalu tak lama para warga mulai datang menghampiri dan membantu kami. Beberapa warga memapah Junior dan membawanya kembali ke desa.

Sampai di desa, seorang perempuan tua lalu membawa Junior ke belakang rumah dan mengguyur sekujur tubuh anak itu dengan air. Semetara aku yang sudah benar benar kelelahan segera menghempaskan pantatku di teras rumah. Beberapa warga sibuk menanyaiku soal apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun perhatianku justru tertuju pada Annisa.

Gadis itu semenjak tadi hanya diam membisu. Namun dengan jelas aku bisa melihat ada gurat aneh di wajahnya. Terbersit niat di hatiku untuk kembali menginterogasi gadis itu dan menanyakan soal si nenek yang barusan menolongku. Tapi niatku tertahan saat tiba tiba angin bertiup kencang menerbangkan debu dan dedaunan kering yang berserakan.

Warga yang masih berkumpul nampak kebingungan dengan fenomena aneh ini. Tak biasanya angin kencang bertiup kencang lalu tiba tiba berhenti seperti ini. Mereka saling pandang dengan tatapan penuh tanya. Entah apa yang ada di pikiran para warga saat itu.

Dan belum habis rasa keheranan warga, kembali angin kencang bertiup, lalu terhenti tiba tiba. Aku semakin merasa janggal. Firasatku mengatakan kalau ada sesuatu yang ingin berbuat jahat kepada kami.

Benar saja. Annisa yang berdiri agak jauh dari kerumunan warga tiba tiba jatuh terjengkang. Refleks aku segera melompat bangkit untuk menolongnya. Namun Annisa yang masih terlentang diatas tanah tiba tiba terseret kebelakang, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya dengan paksa, lalu meleparkannya ke mulut jurang yang menganga di samping rumah warga.

"Maaaassss...!!!" Masih sempat kudengar jeritan gadis itu sebelum tubuhnya menghilang ditelan kegelapan mulut jurang.

Tanpa pikir panjang aku segera berlari mengejar gadis itu. Teriakan teriakan dari warga sudah tak kuhiraukan lagi. Yang ada dalam pikiranku cuma satu, menyelamatkan Annisa.

Tak sempat mencari jalan yang aman, aku nekat merosot di lereng yang curam itu. Sebuah keputusan yang salah, karena lereng itu ternyata berakhir di tebing curam dengan dasar lembah yang sangat dalam. Terlambat bagiku untuk menyadarinya, hingga tanpa ampun lagi tubuhku meluncur deras ke dalam lembah dan menghantam batang pohon yang tumbuh horizontal, sebelum akhirnya terhempas di dasar lembah. Cahaya senter berkedip membuatku bisa melihat tubuh Annisa yang tergeletak bersimbah darah, sebelum tubuhku sendiri akhirnya terhempas. Semua menjadi gelap, dan aku tak ingat apa apa lagi.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close