Berburu Di Hutan Kopi (Part 8)
JEJAKMISTERI - Tak menyadari bahwa lereng itu ternyata berakhir di tebing curam yang berakhir di dasar lembah yang dalam, maka tanpa ampun lagi tubuhkupun terjun bebas dan menghantam sebatang pohon yang tumbuh secara horizontal, sebelum akhirnya terhempas ke dasar lembah. Namun sesaat sebelumnya, dengan bantuan cahaya senter yang berkedip aku masih sempat melihat tubuh Annisa yang tergolek diam bersimbah darah di dasar lembah. Lalu semuanya gelap, dan aku tak ingat apa apa lagi.
***
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat aku terbangun, aku merasakan nyeri yang teramat sangat di sekujur tubuhku. Sinar rembulan yang menyelinap diantara lebatnya pepohonan menyadarkanku kalau aku tengah berada di dasar lembah. Sambil berusaha bangun aku meraba raba mencari senterku. Namun saat kutemukan, ternyata benda itu sudah tak bisa berfungsi lagi. Mati!
Kuselipkan senter itu di saku rompiku, lalu aku menyalakan senter dari korek apiku. Kulihat peralatanku berserakan disekitarku. Aku segera membereskannya. Ada rasa perih yang kurasakan di pinggangku. Saat kuperiksa ternyata tanpa sengaja pisauku sendiri yang telah menggoresnya. Senjata makan tuan!
"Djanc*k!" makiku sambil memeriksa pistolku yang sepertinya masih bisa dipergunakan dengan baik. Ransel berisi perbekalan kutemukan dengan isi yang nyaris hancur berantakan. Keju keju bekalku telah lumat tak berbentuk lagi, seperti habis digeprek! Tapi sepertinya masih bisa dimakan. Botol minumku juga terlihat penyok, meski sebagian isinya masih bisa kuselamatkan.
Annisa! Teringat dengan gadis itu, aku lalu mengarahkan cahaya senter dari korek apiku ke arah tempat dimana tadi kulihat sosok Annisa yang tergeletak bersimbah darah. Namun tak kutemukan sosok gadis itu. Hanya ada bekas jatuhnya dengan sisa sisa darah yang berceceran.
Gawat! Ini jelas bukan hal yang baik. Tak mungkin dengan kondisinya yang seperti itu Annisa bisa pergi dari tempat ini. Sesuatu pasti telah membawanya. Tapi kemana?
Ah, iya. Hutan larangan! Tak salah lagi. Makhluk makhluk biadab itu pasti telah membawanya kesana. Aku harus segera menyelamatkan gadis itu, sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi dengan gadis itu.
Aku lalu mencoba mengotak atik lagi senterku. Kuganti batteraynya dengan batteray cadangan. Alhamdulillah! Akhirnya bisa nyala juga. Dengan bantuan sorot senter itu aku lalu mencari cari arah yang menuju ke hutan larangan itu. Kuarahkan sorot senterku ke segala penjuru, sampai akhirnya menangkap bayangan hitam tinggi menjulang di kejauhan. Itu pasti pohon besar yang diceritakan oleh Annisa kemarin. Itu bisa kujadikan patokan. Akupun lalu mengunci arah itu dengan kompasku yang ternyata juga masih berfungsi dengan baik.
Dengan tertatih tatih akibat luka luka yang kuderita, akupun melangkah menembus lebatnya hutan. Semakin jauh aku meninggalkan lembah, semakin kuat kurasakan hawa aneh menyelimuti area di sekitarku. Makhluk makhluk biadab itu, pastilah mereka kini telah mengintaiku. Aku harus waspada. Beberapa batu yang kutemukan sepanjang perjalanan kupungut untuk kujadikan senjata.
Benar saja, tak berapa lama setelah aku meninggalkan lembah, sosok sosok itu mulai berkelebatan disekitarku. Bahkan ada yang tiba tiba muncul tepat di depan wajahku sambl meringis memamerkan wajah jeleknya. Refleks kuhajar makhluk itu dengan tinjuku, dan sama seperti kemarin sosok itu langsung menghilang bagai debu tersapu angin.
"Brengsek!" seruku saat menyadari beberapa sosok itu mulai menggangguku dengan bayangan bayangan yang menyerupai mendiang istri dan anakku. Entah darimana mereka mengetahui tentang masa laluku. Aku seolah berada di dunia ilusi. Apa yang kulihat adalah antara nyata dan tak kasat mata. Makhluk makhluk itu terlihat nyata di indera pengelihatanku. Suara suara mereka juga terdengar jelas di indera pendengaranku. Namun saat aku mencoba menyentuh mereka seolah hanya menyentuh angin.
Aku terus melangkah, sambil sesekali memukul dan menendang makhluk makhluk yang terus menggangguku itu. Langkahku terasa semakin berat, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahan kakiku. Bahkan sesekali aku harus menyeret kakiku dengan susah payah agar bisa terus berjalan.
"Met...! Lupakah kau dengan janji kita untuk bertemu di Australia? Aku rindu padamu Met!"
Arrggghhh....!!! Suara itu! Suara syahdu mendayu dayu yang sanggup menggetarkan hatiku. Berani sekali makhluk biadab ini mewujud sebagai kekasihku dan meniru suaranya! Kulayangkan tinjuku ke arah makhluk yang melambai lambai di hadapanku itu hingga sosoknya menghilang bagai debu.
Langkahku semakin berat. Rasa lemah dan lemas menghampiri. Juga rasa haus dan lapar. Sesekali sambil berjalan aku mengunyak sisa sisa kejuku yang telah hancur tak berbentuk itu, lalu menenggak sedikit air minumku. Aku harus menghemat perbekalan, karena aku tak tau sampai berapa lama aku akan terjebak di tempat terkutuk ini. Atau justru akan terjebak selamanya dan mati konyol disini.
Gangguan gangguan dari makhluk makhluk laknat itu masih terus berdatangan. Saat aku nyaris terjerembab karena kehabisan tenaga, kurasakan ada yang membantuku dari belakang. Aku menoleh. Sosok seorang dokter tersenyum ke arahku dan menyarankan agar aku beristirahat terlebih dahulu.
"Cuih!" tanpa basa basi kuludahi wajah dokter itu, karena aku yakin ia juga bagian dari makhluk makhluk sialan ini. Dokter macam apa yang keluyuran di tengah hutan belantara malam malam begini!
Aku mempercepat langkahku, dengan gangguan gangguan yang semakin gencar menggodaku. Aura gelap semakin terasa, seiring dengan semakin lebatnya pepohonan. Sinar rembulan nyaris tak mampu lagi menembus lebatnya dedaunan. Benar benar terasa sangat mencekam, membuat nyaliku semakin menciut. Tapi bayangan Annisa yang tergeletak bersimbah darah kembali memacu semangatku. Apapun resikonya, aku harus bisa menemukan Annisa dan membawanya pulang ke desa.
Sampai akhirnya, tibalah aku di bawah pohon besar itu. Batangnya yang menjulang tinggi dengan dahan dahan dan daun daunya yang rimbun nampak bak raksasa hitam yang berdiri angkuh menantangku. Beberapa sosok berambut gondrong dengan pakaian serba putih nampak duduk di dahan dahan pohon itu sambil tertawa mengikik dan menggoyang goyangkan kakinya. Entah apa makna dari tawa mereka, mentertawakan kebodohanku, atau meminta tolong karena tak bisa turun? Ah, persetan dengan mereka. Apa peduliku dengan makhluk makhluk itu. Kalau berani turun dan mendekat, akan kuhajar mereka sampai lumat.
Pandangaku kini tertuju pada sosok yang tergeletak diantara akar akar pohon yang menyembul dari dalam tanah itu. Tak salah lagi, itu Annisa! Tergeletak diam dengan sisa sisa darah yang mulai mengering menyelimuti kedua kakinya. Entah gadis itu masih hidup atau sudah....
Aku mencoba semakin mempercepat langkahku. Namun semakin aku mendekat ke arah pohon itu, langkahku terasa semakin berat. Gaya gravitasi di tempat ini seolah memaku kedua kakiku ke permukaan tanah. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menyeret kedua kakiku secara bergantian, agar bisa mendekat ke arah pohon itu. Bahkan saat jarak antara aku dan pohon itu tinggal beberapa langkah lagi, aku sudah benar benar tak kuasa menggerakkan kedua belah kakiku. Terpaksa aku harus merangkak seperti zombie kelaparan, agar segera bisa menggapai tubuh Annisa.
Sungguh perjuangan yang sangat berat. Urat urat di tubuhku serasa nyaris putus karena kupaksa untuk menggerakkan tubuhku. Segala doa dan rapalan kuucap untuk membangkitkan semangatku, sampai akhirnya aku berhasil mengesot mendekati Annisa.
Segera kuperiksa sekujur tubuh gadis itu. Masih ada denyut nadi yang kurasakan meski sedikit lemah. Kedua kaki gadis itu juga sepertinya terluka cukup parah. Dengan berbagai cara aku mencoba menyadarkan gadis itu.
"Maassss...." beberapa saat kemudian gadis itu akhirnya tersadar dan mengerang lirih.
"Ayo, kita harus cepat pergi dari sini," bisikku lega.
Tanpa membuang waktu segera kugendong tubuh Annisa dipunggungku, karena jika melihat dari kondisinya jelas kalau gadis itu tak akan sanggup untuk berjalan sendiri.
Perjuanganku semakin berat. Dengan beban tubuh Annisa di punggungku, langkahku terasa semakin berat sampai berkali kali lipat. Dan gangguan gangguan dari makhluk makhluk tak beradab itu masih juga terus berdatangan.
Sesosok berambut gondrong menghadang langkahku. Tangannya menunjuk tepat ke arah pohon besar yang ada di belakangku. Tanpa ampun kuhajar sosok itu dengan tendangan hingga lenyap bagai debu.
Namun dibelakang sosok yang telah menghilang itu masih ada sosok yang lain. Sosok yang sama dengan posisi yang sama. Menunjuk ke arah pohon besar di belakangku. Dan setelah kuperhatikan, dibelakngnya juga ada sosok yang lain, juga dengan posisi yang sama. Lalu dibelakangnya lagi, lagi, dan lagi. Mereka berbaris sambil menunjuk ke arah pohon besar di belakangku, seolah ingin memberitahuku akan sesuatu yang mengintai di belakangku.
Penasaran aku menoleh ke belakang. Dan aku terkejut saat mendapati bias cahaya kekuningan dengan siluet bayangan hitam tengah berdiri di salah satu dahan pohon besar itu.
"As*!" dengusku. Sosok dengan lentera bercahaya kekuningan itu perlahan melayang turun, memperlihatkan wajahnya yang sudah sangat familiar di mataku. Si nenek pencari kayu bakar.
Nenek itu menyeringai, memamerkan senyum sinisnya ke arahku. Dan pelan namun pasti, kulihat perubahan pada diri nenek itu. Kulitnya yang keriput perlahan mulai mengencang. Tubuhnya yang semula sedikit membungkuk menegak. Dan wajahnya, wajah tua penuh keriput itu perlahan mulai berubah menjadi wajah seorang perempuan muda yang sangat kukenal. Wajah mendiang istriku.
"Djanc*k! As*! Baj*ng*n!" segala sumpah serapah keluar dari mulutku. Aku benar benar muak dengan semua ini. Semua permainan yang diperankan oleh makhluk makhluk biadab itu benar benar telah menguras emosiku.
Makhluk yang kini telah mewujud menjadi mendiang istriku itu tersenyum. Senyuman lembut yang telah sekian lama aku rindukan. Tanpa sadar air matakupun meleleh. Kesadaranku sedikit menghilang, tersapu oleh rasa kerinduan yang membuncah di dalam dada.
"Mas! Mas! Mas kenapa?" Annisa menyadarkanku dengan menepuk nepuk pipiku. Sepertinya gadis itu sama sekali tak bisa melihat apa yang aku lihat. Tapi tepukan tangannya di pipiku sudah cukup untuk mengembalikan kesadaranku yang nyaris terpancing oleh ulah makhluk sialan itu.
Makhluk menjijikkan itu masih terus saja menggodaku dengan senyumannya. Menorehkan rasa sakit yang teramat sangat di hatiku.
"Mas kenapa menangis?" seru Annisa lagi sambil meringis menahan nyeri pada luka di kakinya.
"As*!" kembali aku mengumpat, menyadari bahwa nyaris saja aku terperdaya oleh akal bulus makhluk itu.
Seolah menyadari bahwa tipu dayanya sudah tak mempan terhadapku, wajah sosok itu kembali berubah menua. Kembali menjadi wajah si Nenek pencari kayu bakar, dan terus menua dan menua hingga menjadi sangat renta, semakin mengeriput, lalu perlahan hancur dengan daging daging yang mengelupas dan mengalirkan darah kental busuk kehitaman.
Tanpa ba bi bu aku lalu merangsek ke depan, berteriak lantang sambil menendang sosok itu dengan sekuat tenaga.
"Modyaaarrr koen!"
Sosok itu lenyap. Tinggal menyisakan cahaya kekuningan tanpa sumber yang jelas. Aku lalu berbalik dan bermaksud untuk segera pergi. Namun lagi lagi aku dibuat terkejut dengan kemunculan si nenek yang tepat di depan wajahku, memperlihatkan wajah hancurnya mengerikan.
"Aaaaaaaa.....! Djanc*k as* edan!" aku menjerit sekuat tenaga sambil melangkah mundur. Sosok nenek itu terus membayangiku. Dan tak cukup sampai di situ, sosok sosok yang lain juga muncul dengan merubah wujud menjadi nenek nenek yang sama. Nenek nenek berwajah hancur mengerikan.
"Wedhus!" luluh sudah segala keberanianku. Secepat yang aku bisa aku berusaha menghindari sosok sosok itu dengan masih menggendong Annisa di punggungku. Meski langkah terasa semakin berat, aku terus mencoba dan mencoba untuk menjauh, tanpa peduli lagi apakah makhluk makhluk itu masih mengikutiku atau tidak.
Hingga akhirnya, setelah kurasa aku cukup jauh meninggalkan area pohon besar itu, kuturunkan Annisa, lalu aku menggelosor merebahkan tubuhku di atas rerumputan. Tenagaku sudah benar benar terkuras habis.
"Mas, maaf..."
"Udah, nggak papa," tukasku disela dengus nafasku yang nyaris putus. Sadar bahwa kami masih berada di tengah tengah hutan dan kemungkinan masih belum aman, aku lalu membuka ranselku, mengunyah sedikit sisa bekalku dan membagikan kepada Annisa.
Tenagaku sedikit mulai kembali. Aku lalu mengeluarkan tali webingku dan membuat simpul sedemikian rupa agar bisa kugunakan untuk menggendong Annisa. Sesekali aku memperhatikan sekeliling, dan mendapati kalau kini kami telah berada di tempat yang asing. Tempat yang belum pernah aku survey. Tak terpikir lagi apakah aku tersesat atau tidak. Naluriku hanya mengatakan bahwa kami harus tetap berjalan dan secepatnya keluar dari hutan terkutuk ini. Tak masalah meski nanti keluarnya di kutub utara sekalipun. Yang penting keluar dari hutan.
Aku kembali berjalan ke satu arah dengan menggendong Annisa. Tak jauh di depanku nampak cahaya kekuningan yang seolah berusaha menunjukkan arah padaku. Aku bukan orang bodoh yang bisa tertipu dua kali. Aku yakin cahaya itu adalah jebakan. Maka aku segera memutar langkah menuju ke arah yang lain. Dan lagi lagi saat aku berbalik sosok nenek tua itu muncul tepat di depan wajahku. Ia menggeram geram dengan suara yang sangat mengerikan, menusuk tepat ke gendang telingaku hingga berdenging dan nyaris jebol. Secepat kilat kucabut pistolku dan kutarik pin pengamannya. Kutembak nenek itu tepat di kepalanya hingga jatuh terjengkang dan menghilang bagai debu tersapu angin.
Aku kembali berjalan setelah menyarungkan pistolku. Terdengar suara gemerisik seperti daun kering terinjak injak di sebelah kiriku. Segera kuarahkan senterku kesana, dan kudapati sesosok anak gadis kecil dengan gaun putih bersimbah darah.
"Ayaahhh...," seru anak kecil itu dengan suara sendu.
Edan! Masih saja hantu hantu itu berusaha menggodaku.
"Ayaaahhh...," lagi lagi anak kecil itu memanggilku.
"Siapa kamu?!" sentakku.
"Aku..., aku anakmu... ayaahhh...."
Sepertinya hantu ini benar benar ingin mempermainkan emosiku. Setelah tadi berusaha menjelma menjadi mendiang istriku, kini ia muncul dengan menyerupai mendiang anakku.
"Aku anak yang dulu ayah gugurkan dari kandungan kekasih ayah...., delapan tahun yang lalu...."
What?! Aku benar benar tercekat kini. Darimana hantu itu tau..... Sedemikian hebatkah mereka hingga bisa menyelami kehidupan masa laluku sampai sejauh itu? Tak mau terperdaya untuk kedua kalinya, segera kutendang sosok itu hingga menghilang bagai debu.
"Annisa...! Annisa...!" seruku sedikit cemas, karena semenjak tadi aku sedikitpun tak mendengar suara gadis dalam gendonganku itu.
Gadis itu tak merespon panggilanku. Tapi aku masih bisa merasakan hembusan nafasnya di tengkukku. Sepertinya gadis itu kembali pingsan karena tak kuasa menahan rasa sakit di kakinya. Aku harus segera membawa gadis ini ke tempat yang aman dan mengobati lukanya. Masih ada persediaan obat obatan di ranselku.
Aku kembali melangkah. Dan lagi lagi. Saat aku menyibakkan rumpun semak yang menghalangi langkahku, sosok anak kecil itu kembali muncul di depan wajahku.
"AYAH JAHAAATTTTTT...!!!" anak kecil itu berteriak nyaring hingga membuat telingaku terasa sangat sakit. Dengan perasaan kesal yang memuncak kembali kutendang sosok itu hingga menghilang bagai debu tersapu angin.
Aku lalu berbalik ke belakang, memastikan bahwa sosok itu tak akan muncul dari arah belakangku. Aman! Tak ada apa apa dibelakngku selain kegelapan. Aku kembali berbalik ke arah semula, dan...
"Whuaaaa.....!" sosok anak kecil itu kembali muncul di hadapanku sambil berteriak nyaring. Dan entah darimana datangnya, di tangan anak itu kini telah tergenggam sebilah pisau yang segera ditusukkan ke tubuhku.
"Ayah jahaaattt...!!!" anak itu menusukku dengan pisau yang dipegangnya, lalu mencabutnya kembali dengan sentakan kasar.
"Arrrgghhh...!!! Aku mengerang menahan sakit.
Anak itu tertawa sambil kembali menusukku di tempat yang sama.
"Ayah banyak dosa!" anak itu mencabut kembali pisaunya dari tubuhku.
"Kau....," aku mendelik menahan rasa sakit dan nyeri yang teramat sangat.
Untuk ketiga kalinya anak itu kembali menusukku di tempat yang sama. Aku terkesima sesaat, sebelum akhirnya tubuhku ambruk mencium tanah.
"Ayah harus ikut aku....," anak itu mencabut pisaunya dari tubuhku, lalu melangkah pergi sambil tertawa tawa seolah telah mendapatkan apa yang ia inginkan.
Rasa sakit yang teramat sangat serta darah yang terus membajir dari tubuhku, membuat kesadaranku semakin memudar, hingga akhirnya akupun tak ingat apa apa lagi.
***
Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Kukira aku sudah mati, saat samar samar aku mendengar suara yang memanggil manggil namaku. Suara yang sangat kukenal! Suara yang telah swkian lama aku rindukan! Suara mendiang istriku. Apakah aku sudah berada si akhirat hingga aku bisa mendengar suara istriku yang sudah lama mati? Atau ini hanya tipu daya para setan itu yang masih berusaha untuk menggodaku? Pelan pelan kubuka mataku, dan suara yang kudengar itu kini berubah menjadi suara Annisa.
"Mas! Mas! Mas!" gadis itu masih terus menyebut namaku sambil menepuk nepuk wajahku, mencoba untuk menyadarkanku.
Aku terpaku sejenak, mencoba mengembalikan semua kesadaranku. Kulihat wajah Annisa berada tepat diatas wajahku. Gadis itu terduduk sambil memangku kepalaku.
"Aku kenapa?" tanyaku.
"Ah, syukurlah kau sudah sadar Mas. Kukira tadi kau sudah mati," jawab gadis itu.
Mati? Ah, iya. Aku ingat. Tadi setan yang menyerupai mendiang anakku itu menusukku beberapa kali dengan pisau sampai aku jatuh tersungkur dan tak ingat apa apa lagi.
Aku segera bangun dan memeriksa perutku. Tak ada bekas tusukan sama sekali disana. Tapi kedua tangan dan bajuku basah bersimbah darah. Entah darah siapa dan darimana asalnya.
"Ini darah siapa Mas?" tanya Annisa panik.
"Nggak tau," jawabku sambil membuka ranselku dan mengeluarkan perbekalan.
"Kamu lapar?" tanyaku pada Annisa yang beberapa kali kulihat memegangi perutnya.
Gadis itu hanya menunduk. Segera kukeluarkan sisa keju yang sudah tak berbentuk itu dan kuberikan padanya. "Makanlah! Biar ada sedikit tenaga untuk melanjutkan perjalanan." Gadis itu tanpa malu malu segera menyambar dan mengunyah keju yang kuberikan.
"Bagaimana luka di kakimu?" tanyaku lagi saat gadis itu sibuk mengunyah.
"Masih sakit! Tapi sepertinya sudah bisa dipaksa untuk berjalan."
"Biar kuperiksa," kuarahkan sorot senterku ke kaki gadis itu. Ada luka robek yang lumayan dalam. Kotak P3K segera kukeluarkan dari ranselku. Namun sudah tak kutemukan kasa pembalut. Tak kurang akal aku segera melepas baju yang kukenakan lalu merobeknya dan kugunakan untuk membalut luka itu.
"Sudah! Dengan begini kakimu tak akan begitu terasa sakit lagi," aku mengenakan kembali rompiku.
"Eh, Mas punya tatto? Tatto apa itu Mas?" aku hanya nyengir, sempat sempatnya ia memperhatikan tatto di tubuhku disaat seperti ini.
"Eh, bukan apa apa, ini cuma kenang kenangan dari masa laluku," jawabku asal.
Aku lalu kembali membereskan ranselku, saat tiba tiba kudengar kembali suara tawa anak kecil. Sigap aku berdiri dan bersiaga. Senter kusorotkan ke segala arah. Namun suara itu tiba tiba menghilang.
"Mas kenapa? Kok kayak panik gitu?" tanya Annisa dengan nada cemas.
"Nggak papa kok, aku cuma merasa kalau tempat ini..., Arrrgghhh....!" belum selesai aku bicara, sesuatu menggigit kakiku, membuatku refleks berteriak kaget. Seekor luwak berukuran lumayan besar ternyata telah menyerangku. Kusambar binatang itu dan kubanting dengan sekuat tenaga ke batang pohon. Binatang malang itupun menggelepar sekarat.
"Mampus kau binatang laknat!" sungutku kesal sambil menginjak kepala luwak itu hingga hancur lumat. Darah muncrat bercampur dengan cairan otak membasahi sepatuku.
Suara gemerisik kembali terdengar dari arah sampingku. Seekor luwak yang lain datang dan langsung menyerangku. Aku berkelit dan menyambar tubuh binatang itu dan membantingnya ke pokok pohon. Nasib binatang itu sama dengan binatang yang pertama tadi. Mati dengan kepala hancur terinjak oleh sepatuku.
"Nis, kita harus segera pergi dari tempat ini," ujarku sambil membantu gadis itu untuk berdiri.
"Sepertinya aku sudah bisa jalan sendiri mas," ujar gadis itu saat aku berusaha untuk menggendongnya kembali.
"Tidak! Kamu belum kuat, emmm, maksudku, kita harus cepat, hutan ini, aku merasa ada yang tak beres dengan hutan ini. Semakin cepat kita keluar dari tempat ini, maka akan semakin baik. Dan dengan kondisi kakimu yang terluka,..."
Annisa sepertinya paham dengan yang aku maksud. Gadis itu pasrah saja saat aku menggendongnya. Ditengah kegelapan aku kembali berjalan tersaruk saruk menyusuri lebatnya hutan. Aku sudah tak tau lagi arah yang kutuju. Waktu juga sepertinya berjalan sangat lambat disini. Hingga suatu ketika, sayup sayup kudengar suara bergemuruh dari kejauhan.
"Kau dengar suara itu Nis?" tanyaku pada Annisa.
"Iya Mas, aku dengar. Itu suara kereta. Ah, sepertinya kita salah mengambil arah. Kita justru semakin menjauh dari desa Mas. Putar arah Mas, kita ke arah sana," Annisa menunjuk ke satu arah.
"Kamu yakin?" tanyaku untuk memastikan.
"Ya. Suara kereta tadi, aku tau sekarang kita berada dimana," jawab gadis itu penuh keyakinan.
Akupun mengikuti arah yang ditunjuk oleh Annisa. Jalur yang aku tempuh terasa makin terjal kini, membuat langkahku semakin lambat. Dan seolah belum cukup dengan rintangan yang sudah sedemikian berat ini, hujan tiba tiba turun dengan derasnya.
"Sial!" umpatku kesal. Hujan yang turun tiba tiba itu tentu saja semakin mempersulit langkahku. Ditambah lagi aku merasa kalau makhluk makhluk sialan itu belum sepenuhnya mau melepaskan kami. Aku masih merasa diikuti. Sayup sayup kudengar suara yang mirip dengan suara mendiang istriku masih terdengar memanggil manggil namaku. Sesekali juga terdengar suara jeritan melengking anak kecil yang membuat telingaku terasa sakit dan berdenging.
Aku mencoba untuk tak mengacuhkan suara suara itu. Annisa sepertinya juga tak mendengarnya. Itu bagus. Jadi gadis itu tak perlu merasa ketakutan sepertiku.
Hujan masih mengguyur. Aku terus melangkah setapak demi setapak dengan Annisa yang berada dalam gendonganku. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah tebing yang lumayan terjal. Aku mencoba untuk merangkak naik, namun terpeleset dan nyaris jatuh terjengkang kalau saja tidak segera menyambar sebuah akar yang menjuntai untuk berpegangan.
"Turunkan aku Mas! Tak mungkin kita bisa naik kalau Mas sambil menggendongku," seru Annisa setengah berteriak untuk mengimbangi suara gemuruh hujan.
"Kamu yakin bisa naik dengan kakimu yang terluka itu?" tanyaku, juga dengan setengah berteriak.
"Tak ada salahnya kalau kita coba dulu!" seru Annisa lagi. Akupun segera menurunkan Annisa dari gendonganku. Gadis itu meringis menahan rasa sakit di kakinya.
"Kamu naik duluan! Biar aku bantu dorong dari bawah!" seruku.
Annisa mengangguk, lalu berusaha merangkak naik dengan bersusah payah. Aku membantunya dengan mendorong dari bawah. Beberapa kali gadis itu nyaris tergelincir akibat permukaan tebing yang licin dan tanah tempatnya berpijak yang tak stabil karena basah terguyur hujan.
"Hati hati Nis, cari pegangan dan pijakan yang benar benar kuat," seruku memberi instruksi.
Setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya gadis itu sampai juga diatas tebing. Kini giliranku untuk naik. Sepertinya tak terlalu sulit. Jika Annisa saja bisa sampai ke atas, kenapa aku enggak? Apalagi hujan juga sepertinya mulai mereda, tinggal menyisakan gerimis rintik rintik.
Akupun mulai memanjat. Annisa mengulurkan tangannya dari atas, mencoba untuk membantuku. "Raih tanganku Mas, biar kubantu tarik dari atas!"
Aku semakin bersemangat. Harapanku untuk selamat semakin kuat begitu aku berhasil meraih tangan Annisa. Gadis itu berusaha menarikku ke atas. Namun sepertinya makhluk makhluk laknat penghuni hutan itu belum juga mau menyerah untuk mendapatkanku. Kurasakan sebuah cengkeraman di pergelangan kakiku dan menariknya kebawah.
"Djanc*k!" umpatku keras.
"Kenapa Mas?" seru Annisa tak mengerti.
"Nggak papa!" kulempar rali webing yang tadi kugunakan untuk menggendong Annisa keatas tebing, sementara tarikan tangan makhluk itu semakin kuat. Cengeraman tanganku pada tangan Annisa terlepas, dan aku kembali terhempas ke bawah.
"Kampret!" aku jatuh terkapar, sementara makhluk makhluk itu tertawa mengejek.
"Mas nggak papa?" teriak Annisa dari atas tebing.
"Ya. Aku nggak papa!" jawabku sambil berusaha bangkit. Tulang belulang di sekujur tubuhku terasa remuk redam. Tapi aku tak mau menyerah sampai disini.
Annisa berinisiatif untuk mengulurkan ujung tali ke bawah dan menarikku dengan tali itu. Gadis cerdas! Segera kuraih ujung tali itu dan kembali berusaha merangkak naik. Tangan tangan siluman itu masih terus berusaha menahanku. Kali ini aku tak mau dipercundangi untuk kedua kalinya. Kakiku kuayun ayunkan untuk menendang dan menghajar mereka. Beberapa kali aku nyaris tergelincir. Annisa dengan segenap kemampuannya terus berusaha menarikku ke atas.
"Whuaaahhh...!!!" aku berteriak lega saat akhirnya sampai diatas tebing. Kuhempaskan tubuhku diatas rerumputan yang basah oleh embun, sambil berusaha mengatur nafasku yang nyaris putus. Annisa ikut berbaring di sebelahku. Akhirnya kami bisa menarik nafas lega.
Rona kemerahan membias dari arah timur, menandakan kalau pagi hampir menjelang. Untuk sejenak kami hanya saling diam, mencoba mencerna kejadian yang baru saja kami alami. Seperti mimpi rasanya. Mimpi buruk yang nyaris saja merenggut kewarasan kami di hutan terkutuk itu.
"Mas! Lihat!" Annisa berseru sambil menunjuk ke satu arah. Aku mengikuti arah telunjuknya dengan mataku yang segera berbinar saat melihat gapura desa nun di bawah sana.
"Kita selamat Mas! Kita bisa kembali ke desa!" gadis itu berteriak kegirangan dan tanpa sungkan memelukku erat. Ada dua titik embun yang mengalir di pipinya, dan aku yakin itu adalah air mata kebahagiaan.
Pagi semakin terang. Beberapa orang mulai nampak hilir mudik di sekitaran gapura itu. Kami lalu berteriak teriak sekencang mungkin untuk meminta bantuan, karena kondisi kami memang sudah benar benar payah. Tak mungkin rasanya kalau harus kembali berjalan menuju ke desa.
Teriakan kami mengundang perhatian para warga. Mereka segera berbondong bondong datang untuk memberikan bantuan. Perjalanan kembali ke desa terasa sungguh sangat menyenangkan, setelah sebelumbya kami berjibaku melawan maut yang nyaris merenggut nyawa kami. Dua trail yang kami tumpangi berjalan menuruni bukit, dan sampailah kami di desa dengan disambut dengan sangat meriah. Warga seolah tak percaya kalau kami masih bisa semalat setelah dua hari menghilang semenjak jatuh ke jurang itu.
Aku tertegun mendengar cerita mereka. Dua hari katanya, padahal perasaanku hanya semalam saja kami tersesat di hutan terkutuk itu. Warga juga bilang bahwa tak ada hujan sama sekali semenjak kemarin. Padahal jelas jelas rompi yang kukenakan basah kuyup begini.
Tapi sudahlah, aku mencoba mengesampingkan segala keanehan itu. Yang penting kami sudah selamat bisa kembali ke desa. Beberapa warga segera membantuku dan Annisa untuk membersihkan diri dan memberi kami makanan yang cukup lezat terasa.
Pak Hadi nampak bicara serius dengan ayahnya Annisa sambil sesekali melirik ke arahku dan Annisa. Entah apa yang mereka bicarakan. Melihat gelagatnya sepertinya masih ada masalah serius yang harus kami hadapi.
Benar saja, ini kondisi darurat. Kami harus segera pergi dari desa ini. Akupun segera mengemasi barang barangku dan memasukkannya ke bagasi mobil. Kulihat mereka juga melakukan hal yang sama dengan barang barang Annisa. Ia juga harus secepatnya meninggalkan desa ini, demi keselamatannya sendiri.
Tanpa basa basi kami segera pulang. Perlahan mobil yang kami tumpangi menuruni lereng gunung. Ada rasa lega yang kurasakan, mesku sejuta pertanyaan masih menumpuk di hatiku. Guncangan suspensi mobil kurasakan begitu nyaman. Pepohonan yang menjulang tinggi kami lewati perlahan diantara jalanan berbatu. Dan mataku terbelalak seketika, saat melihat sesosok....
Nenek itu! Nenek itu melambai seolah mengucapkan selamat tinggal. Ia terus melambai dengan seringainya yang misterius, dan perlahan wajahnya berubah menjadi sosok yang mengerikan, lalu perlahan menghilang diterpa sinar mentari yang menembus pepohonan.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya