Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berburu Di Hutan Kopi (Part 1)


You want it. You need it. You love it. You hate it. (Soul creation)
You see it. You feel it. You touch it. Believe it. Right, right, right,

JEJAKMISTERI - Irama music cadas dari Seoul Creation yangenghentak dari speaker ponselku membuyarkan mimpi indahku. Dengan mata masih terpejam tanganku meraba raba, mencari keberadaan benda pipih yang kini entah tergeletak dimana.

"Cuk! Siapa sih yang nelpon malam malam begini?" gerutuku kesal sambil menolak panggilan itu, tanpa sempat melihat siapa yang menelepon. Akupun kembali meringkuk untuk melanjutkan mimpiku yang sempat tertunda.

You want it. You need it. You love it. You hate it. (Soul creation)
You see it. You feel it. You touch it. Believe it. Right, right, right.

Jengkel kuangkat tuh telepon tanpa melihat nama yang tertera di layarnya.

"Sapa?!" tanyaku dengan nada kubuat seketus mungkin.

"Lho, nomorku nggak kausimpen to Met?" jelas itu suara Mas Dedy.

"Oooo, napa Mas? Soal bengkel?? Masih berdiri kan?" tanyaku tanpa merasa bersalah.

"Masih bisa cuti nggak?"

"Napa?"

"Biasa, berburu... Ke hutan kopi... Banyak babi hutan, luwak, kalau beruntung bisa dapet kijang."

"Kijang??" tanyaku.

"Iya! Kijang hewan! Bukan kijang kapsul, kijang super, kijang doyok, atau kijang innova! Dagel mulu tuh mulut!"

"Tapi serius kan?" tanyaku lagi, mulai bersemangat. Kalau sudah urusan berburu, jelas aku nggak mau ketinggalan.

"Masa aku bohong! Dah ah, pokoknya kau mau ikut nggak?"

"Jelas ikutlah," kataku.

Kututup telepon, lalu segera kulihat jadwal di kalender. Besok aku harus pulang! Demi berburu ...


Jawa Timur, Oktober 2017

Singkat cerita aku sudah berada di bengkel Mas Dedy untuk membahas rencana berburu itu. Dua hari dua malam sepertinya cukup. Dan tanpa berunding terlalu lama, maka diputuskan kami akan berangkat besok pagi. Maka aku segera pulang untuk mengambil peralatan dan kebutuhan untuk berburu. Rompi, senapan angin, pistol airgun yang sudah diupgrade, kacamata polaris, juga sarung tangan serta topi. Tanpa sadar aku terswnyum tipis, kalau sudah begini, aku merasa menjadi seorang militer... cita-cita yang sampai saat ini tak pernah bisa kuraih.

Paginya, saat adzan Shubuh berkumandang, kugeber motor maticku menuju ke bengkel. Kuputar gas dalam dalam, dan motorpun melesat menembus jalanan yang berkabut. Kabut! Selalu membuat perasaanku tak tenang. Apalagi di kiri kanan jalan hanya ada hamparan persawahan, dengan pohon pohon besar di sisi kiri kanan jalan sebagai perindang jalan. Perasaanku sudah tak karuan. Hawa tak enak ini membuatku ingin cepat cepat sampai di bengkel. Gas kupuntir semakin dalam, motorpun melaju semakin cepat, hingga tiba-tiba, pantat sebuah pedati muncul tepat dihadapanku.

"Djanc*k!" tak sempat mengerem, kubanting stang kekiri untuk menghindari bagian belakang pedati pasir itu. Laju motor jadi tak terkendali, dan....

"Gabruuussss...!!!" aku bersama motorkupun sukses terjerumus ke area persawahan yang baru siap untuk digarap.

"As*! Djanc*k!" aku memaki sejadinya, sambil berusaha untuk bangun dan mendorong motorku kembali naik keatas aspal.

Dengan sedikit kasar kustandartkan motorku, lalu bergegas menengok ke tengah jalan, bermaksud untuk memaki kusir pedati yang sama sekali tak memakai lampu agar bisa dilihat pengendara lainnya itu. Tapi yang kudapati hanyalah jalanan yang sunyi dan kosong berkabut. Tak ada pedati.

"Ga mungkin tuh anj*ng bisa kabur secepat ini!" makiku sambil memeriksa motorku apakah masih bisa lanjut atau tidak.

Agak aneh memang, secepat apa pedati itu berjalan hingga bisa kabur dari pandanganku? Dan shubuh shubuh begini, sangat janggal kalau sudah ada pedati pengangkut pasir yang telah beroperasi.

Ah, whateverlah, aku memilih untuk melanjutkan perjalanan, karena motor ternyata masih bisa untuk dikendarai. Lama lama berada di tempat ini membuat bulu kudukku semakin merinding.

Aku kembali memutar tuas gas penuh. Kabut semakin pekat, tapi jarak pandang masih lumayan jauh. Kecepatan diatas 100 masih amanlah. Namun kejadian yang sama kembali terulang. Pedati! Muncul tiba-tiba di hadapanku, seolah keluar dari pekatnya gumpalan kabut.

Tak mau celaka dua kali, kubanting stang ke kanan, sambil menurunkan gas hingga motor masih bisa kukendalikan untuk mendahului pedati itu. Begitu laju motor sudah benar benar bisa kukendalikan, dan pedati itu berhasil kulewati, segera kuputar balik motorku untuk menghadang dan memaki kusir pedati itu.

Namun begitu aku putar balik, tak ada apapun yang aku dapati di hadapanku. Hanya jalanan yang sepi dan gelap berkabut. Tak ada pedati. Tak ada jejak sama sekali. As*! Ini pasti ulah mereka yang tak kasat mata.

"DJANC*K KOEN KABEH COK!!!" aku memaki sekeras yang aku bisa, lalu meludah ke sembarang arah.
Dengan sejuta perasaan dongkol aku lalu kembali melajukan motorku. Kali ini dengan kecepatan sedang. Jalanan ini sebentar lagi berakhir. Sebentar lagi sampai di bengkel. Namun lagi lagi pantat pedati itu muncul di hadapanku. Jengkel, gw geber motorku dan kusalip pedati itu sambil berteriak memaki.

"Djanc*k! As*! Jaran!!!" kusalip pedati itu sambil memaki. Saat aku berhasil mendahuluinya dan mengintip dari kaca spion, pedati itu telah raib seolah ditelan pekatnya kabut.

Aneh! Benar benar aneh. Pedati itu, hilang karena ditelan kegelapankah? atau memang itu pedati jadi jadian?

Ah, apa peduliku! Yang penting sekarang aku sudah sampai di bengkel. Keseruan memburu babi hutan yang sebentar akan aku rasakan, sedikit banyak membuatku lupa dengan kejadian yang barusan aku alami.

Namun siapa sangka, justru dari sinilah awal dari kejadian kejadian tak terduga yang datang menimpa kami secara bertubi-tubi.

****

Sampai di bengkel aku langsung mengecek kondisi motorku. Ban belakang nyaris kempes dengan pelek yang nyaris ringsek akibat terjun ke sawah tadi. Hantu sialan baik!!! Kalau begini caranya aku ngggak akan bisa pake ban tubles lagi nih!

"Kenapa Mas?" tanya Junior.

"Terjun ke sawah tadi, ngehindari pedati," jawabku.

"Lah, emang dimana?"

"Jalanan yang sono tuh," jawabku sambil mikir buat nanti beli pelek yang baru, atau tukar tambak saja sama pelek bekas di pasar loak?

"Seriusan Mas?" tanya Junior lagi penasaran.

"Ngapain aku boong? Sampe tiga kali lho sat aku ketemu ama tuh pedati," kataku.

"Terus gimana?" Pak Hadi yang penasaran ikut nimbrung sambil mengelap senjatanya. "Dulu pas pulang dari rumahmu aku juga begitu, pedati tiba tiba muncul sampai aku banting stir dan nabrak pohon. Untung ae aku pelan jalannya."

"Iya Pak! Pas melihat yang ketiga kalinya, aku maki aja tuh pedati!"

"Hei hei, gendheng kamu! itu dhemit lho! Ntar kita diikuti bagaimana?"

"Heleh!" sahutku meremehkan.

Pak Hadi ini pensiunan Abdi Negara. Dan kali ini beliau maju sebagai sopir dalam rombongan berburu kami. Memang tak butuh waktu lama untuk sampai ke kaki gunung. Tapi merayap ke atas gunung? Butuh waktu lebih dari dua jam.

"Napa tuh senapan lu peluk ae?" tanyaku ke Junior yang memeluk senapan anginnya.

"Udah lama latihan, kali ini benar benar siap tempur!" jawab Junior mantab.

"Cih!" decihku meremehkan. Sesuai dengan namanya, Junior memang yang paling junior diantara kami dalam soal berburu. Jangankan babi hutan, musangpun aku tak yakin anak itu akan berhasil menembaknya.

Jeep yang kami kendarai mulai merayap di gunung. Butuh skill khusus untuk mengemudi di tempat seperti ini. Karena itulah kami memilih Pak Hadi yang sudah sarat akan pengalaman itu untuk jadi pengemudi. Dan benar saja, baru saja kami mulai menanjak, kami sudah terjebak dalam kubangan lumpur. Terpaksa kami harus menggunakan bantuan Winch. Ketika winch bekerja memutar poros, seorang nenek melintas dan menyapa kami dengan ramah. Aneh, seorang nenek yang sudah sangat tua bisa dengan lincahnya melewati jalanan yang becek dan licin itu.

Ah, mungkin dia warga desa di lereng gunung ini, desa yang menjadi tujuan kami. Jadi mungkin sudah terbiasa dengan jalanan yang seperti ini, batinku.

Dan baru saja kami terbebas dari kubangan lumpur, kami kembali terperosok di jalanan licin. Aku mengunci freelock roda depan demi mengaktifkan four wheel drive. Tapi nyatanya kami tetap terjebak merayap menuju puncak dengan terseok seok. Sangat mengherankan kalau kami dikalahkan oleh sebuah pick up penuh muatan yang meliuk liuk merayap dengan mudahnya. Dan anehnya, sosok nenek yang sama kembali melintas dan menyapa kami.

Aku semakin merasa ada yang aneh dengan sosok nenek itu. Namun tidak dengan manusia lain di mobil ini. Entahlah. Mungkin mereka lebih fokus pada jalanan yang sedang kami lalui.

Setelah beberapa saat kami berjibaku dengan lumpur, akhirnya kami berhasil melewati sebuah gapura, yang menjadi tanda bahwa kami telah memasuki desa. Ini belum setengah dari perjalanan ke puncak. Namun kami sudah disuguhi oleh pemandangan alam yang memanjakan mata sekaligus mengerikan. Bagaimana tidak, sedikit saja kami ceroboh, maka jurang yang menganga dalam telah siap menelan kami.

Rumah rumah penduduk mulai terlihat. Memang tak ramai, tapi suasana asri mengalahkan aura sunyi yang menyelimuti desa di lereng gunung ini. Siang yang sebenarnya lumayan panas ini bahkan tak terasa sama sekali. Mungkin karena desa ini belum tercemar polusi serta kemunafikan dari alam sekitar. Aku benar benar merasa takjub. Selain pemandangan yang indah, setiap rumah di desa ini, yang terkesan kuno, ternyata dilengkapi dengan solar cell. Kami bisa menggunakan listrik sepuasnya disini.

***

Setelah puas mengisi perut di salah satu rumah warga, (yang belakangan kuketahui masih ada hubungan kerabat dengan Pak Hadi, dan warga inilah yang mengundang kami untuk membantu mereka membasmi babi hutan yang menjadi hama utama perkebunan kopi mereka), aku memilih untuk menyisir keadaan sekaligus melihat area kebun kopi milik warga. Hutan belantara di kejauhan menyita perhatianku. Dengan scope dari senapan aku menyapu pandangan ke segala arah. Dan tanpa sengaja scope senapanku mengarah pada sosok seorang nenek yang sedang berbincang dengan warga. Di tangannya tergenggam beberapa ranting pohon kering, tanda bahwa nenek itu adalah seorang pencari kayu bakar. Mereka nampak asyik mengobrol. Ah, pikiran anehku tentang nenek itu luntur seketika. Mungkin memang benar, nenek itu salah satu warga di desa ini.

Mataku masih terus mengamati si nenek melalui lensa scope, hingga warga lawan bicara si nenek itu pergi untuk melanjutkan pekerjaannya di kebunnya. Nenek itu lalu berbalik dan memunguti ranting ranting kering. Aku terus memperhatikannya, dengan memperbesar lensa scope senapanku sampai titik maksimal. Hingga sampai suatu ketika, dengan gerakan yang sangat tiba tiba, nenek itu berbalik mengangkat wajahnya, lalu menatap jauh tepat kearahku. Jauh memang jarak kami, dan mustahil nenek itu bisa melihatku. Namun aku merasakan, sorot mata nenek itu begitu tajam menembus lensa scope dan menghunjam tepat di mataku. Aku sampai tersentak mundur karena kaget, karena dengan jelas aku melihat nenek itu tersenyum penuh makna, yang menyiratkan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Tersenyum? Itu lebih mirip sebuah seringaian daripada sebuah senyuman, yang tanpa sadar mampu membuatku bergidik ngeri.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close