Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 3)


JEJAKMISTERI - "Ayo, rodok cepetan, Selak udane tibo!" (Ayo, agak di percepat, keburu hujanya turun!)" seru seorang lelaki menyemangati beberapa orang temanya, yang tengah menggali sebuah liang untuk sebuah pemakan.

Sesaat, beberapa orang yang berada di tanah pemakaman umum, menengadahkan kepalanya. Menatapi gumpalan awan-awan hitam saling berkejaran dan berkumpul di satu titik, membuat langit terlihat gelap pekat di ujung sebelah Utara.

Melihat hal itu, seketika dua orang yang berada di dalam liang, mempercepat ayunan cangkul di tangan mereka, demi memperdalam lubang untuk di jadikan rumah terakhir bagi Sasa. 

Meski sudah di temani tiga buah lampu besar yang terang, namun mereka, puluhan orang yang ada di tanah kuburan, khususnya malam itu, sedikit merasakan hawa mencekam. 
 
Walaupun sudah terbiasa dengan acara pemakaman di waktu malam, tapi kali ini, suasana hati dan pikiran mereka berbeda. 

Bukan tanpa alasan mereka merasakan hal itu. Mengingat, malam itu, yang akan di makamkan di liang lahat buatan mereka, adalah Sasa. Bocah yang mereka kenal sebagai sosok anak periang, meninggal dengan cara tragis. Bahkan, sebagian besar dari mereka meyakini, jika kematian Sasa, karena di kalabkan (Istilah di jadikan tumbal dengan cara di tenggelamkan), karena tempat kejadiannya yang sudah sering mereka dengar.

"Ehh, wes rampung durung? Kae koyone wes teko." (Ehh, sudah selesai apa belum? Itu kelihatanya sudah datang.)" 
Sejenak, puluhan orang yang mendengar ucapan salah satu rekan mereka, memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan desa. Di mana, dari kejauhan, tepatnya dari arah jalan batas Desa, terlihat kerlipan cahaya senter dan iring-iringan warga berjalan cepat mengikuti sebuah keranda bertutup kain hijau, dengan iringan kalimah Tahlil.

Mereka serentak berdiri, sedikit menjauh dari liang lahat yang memang sudah siap, memberi ruang bagi para pemanggul keranda ketika sudah tiba.

Tak berapa lama suasana terlihat hening. Semua terdiam dengan tatapan mengarah pada keranda yang tengah di buka perlahan, menunggu sampai sebujur tubuh kecil terbungkus kain putih, terlihat jelas dari paparan cahaya lampu. 

Namun, sebentar kemudian, suasana berubah. Ketika beberapa orang yang berada di dekat jasad membujur kaku itu, tiba-tiba beringsut mundur sambil menutup hidung. Wajah mereka pucat seperti ketakutan, mengundang rasa penasaran semua orang yang menyaksikan.

Mbah Malik, yang menyadari keadaan itu segera memerintahkan beberapa orang di dekatnya untuk segera memasukan jenazah Sasa. Walaupun awal menolak, tapi atas desakan disertai permintaan khusus darinya, empat lelaki di sampingnya dengan terpaksa maju dan segera memasukan jenazah ke liang lahat, bermodalkan kain-kain sarung untuk menutup penciuman mereka.

Baru saja mereka selesai menimbun, membuat gundukan tanah bernisan kayu, rintik gerimis langsung menyambut. Membuat Mbah Malik buru-buru membaca doa, sebagai prosesi terakhir pemakaman Sasa.

***

"Wik, awakmu seng sabar, kuat. Trimo o nek Iki ngunu wes dadi pestine Nduk Sasa." (wik, Kamu yang sabar, kuat. Terimalah kalau ini sudah menjadi takdirnya Nduk Sasa)"

Wiwik, yang masih terlihat sangat Syok, sedikit memelankan isakan tangisnya, kala melihat seorang wanita bergamis dan berkerudung hitam, baru saja masuk kedalam kamar dan berucap padanya. 

"Njeh, Buk. Tapi kulo mboten Ikhlas," (Iya, Buk. Tapi Saya tidak Ikhlas,)" sahut Wiwik di sela-sela isakanya.
Sang wanita bergamis hitam duduk di samping Wiwik, segera meraih kepala dan membenamkan ke dadanya. Membiarkan Wiwik kembali menangis sambil mengungkapkan penyesalanya.
Sementara, semua mata beberapa wanita, kerabat dan tetangga Wiwik yang awal menemani, melempar saling pandang melihat kejadian itu.

Ada rasa sungkan dan tak enak, yang tersirat pada wajah mereka setelah kedatangan wanita 50an namun masih terlihat ayu. Sebab, mereka tau siapa sosok bergamis dan berkerudung hitam yang masih memeluk kepala Wiwik, bukanlah wanita biasa layaknya mereka. Melainkan, seorang wanita yang terkenal dan di segani karena kekayaannya.

Memang bukan hal aneh jika sosok yang biasa di panggil Buk Hajah Diyah, datang melayat ke rumah Wiwik. Bahkan bisa di katakan satu keharusan, mengingat Zul, suami Wiwik, dan Wiwik sendiri begitu dekat dengannya. Bukan hanya karena Zul, yang bekerja padanya. Tapi, semua kerabat dan warga kampung tau, jika selama ini Wiwik dan Sasa sudah di anggap seperti Anak dan cucunya sendiri. 

Namun, dari sekian banyak pasang mata yang mengenal dan menatap Buk Diyah dengan tatapan segan penuh rasa hormat, ada satu pasang mata yang menyorot tajam dan terlihat takut melihatnya. Sepasang mata itu adalah, milik Mbah Han.

Entah apa yang menjadi penyebab Mbah Han, begitu terlihat cemas ketika melihat kedatangan Buk Diyah. Bahkan dirinya memilih menyendiri ke belakang rumah, saat tau sosok Buk Diyah ada di kamar Wiwik. Mbah Han terlihat duduk di teras belakang dengan wajah menggurat kegelisahan. Matanya menerawang jauh, menatap gelap malam berhawa dingin dan berhias rintik gerimis yang belum mereda. Seperti tengah membayangkan atau memutar kembali memori ingatannya di masa lalu. Masa-masa yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam, tapi kini, memaksanya untuk membungkar setelah kematian Cucu kesayangannya.

Tetapi, nampaknya bukan hanya itu saja yang bakal menjadi beban dan ketakutanya. Melainkan satu kejadian yang seketika membuat wajahnya berubah menegang.

Bermula dari terdengarnya suara tangisan lirih dari sisi sebelah kanan, atau tepat, di belakang sumur dan kamar mandi rumahnya. 
Awal Mbah Han tak menghiraukan tangisan yang lebih kepada sebuah suara rintihan. Ia beranggapan jika suara itu berasal dari keponakan atau pelayat lain yang memang pada saat itu masih sedikit ramai.

Akan tetapi, ketika suara itu di rasa semakin jelas dan seperti mendekat ke arahnya, Mbah Han mulai merasakan hal lain. Apalagi, suara yang lagi-lagi terdengar seperti begitu dekat di telinganya jelas milik suara seorang anak kecil. Membuatnya spontan terhenyak, dan bangkit dari kursi plastik. Matanya sejenak mengedar, mengamati tiap-tiap sudut yang terpapar jangkauan cahaya lampu teras, mencari sumber suara.

Lama Mbah han, tertahan, berdiri dalam kebisuan tanpa tau sumber suara yang masih terdengar. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke arah yang di yakininya.

Namun, sesampainya ia di tempat itu, hanya keheningan dan gemericik tetesan air dari atap genteng kamar mandi yang terdengar. Selebihnya, suara yang sempat membuatnya merinding hilang. 

Setelah memastikan keadaan dan meyakinkan dirinya sendiri, Mbah Han berangsur meninggalkan tempat itu. Tapi, kemudian urung. Manakala tiba-tiba hidungnya tersapu satu aroma yang menyengat. 
Aroma yang sesaat membuat Mbah Han tertegun, berpikir dan mencoba mengingat. Hingga saat sapuan aroma itu kembali menyusup ke rongga hidungnya, Mbah Han langsung terjingkat. Ia kini ingat betul, jika aroma layaknya bangkai yang membusuk, sudah dua kali ia cium sebelumnya. Yaitu, saat ia membuka kain kafan Sasa dan saat pemakaman Sasa.
 
Saat itu juga, wajah Mbah Han pias memucat. Ia terbayang kembali satu kengerian yang hanya dirinya dan Mbah Malik lihat, ketika membuka kain kafan Sasa. Di mana, bukan jasad cucunya  terlihat oleh matanya, tapi seekor bangkai ular tak bermata, yang menjadi penanda suatu pewadalan...
[BERSAMBUNG]

****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close