Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 4)


JEJAKMISTERI - "Ya Allah, apa yang sudah terjadi? Apakah...?" 
Tak kuasa Mbah Han untuk meneruskan gumamanya. Ia memilih meninggalkan halaman belakang itu dengan cepat. Sekarang satu kejanggalan sudah terjawab. Tapi, kini muncul kembali dan ini sepertinya jauh ia rasakan lebih besar.

Sebentar langkah Mbah Han terhenti di ruang keluarga. Menajamkan pendengarannya pada sebuah kamar yang hanya berjarak beberapa langkah. Seperti ingin memastikan meski pintu kamar sudah tertutup rapat. 

Namun, baru saja ia akan kembali melangkah, satu sapaan dari belakang menahanya.

"Bapak." 
Terkejut Mbah Han, mendengar suara Zul yang tiba-tiba sudah di belakangnya. Tapi, Mbah Han lebih terkejut lagi, saat membalikan tubuh, melihat sosok Buk Diyah, berada di samping Zul.

"Ini, Buk Diyah mau pamitan, sama Bapak." 
Mbah Han terdiam. Mulutnya seolah terkunci, meski ia melihat sosok anggun Buk Diyah tersenyum padanya, tapi, dari balik senyum itu, Mbah Han seolah melihat satu kengerian yang menakutkan, hingga membuatnya cepat-cepat menunduk, setelah mengangguk pelan.

Dada Mbah Han bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang, mendapati aroma semerbak dari tubuh Buk Diyah saat melewatinya dengan diam. Dan satu lagi yang membuat wajah Mbah Han mempias. Seulas sunggingan senyum yang masih menghias dari sudut bibir Buk Diyah, seperti mengartikan sesuatu.

Entah mengapa, setiap kali Mbah Han bertemu, dan mencium aroma khas seperti bunga melati, selalu membuat darahnya berdesir kuat. Padahal, aroma wangi itu sudah ia lupakan puluhan tahun silam, tepatnya saat Sanusi, sahabat sekaligus Bosnya dulu meninggal.

Tapi kini, aroma itu kembali hadir, kembali ia cium dari tubuh Buk Diyah, yang memang satu hal kewajaran, mengingat Buk Diyah, satu-satunya anak perempuan Sanusi selain satu lelaki yang juga mewarisi sebagian harta Sanusi.

Malam semakin merambah jauh. Tiupan angin dingin dari area persawahan, menjadi satu hal yang pasti, setiap hari, setiap malam di rasa warga sekitar. Tapi, malam itu, malam duka bagi keluarga besar Mbah Han, angin yang berhembus terasa anyep. Apalagi setelah kepergian Buk Diyah dan di susul yang lainya, semakin hawa anyep menyelimuti sekujur tubuh Mbah Han.

Malam itu, tak sedikit pun rasa kantuk menyerang mata Mbah Han. Membuatnya bertahan sampai suara Adzan subuh berkumandang. Satu panggilan kewajiban baginya untuk segera ia tunaikan, meski masih tersusupi rasa duka mendalam.

Tapi kali ini, ia memilih untuk tak melangkah ke masjid seperti biasanya. Entah karena masih berduka atau ada hawa lain. Mbah Han memutuskan untuk menunaikan dua Reka'atnya di rumah.

Dingin, air suci nan mensucikan membasuh bagian-bagian tubuh Mbah Han. Namun lebih dingin lagi ia rasa di sekujur tubuhnya, saat baru akan meninggalkan tempatnya bersuci, matanya di kejutkan satu bayangan membungkuk di sudut kanan, belakang kamar mandi. 

Sedikit ragu menyirat di wajah basah Mbah Han. Namun demi memastikan, Mbah Han akhirnya memutuskan untuk menunda dua Reka'atnya. Melangkah pelan, menghampiri tempat di mana ia melihat bayangan yang sudah mengejutkannya.

Perlahan kaki Mbah Han menapaki tanah berpasir di sisi kamar mandi. Ia mencoba membangun keberanian melawan bau wangi yang mulai mencekam jiwanya. Sampai akhirnya tubuh Mbah Han, benar-benar di rasa kaku, dingin membeku. Mendapati satu sosok wanita tua, berambut acak-acakkan tengah duduk bersimpuh.

Mata sosok wanita tua itu seketika menatap Mbah Han, tersenyum menyeringai, membuat wajah Mbah Han semakin mempias putih.

"Sinten, njenengan?" (siapa, Kamu?)
Mbah Han memaksa bibirnya untuk bertanya. 

Mendengar pertanyaan Mbah Han, sosok wanita tua berkebaya itu semakin menyeringai, membuat Mbah Han sadar dan yakin jika yang ada di hadapannya bukanlah manusia. Apalagi, saat matanya melihat tiga bungkus daun pisang berisi bunga warna-warni di hadapan sosok itu, goyahlah kedua lutut Mbah Han.

"Bbuuukk"

Mbah Han roboh. Lututnya sudah tak mampu menopang tubuhnya yang gemetar. Mbah Han terduduk, bersimpuh menghadap sosok yang kini mulai menyuap bunga warna-warni di hadapanya.

Sosok itu terus melahap, tanpa memperdulikan keadaan Mbah Han yang sudah tak bisa berbuat apa-apa.

Baru, setelah ia menghabiskan tiga bungkus bunga, sosok wanita yang ternyata berbola mata putih rata. Tertawa lirih, melihat keadaan Mbah Han yang pucat pasi dan gemetar. Ia kemudian bangkit, mendongak keatas dan menatap kembali sebentar pada Mbah Han, sebelum tubuh bungkuknya melangkah pergi seraya bersenandung tembang yang tak di mengerti oleh Mbah Han.

Setelah sosok itu menghilang, sedikit demi sedikit Mbah Han kembali menguasai kesadarannya. Perlahan tubuhnya bangkit, mengabaikan rasa ngilu pada tulang-tulangnya, demi bisa segera meninggalkan tempat itu.

Sepanjang pagi, rasa takut masih terus menjalari jiwa Mbah Han. Bukan hanya karena wujud sosok itu. Tapi juga pada tiga bungkus bunga, seperti sengaja di siapkan untuk mengundang sosok itu. Sebab Mbah Han tau, jika hal itu ada kaitannya dengan kematian Sasa, dan menjadi satu pertanda buruk selanjutnya, bagi seluruh keluarganya.

Menyadari akan hal itu, Mbah Han keluar kamar. Ia bergegas mencari keberadaan Zul. Namun, berkali-kali ia memanggil dan mencari di setiap sudut rumah, tak di temukanya sosok Zul. Dan yang lebih membuat keharanan Mbah Han, Wiwik, menantunya juga tak terlihat.

Mbah Han terduduk kembali dengan perasaan bercampur aduk. Tak seperti biasanya, Wiwik dan Zul pergi tanpa memberitahunya. Apalagi masih dalam suasana berkabung.

Keresahan semakin membuncah jiwa Mbah Han, saat hari sudah beranjak sore, namun Wiwik dan Zul belum juga kembali. Ia yang hanya sendiri seharian menemani dan menemui beberapa saudara jauh dan kerabat yang datang melayat, tanpa bisa beristirahat, terlihat rasa lelah menggurat di wajah kerasnya.

Baru saat suara Adzan Maghrib terdengar, nampak Wiwik dan Zul memasuki halaman berboncengan. Sesaat, Wiwik dan Zul sedikit sungkan melihat Mbah Han, berdiri dengan wajah merah di ruang tamu.

"Dari mana kalian!" Terdengar berat, suara Mbah Han.
"Maaf, Pak. Kami tadi ke rumah Buk Diyah," jawab Zul.

Betapa terkejutnya Mbah Han, mendengar jawaban Zul. Wajahnya terlihat murka, matanya melotot tajam, membuat Zul dan Wiwik tertunduk.

"Apa yang kalian lakukan di tempat Buk Diyah?" tanya Mbah Han, dingin.

"Pak, kenapa to, Bapak begitu membenci Buk Diyah? Kenapa Bapak selalu berpikir buruk tentang kedekatan Saya, Wiwik, dengan keluarga Buk Diyah?" Kali ini, Zul, memberanikan diri menatap dan bertanya dengan suara tegas.

"Saya yakin, jika meninggalnya Sasa, tak ada hubunganya dengan Buk Diyah. Dan seharusnya kita berterima kasih padanya."

"Terima kasih?" sahut Mbah Han, masih dengan wajah merah.

"Ya. Karena beliau benar-benar tulus membantu kita. Tulus menyayangi Sasa, sampai-sampai hari ini, beliau mengeluarkan tak sedikit biaya, uang, sebagai wujud sayangnya pada Sasa." Sedikit bergetar suara Zul, menyambung penjelasanya.

Mbah Han termangu, mendengar penjelasan Zul. Meski semua yang di katakan Zul tentang kebaikan Buk Diyah, tapi tetap saja, dalam hati, Mbah Han tak menerimanya. Bahkan semakin menguatkan rasa curiganya.

Malam itu, setelah berdebat kecil, Mbah Han benar-benar merasakan perubahan dalam diri Wiwik dan Zul. Bukan hanya dalam menanggapi kematian Sasa dan tentang Buk Diyah. Tapi, dalam hal gelagat pun, Mbah Han rasakan jika Wiwik dan Zul, seperti bukan mereka lagi.

Rasa lelah raga dan pikiran, sejenak memaksa tubuh Mbah Han untuk lebih awal masuk ke dalam kamar. Tak seharusnya suasana duka akan kematian Sasa, rumahnya di kosongkan dari lantunan Ayat-Ayat suci Al Quran dan iringan bait Do'a. Ia menyadari jika semua ini bakal semakin mengundang prasangka buruk dari semua warga. Tapi, apa daya, ia sendiri tak lagi mampu untuk mengendalikan anak satu-satunya yang sudah tak lagi mengindahkan dirinya, bahkan cenderung lebih memilih menuruti semua ucapan dan anjuran dari Buk Diyah, tanpa mempertimbangkan semua nasehat darinya.

Sebentar Mbah Han terhanyut dalam lamunan masa lalunya. Masa di mana dirinya bersama Sanusi, orang tua dari Diyah, selalu bersama, sebelum Mbah Han menyadari jika ada yang salah dalam diri Sanusi. Berpikir sampai di situ, Mbah Han buru-buru memejamkan matanya, mencoba untuk tak meneruskan pikiran liarnya, membuka kenangan pahit. 

Baru saja Mbah Han sedikit terlelap, antara sadar dan terjaga. Ia tersentak oleh satu suara tangisan lirih dari balik tembok kamarnya. Tak lama, Mbah Han bangkit. Perlahan turun dari ranjang kayu, melangkah mendekat ke arah tembok di sisi kiri jendela. 

Hening, tak ada lagi suara tangis merintih, membuat Mbah Han berpikir jika suara yang ia dengar baru saja, adalah bentuk dari keresahannya.

Namun, baru saja Mbah Han beranjak, tiba-tiba ia merasa seolah kamarnya berputar. Membuat tubuhnya limbung dan terduduk di ranjang. 

Seakan tak percaya dengan apa yang di alaminya, Mbah Han kembali berdiri, meski rasa takut mulai menyusup. 

Lama Mbah Han tertegun, memikirkan semua yang baru saja ia alami. Namun, lagi-lagi ia tak menemukan jawaban.

Setelah lama menunggu dan tak ada lagi hal aneh yang terjadi, Mbah Han membaringkan tubuhnya, mencoba kembali melelapkan matanya, melupakan beban pikiranya.
Tapi sayang, itu pun tak bertahan lama. Sebab, beberapa saat kemudian Mbah Han kembali bangkit dari ranjangnya, ketika telinganya terganggu suara mirip kaki menghentak tanah di luar jendelanya. Ingin ia abaikan, namun semakin lama, suara itu semakin keras, sampai menggetarkan kaca jendela kamarnya.

Kali ini, hal berbeda benar-benar di rasakan Mbah Han, ketika ia mendekati jendela. Jika tadi hanya merasa penasaran dan sedikit takut. Tapi, sekarang Mbah Han merasa jantungnya seperti terpacu, berdegup tak beraturan.

Mbah Han yang sudah berdiri di depan jendela, tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk membuka kain tipis penutup jendela. Entah mengapa, saat tangannya baru menyentuh dan hendak menyibak. mendadak, bayangan sosok wanita tua sedikit bungkuk yang muncul dalam benak dan pikirannya. Sehingga ia memilih untuk mundur, dan kembali ke ranjang. 

"Kakung... Kakung...." 

Bagai tersengat listrik tubuh Mbah Han, saat baru menghenyak di ranjang, satu suara panggilan yang biasa ia dengar dari bibir Sasa, terdengar dari balik jendela.

"Sasa." Mbah Han bergumam lirih.

"Kakung... Kakung...." 

Lagi, suara lirih dari luar jendela terdengar, memaksa Mbah Han harus kembali lagi untuk ketiga kalinya. Tapi kali ini, Mbah Han memberanikan diri menyibak langsung kain tipis yang mentupinya.

Sesaat, tubuh Mbah Han terasa kaku. Matanya menyorot ketidak percayaan, mendapati sesosok tubuh kecil berdiri diluar jendela.
[BERSAMBUNG]

****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close