Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 5)


"Sa_sa...." 

JEJAKMISTERI - Terbata suara Mbah Han. merasa yakin jika sosok yang berdiri membelakanginya di luar jendela adalah sosok Sasa.

Mbah Han hafal betul, dari rambutnya yang berkepang dua, sampai pakaian yang di kenakan terakhir Sasa, masih dirinya ingat.

Namun, sebentar kemudian, Mbah Han tersurut mundur ketika sosok Sasa membalikan tubuhnya.

Ngeri, takut, membaur dalam jiwa Mbah Han. Mendapati wajah sosok Sasa berlumur darah hitam dan sudah tak bermata.
Mbah Han cepat-cepat maju, menutup kembali kain gorden jendela. Ia sadar jika sosok mengerikan itu bukan Sasa cucunya, melainkan wadalnya saja. 
Kini, wajah Mbah Han bukan saja pucat, melainkan menegang kuat. Saat lagi-lagi ingatanya membenturkan dengan masa lalunya. Mbah Han tak ragu lagi dengan kesimpulannya, setelah jelas melihat wujud wadal Sasa. Menambah keyakinan jika cucunya adalah korban tumbal perjanjian, SEWU NDAS.

"Ahk!"

Kembali Mbah Han terhenyak. tapi kali ini, bukan jendela yang menjadi perhatiannya, namun pintu kamarnya. Bukan juga sebuah ketukan yang membuat Mbah Han spontan bangkit, tapi satu aroma khas syarat pemujaan menusuk tajam hidungnya.

Perlahan, Mbah Han membuka pintu dan melangkah keluar. Mencari satu bau yang teramat di bencinya. Bau yang dulu sering di gunakan dirinya demi kepentingan Sanusi, Bosnya. Tapi sekarang, bau itu tiba-tiba santer tercium kembali olehnya.

Mbah Han terus melangkah, dari ruang keruang. Namun, belum juga menemukanya. Padahal, bau itu masih pekat tercium. 
Hampir seluruh sudut ruangan dalam rumahnya ia cari, tapi tetap hasilnya, nihil.

Entah mendapat keyakinan dari mana Mbah Han saat itu. Ketika tiba-tiba, kakinya seolah di tuntun untuk menuju teras belakang. Di mana, ia sendiri sudah dua kali mengalami hal ganjil menakutkan.

Cahaya remang menjadi pemandangan awal Mbah Han di teras. Sebenarnya, hal itu sudah menjadi kebiasaan hampir seluruh teras di rumah-rumah penduduk. Termasuk rumah Mbah Han sendiri. Tapi kali ini, cahaya remang itu di rasa lain olehnya.

Lain, sebab dari keremangan itu, mata Mbah Han menangkap asap-asap tipis melayang pelan. 
Sejenak, Mbah Han tertegun. Manakala dari arah ujung sebelah kiri, di belakang kamar mandi, sekaligus tempat di mana dirinya terduduk ketakutan saat bertemu satu sosok perempuan bungkuk, ia melihat kemeluk asap putih membumbung.

Mbah Han bingung. Antara takut dan penasaran. Tapi ketika matanya kembali mengamati, dan melihat sesuatu yang menarik perhatian. Akhirnya, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.

Mata Mbah Han seketika terbelalak. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya terpacu kencang, demi hanya melihat setampah sesajen tergeletak di tanah. Tak hanya itu, dada Mbah Han seketika terasa sesak, kala jelas melihat tiga dupa terbakar dan mengepulkan asap. Satu hal yang ia benci, satu hal yang membuatnya harus keluar kamar. Ternyata, semua bersumber di dalam tampah sesajen itu.

Mbah Han mundur. Jiwanya benar-benar tercekat. Bukan saja karena sesajen. Tapi juga pada suara tangisan lirih dari sesosok wanita bergaun putih panjang.

Sosok itu bersimpuh, menunduk, tak jauh dari setampah sajen. Dari suara Isak tangisnya, Mbah Han tau, Mbah Han kenal. Namun sulit baginya untuk percaya.

"Wiwik!" 
Mbah Han terkejut. Saat sosok itu menengadahkan kepalanya, dan benar saja jika suara isakan itu adalah suara Wiwik.

"Tidak! Tidak! Ini tidak boleh terjadi." Bergetar suara Mbah Han. Sebelum ia buru-buru melangkah, meninggalkan tempat itu.

Namun, langkah Mbah Han kali ini tidak menuju ke dalam rumah. Tapi memutar di sisi kanan sebelum masuk ke jalan.

Mbah Han tak bisa memastikan jam berapa saat itu. Ia hanya menduga jika malam telah larut, melihat sunyinya jalan yang dilalui dan tak menjumpai satu orang pun.

Puluhan menit sudah Mbah Han lalui, tapi belum juga sampai di rumah Mbah Malik, yang menjadi tujuanya. Padahal, jarak rumahnya dengan rumah Mbah Malik tak butuh waktu selama itu. Membuatnya tersadar jika ada yang aneh.

Bingung dan mulai ada rasa takut menjalar di tubuh Mbah Han. Mengingat, tempat dirinya berdiri sekarang terasa asing. 

Mbah Han berbalik, kembali menyusuri jalan yang sudah ia lalui. Tak terpikir lagi untuk meneruskan tujuanya. Ia lebih memilih untuk bisa keluar dari lingkaran hawa aneh saat itu.

Setapak demi setapak Mbah Han lalui. Menajamkan mata, mengamati setiap detail jalan, berharap bisa sampai ke rumahnya.

Namun, harapan Mbah Han seakan tinggal harapan. Sampai tulang kakinya terasa ngilu, ia tak menemukan persimpangan atau ujung jalan sama sekali.

Mbah Han memutuskan berhenti sejenak, di samping ingin melepas lelah, ia juga mencoba untuk berpikir tenang.

Akan tetapi, tak berapa lama Mbah Han beristirahat. Tetiba saja dari belakangnya terdengar lantunan tembang lirih.

Suara layaknya seorang sinden, semakin lama semakin nyaring. Membuat Mbah Han tercekat kuat. Kaki Mbah Han serasa lumpuh, desiran darah tak lagi di rasa mengalir, membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.

Dalam ketidak berdayaannya, Mbah Han kini di suguhi sebuah tarian dari sesosok wanita muda bergaun putih panjang, dengan iringan gemerincing rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kaki. Wajah sosok wanita itu, sama sekali tak menunjukan rasa gembira atau pun keceriaan, sebagaimana layaknya seorang penari. Tapi, lebih kepada rasa sedih mendalam terkandung di kelopak matanya. 

Sejenak, sosok itu melirik ke arah Mbah Han. Dari tatapannya menyirat sebuah penyesalan. Meski Mbah Han tau, bisa menangkap arti dari lirikan itu. Mbah Han hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Seoalah menjadi isyarat agar sang wanita muda tak meneruskan tariannya.

"Ojo mbok teruske, Nduk." (Jangan kamu teruskan, Nduk)
Lemah, suara Mbah Han. Di sela-sela tubuhnya yang mulai gemetar hebat.
Tapi suaranya hanya di terpa angin lalu. Sosok itu masih terus saja menari dan menari. Sampai akhirnya, suara ketukan keras bersahutan membuat kepala Mbah Han begitu berat, sebelum akhirnya semua terasa gelap menutup pandangan mata Mbah Han.

***

"Mbah Kakung... Mbah. Niki Mbah Han pun sadar." (Mbah Kakung... Mbah. ini Mbah Han sudah sadar)

Suara girang dari seorang lelaki remaja, pertama terdengar di telinga Mbah Han. Perlahan Mbah Han membuka matanya, meneruskan lenguhan dan erangan yang tadi membuat sang remaja, cucu Mbah Malik, berteriak.

"Di ombe disek iki Mbah Han." (Di minum dulu ini Mbah Han)
Mbah Malik, yang baru masuk ke dalam kamar, menyodorkan segelas air putih.
"Mbah Malik, tulungen Wiwik... Tulungen." (Mbah Malik, Tolonglah Wiwik... Tolonglah)
Mbah Han, baru saja menghabiskan segelas air putih pemberian Mbah Malik, seketika panik. Teringat akan kejadian yang di alaminya

"Sabar, tenango disek. Enek opo Karo Wiwik?" (Sabar, tenang dulu. Ada apa dengan Wiwik?)
"Wiwik... Wiwik arep di dadekne wadale Diyah." 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close