Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS BANASPATI

Alas Banaspati merupakan nama sebuah tempat yang ada didesaku. Dimana ditempat ini aku pernah mengalami langsung sebuah kejadian mistis yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku sampai saat ini.


Waktu itu, siang hari aku dan bapak mencari belalang untuk lauk makan dikebun-kebun dekat rumah warga. Satu persatu pohon kami susur dengan teliti untuk menemukan belalang yang biasa bersembunyi dibalik daun dan batang pohon.

Hingga hari menjelang sore, hasil tangkapan belalang yang kami dapat tak seberapa. Karena menyerah akhirnya kami putuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, bapak mengajakku untuk melanjutkan pencarian belalang malam nanti, aku pun menyanggupi. Kegiatan mencari belalang diwaktu malam biasa dilakukan warga desa kami, sebab saat malam hari belalang lebih mudah dicari dan ditangkap.

Sesampainya dirumah aku lanjut memberi pakan hewan ternak kemudian mandi.

Hari mulai gelap. Aku, bapak, dan kakak pertama mulai menyiapkan peralatan yang akan kami pakai mencari belalang.
Setelah selesai kami lanjut makan malam bersama sekeluarga.

Selepas sholat isya' aku, bapak, dan kaka pertamaku mulai berangkat mencari belalang kedaerah perkebunan yang ada diujung desa. Berbekal lampu petromak dan senter kami mulai perjalanan yang jaraknya -+ 30 menit dengan jalan kaki dari rumah.

Dijalan menuju lokasi kami bertemu dengan beberapa warga desa yang juga ingin mencari belalang. Kami pun berjalan bersama sambil ngobrol-ngobrol agar suasana tidak sepi.

Sesampainya dilokasi kami pun berpencar. Aku bersama bapak mulai mencari dari pohon ke pohon disatu area kebun, sedangkan kakak-ku mencari diarea kebun yang lain.

Baru beberapa saat hasil tangkapan kami sudah lumayan. Sesekali bapak berteriak memanggil nama kakak-ku untuk memastikan keberadaannya, kakak pun menjawab dengan teriakan. Begitu seterusnya cara kami memberi sinyal keberadaan satu sama lain.

Kami terus mencari dari satu area ke area yang lain. Hingga smakin lama penyusuran kami mulai masuk di sebuah kawasan hutan yang kami biasa menyebutnya "Alas Banaspati"

Memang terdengar aneh, tapi memang benar itu nama tempatnya.
Konon kata bapak-ku, alas ini dulunya adalah sebuah hutan yang dihuni banyak "Demit Banaspati" (Hantu bola api terbang)

Kejadian-kejadian misterius dari kebakaran hutan, orang hilang, hingga banyaknya saksi mata yang melihat langsung penampakan banaspati, mungkin itu yang menjadi sebab hutan ini dinamakan "Alas Banaspati"

Tapi itu semua hanya cerita versi bapak-ku saja, untuk kebenarannya aku sendiri kurang paham. Sebab sejak aku kecil belum pernah sama sekali mendengar kabar "aneh" mengenai hutan ini kecuali cerita dri bapak-ku.

Ketika aku dan bapak mulai memasuki kawasan alas ini, bapak hanya berpesan,
"Ojo mencar adoh., ojo misuh., nek weruh barang ojo mlayu" (Jangan berpencar jauh, jangan bicara kotor, kalau lihat sesuatu jangan lari) kata bapak-ku.

"Nggeh.." (iya..) Jawabku.

Awalnya aku biasa saja. Tidak ada perasaan takut sama sekali. Hanya agak was-was dengan binatang-binantang malam soalnya tempatnya banyak semak belukar dan rumput liar. Ditambah hawanya yang agak pengap karena banyaknya pepohonan besar dan tinggi.

Tapi karena banyak belalang ditempat ini membuatku tidak begitu memperdulikan hal tersebut.
Semakin lama kami semakin masuk ketengah hutan. Teriakan demi teriakan memberi sinyal keberadaan satu sama lain lebih sering terdengar.

Hingga sampailah kami disebuah area tanah lapang yang ada ditengah hutan.
Diarea ini terdapat satu pohon jati tua yang sangat besar yang posisinya tepat berada ditengah-tengah. Warga desa kami biasa menyebutnya "Jati Urip". Bapak mengajaku berhenti untuk menunggu kakak & dan warga yang lain.

Beberapa saat kmi menunggu belum juga ada yang datang. Karena merasa jenuh aku berkata ke bapak,
"Riyen mawon pak, ben do nyusul" (Duluan saja pak, biar pada nyusul)

"Weh.. Ora ilok yo kudu bareng-bareng" (Hus.. Pamali. Harus bersama-sama) Jawab bapak.
Mendengar jawaban bapak aku pun menanyakan kembali apa alasannya.

Bapak pun mulai bercerita tentang tempat ini. Beliau mengatakan bahwa diarea ini tepatnya dipohon Jati tua yang ada ditengah itu dihuni "Raja Banaspati". Disinilah tempat dimana dulu banyak orang hilang.

Warga desa kami mempercayai jika hendak melewati tempat ini harus beramai-ramai dan tidak boleh dengan jumlah ganjil. Sudah banyak kejadian orang hilang saat nekat melewati area ini dengan jumlah ganjil apalagi seorang diri.

Rasa takut sekaligus penasaran mulai terasa saat aku mendengar cerita bapak. Beliau kembali bercerita kalau pohon jati tua itu usianya sudah ratusan tahun bahkan sejak bapak-ku belum lahir.

Alasan kenapa dinamakan "Jati Urip" karena konon mnurut cerita dari orang-orang "sepuh" dahulu, Pohon jati ini bisa bergeser posisi pada malam-malam tertentu. Dan sudah berkali-kali ambruk tersambar petir bisa kembali tegak menjulang dengan sendirinya.

Walaupun oleh beberapa orang dianggap tidak masuk akal, tapi dikalangan warga desa kami hal itu dipercayai turun temurun. Mungkin itu juga yang menjadi sebab tidak adanya tanaman lain yang tumbuh diarea sekitar Jati. Ditambah dengan tidak adanya satu pun daun yang tumbuh pada pohon sepanjang tahun.

Oleh karena itu area ini dinamakan "Jati Urip" yang dalam bahasa indonesia "Urip" sendiri artinya "Hidup".

Tak lama setelah bapak selesai bercerita satu persatu warga yang lain tiba menghampiri kami. Disusul kakak-ku yang paling terakhir. Setelah kami berkumpul timbul keraguan diantara kami, sebab saat itu jumlah rombongan kami 7 orang.

Pertimbangan kami saat itu, kami tidak mau ambil resiko jika harus nekat berjalan melintasi area "Jati Urip" dengan jumlah ganjil. Sedangkan kalau ingin putar balik jaraknya sudah terlalu jauh. Akhirnya semua sepakat untuk tetap menunggu berharap ada lagi warga lain yang datang.

Kami duduk melingkar ngobrol-ngobrol "ngalor ngidul" Sambil minum air putih yang kami bawa dari rumah.
Sampai akhirnya ada seorang warga sebut saja mbah darmo (nama saya samarkan) datang menghampiri rombongan kami.

"Lho lha karo sopo wo?" (Loh sama siapa pakde) Tanya bapak-ku.

"Dewe wong koe mau do ninggal kok" (Sendiri orang tadi kalian duluan) Jawabnya.
Bapak pun menyuruhnya beristirahat dan menawarkan minum sebelum kami lanjut jalan.

Beberapa saat kemudian kami memutuskan untuk mulai jalan. Suasana begitu mencekam yang ku rasakan. Kami berjalan beriringan sambil sesekali ngobrol agar suasana tidak sepi.

"Iki cah cilik dewe nengo tengah" (Ini anak kecil harus ditengah) Kata mbah darmo kepada ku. Aku pun hanya nyengir.

Dan semua yang ada disitu tertawa mendengar candaan mbah darmo yang berusaha menakut-nakuti ku.

"Kulo nuwun nderek langkung eyang" (Permisi numpang lewat eyang) Kata-kata itu sering terdengar sepanjang perjalanan kami melintasi area ini.

Kami berjalan menepi melewati pinggiran tanah lapang area "Jati Urip". Sisi sebelah kanan kami adalah semak belukar yang sangat lebat dan pohon-pohon tinggi yang seolah menjadi pagar kawasan ini.

Saat sudah setengah perjalanan langkah kami terhenti. Kami semua melihat cahaya api kecil seperti obor menyala tepat diujung jalan yang akan kami lewati.

"Sek sek mandek sek" (Stop berhenti dulu) Kata bapak-ku yang kebetulan posisinya paling depan.

"Ngopo cah ndadak mandek?" (Kenapa harus berhenti) kata mbah darmo.

"Diwaske sek mbah kae uwong tenan opo udu.." (Dipastikan dulu mbah itu beneran orang atau bukan) Jawab bapak-ku sambil pandangan matanya fokus kearah cahaya api tersebut.

"Dadio alusan yo paling anakan banaspati wong meng cilik Meng cilik" (Kalaupun makhluk gaib palingan juga cuma anak banaspati orang cuma kecil) Jawab mbah darmo 'ngeyel' sambil cengar cengir seolah menyepelekan.

Bapak pun tak menjawab dan tetap diam ditempat sambil terus mengamati cahaya api didepan. Semua rombongan terlihat cemas, aku hanya bisa berdoa dalam hati sebisanya sambil menggandeng tangan kakak-ku.

Disituasi yang semua rombongan sedang diam dan was-was, mbah darmo masih saja ngeyel mengajak kami untuk terus berjalan. Kami semua tetap diam tidak 'menggubris' omongan mbah darmo dan tetap terfokus dengan nyala api didepan.

Beberapa saat kami amati, cahaya api itu berjalan mendekat kearah kami. Kakak-ku mencoba memastikan dengan mengarahkan sorot lampu senternya kedepan dan tiba-tiba,
"BLAAAAARRR..." Suara letupan terdengar di iringi percikan nyala api yang seketika membesar.

"Astaghfirullah.. Gusti Allah.. Gusti Allah..." Teriak kami semua.

"Hop.. Ojo mlayu.. Nyebut..nyebut" (Stop jangan lari, berdoa, berdoa) kata bapak-ku.

Karena saking takutnya aku pun menangis sambil menutupkan wajah dibadan kakak. Lalu kakak-ku memeluku dan menenangkan ku. kemudian bapak menyuruh kami semua berjongkok dan tetap tenang sambil terus berdoa.

Bebrapa saat aku kembali membuka mata. Disitu aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah benda seperti bola api yang sangat besar terbang mengitari area tanah lapang. Cahayanya sangat terang hingga semua sisi area ini terlihat sangat jelas.

Perasaan 'campur aduk' yang aku rasakan. Tubuh ku gemeteran sampai mulut rasanya gagu. Aku terus berdoa dalam hati sambil terus memeluk kakak-ku. Setiap kali bola api itu lewat di atas kami, aku memejamkan mata kerena tidak berani melihat.

Sampai akhirnya setelah beberapa saat terbang berputar-putar bola api itu menghilang setelah menabrak pohon jati yang ada ditengah dengan diiringi suara letupan lagi.

"Wes.. Wes.. Alhamdulillah duh Gusti" Kalimat itu yang pertama aku dengar sesaat setelah api itu menghilang.

Mengetahui situasi sudah aman bapak-ku langsung mengajak kami semua untuk melanjutkan perjalanan.

Kami terus berjalan biasa. Dan sama sekali tidak ada yang berlari. Karena konon menurut cerita yang diyakini oleh warga desa kami, "Demit Banaspati" akan mengejar dan terus mengikuti apabila saat ada seseorang yang melihatnya berlari.

Saat keluar dari area "Jati Urip" kami semua mempercepat langkah agar segera keluar dari kawasan "Alas Banaspati". Kami semua mengurungkan niatan mencari belalang ditempat ini setelah mengalami kejadian tadi.

Tak lama kemudian kami keluar dari kawasan "Alas Banaspati" dan mulai masuk diarea perkebunan warga.
Kami segera mencari tempat yang nyaman untuk duduk beristirahat sambil menenangkan diri kami masing-masing.

Obrolan demi obrolan mulai mencairkan suasana yang tadinya sangat tegang dan menakutkan. Tapi lagi-lagi mbah darmo si makhluk 'ngeyel' itu masih saja mengucapkan kalimat-kalimat yang agak kurang enak. Kalau istilah bahasa jawanya 'Nganyelke'.

Malam mulai larut, dan hasil tangkapan belalang yang kami dapat sebetulnya sudah lebih dri cukup kalo hanya untuk lauk makan satu keluarga. Tapi entah apa yang dipikirkan saat itu malah beberapa orang diantara kami mengajak semua lanjut mencari belalang dikebun.

"Tanggung.. Wes raono opo-opo.. Bismillah" (Tanggung, sudah tidak ada apa-apa, bismillah) Kata salah seorang dari kami.

Mendengar itu mbah darmo pun langsung kegirangan atau istilah jawanya 'Ngegongi'. Dan kala itu entah apa yang dipikirkan bapak-ku, beliau pun tertarik dengan ajakan tersebut.

Akhirnya kami memutuskan untuk mencari belalang lagi diarea perkebunan. Kami mulai berpencar. Aku dengan bapak berjalan memasuki area kebun jagung.

"Pak, wangsul mawon pak, kulo wedi" (Pak ayo pulang sasa, aku takut) Kata ku ke bapak.

"Ora popo.. Neng kene aman" (Gpp disini aman) Jawab bapak.

Aku sangat kesal mendengar jawaban bapak, tapi mau gimana lagi gak mungkin juga smaku pulang sendiri. Perasaanku saat itu sangat tidak enak. Bayang-bayang makhluk api tadi membuatku sangat cemas. Aku terus diam saja sambil berjalan mengikuti bapak dri belakang.

Bapak menoleh kearahku, kemudian bertanya,
"Opo wedi tenan koe?" (Apa beneran takut kamu?) Tanya bapak.

Saya hanya mengangguk sambil menahan air mata saking takutnya.

"Sek diluk meneh yo ngebaki wadah" (Bentar lagi ya, biar penuh dulu) Kata bapak-ku.

"Niko wau seng jenenge banaspati to pak?" (Itu tadi yang namanya banaspati ya pak) Tanyaku.

"Iyo., nek weruh ojo mlayu.. Mending ndodok ditunggu sak ilange" (Iya, kalo lihat jangan pernah lari, mending jongkok tunggu sampai pergi) Jawab bapak.

"Nek mlayu malah gelem nututi ngoyak" (Kalo lari nanti malah ngejar) kata beliau menegaskan.

"Woooh.. ngoten to?" (Oh, gitu ya) jawabku.

Kemudian bapak mencoba mengalihkan pembicaraan agar aku tidak semakin takut.

Rasa cemas yang aku rasakan perlahan mulai hilang. Sambil terus mencari belalang bapak selalu mengajaku ngobrol agar tidak sepi.

"Parno meh mulih ora le, ayo bareng simbah" (Parno mau pulang tidak le, ayo bareng simbah)

Suara mbah darmo yang tiba-tiba muncul dari depan mengagetkan kami.

"Woaalaaahhhh.." Teriak bapak-ku jengkel.
Lalu kami semua tertawa. Mendengar ajakan mbah darmo akhirnya bapak menyuruhku pulang duluan bersama mbah darmo karena kebetulan rumah kami berdekatan.

"Alhamdulillah" Kataku dalam hati. Senang sekali rasanya akhirnya bisa keluar dari tempat ini.

Setelah aku dan mbah darmo berpamitan ke bapak kemudian kami mulai berjalan meninggalkan bapak dan rombongan yang lain untuk pulang duluan.

Ketika mulai jauh berjalan, rasa takut dan cemas kembali aku rasakan. Entah kenapa rasanya aku ingin balik ketempat tadi dengan bapak.

"Ora popo rasah wedi" (Gpp gausah takut) kata mbah darmo dengan tiba-tiba.

Aku pun kaget mendengar kata itu. Tanpa ada obrolan apapun sebelumnya, kata-kata mbah darmo seperti menjawab kegelisahan yang sedang aku rasakan.
Kami pun terus berjalan melewati jalan setapak ditengah-tengah perkebunan.

Aku merasa perjalanan pulang ini lebih jauh dibandingkan saat aku berangkat. Sudah beberapa saat kami berjalan belum juga terlihat adanya tanda memasuki daerah pemukiman warga.

"Mbah bener niki to dalane?" (Mbah benar ini kan jalannya) Tanyaku ke mbah darmo mncoba memastikan.

Beliau tidak menjawab dan terus berjalan sambil memegang lampu petromaknya yang mulai redup.
Aku merasa aneh dengan sikap mbah darmo yang lebih banyak diam selama perjalanan. Berbeda jauh dengan tadi saat bersama rombongan.

Rasanya sangat menyesal aku pulang bersama beliau.

"Nek wegah bareng yo balio dewe" (Kalo gak mau bareng ya pulang saja sendiri) Mendengar ucapan mbah darmo hatiku seperti rontok. Lagi-lagi beliau seperti bisa membaca isi hatiku. Aku hanya diam sambil terus berjalan diblakangnya.

Tak lama setelah itu, samar-sama aku mendengar suara gamelan.

"Enten tontonan nopo mbah?" (Ada tontonan apa mbah?) Tanyaku mencoba mencairkan suasana.

"Wayang, meh ndelok po?" (Wayang, kamu mau lihat?) Jawabnya. Sedikit lega rasanya beliau mau merespon omonganku.

Kemudian aku melanjutkan bertanya berharap ada obrolan lanjutan supaya perjalanan tidak terasa sepi.
"Ten pundi niko wayange?" (Dimana itu wayangnya) Tanya saya.

"Ngarep kono., Mengko dewe lewat" (Depan sana, nanti kita lewat) Jawab mbah darmo.

Beberapa saat kemudian suara gamelan mulai jelas terdengar. Cahaya lampu terang dan kerumunan orang-orang terlihat disebuah balai desa yang jaraknya beberapa ratus meter didepan kami.

"Alhamdulillah akhirnya sampai juga di area pemukiman warga" ucapku dalam hati.

Sesampainya dilokasi keramaian, mbah darmo mengajaku berhenti untuk melihat pagelaran wayang kulit. Kami pun mulai mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan mulai menonton.

Saat kami duduk, aku merasakan hal yang aneh. Tempatnya terasa sangat asing bagiku. Karena penasaran akhirny smaku bertanya ke mbah darmo,

"Mriki niki bale deso pundi mbah?" (Ini tu balai desa mana mbah?) Tanyaku.
Mbah darmo hanya melihat ke arahku sambil tersenyum.

Melihat respon mbah darmo aku pun kembali diam. Lalu aku coba melihat kearah orang-orang yang berada disekelilingku. Keanehan semakin terasa saat aku melihat semua orang yang ada disini hanya diam dengan pandangan mata kosong dan wajah pucat.

Aku merasakan ada yang tidak beres ditempat ini. Aku sangat cemas dan hanya bisa diam sambil berpikir bagaimana caranya aku cepat pergi dari sini dan pulang kerumah.

"Tunggu diluk aku tak nguyuh sek" (Tunggu sebentar aku mau pipis dulu) kata mbah darmo, aku pun hanya mengangguk.

Saat mbah darmo beranjak dari tempat duduknya, aku mencium wangi bunga yang baunya sangat menyengat dan seketika membuat seluruh badanku merinding. Saat itu juga aku mulai sadar bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

Aku mulai memejamkan mata dan berdoa.
"Ya Allah menawi wedal niki titiwancinipun kulo kundur, mugi panjenengan panggihaken raga kulo kalian keluarga lan sanak sederek" (Ya Allah jika sekarang adalah saatnya aku menghadapMu, semoga Kau pertemukan ragaku dengan sanak keluargaku).

Sesaat setelah selesai berdoa dan masih dalam posisi terpejam, suara gamelan tidak lagi terdengar. Bayang cahaya terang lampu yang menembus kelopak mata, menjadi gelap. Dan saat aku kembali membuka mata, yang aku lihat hanyalah semak belukar, kegelapan, dan suara hewan malam.

Kembali aku pejamkan mata berharap ini hanya mimpi saja, dan saat aku kembali membuka mata yang aku lihat masih pandangan yang sama. Pasrah! Hanya itu yang bisa aku lakukan saat itu. Tidak ada pilihan lain, menangis pun rasanya susah. Setidaknya jika aku mati, Gusti Allah sudah mendengar doa ku.

Beberapa kali aku mencoba berteriak minta tolong tapi tidak juga ada orang yang datang menolong. Aku hanya bisa diam ditempat, duduk meringkuk memejamkan mata sambil terus berdzikir dan berdoa. Berharap Gusti Allah memberikan pertolongan.

Beberapa kali aku mendengar suara-suara seperti langkah kaki dan benda bergerak di semak-semak sekelilingku, tapi aku tetap diam dan terus memejamkan mata karena aku tau bahwa tidak mungkin jika itu suara langkah manusia.

Angin bertiup semakin lama semakin kencang diiringi suara gemuruh pepohonan yabg rasanya seperti berputar mengelilingi tubuhku. Tak lama setelah itu cahaya yang sangat terang menembus kelopak mataku yang sedang terpejam.

Aku membuka mataku perlahan-lahan, dan aku melihat bola api yang sangat besar lebih besar dari yang aku lihat sebelumnya terbang berputar-putar mengitariku. Bola api itu terus berputar hingga membakar pepohonan dan semak belukar di sekelilingku.

Melihat api di sekelilingku semakin lama semakin besar, aku kembali meringkuk memejamkan mata dan menangis sambil terus berdoa. Hawa panas dan asap tebal semakin lama semakin terasa mendekat ke tubuhku.

Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk mengumandangkan adzan. Jika ragaku nanti jadi abu dan tidak ditemukan, setidaknya aku sudah mengumandangkan adzan untuk diriku sendiri, pikirku saat itu.

Lalu aku membuka mata dan segera berdiri. Aku angkat satu tangan lalu menutup telinga sebelah kanan kemudian aku mulai mengumandangkan adzan ditengah-tengah kobaran api besar yang melingkar.

"Allahuakbar., Allahuakbar.." sambil kembali menutup mata adzan ku kumandangkan. Sampai ditengah-tengah adzan, hawa panas mulai memudar, berganti dengan semilir angin yang bercampur dengan asap yang aku rasakan. Aku terus mngumandangkan adzan sampai slesai, kemudian perlahan aku kembali membuka mata.

Aku sangat bersyukur sekali ketika aku melihat kobaran api yang mengelilingiku tadi seketika padam, hanya tinggal kepulan asap dan abu sisa bakaran yang aku lihat.

"Alhamdulillah., Allahuakbar.. Laillaha'ilaallah.." Kalimat itu terus menerus aku ucapkan sambil aku bersujud syukur.

Saat aku bersujud, samar-samar aku mendengar suara adzan di kejauhan. Harapan ku mulai muncul ketika aku mendengar suara adzan itu, dan semua keajaiban yang barusan aku alami adalah pertanda baik pertolongan Gusti Allah yang masih memberiku kesempatan untuk hidup.

Setelah selesai mendengar adzan, dan masih dalam posisi bersujud aku kembali dikagetkan dengan suara seseorang yang tepat berada disampingku.

"Lee.. Parno"

Hati saya rasanya kembali rontok setelah mendengar suara itu. Saya pun kembali menangis masih dalam posisi yang sama.

Tiba-tiba dua tangan memegang pundaku dan menyuruhku untuk berdiri, sambil mata tetap terpejam aku mulai berdiri perlahan dan tidak berani membuka mata sedikitpun.

"Ojo wedi le., aku meh nulung koe, ayo tak terke bali, wong tuomu bingung goleki" (Jangan takut nak, aku ingin menolongmu, mari aku antar pulang, orangtuamu sedang bingung mencarimu)

Suara yang sangat lemah lembut aku dengar. Kemudian pelan-pelan aku mulai membuka mata.

Aku melihat seorang kakek tua memakai baju serba putih dan ikat surban dikepalanya berdiri tepat didepanku.

"Njenengan sinten mbah?" (Kamu siapa mbah) Tanyaku.

"Aku diutus kon ngeterke koe bali, ayo gek bali" (Aku diutus mengantar kamu pulang, ayo pulang) Jawabnya denga halus.

Beberapa saat aku hanya diam dan berpikir, hingga kemudian dia memegang tanganku dan mengajaku berjalan.
Rasanya aku tidak bisa menolak ajakannya. Dia terus berjalan menggandeng tanganku melewati jalan setapak kecil yang terang seperti terkena pancaran sinar matahari.

Rasa-rasanya baru beberapa langkah saja, kami sudah sampai diujung pemukiman desaku. Kemudian beliau berkata,

"Simbah isone ngeterke mung tekan kene yo le, koe mlakuo maju terus rasah tolah toleh buri" (Simbah bisanya cuma antar sampai sini ya nak, kamu jalan maju terus jangan tengak tengok belakang)

"Nggeh mbah matursuwun sanget, kulo pamit wangsul" (Ya mbah trimakasih banyak, aku pamit pulang) Jawabku.
Kemudian beliau menyuruhku berjalan, aku pun segera memulai langkah.

"Assalamu'alaikum.." suara salam beliau aku dengar saat aku mulai berjalan beberapa langkah.

Saya kemudian menjawab,
"Walaikumsalam" sambil terus berjalan kedepan tanpa menengok ke belakang, karena ingat pesan dari beliau. Dalam perjalanan, aku terus bertanya-tanya tentang siapa orang tua itu? Dari mana munculnya? Dari mana dia mengenalku? Pertanyaan itu terus ada sampai aku tiba dirumah.

Sesampainya didepan rumah, aku melihat rumahku begitu ramai para warga desa sedang berkumpul. Suara tangisan dan bising obrolan orang-orang terdengar dari luar.
Kemudian aku berjalan masuk ke dalam rumah, dan seketika tangis haru dan bhagia dari semua orang semakin pecah ketika melihatku pulang.

Bapak-ku langsung berlari memeluku, disusul kedua kakak-ku. Disitu aku tidak bisa menahan air mata, aku ikut menangis dipelukan bapak dan kedua kakak-ku. Kemudian bapak menggendongku untuk diajak masuk kedalam kamar menemui ibuku yang sedang terbaring lemas karena menangis sejak malam.

Tangis bahagia dari ibu kembali pecah setelah melihatku digendong bapak. Ibu langsung berdiri memeluku yang tak lama kemudian pingsan lagi mungkin shock saking senangnya melihatku sudah kembali ke rumah.

Setelah beberapa saat kondisi rumah mulai tenang, semua keluarga dan para warga masih ramai berkumpul, mereka mulai menanyakan kronologi kejadian yang menimpaku.

Aku pun mulai bercerita dari awal perjalanan pulang dengan mbah darmo. Kemudian aku ceritakan semua kejadian aneh beserta keajaiban yang aku alami secara detail. Dan yang terakhir aku bercerita tentang kakek tua yang mengantarku sehingga aku bisa kembali ke rumah.

Pertanyaan demi pertanyaan terlontar silih berganti. Sampai ada salah seorang warga yang bertanya tentang siapa kakek itu. Aku pun tidak bisa menjawab banyak, karena aku sendiri juga tidak tau siapa sbenarnya beliau. Saat perjalanan dengan beliau tidak ada obrolan sama skali diantara kami.

Mbah darmo yang kebetulan saat itu ada diantara kami, mulai menjelaskan perihal kejadian sebenarnya yang terjadi malam tadi.

Mbah darmo berkata bahwa beliau sudah beberapa hari tidak keluar rumah karena sedang sakit. Perkataan mbah darmo dipertegas oleh anak istrinya yang membenarkan cerita beliau. Kemudian bapak dan beberapa warga yang ikut bersama kami juga ikut menjelaskan keanehan-keanehan yang terjadi malam itu.

Akhirnya kami semua tau, bahwa mbah darmo yang malam itu bersama ku bukan mbah darmo yang sebenarnya alias makhluk gaib.

Dan untuk kakek tua yang menolongku, Siapa pun engkau, aku ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya untukmu. Pertolongan Gusti Allah perantara dirimu telah menyelamatkanku. Entah makhluk apa sejatinya dirimu, ku doakan Gusti Allah selalu melindungimu. Semoga kita bisa bertemu lagi.

Matursuwun
close