Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 6)


JEJAKMISTERI - "Ora gampang mbuwak tondo uwong seng wes ketenger, Kang Han. Salah-salah, akeh nyowo seng ilang goro-goro iku." (Tidak mudah membuang tanda orang yang sudah di incar, Kang Han. Salah-salah, banyak nyawa yang hilang gara-gara itu.)

Mbah Han tertunduk lemah. Mendengar jawaban Mbah Malik, setelah ia menceritakan semua yang di alaminya.

"Awakmu ae lho, nek ora konangan wong ronda, mesti wes njegur kalenan. Padahal, Awakmu gek weroh tok." (Kamu sendiri lho, kalau tidak ketahuan peronda, sudah pasti masuk ke dalam sungai. Padahal, kamu baru melihat saja.)

Lagi, Mbah Malik meneruskan ucapannya, dengan sedikit menceritakan kejadian di temukannya Mbah Han di pinggir sungai yang menjurus ke arah bendungan.

"Masalah Iki, ra iso buru-buru. Kudu nganggo pikiran lan akal seng resik. Saiki, penting awakmu mari disek. Urusan Wiwik mengko di pikir bareng-bareng." (Masalah ini, gak bisa buru-buru. Harus dengan pikiran dan akal yang jernih. Sekarang, penting Kamu sembuh dulu. Urusan Wiwik nanti di pikir bersama)

Kembali Mbah Malik berucap memberi saran. Kali ini, membuat Mbah Han, mau tak mau mengikutinya. Mengingat semua yang di ucapkan Mbah Malik tak dapat ia ingkari. 

Mbah Han sadar, Mbah Han tau, jika segala kejadian awal malapetaka dalam keluarganya, ada campur tangan Diyah. Namun untuk membuktikan dan menghentikan semua itu, Mbah Han perlu sangat berhati-hati.

Setelah di rasa begitu kuat, Mbah Han berpamitan. Ia ingin cepat-cepat melihat keadaan rumahnya, terutama Wiwik. Mbah Han belum menyadari jika kejadian yang menimpanya semalam, telah beredar luas. Menjadi bahan pergunjingan, dari hal yang bisa di nalar, sampai menjurus ke dalam omongan yang tak sedap di dengar.

Mbah Han baru semua itu, setelah sampai di rumahnya kembali bersama Mbah Malik. Satu hal seketika membuat dadanya terasa nyeri. Melihat sambutan Zul, yang terkesan marah kepadanya. Dengusan nafas Zul semakin memburu, saat Mbah Malik ikut menjelaskan kejadian yang sebenarnya, mengapa Mbah Han bisa sampai berada di tepian sungai. Tapi, Zul sepertinya tak menggubrisnya.

"Sudahlah, Mbah. Untuk sementar mungkin Bapak butuh istirahat. Saya tau Bapak belum bisa merelakan kepergian Sasa. Jadi,... "

"Tidak, Zul! Bapak tidak main-main. Bapak masih waras! Bapak tidak gila!" Mbah Han, yang sudah tak tahan dengan segala ucapan Zul, memotong ucapannya sedikit meradang.

"Zul, Kamu sudah berbeda. Kamu sudah bukan seperti Anakku lagi. Kamu sudah terpengaruh Diyah. Kamu belum tau siapa dia sebenarnya!" sambung Mbah Han kembali.

"Lagi-lagi, Buk Diyah. Apa sih, salah Buk Diyah sama Bapak!? Buruknya Buk Diyah di mananya!?" Zul, yang memancarkan ketidak senangan atas ucapan Mbah Han, membantah dengan keras dan sengit.

Mbah Han yang saat itu ingin kembali menyahut, urung. Demi melihat gelengan kepala dan tepukan pelan dari Mbah Malik. Ia sedikit mereda, mencoba menahan luapan emosi atas segala belaan Zul, pada Buk Diyah. Sebab, Mbah Han menangkap sesuatu di balik tatapan dan isyarat dari Mbah Malik.

"Maaf, Mbah Malik. Saya ada kerjaan lain. Silahkan bila masih ingin ngobrol dengan Bapak." 
Zul bangkit. Berlalu setelah berpamitan pada Mbah Malik, tanpa menoleh pada Mbah Han.
Membuat Mbah Han sangat terpukul dengan sikap kekeh anaknya itu.

Sebentar kemudian, Mbah Malik juga berpamitan, sebelum beberapa pesan dan sebuah bungkusan putih pipih, ia serahkan kepada Mbah Han.
"Ini sampean bawa, Mbah. Kalau malam, letakan di bawah bantal. Dan jangan lupa, selalu berdoa, memohon pertolongan kepada Allah. Supaya penghuni lain yang sudah mendapat tempat di rumah ini, tak lagi masuk dan mempengaruhi pikiran Sampean," ucap Mbah Malik sebelum melangkah keluar, menghampiri sepeda motornya.

Mbah Han masih terdiam sendiri di ruang tamu. Ia masih menapak sekilas bayangan kejadian semalam. Kejadian yang membuat banyak orang beranggapan jika dirinya terganggu mental atas kepergian Sasa. Sejenak Mbah Han, menunduk. Menatap benda pipih berbungkus kain putih yang di berikan Mbah Malik. Di usapnya perlahan kain pembungkus yang seketika mengeluarkan bau minyak wangi yang khas. 

Setelah merasa puas mengamati benda itu, Mbah Han bangkit. Di samping tubuhnya yang masih lemah, juga ingin pikirannya sebentar melupakan beban berat yang menghantuinya.

Tapi baru saja ia ingin melangkah masuk ke kamarnya, Mbah Han kembali tertahan oleh seraut wajah cantik Wiwik.

Keanehan di rasakan benar oleh Mbah Han saat itu. Melihat Wiwik yang berdiri di depan pintu kamarnya sendiri, tengah memandang dirinya sedikit melotot. Bahkan, ucapannya yang menyapa dan menegur, seolah tak ia dengar.

Mbah Han yang masih heran akan sikap membisu Wiwik, menajamkan mata, mengamati dengan seksama sosok Wiwik.
Selintas tampak biasa, sama dengan sosok Wiwik, menantunya. Akan tetapi, ketika sosok Wiwik menyunggingkan senyum, atau lebih tepatnya sebuah seringaian, Mbah Han terjingkat mundur.

"Wiwik! Kamu.... tidak! Kamu bukan Wiwik! Siapa Kamu!?" ucap Mbah Han, sedikit bergetar. 
Sosok Wiwik tak menyahut. Malah semakin memperjelas seringaiannya. Membuat Mbah Han semakin yakin jika sosok itu bukan Wiwik menantunya.

Tak ada ucapan apapun dari sosok Wiwik. Sampai ia melangkah pergi, berlalu menuju belakang, dengan tetap membisu dan seringaian sinisnya.

Jiwa Mbah Han benar-benar tergolak saat itu. Rasanya ia tak percaya, tapi kenyataan berkata lain. Sorot mata tajam, seringaian sinis, dan lenggok berjalan Wiwik, sangat jelas dirinya kenal, dirinya hafal, puluhan tahun silam.

Mbah Han mencoba menenangkan desiran kencang darahnya. Meredakan ketakutan yang mendekap kuat batinnya, demi untuk tak mengingat kembali sebuah peristiwa mengerikan yang membuat ia kehilangan istri tercintanya.

Mbah Han meringkuk. Memeluk kuat lututnya, mencoba lepas dari bayang-bayang sesosok yang sangat ia takuti. Sosok yang telah merenggut istri tercintanya, sosok yang tak ingin lagi ia lihat seumur hidupnya, tapi kini, sosok itu kembali hadir, menjelma dalam diri menantunya, Wiwik.

*****

Dingin, di rasa menusuk kulit Mbah Han, membuatnya terjaga dari alam ketenangan. 
Entah berapa lama ia terlelap, membuatnya terlupa sebentar akan rasa takut dalam jiwanya.
Mbah Han bangkit, menatap derasnya hujan dari kaca jendela. 
Sudah menjadi hal lumrah, pada musim Rendeng, hujan deras di sertai angin hampir setiap hari akan terjadi di wilayah itu. 

Namun, hujan kali ini, yang tengah Mbah Han saksikan, seolah menjadi penanda baginya.

"Pak, bangun. Sudah sore." 

Sedikit terkejut Mbah Han, mendengar ketukan di pintu kamarnya, yang di susul suara panggilan.

Mbah Han tertegun, seperti tak percaya, jika waktu sudah sore. Yang artinya, ia tertidur beberapa jam lamanya.
Mbah Han baru mempercayainya setelah ia membuka pintu kamar dan terlihat semua lampu-lampu telah nyala. Menandakan jika waktu benar-benar sudah masuk waktu petang.

Cepat-cepat Mbah Han membersihkan tubuhnya demi mengejar waktu 'Asyar yang tertinggal. 

Ketenangan sangat di rasa Mbah Han ketika memohon ampun, memasrahkan keresahan, kecemasan, ia panjatkan dalam lantunan bait-bait Do'a setelah salam, dari empat reka'at yang ia tunaikan.

Mbah Han tersimpuh dalam lirih dan linangan air mata. Memohon pertolongan pada Sang Kholik, akan ketakutan serta ketidak berdayaannya.

Beberapa puluh menit, Mbah Han terus terpekur dalam laman selembar sajadah, di bawah remang cahaya lampu kamarnya. Sampai telinganya mendengar sayup suara Adzan di sela guyuran hujan yang belum mereda. Menandakan tiga reka'at untuk kembali ia tunaikan.

Setelah selesai, perlahan Mbah Han bangkit. Berjalan pelan menuju ruang dapur, saat merasakan perutnya masih kosong.

Sepi di rasa Mbah Han, ketika menuju dapur. Tapi tak berapa lama, Jantung Mbah Han mulai kembali berdebar.
Ada keraguan dalam diri Mbah Han, untuk mendekati meja bundar dengan empat kursi mengelilinginya. Sebab, di salah satu kursi itu, ia melihat Wiwik sedang duduk menghadap segelas teh.

Tapi keraguan itu sebentar sirna. Manakala Wiwik, yang menyadari kehadirannya, menoleh dan tersenyum. Kali ini, Mbah Han yakin, jika yang ada di hadapannya adalah betul-betul Wiwik menantunya, bukan sosok yang menyerupainya, bukan sosok yang paling di takutinya.

"Pak, makan dulu. Dari siang, Bapak belum makan sama sekali," ucap Wiwik, sembari berdiri membuka penutup hidangan dan menyiapkan satu piring untuk Mbah Han.

Mbah Han mengangguk pelan, seraya menghempaskan tubuhnya di kursi sebelah Wiwik.

"Zul, kemana, Nduk?" tanya Mbah Han, yang tak melihat Zul, sedari awal ia bangun.
"Belum pulang, Pak. Mungkin pulang larut lagi," jawab Wiwik, sambil meletakkan segelas air putih di depan Mbah Han.

"Bapak nggak usah masukin ke hati, ucapan keras dan kasar Mas Zul. Saya percaya, kalau Bapak baik-baik saja," ucap Wiwik kembali.

Mbah Han menghentikan tangannya yang sedang menyendok nasi dalam piring. Ia terdiam, sebelum menatap wajah Wiwik, yang terlihat pucat saat itu.

"Nduk, Bapak tau, kalau Zul dan Kamu itu dekat dengan Buk Diyah. Tapi, Bapak juga lebih tau siapa dia dan orang tuanya. Bapak hanya nggak mau terjadi apa-apa dengan kalian. Cukup Sasa yang sudah menjadi korbannya. Itu saja yang Bapak inginkan." 

Sekilas Wiwik tertunduk, mendengar ucapan Mbah Han. seperti menyembunyikan sesuatu berkaitan ucapan Mbah Han.
Sampai beberapa saat kemudian, terlihat linangan air mata yang di usapnya cepat-cepat.

"Ada apa, Nduk?" tanya Mbah Han, melihat Wiwik tiba-tiba menangis.
"Nggak apa-apa, Pak. Maaf, Bapak Monggo teruskan makannya, Saya permisi ke kamar dulu, Pak." sahut Wiwik, seraya bangkit dan meninggalkan Mbah Han, yang di penuhi tanda tanya.

Satu tarikan nafas panjang, kembali mengawali tanda tanya besar dalam benak Mbah Han. Membuatnya semakin sulit untuk bisa merubah keadaan. 
Sampai Mbah Han menyelesaikan makannya, Wiwik tak lagi terlihat oleh Mbah Han. Membuatnya sedikit menyesal atas ucapan yang lagi-lagi membahas Buk Diyah. Mungkin Wiwik marah, sama dengan Zul, jika membahas tentang Buk Diyah. Pikir Mbah Han saat itu.

Malam semakin merambah jauh. Hujan deras pun sudah mereda, berganti rintik gerimis dengan hembusan-hembusan angin tipis, saat Mbah Han memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya.

Namun, baru saja kakinya menapak lantai ruang keluarga. Matanya sudah di kejutkan sesosok wanita dengan rambut bergelung bulat, berkebaya batik bercorak.
Wangi aroma dari tubuh sosok yang berdiri membelakangi Mbah Han, seketika menyeruak pekat ruangan, membuat tubuh Mbah Han berubah Anyep.

Kaki Mbah Han seperti terpaku seketika. Matanya tak bisa lepas menatap punggung sosok yang pernah ia lihat puluhan tahun silam. Kala dirinya dan Sanusi masih bersama sebelum istri tercintanya menjadi korban.

"Iling-ilingo! Geteh seng wes temetes sak jeroning lemah, ra bakal keno di balekake. Podo karo memolo kang ketandur sak jerune kawah, tetep bakal ke unduh uwohe." (Ingat-ingatlah! Darah yang sudah menetes masuk ke dalam tanah, tak akan bisa di kembalikan. Sama dengan balak yang sudah tertanam sedalam kawah, tetap akan di panen buahnya.)

Bergetar tubuh Mbah Han, mendengar kalimat lirih namun tegas. Kalimat yang sebentar kemudian membuat tubuh Mbah Han, terduduk pelan dan tersimpuh...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close