Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BUKIT ORANG BUNIAN (Part 2) - Datuk Pagaralam


“Katigo paja tu ketek jo baru.. sia nan ka mamulainyo..” (Ketiga anak itu masih kecil.. siapa yang akan memulainya..) ujar Datuk Pagaralam tidak percaya.

“Sampai saat ini kami belum tau siapa yang akan memulainya.. tapi pertandanya sudah ada.." ujar pria pucat itu.

Mata Datuk Pagaralam memandang jauh, menunjukkan ia sedang berfikir jalan yang terbaik untuk mencegah apa yang ditakutkannya terjadi.

“Urang di rumah baa nyo?” (Orang-orang di rumah bagaimana?) tanyanya lagi.

“Alun ado persiapan. Tapi ambo lah parentahan untuak basiago..” (belum ada persiapan. Tapi saya sudah perintahkan untuk bersiaga).

“Pacik kato kato den nan patang. Kok kami disiko kalah, baru kalian tagakan pancang kalian tu. Tapi kok kami masih barusaho, jan ado ciek urang sajo kanai dek kalian!”

(Pegang kata-kata saya kemarin. Kalau kami disini kalah, baru kalian berdirikan tiang-tiang itu. Tapi kalau kami masih berusaha, jangan sampai ada satupun orang yang kalian serang) ujar Datuk dengan suara meninggi.

“Angku tau kami ndak parnah amuah manggaduah urang salamo kami ndak digaduah..” (Engkau tau kami tidak pernah mengusik orang selama kami tidak diusik..) ujar pria itu dingin.

Pagaralam mengangguk dan menyeruput minuman yang masih mengeluarkan asap.

Pandangannya tajam tertuju pada pria berwajah pucat yang duduk tanpa ekspresi di hadapannya kini.

“Urang ateh alah tau?” (orang atas sudah tau?) tanyanya lagi.

“Antahlah. Kami lah lamo ndak bahubuangan jo urang ateh. Lah babeda kok di satu bukik nan samo..” (entahlah. Kami sudah lama tidak berhubungan dengan orang atas. Kami sudah berbeda walaupun berada di bukit yang sama..)

Datuk Pagaralam menggeleng sambil menyesap kopinya lagi.

“Kok sampai turun gunuang paja paja tu, yo bahayo..” (kalau mereka sampai turun gunung, itu berbahaya) ujar Pagaralam dengan wajah serius.

“Labiah bahayo kok nan pamuncak nan kalua..” (lebih berbahaya lagi kalau yang di puncak sampai keluar..) tegas pria itu lagi.

“Jan sampai..” (jangan sampai..)

"Lalu apa yang akan kamu kerjakan untuk mencegah ini terjadi?" pria pucat itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke pintu dan bertahan disana, menunggu jawaban Datuk Pagaralam.

“Cingkariak duo tu bia den buek mangarati jo a isi bukik kalian tu..” (Dua bocah itu biar saya buat paham tentang apa isi bukit kalian..) jelas Pagaralam.

“Cubolah.. kami baharok labiah kapado seorang Pagaralam..” (coba saja.. kami berharap lebih dengan seorang Pagaralam) tanpa pamit pria itu berjalan keluar dan menghilang dalam gelapnya area sawah tanpa penerangan.

Sepeninggal pria tadi, pikiran Pagaralam terus berputar. Tidak biasanya ia begitu gelisah seperti ini. Terlebih baru kali ini “mereka” sampai sampai mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

“Besok saya harus bicara dengan anak anak itu.." gumamnya mantap.

Keesokan harinya..

Guntara berangkat sekolah diantar sang ayah seperti biasa. Selama di perjalanan, yang terus terpikirkan olehnya adalah keadaan Abbas. Ia ingin bertanya apa yang sudah terjadi kepada temannya itu kemarin.

Namun sesampainya di sekolah hingga lonceng masuk berbunyi, Abbas tidak terlihat berada di kelas. Begitupun saat diabsen, Abbas tidak hadir tanpa keterangan. Hal ini semakin membuat Guntara yakin ada sesuatu yang terjadi.

Sepulang sekolah, Guntara menyempatkan diri singgah ke rumah Nenek Pampang untuk menjenguk Abbas seandainya ia sakit atau sebagainya.

“Assalamualaikuum, Bas? Minaa?” panggil
Guntara.

“Waalaikumsalam..” jawab seseorang dari dalam.

Pintu kayu tua itupun terbuka dan dihadapan Guntara kini sudah ada Abbas yang matanya sembab dan beberapa bagian wajahnya membiru.

“Bas?? kamu kenapa?? Kenapa ga sekolah??” tanya Guntara dengan khawatir.

“Lagi gak enak badan Tar.. tadi aku dibuat absen ya?” tanya Abbas.

“Iya, soalnya kamu ga kasih surat atau apapun.. sekarang gimana? Udah mendingan? Itu muka kamu kenapa?.. ayah ya?...” tanya Guntara lagi.

“…” Abbas enggan menjawab dan hanya memalingkan mukanya.

“Besok masuk kan? Ada ulangan harian besok jangan lupa” ujar Guntara.

“Iya besok aku masuk kok” jawab Abbas tanpa bergerak dari posisinya berdiri.

“Baguslah, banyak istirahat Bas, jangan lupa belajar ya. Lauk makanan ada?” tawar Guntara.

“Masih kok.. oh iya, maaf, tapi tolong bilang sama ibumu dan Pak Bagindo, gausah repot repot kasih makanan ke aku ya.. ayah kemarin bawa banyak lauk, jadi kita gausah nyari lauk lagi”

Guntara terdiam namun ia memahami isi hati Abbas. Ia sudah mengenali sahabatnya ini sejak bertahun tahun lamanya dan ia tau wajah yang ada dihadapannya kini sedang menyembunyikan sesuatu.

Ia tau sejak dulu Abbas sangat ingin makan di rumahnya, namun Buyung (ayahnya)  sangat tidak menyukai anaknya bergantung pada orang lain, terlebih orang itu adalah Bagindo Sati yang sejak dahulu sering tidak sepaham dengan Buyung.

“Yaudah baguslah kalau begitu, aku pulang dulu. Sampai ketemu besok” ucap Guntara sambil berlalu meninggalkan rumah Abbas.

“Iya hati-hati ya” ujar Abbas sambil menutup
pintu.

Tepat setelah pintu tertutup rapat, Abbas
terjatuh. Kakinya sudah mencapai batasnya untuk menjaga tetap berdiri daritadi. Betis dan tulang keringnya yang begitu sakit sejak tadi coba ia tahan demi tidak diketahui oleh Guntara. Dibelakangnya, Buyung memanggilnya dengan tatapan sinis.

“Lah ang usia kawan ang tu?? Kok bisa jan ang bakawan jo anak Sati tu lai!” (Sudah kamu usir temanmu itu?? Sekarang kamu tidak usah lagi berteman dengan anak Sati itu!) bentak Buyung dari balik pintu.

Abbas tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya menetes mengingat kebohongannya di hadapan Guntara tadi. Rumah ini tidak ada makanan, tidak ada apapun untuk mereka bisa makan hari ini maupun besok.

Semua langkitang yang ia dan Guntara kumpulkan kemarin habis dipecahkan dan dibuang Buyung ke sungai di belakang rumah. Ia bahkan tidak tau apakah besok ia masih bisa sekolah atau tidak, seluruh badannya sakit dan ia tidak tidur semalam suntuk sejak kemarin.

“AH A NAN ANG TANGIHAN TU?? LAKI LAKI PANANGIH A ANG KO??” (AH APA YANG KAMU TANGISI?? LAKI-LAKI TAPI CENGENG KAMU??) bentak Buyung sambil menoyor kepala anaknya itu yang tidak bisa melawan.

Abbas mencoba menahan tangisnya dan bangkit. Namun kakinya benar-benar sudah menggigil karena lemas dan banyak luka memar bekas pukulan di betis dan lututnya, semua akibat rotan dan tinju yang dipukulkan padanya sepanjang malam tadi oleh ayah kandungnya sendiri, Buyung.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Abbas merangkak ke arah Buyung. Namun bukan iba, Buyung begitu benci melihat anak laki-lakinya merangkak seperti itu. Dengan kasar ia mengangkat tubuh Abbas dan memaksanya berdiri.

“Manga ang marangkak bantuak si Mina tu hah?? Ka jadi anjiang takah adiak angtu ang??” (kenapa kamu merangkak kayak Mina hah? Mau jadi anjing kayak adik kamu itu??) bentak Buyung.

Mina yang ada di sudut ruangan bersama Nek Pampang terhenyak. Badannya menggigil dan tangisnya pecah tanpa suara. Nek Pampang segera memeluk si kecil Mina menenangkannya.

“Ndak.. ndak.. ndak itu makasuik ayah do Mina…” (bukan, bukan, bukan itu maksud ayahmu Mina..) ujar Nek Pampang sambil menaruh kepala Mina di dadanya.

Namun kalimat penenang dari nenek Pampang itu sama sekali tidak merubah perasaan sakit yang saat ini Mina rasakan.

Ia memandangi kakinya yang kecil dan layu. Sejak lahir Mina memang lumpuh pada bagian tubuh bawahnya. Inilah yang membuatnya harus digendong kemanapun oleh Abbas. Selama ini ia tidak begitu memikirkan kondisinya, namun kalimat Buyung tadi benar-benar menusuk hatinya.

Anjing.. ia disamakan dengan binatang itu oleh ayah kandungnya sendiri...

Keesokan paginya, Buyung meninggalkan rumah itu begitu saja seperti yang sudah-sudah. Meninggalkan Abbas dan Mina dalam trauma yang sangat sulit hilang.

Tidak mungkin rasanya mereka bisa menganggap Buyung sebagai ayah kandung, karena setiap melihatnya saja baik Abbas dan Mina ketakutan. Nek Pampang juga tidak bisa berbuat banyak. Buyung sama sekali tidak terpengaruh terhadap keberadaan adik dari mendiang mertuanya itu disana.

Karena kondisi tubuh yang masih sakit dan bekas lebam yang belum sembuh, Abbas memilih untuk kembali tidak masuk sekolah. Ia hanya termenung di teras rumah Nek Pampang sambil mengais ngais tanah yang basah sisa hujan semalam.

Perutnya begitu perih, namun tidak seperih bekas-bekas luka dan goresan yang ada hampir disekujur tubuhnya.

“Assalamualaikum, Bas?” tiba-tiba saja Guntara sudah ada disampingnya. Kehadirannya benar-benar tidak dirasakan oleh Abbas sebelumnya.

“Waalaikumsalam, eh Tar. Maaf ya hari ini aku ga masuk lagi. Aku absen lagi ya?” tanya Abbas.

“Enggak kok. Aku udah buatkan surat sakit untuk kamu hari ini. Maaf aku palsukan tanda tangan nenek Pampang karena ga sempat bawa surat itu tadi pagi kesini” ujar Guntara.

“.. ma.. makasih Tar.. ujiannya gimana tadi?..” tanya Abbas lagi.

“Lumayan susah, tapi harusnya kamu bisa. Ini aku udah catat beberapa soal dan jawaban yang aku ingat. Ibu guru izinin kamu ujian susulan Jumat nanti. Semoga soalnya sama” ujar Guntara menyodorkan sebuah buku bersampul coklat yang didalamnya ada poin-poin soal dan jawaban ujian.

“…” Abbas terdiam saat menerimanya.

“makasih Tar..” ujar Abbas sekali lagi.

“Iya. Ayahmu udah pergi kan? Sekarang berarti bisa makan kan? Ini titipan ibu. Ada nasi, lauk sama sayur. Cepat makan sama Mina” ujar Guntara lagi sambil mengeluarkan satu plastik makanan dari tasnya.

Tanpa terasa air mata Abbas menetes, ia ingin sekali menerimanya dan makan makanan itu saat itu juga. Tapi ia sangat khawatir jika nanti tiba-tiba ayahnya pulang lagi dan memarahinya karena memakan makanan dari Guntara.

Hal itu juga yang membuat Abbas tidak berani untuk pergi mencari makan, khawatir ia tidak berada di rumah saat Buyung tiba-tiba pulang nantinya.

“Tapi Tar.. nanti kalau ayah tiba-tiba pulang gimana..” tanya Abbas lemah.

“Makan saja sekarang, aku tungguin disini, sama itu, tenang, disana… “ Guntara menunjuk ke arah jalan, disana berdiri seorang pria yang merokok sambil melihat kekiri dan kanan, itu adalah ayahnya, Bagindo Sati, yang berjaga jaga jika seandainya Buyung pulang.

Bagindo Sati yang akan mengulur waktu dan memastikan Abbas aman jika tiba-tiba Buyung kembali.

“Ayah jagain darisana. Kamu sama Mina harus makan. Ayo” ujar Guntara sambil menyodorkan lagi plastik itu.

Mata Abbas berbinar dan butiran air mata mengganjal di ujung matanya. Abbas mengangguk cepat dan membawa bungkusan itu ke dalam. Ia segera membangunkan Nek Pampang dan Mina yang tidur karena kelaparan.

Ketiganya lalu makan dengan penuh haru dan bersyukur. Nek Pampang tidak henti hentinya mengucapkan terima kasih dan menitipkan salamnya untuk Ibu Guntara dan Bagindo Sati yang masih berjaga di depan.

Hanya beberapa menit, ketiga orang lapar itu menghabiskan makanan yang ada di hadapan mereka. Seluruh sisa bekas makanan harus bersih, termasuk ceceran minyak kuah dan plastik pembungkus sayur. Tidak boleh ada satupun barang bukti bahwa mereka makan hari ini.

Setelah memastikan semuanya aman, Guntara membawa semua alat makan dan plastik lalu izin untuk pulang.

“Gimana? Abis makanannya?” tanya Bagindo Sati saat Guntara menggandeng tangannya untuk pulang.

“Abis yah. Dapat salam juga dari nenek Pampang” ujar Guntara sambil menunjuk ke belakang.

Bagindo Sati langsung menoleh ke belakang dan mendapati Nek Pampang sedang melambaikan tangannya dari dalam rumah.

Bagindo Sati tersenyum dan melambai balik lalu memberikan kode jempol padanya. Ayah dan anak itu lalu pulang dengan perasaan tenang dan bahagia sudah memberikan sesuatu kepada keluarga itu hari ini.

***

Sudah lima puntung rokok menumpuk di asbak kayu Supardi. Dengan hanya mengenakan sarung, ia membolak balikkan map kuning berisi format tanda tangan yang seharusnya diisi oleh warga kemarin.

Hatinya terus dongkol mengingat momen ia dipermalukan oleh dua orang itu. Mengambil alih pimpinan Pagaralam dan berhasil menang dari Bagindo Sati nyatanya belum membuat dirinya berkedudukan sama seperti kedua orang itu di mata masyarakat Desa Rangkiang.

“Sebulan.. apa yang harus saya lakukan dalam waktu sebulan..” gumam Supardi sambil kembali menghisap dalam rokoknya.

Ditengah lamunannya, pintu rumahnya diketuk dengan cukup keras.

TOK TOK TOK
“Par!” panggil orang di luar, Supardi langsung mengenali suara itu adalah Buyung.

“Masuk saja. Pintu tidak dikunci!” jawab Supardi tanpa berdiri dari kursinya.

Buyung masuk dengan wajah dinginnya seperti biasa. Tanpa dipersilakan, ia langsung duduk di hadapan Supardi, mengambil rokok yang tergeletak di meja dan membakarnya tanpa meminta izin terlebih dahulu.

“Sudah kau cari caranya? Atau kau mau mundur
saja?” tantang Buyung pada Supardi.

Supardi menggeleng. “Belum, dan justru keadaannya semakin buruk. Kemarin Sidi kesini dan dia memberi saya waktu satu bulan untuk menyelesaikan ini. Memperbaiki nama saya untuk mencari empati orang orang itu tidak akan cukup satu bulan..” gumam Supardi.

“Yasudah kalau begitu pakai cara yang saya bilang kemarin” tegas Buyung lagi. Matanya mengarah tajam kepada Supardi seakan menantangnya untuk serius.

Kini Supardi yang berbalik menatap tajam kearah Buyung. Kadar kejahatan keduanya memang berbeda. Buyung jauh diatas Supardi perihal kelicikan. Tapi mau bagaimanapun berkat Buyung jugalah ia bisa menduduki posisi kepala Jorong saat ini.

“Kau simpan dulu otak gila kau itu. Biarkan saya yang berpikir untuk cara yang tidak akan menghasilkan masalah baru seperti yang ada di pikiran kau sekarang!” ujar Supardi.

“Saya menunggu..” Buyung mengetuk ujung
rokoknya ke asbak hingga abunya berjatuhan.

Pandangan Supardi menerawang jauh, memandangi langit langit rumahnya yang kusam. Tiba-tiba saja matanya berbinar. Sepertinya sebuah ide masuk ke kepalanya.

“Bagaimana kalau begini…” kaki Supardi yang tadi ia angkat keatas kursi ia turunkan, ia lalu mematikan rokoknya dan mulai berbicara kepada Buyung mengenai idenya.

...

“Kapan dan siapa yang mau kau suruh melakukan itu?” tanya Buyung. Ide yang baru saja ia dengarkan membutuhkan tenaga dan waktu yang tepat.

“Orang yang paling tidak mungkin disalahkan dan dicurigai orang orang.. dan saya butuh bantuan kau untuk ini!” tunjuk Supardi pada Buyung.

***

Hari itu bertepatan dengan hari Kamis. Menjelang Maghrib, anak-anak kampung akan berkumpul untuk mengaji di Surau Pamatang seperti biasa, namun khusus malam Jumat seperti ini, selain pengajian rutin ada tambahan khutbah yang biasanya diisi oleh tokoh kampung.

Hari ini Datuk Pagaralam yang bertugas menyampaikan nasehat-nasehatnya. Dalam rombongan anak-anak pengajian itu juga duduk Guntara, Abbas dan Mina.

Tema kajian yang Datuk Pagaralam bawa saat itu adalah pentingnya menjaga lingkungan dan kaitannya dengan ibadah. Dalil kebersihan sebagian dari iman adalah pokok utama bahasan beliau malam itu.

Anak-anak yang berjumlah belasan itu menyimak dengan sangat tertib. Tentu saja itu karena Datuk Pagaralam adalah orang yang dikenal pandai bercerita dan dekat dengan anak-anak.

Alih-alih mendapat khutbah yang membosankan dan membuat mengantuk, Datuk mengemasnya dengan cerita-cerita pengalamannya saat kecil dahulu.

“Nah kalian tau bukit yang dibelakang itu?" tanya Datuk ditengah ceritanya.

Hampir semua anak-anak mengangguk.

“Bukik tu ndak sumbarang bukik biaso tu do” (bukit di belakang itu bukan sembarang bukit biasa) jelas Datuk memancing rasa penasaran para pendengarnya.

“Baa tu Tuak?” (kenapa emangnya Tuk?) tanya salah satu anak.

“Nahh iko lah Datuak caritoan tantang bukik tu”
(nah sini Datuk ceritakan tentang bukit itu).

"Bukit di belakang kampung dan dikelilingi sawah penduduk itu sejak dahulu merupakan batas antara posisi yang boleh dijamah manusia dengan yang tidak. Para pendahulu kampung ini terikat pada satu perjanjian dengan penghuni bukit mengenai pembagian wilayah-

Mereka tidak akan mengganggu kita dan kita juga tidak boleh mengganggu kehidupan mereka disana) jelas Datuk.

“Pahuni Bukik tu sia tuak?” (penghuni bukit itu siapa Tuk?) tanya salah satu anak. Datuk sengaja membiarkan ceritanya menggantung dan pertanyaan ini akan terlontar.

“Hahaha panjang carito beko ko. Lai amuah kalian mandanga?” (hahaha bisa panjang ini ceritanya. Kalian beneran mau dengar?) tanya Datuk sambil tertawa.

“IYO IYO TUAK CARITOAAN” (IYA IYA TUK CERITAKAN) ujar anak-anak itu bersemangat.

Dongeng baru yang seru dari Datuk Pagaralam tidak pernah membuat mereka bosan mendengarkannya.

Datuk Pagaralam melepas peci putihnya dan memasangnya kembali lalu membetulkan posisi kacamatanya sebelum memulai cerita. Membawa anak-anak itu kepada suatu hal yang mungkin merubah pandangan mereka pada bukit belakang...

****

Dahulu, Desa Rangkiang belum ada. Orang yang pertama kali membuka daerah disini adalah dua orang kakak adik bernama Badaro dan Patiah. Keduanya merupakan penghulu desa yang hendak menentukan lokasi yang cocok untuk dijadikan sebuah pemukiman.

Adalah kebiasaan dari masyarakat setempat, ketika akan membangun sebuah rumah atau pemukiman, akan dilakukan sebuah upacara batagak pancang (mendirikan tonggak) pada daerah yang akan dibangun bangunan.

Sebuah tongkat akan ditancapkan pada suatu titik yang akan dijadikan rumah atau pemukiman. Setelahnya, apa yang terjadi pada si penaruh tongkat adalah jawaban dari alam, yaitu boleh atau tidaknya didirikan bangunan di lokasi tersebut.

Jika lokasi itu aman, tidak akan ada yang terjadi pada si penancap tongkat dan bisa disimpulkan membangun rumah disana dapat dilakukan.

Sedangkan jika tongkat itu tertancap di daerah “kekuasaan” makhluk lain, maka akan ada hal yang terjadi dan biasanya harus melalui negosiasi dahulu dengan penghuninya.

Saat itu lokasi yang akan menjadi Desa Rangkiang masih berupa hutan dengan sungai yang membelah di bagian tengahnya.

Keberadaan sumber air membuat Badaro dan Patiah merasa cocok untuk memulai sebuah perkampungan disini.

Tongkat pancang ditancapkan dan keduanya tinggal menunggu sambil bermalam di lokasi tersebut.

Malamnya mereka terbangun dalam keadaan dikelilingi oleh orang-orang berbaju putih dan wajah yang pucat pasi.

Badaro dan Patiah baru pertama kali ditampakkan seperti ini sepanjang pengalaman mereka membuka lahan.

“A ko?..” (apa ini?..) ujar salah satu orang berbaju putih itu tanpa menggerakan bibirnya.

“Sia kalian?” (siapa kalian?) tanya Badaro.

“Ambo Sufyan.. A ko?” (saya Sufyan.. apa ini?) tanya sosok itu lagi sambil matanya melihat kearah tongkat yang Badaro dan Patiah tancapkan.

“Kami ka mambangun rumah disiko” (kami akan membangun rumah disini..) ujar Badaro.

“Iko tanah kami.. tanah Bunian..” (ini tanah kami.. tanah Bunian) ujar sosok bernama Sufyan itu.

“Kami tidak akan mengganggu dunia kalian. Kita punya daerah masing-masing dan tidak akan saling melampaui) jelas Patiah dengan sedikit gentar melihat banyaknya jumlah makhluk itu.

Jumlah sosok yang mengelilingi mereka sangat banyak. Mungkin ratusan atau bahkan ribuan.

“Manusia ka kami dangaan?.. pai kalian..” (kami tidak mau mendengarkan manusia?.. pergi kalian..) ujar Sufyan, kalimatnya mengusir tapi wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Kami lah dititah dek Tuhan untuak manjadi khalifah dimuko bumi” (kami sudah dititah oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi) bantah Badaro. Suaranya terdengar lebih tegas dibanding Patiah, adiknya.

“Dan kami lah mahuni bukik ko sabalun kalian baduo hiduik..” (dan kami sudah menghuni bukit ini sebelum kalian berdua hidup..) ejek Sufyan.

“…” Badaro dan Patiah terdiam. Apa yang dikatakan makhluk ini benar.

Namun bagaimanapun manusia membutuhkan ruang untuk hidup, sedangkan sosok-sosok ini tidak.

“Dima kalian tingga?” (dimana kalian tinggal?) tanya Patiah.

Sosok itu kemudian menunjuk arah di belakang tubuhnya, sebuah bukit gelap yang menjulang diantara gugusan megahnya Bukit Barisan.

“Carilah tampaik lain.. bukik kami indak untuak kalian tingga..” (carilah tempat lain.. bukit kami bukan untuk kalian tinggali..) sosok itu.

“Kami tibo baiak baiak.. kami ndak ka manggaduah dunia kalian..” (kami datang dengan baik-baik.. kami tidak akan mengganggu dunia kalian..) Patiah masih mencoba menego kepada sosok yang sepertinya pemimpin makhluk ini.

“Kalian datang dengan baik-baik namun untuk tujuan yang salah.. sekarang kalian lebih baik pergi, atau terpaksa kami usir dari tanah kami.." ujar Sufyan sambil mengangkat satu jarinya ke udara.

Tiba-tiba saja muncul satu titik merah di bagian bawah bukit yang berada di belakang Sufyan. Hanya dalam hitungan detik, titik-titik merah itu bertambah dan jumlahnya tak terhitung. Sesaat kemudian Badaro sadar itu adalah panah-panah api yang siap dilepaskan untuk menghujani mereka.

“Pai…” (pergi..) ujar Sufyan itu tanpa menurunkan jarinya.

Namun Badaro tidak bergeming sama sekali. Sementara Patiah sudah merasa ini bukan tempat yang cocok untuk ditinggali karena begitu kuat dan banyaknya makhluk yang menghuni daerah ini.

“Pikiaan sakali lai” (pikirkan sekali lagi) tantang Badaro.

“PAI!” (PERGI!) tiba-tiba saja makhluk dihadapan Badaro dan Patiah yang tadi hanya berwujud manusia biasa berubah menjadi seperti kera. Tubuhnya ditumbuhi bulu dan matanya memerah.

Wajah Sofyan yang tadinya terlihat tenang tanpa ekspresi berubah marah.

“MANUSIA NDAK BISA DISABUIKAN ELOK ELOK!” (Manusia tidak bisa dibilangin baik-baik!) bentak sosok itu sambil menurunkan jari telunjuknya. Memerintahkan pemanah diatas bukit melepaskan panahnya.

“AAAA!!!” Patiah berteriak sambil menutupi
kepalanya.

Tidak ada yang terjadi. Patiah melihat ke belakang dan semua anak panah merah tadi hanya diam. Namun titik-titik merah itu masih ada disana.

Sosok Sufyan yang kini sudah menyerupai kera itu membentak keras ke arah bukit.

“TEMBAK MANUSIA KO!” (TEMBAK MANUSIA
INI!) perintahnya. Namun lagi-lagi barisan panah diatas hanya diam.

Kehabisan kesabaran, Sufyan kini menyerang Badaro dengan tangannya sendiri, namun Badaro menepis serangan itu dan berbalik mencengkram leher makhluk itu.
Sufyan saat itu terkejut dan berusaha meronta. Namun kekuatan Badaro begitu kuat.

Sementara ribuan makhluk berbaju putih disekitar ketiganya hanya terpaku melihat adegan itu di hadapan mereka.

“KALIANSADONYO,BUNUAHURANGKO!”
(KALIAN SEMUA, BUNUH ORANG INI!) perintah sosok itu lagi sambil tetap dicengkram Badaro.

Ribuan makhluk itu lalu berubah menjadi wujud yang sama dengan pemimpinnya. Ukuran mereka berbeda-beda namun memiliki ciri yang sama. Mata mereka merah serta kaki dan tangan mereka ukurannya tidak proporsional dengan ukuran tubuhnya.

Ribuan sosok itu hendak menyerang Badaro dan Patiah. Namun saat itu juga Badaro mengangkat satu jarinya yang membuat pasukan ini berhenti.

“Rancak kalian aniang.. kok indak, habih kalian..” (lebih baik kalian diam… atau kalian akan binasa..) ancam Badaro.

Jari telunjuk Badaro lalu mengarah ke bukit tadi. Seketika seluruh makhluk disana tertegun dan tidak mampu bergerak.

Disisi atas bukit mereka, kini ada cahaya-cahaya panah lain berwarna biru yang mengarah ke bawah. Jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak daripada titik-titik merah dibawahnya.
Patiah sang adik hanya bisa tertegun melihat pemandangan itu.

Api api berwarna biru itu begitu terang dan cahayanya bagaikan kilat yang menyilaukan.
“Kami kamari elok elok.. jadi tolong tarimo kami jo caro nan elok pulo..” (kami kesini dengan baik-baik.. jadi tolong terima kami dengan cara yang baik juga..) ujar Badaro dengan tegas.

“SIA ANG?? APO NAN DIATEH TU???” (SIAPA KAMU? APA YANG ADA DIATAS SANA???) Gertak Sufyan

“Alun jo kalian sadar lai doh..?” (apa kalian belum sadar..?) Ujar Badaro.

Sufyan kemudian melihat wajah Badaro dalam dalam. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat. Sampai pada suatu ketika, pupil mata Badaro menyempit menjadi sebuah garis runcing lalu kembali normal sebagaimana manusia.

“..Ci.. Cindaku?” ujar Sufyan gentar..

“Sia nan ka pai kini?..” (siapa yang akan pergi sekarang?..) tantang Badaro.

“k..kami.. kami nan ka pai..” (k..kami.. kami yang akan pergi) ujar sosok itu ketakutan.

Cengkraman Badaro di leher Sufyan melunak.

“Tidak.. dari pertama saya sudah bilang.. kami tidak akan mengganggu kalian. Kita tinggal sama-sama disini, tidak ada yang saling menyerang.." Badaro melepaskan cengkramannya dan Sufyan kini tertunduk di hadapan Badaro.

“Izinkan kami tinggal di tanah leluhur kita ini.. masing-masing akan ada tempatnya, dan masing-masing tidak akan mengganggu satu sama lain) ujar Badaro lagi dengan nada bicara yang kembali rendah.

“..kaum angku labiah tinggi daripado kami.. kami nan ka pindah..“ (.. kaum mu lebih tinggi daripada kami.. kami akan pindah..) Sufyan yang sedari tadi keras kini terdengar lemah. Ia kembali ke wujud manusia berwajah pucatnya semula.

“Tidak.. kami hanya akan mengisi lereng kaki bukit ini.. dari lereng hingga ketengah, rumah kalian sekarang, silahkan kalian pakai, dan yang diatas tetaplah diatas.." jelas Badaro.

Sejak saat itu manusia mulai mengisi kaki bukit. Sementara itu di dimensi yang lain, orang bunian tetap tinggal di tanah leluhurnya, di lereng bukit dan berbatasan dengan bagian atas yang jauh lebih tidak tersentuh lagi.

***

“Nah sajak itulah, awak bisa tingga disiko, dan urang urang tu tingga di bukik balakang” (nah sejak itulah, kita bisa tinggal disini, dan orang-orang itu tinggal di bukit belakang) Datuk Pagaralam menutup ceritanya. Tidak ada yang berbicara. Semua menyimak cerita yang begitu kolosal itu.

“Tu kuaik bana Badaro tu tuak” (Berarti kuat banget Badaro ya Tuk) tanya salah satu anak.

“Iyolah.. sampai urang bunian tu takuik ka inyo kan” (iyalah.. sampai orang bunian itu takut sama dia kan) ujar Datuk Pagaralam.

“Tu kini di bukik balakang tu lai jo Sufyan jo urang urang banyak tu tuak?” (Sekarang di bukit belakang masih ada Sufyan sama orang-orang banyak tadi Tuk?) tanya anak yang lain.

“Masih. Ado nyo disinan lakik kini, tapi ndak nampak di mato awak doh. Nah iko lo payahnyo. Kok ka maliek atau bakunjuang ka sinan bisa, tapi payah pulang kamari liak”

(masih. Mereka ada disana sampai sekarang. Tapi mereka tidak terlihat. Nah ini yang susah. Kalau mau melihat atau datang ke sana bisa, tapi kalian mungkin tidak bisa pulang..) jelas Datuk. Suaranya dibuat rendah hingga anak-anak ketakutan.

“Baa bantuak nyo tu tuak?” (Kayak gimana bentuk mereka tuak?) tanya anak yang lain lagi.

“Samo takah awak ko nyo. Tapi ado nan mambedaanyo saketek.. Mukonyo ko pucek, mukonyo ndak ado ekspresinyo doh, tu indak adoh garih antaro bibia jo iduang ko ha”

(sama kayak kita. Tapi ada hal yang berbeda sedikit.. Wajah mereka pucat tanpa ekspresi, selain itu mereka tidak punya garis cekung antara bibir dan hidung ini) jawab Datuk sambil menunjuk bagian yang dimaksud.

Guntara tersentak. Seketika ia teringat pria berwajah pucat yang ia lihat di kantor Jorong beberapa hari lalu. Pria itu berperawakan seperti apa yang digambarkan Datuk.

Entah kebetulan atau tidak, Datuk saat itu melirik kearah Guntara lalu mengubah posisi jarinya yang semula menunjuk cekungan diatas bibir menjadi tegak lurus di depan bibir. Gestur yang berarti “diam”.

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontarkan dari anak-anak itu. Beberapa dari mereka sekarang takut untuk ke bukit belakang. Sebagian lagi penasaran dengan orang bunian dan kebenaran cerita Badaro.

Namun karena hari yang semakin larut dan bahasan khutbah yang sudah jauh melenceng, Datuk Pagaralam menyudahi ceritanya malam itu tanpa menjawab pertanyaan anak-anak surau yang segera berkata “yah..” saat Datuk mengucapkan salam penutup.

Anak-anakpun satu persatu bubar setelah bersalaman dengan Datuk dan guru mengaji mereka disana. Guntara sengaja berbaris paling terakhir untuk pulang, sementara didepannya ada Abbas yang terus menempel bersama Mina.

Abbas menyalami Datuk dan mengucapkan salam sambil berjalan ke pintu surau. Kini giliran Guntara yang akan salim, namun setelah mencium tangan Datuk, ia tidak melepaskannya. Pertanyaan itu ingin terlontar, namun ia ragu karena ada guru mengajinya disana.

Tiba-tiba saja Datuk mengangguk. “iya, nanti Datuk jelaskan. Sekarang pulang dulu” padahal Guntara tidak mengatakan apapun.

Jantung Guntara berdegup mendengarkan kalimat itu.

Abbas yang masih berada di ambang pintu dan sedang mengenakan sendalnya menatap lagi ke dalam surau. Guntara masih disana bergenggaman tangan dengan Datuk dalam diam.

Lalu sesaat kemudian Guntara berjalan ke arahnya dengan wajah kosong.
“Kenapa?” tanya Abbas.

“Ah enggak..”

Disisi Datuk Pagaralam, guru mengaji surau yang juga masih muda akhirnya ikut bertanya karena terbawa cerita datuk tadi.

“Yobana kisah tadi tuak?” (beneran cerita tadi tu Tuk?) tanyanya sambil terkekeh.

“Gakti angku baa, Guru?” (menurutmu bagaimana, Guru?) tanya Datuak balik.

“Ahaha… engga..” guru mengaji itu awalnya tertawa namun ketika melihat keseriusan mata Datuk, ia mulai berpikir bahwa apa yang didengarnya dari tadi adalah sebuah kisah nyata.

“Salamo ko kalian yang ndak tau.. disinan tu..” (Selama ini kalian yang tidak tau.. disana itu..)
Datuak Pagaralam lalu menunjuk ke suatu lokasi. Guru mengaji itu melihat ke arah yang ditunjuk Datuk Pagaralam.

Senyumnya memudar dan sadar.. Seketika ia tersentak.

“Hah?...” ujarnya tidak percaya.

“Itu.. Nyiak Badaro jo Nyiak Patiah..” (itu.. Kakek Badaro dan Kakek Patiah) ujar Datuk Pagaralam.

****

Guntara pulang dengan pikiran yang berkecamuk. Ia ingin mengatakannya kepada ayah dan ibunya. Namun ia merasa bahwa hanya Datuk Pagaralam yang dapat menjelaskan apa yang sudah ia lihat. Ia menyembunyikan semuanya sesampainya dirumah.

Sementara itu Abbas dan Mina yang baru saja sampai dikejutkan dengan dua pasang sendal yang ada di depan pintu mereka. Satu adalah milik Buyung sedangkan satunya lagi baru bagi mereka.

Abbas mengetuk pintu dan mengucap salam. Di ruang tengah sudah ada Buyung dan Supardi. Salam dari Abbas sama sekali tidak dijawab oleh keduanya. Buyung segera menyuruh anaknya itu untuk duduk di tikar, sementara Mina diserahkan kepada nenek Pampang.

Supardi menatap Abbas dalam-dalam. Melihat dari atas hingga bawah tubuh kurus Abbas lalu memandang kembali ke arah Buyung.

“Saya rasa pilihan saya tepat” ujarnya.

Buyung berdecak kesal mendengarnya.

“Kau hanya tidak punya ide yang lebih baik dan ringkas sampai harus mengandalkan anak-anak untuk ini” ujar Buyung.

“Ideku lebih manusiawi ketimbang ide sembarangan di kepala kau sekarang” balas Supardi.

Abbas menatap keduanya dengan bingung. Ia tidak tau apa yang sedang dibicarakan kedua orang ini dan apa yang dimaksudkan dengan dia adalah “pilihan tepat.”

Supardi lalu mengeluarkan tiga buah kaleng dan menaruhnya di hadapan mereka bertiga.

“Sementara segini dulu. Kita incar yang paling luas dan berada di kaki bukit. Siapa yang paling cocok menurut kau?” tanya Supardi.

Buyung terdiam sejenak. Ia melihat ke arah ketiga kaleng itu sambil menimbang nimbang.
“Kamu tau sawahnya si Puja?" Tanya Buyung kepada Abbas.

Abbas mengangguk. Itu adalah sawah tempat ia dan Guntara mencari langkitang sebelumnya. Posisinya berada dekat dengan lereng bukit belakang.

Buyung menengok kembali ke arah Supardi lalu bertanya
“Disana saja. kapan mau kau mulai rencana ini?”

“Malam ini” ujar Supardi dengan singkat.

Abbas masih belum mengerti. Ia melihat kearah Nek Pampang yang menangis sambil menggelengkan kepalanya pelan kearah Abbas..

***

Keesokan paginya, warga dihebohkan dengan laporan mengenai kering dan matinya sawah di kaki bukit belakang. Yang paling parah mengalaminya adalah sawah Bu Puja. Sawahnya mengering dan seluruh padi miliknya yang direncanakan akan dipanen dua bulan lagi menjadi kuning dan mati.

Hal ini baru pertama kali terjadi, padahal kemarin saat ia melihat sawahnya saat sore hari, semua terlihat normal dan padi yang ia tanam tumbuh dengan baik.

Tidak ada orang yang bisa menjelaskan apa yang dialami sawah Bu Puja, namun muncul dugaan karena hal klenik yang dikirimkan orang yang tidak menyukainya.

Namun ternyata bu Puja bukanlah satu satunya korban. Satu hari setelahnya giliran sawah di sisi lain yang juga mengalami hal serupa. Padi di sawah itu mengering dan seperti bekas terbakar. Tidak ada yang bisa diselamatkan.

Kegagalan panen terus menyebar dari satu sawah ke sawah lainnya setiap harinya. Namun kembali, orang-orang masih belum yakin atas apa yang terjadi. Apakah pengaruh kualitas bibit, pencemaran air, atau hal hal klenik yang sudah terjadi.

“A nan tajadi ko.. ado nan baparangai ka kampuang awak gakti ko ndak??” (apa ini yang sudah terjadi.. ada yang berulah di kampung kita??) ujar salah satu warga.

Beberapa warga yang belum terdampak dan mempercayai ini adalah efek klenik, mulai panik dan meminta bantuan dukun untuk memagari sawah-sawah mereka. Beragam rajah ditancapkan disisi sisi sawah.

Tidak hanya itu, beberapa yang lain juga menaruh bermacam-macam sesajen dan persembahan untuk makhluk halus agar sawahnya tidak mengalami bencana yang sama dengan sawa- sawah lainnya. Hal ini menjadi hal baru bagi Desa Rangkiang ketika para penduduknya melakukan hal semacam ini.

Bagindo Sati dan Datuk Pagaralam sudah berusaha untuk melarang masyarakat untuk melakukan kemusyrikan seperti itu namun hanya sebagian kecil warga yang tetap menurut. Selebihnya panik dengan ancaman sawahnya mati oleh “penyakit misterius” itu.

“Ndak alami dek alam dari apo nan nampak di ambo ko Sati” (sepengelihatan saya, yang terjadi sekarang bukan karena hal alami Sati) ujar Datuk Pagaralam yang saat itu bertamu di rumah Bagindo Sati.

"Saya pun merasakan hal yang sama Tuk. Tapi kita tidak bisa sembarang tuduh tanpa bukti" jawab Bagindo sambil menyesap kopinya.

Guntara yang daritadi berada di dalam kamar akhirnya keluar begitu mengetahui Datuk Pagaralam berada di teras rumahnya.

Ia sudah menunggu penjelasan apa yang akan diberikan Datuk Pagaralam melanjutkan cerita di surau waktu itu.

Guntara keluar dan langsung menyalami Datuk. Tatapannya jelas menagih sesuatu yang menggantung namun Guntara tidak bisa mengucapkannya secara langsung karena-

-di hadapannya kini ada Bagindo Sati, ayahnya.
Datuk membaca tatapan itu dan tersenyum. Ia mengangguk pelan dan memberi gestur “nanti” kepada Guntara. Membuatnya kembali harus bersabar atas semua pertanyaan di dalam pikirannya.

Obrolan mengenai bencana pertanian yang terjadi di Desa Rangkiang terus berlanjut diantara kedua orang itu. Guntara tetap berada disana dan menyimak diskusi antara dua orang bijaksana itu.

Ada dua hal yang harus Bagindo dan Datuk hentikan, yaitu penyebaran kematian sawah dan menghentikan masyarakat dari berbuat syirik.

Karena masyarakat semakin tenggelam pada kemusyrikan dan penyakit tumbuhan ini makin menyebar, Bagindo Sati mengusulkan untuk melakukan pemantauan terhadap sawah-sawah yang belum terdampak.

Bagindo Sati akan mencoba mengumpulkan beberapa pria dewasa untuk menyisir sawah setiap malam dan melihat petunjuk penyebab hal ini bisa terjadi. Usulan ini diterima Datuk Pagaralam yang segera membuatkan peta sederhana sebaran sawah di kaki bukit belakang.

Ditengah obrolan mereka, Bagindo Sati izin ke dalam rumah untuk buang air kecil sebentar. Momen yang tidak berapa lama ini dimanfaatkan Guntara untuk langsung menyasar pertanyaan kepada Datuak.

“Tuak, yang aku liat itu.. apa itu orang bunian?..”

“Iyo.. itu urang bunian.. tamasuak nan angku caliak disabalah Datuak pagi tu, tu urang bunian lo..” (iya, itu orang bunian.. termasuk yang kamu lihat disebelah saya pagi itu, itu juga orang bunian..)

“Jadi datuk dari awal tau bahwa itu orang bunian, dan kenapa datuk bisa bicara dengan dia??” Guntara saat itu shock namun ia hanya punya waktu sedikit sebelum ayahnya kembali.

“Harusnyo ndak itu pertanyaannyo.. tapi baa kok bisa nak Guntara mancaliak urang bunian?..” (harusnya bukan itu pertanyaannya.. tapi kenapa Guntara bisa melihat juga orang bunian?..) tanya Datuk Pagaralam yang semakin membuat Guntara berdegup kencang.

“Di ruangan jorong itu, tidak semua orang bisa melihat kehadiran dia. Bahkan awalnya saya mengira tidak ada yang bisa melihat dia selain saya. Tapi begitu kamu bilang seperti itu kemarin, saya juga kaget kamu bisa melihatnya.." jelas Datuk panjang lebar.

“.. apa mereka jahat?..” tanya Guntara.

“Sama seperti kita, manusia, mereka ada yang baik dan ada yang jahat. Orang bunian bukan satu satunya yang tinggal di bukit itu. Mereka hanya mengisi bagian lereng bawah..-

-Diatas mereka ada Cindaku, dan di paling puncak ada Induak Ameh, pembawa bala bencana besar kalau sampai dia keluar.."jelas datuk.

“..lalu.. kenapa aku bisa lihat mereka Tuk?..”
tanya Guntara.

“.. Ado sesuatu nan ka tajadi dan urang urang tu nio angku tau..” (Ada sesuatu yang akan terjadi dan orang-orang itu, kamu mau tau..)

“..apa.. apa yang akan terjadi?..” tanya Guntara.

“…”

Belum sempat Datuk menjawab pertanyaan itu, Bagindo Sati kembali dari urusannya. Ia membawa seplastik biskuit kacang dan menaruhnya di meja.

“..nah, untuak kawan maota tuak” (nah buat teman ngobrol Tuk) tawar Bagindo Sati.

“Haha.. makasih Sati” tawa Datuk Pagaralam
seraya mengambil biskuit itu dan memakannya.

Sejak itu Bagindo Sati tetap berada disana hingga Datuk Pagaralam pulang. Guntara sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk bertanya, begitupula Datuk yang tidak punya waktu lagi untuk berbicara empat mata dengan Guntara.

“..lah ambo pulang dulu. Biko malam sobok wak” (saya pulang dulu ya. Nanti malam kita bertemu lagi) pamit Datuk sambil berdiri dari duduknya.

Guntara juga bangkit menyalami Datuk.
Ia mencium tangan Datuk. Namun ketika ia melepaskannya, suatu benda sudah ada digenggamannya.

Guntara awalnya mengira itu adalah uang, namun ternyata itu adalah sehelai kertas usang yang terdapat tulisan tulisan yang tidak bisa terbaca.

Guntara menggenggam dan menyembunyikan kertas itu dengan memasukkannya ke dalam saku tanpa tau apa kegunaan kertas itu.

***

Malam itu jumlah warga yang memantau sawah sebanyak sepuluh orang termasuk diantaranya Bagindo Sati dan Pagaralam. Mereka menyisir ke sisi selatan bukit dengan membawa obor dan penerangan seadanya.

Namun hingga dini hari mereka mencari jejak dan petunjuk, mereka tidak menemukan apapun yang mencurigakan.

Pagi harinya, sawah yang terkena dampak kekeringan mendadak itu tidak menyebar.

Hal ini memberikan harapan pada masyarakat bahwa sebarannya sudah berakhir, sebagian beranggapan seserahan dan rajah yang mereka pasanglah yang membuat sawah mereka selamat.

Berbeda dengan Bagindo Sati, baginya walaupun tadi malam mereka tidak menemukan apapun, tapi dengan tidak menyebarnya penyakit tanaman pagi ini, itu berarti ruang gerak pelaku terbatas akibat kegiatan sisir sawah yang ia dan warga lakukan.

“Nanti malam, kita lakukan sisir sawah lagi. Bagi masyarakat yang mau bergabung, silakan, saya tunggu di rumah saya ba’da ashar untuk pengarahan” ujar Bagindo Sati di hadapan para petani.

Melihat keberhasilan tadi malam, jumlah warga yang berminat untuk bergabung menyisir sawah bertambah. Umumnya mereka adalah para pemilik sawah yang belum terdampak. Sore itu tujuh belas orang berkumpul di rumah Bagindo Sati untuk mendapat pengarahan.

“Malam ini kita akan ambil jalur ini. Polanya sama, kalau melihat jalur sebarannya, alur mengeringnya padi ini bergerak dari arah sini kesini, kita malam ini akan menyisir disini, utara dan barat. Terakhir kita mengitari bukit dan bertemu lagi di titik tengah ini” jelas Bagindo.

"Bawa perlengkapan seperlunya. Terutama senter dan obor. Kita berkumpul lagi setelah isya di rumah Datuk Pagaralam untuk pembagian kelompok wilayah sisiran” tutup Bagindo Sati yang dibalas anggukan oleh warga yang hadir.

Tepat pada waktu yang ditentukan, ketujuh belas warga tadi berkumpul di rumah Datuk Pagaralam. Mereka dibagi menjadi dua kelompok dengan masing masing berjumlah sembilan orang.

Penyisiran dimulai jam delapan malam dan baru selesai saat menjelang Shubuh. Sama seperti kemarin, hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk apapun, namun setidaknya mereka berharap pagi ini penyebaran kekeringan itu terhenti sama seperti kemarin.

Tapi apa yang mereka dapati saat pagi hari justru diluar dugaan. Meskipun tadi malam orang orang yang menyusuri sawah tidak menemukan apapun, nyatanya pagi harinya sawah di sisi lain dari lokasi mereka jelajahi tadi malam justru yang terkena kekeringan.

Polanya kali ini berubah dan tidak seperti sebelum sebelumnya. Beberapa warga yang tadi malam ikut pada akhirnya semakin yakin bencana ini merupakan gangguan klenik terhadap sawah sawah mereka, bukan ulah manusia seperti yang diperkirakan Bagindo Sati dan Datuk.

“Kenapa malah ke arah sini.. padahal sebelumnya polanya tidak begini..” gumam Bagindo di lokasi baru yang terdampak pagi ini.

“A nan ka kami lakuan ko Bagindo Sati.. ndak ado pitih kami kok sawah kami ko mati sadonyo..” (apa yang harus kami lakukan Bagindo Sati.. kami tidak punya penghasilan kalau sawah kami mati seperti ini..) adu salah satu petani yang terdampak.

Bagindo Sati belum bisa menjawab apapun. Ia hanya bisa meminta warga bersabar dan berikhtiar dengan memberikan pupuk atau semacamnya dengan harapan dapat mengurangi peluang rusaknya padi padi mereka.

Warga yang semakin khawatir akhirnya sebagian memilih untuk melapor kepada Supardi selaku ketua jorong mereka. Harapan mereka Supardi dapat memberikan bantuan dari pemerintah daerah untuk menangani masalah besar ini.

Bagaimanapun Supardi adalah corong aspirasi resmi mereka kepada pemerintahan diatasnya.

“.. Pardi, mungkin ada obat atau apapun yang bisa menghentikan ini? Mintalah bantuan pada bupati..” keluh para warga yang segera diiyakan oleh warga lainnya.

“Baik, baik, akan saya coba minta bantuan pemda” ujarnya memberi janji kepada masyarakat.

Wajahnya terlihat begitu panik dan nampak prihatin pada kondisi warganya.

“Ibu ibu.. dan bapak bapak.. harap bersabar.. kita cari jalan keluarnya sama-sama agar ibu dan bapak tetap bisa punya penghasilan dari sawah ini atau setidaknya bantuan tunai dari pemerintah daerah karena ini bencana masal” ujarnya sambil menggenggam tangan warganya.

Kepeduliannya itu membuat warga sedikit tenang dan berangsur membubarkan diri dari dari kantor jorong.

Sepeninggal para warga, Supardi menutup pintunya rapat-rapat dan seketika wajah ramah dan pedulinya berubah. Ia tersenyum penuh kemenangan. Ia mengambil sebuah kalender di meja dan mengusap usapnya.

Ada sebuah tanda ceklist pada salah satu tanggal. Target bagi dirinya untuk bisa menguasai sawah-sawah itu.

“Sedikit lagi.. sedikit lagi..” ujarnya.

***

Hampir seminggu lamanya kasus ini terus menyebar dan sekarang pola yang terbentuk seakan akan selalu menghindari posisi orang-orang yang melakukan sisir sawah malam. Meskipun sudah mencoba berpencar, tetap saja hasil yang didapatkan nihil.

Warga yang berminat untuk membantu akhirnya satu persatu berkurang karena kelelahan tanpa hasil. Dari semula berjumlah belasan orang, kini hanya tersisa 5 orang, dua diantaranya adalah Bagindo Sati dan Pagaralam, lalu sisanya adalah Dedet dan Firman, serta ayah Firman, Pak Solih.

Hanya lima orang ini yang sejak awal tidak pernah lelah melakukan penyisiran malam di sawah warga.

Seperti hari-hari sebelumnya, sebelum mereka menyisir sawah nanti malam, Bagindo mengumpulkan keempat orang itu untuk pengarahan sekaligus pemetaan wilayah.

Berbekal sebuah kertas dengan denah wilayah persawahan kampung buatan Datuk Pagaralam, bagindo menunjuk titik-titik yang akan mereka tuju malam ini. Pada peta itu terdapat banyak lingkaran dan tanda silang.

Tanda silang menunjukkan lokasi yang sudah terdampak, sedangkan tanda lingkaran adalah lokasi yang masih terkena penyakit tanaman aneh ini.

“Nanti malam karena kita hanya ada berlima, saya dengan Datuak akan ke sisi barat, ada satu sawah yang cukup luas belum terkena disisi sini. Dedet, Firman sama pak Solih malam ini ke sisi selatan, disini ada bagian sawah yang sudah kena kekeringan disekelilingnya, tapi hanya-

-bagian dia saja yang masih bertahan. Jelas ini bukti bahwa ini perbuatan disengaja, bukan karena air atau hewan” jelas Bagindo dengan yakin.

Bagindo memang orang yang berpikiran jauh. Selama ini pergerakannya terkesan sia-sia namun disisi lain sebenarnya ia menyiapkan rencana untuk setidaknya membuat warga sadar bahwa ini ulah manusia dan penanganannya adalah pengawasan, bukan dengan hal klenik.

“Apa kita curiga pelakunya si pemilik sawah yang masih belum terkena itu?” tanya Dedet.

Bagindo Sati menggeleng,
“kita tidak bisa menuduh orang begitu saja tanpa bukti. Setidaknya jika kita bisa mempertahankan sisi sawah ini tidak terdampak, kita bisa meyakinkan warga bahwa ini ada kemungkinan disengaja oleh manusia” jawab Bagindo.

“Apa tidak sebaiknya saya dan Dedet dipisah pak Bagindo? Kami masih muda. Pengelihatan dan pendengaran kami masih baik. Kalau malam ini salah satu kelompok dapat petunjuk, setidaknya saya atau Dedet bisa segera melakukan tindakan” jelas Firman

Bagindo nampak berpikir sesaat dan ia menyetujui pendapat Firman itu benar.
“Sepertinya lebih baik begitu. Kita ubah kelompok, saya akan bersama Firman. Dedet, bersama pak Solih dan Datuak. Bagaimana?”

“Buliah Bagindo.. ambo maikuik sajo” (Boleh Bagindo.. saya ikut saja) jawab Pak Solih.

“Baiklah, malam ini bada isya kita mulai seperti biasa” ujar Bagindo menutup pertemuan singkat itu.

Kelima orang itupun bubar ke rumah masing masing. Kecuali dua orang, mereka adalah seorang ayah dan anak yang tinggal serumah, namun tujuan mereka bukanlah rumah kediaman keduanya. Mereka berbelok pada sebuah saung yang berada di tepian kolam tambak ikan.

Disana sudah menunggu seorang pria bersorot mata sinis yang tengah merokok sambil bersandar pada salah satu tiang saung.

Kedua orang itu menyapa pria itu dan berbicara sambil menunduk. Dari wajah keduanya benar-benar terlihat ketakutan yang amat sangat.

“Jadi.. Kemana kalian nanti malam diarahkan
Sati?” tanya pria itu.

“Saya akan ke sisi barat dengan Bagindo Sati.. dan bapak ke sisi selatan..” ujarnya.

“Oke saya akan minta dia malam ini habiskan
disisi timur. Pastikan tidak ada yang kearah sana. Waktu semakin tipis dan hari ini akan ada banyak petak yang harus dihabisi” ujar pria yang merokok itu.

“..baik…” ujar kedua pria itu hampir berbarengan. Suara keduanya terdengar bergetar dan pandangannya kosong ke tanah.

“Tidak perlu takut seperti itu. Saya jamin hutang kalian lunas dan bahkan kalian dapat bagian setelah semua orang menjual tanah mereka kepada kami. Terus lakukan ini, saya perlu informasi dari kalian berdua, Firman, Solih” ujar pria itu.

“..i..iya pak Buyung.. terima kasih atas keringanan hutangnya..” jawab Firman dan Pak Solih menunduk memberi penghormatan.

Tepat pada ba’da Isya, kelima orang itu berkumpul dan segera berpencar ke lokasi sasaran. Bagindo Sati dengan Firman dan Datuk Pagaralam bersama Dedet serta Pak Solih.

Cuaca malam ini sebenarnya kurang bersahabat. Awan tebal menutupi cahaya bulan dan angin yang cukup kencang berhembus di kaki bukit. Namun tidak ada yang bisa menghentikan langkah kelima orang ini demi mendapatkan informasi malam ini.

Rombongan Datuk Pagaralam mulai menyisir sisi selatan. Melihat dalam kegelapan gerak gerik mencurigakan diantara petak-petak sawah yang gelap. Dedet membawa senter di tangannya, sedangkan pak Solih membawa obor bergagang bambu.

Paling depan adalah Datuk, dengan sebuah senter di tangan kiri dan tongkat kayu di tangan kanannya. Senter yang ia bawa sesekali mengarah ke depan, dan sesekali mengarah ke bawah kakinya. Memastikan jalan di depan padat dan datar.

Disisi lain, Bagindo Sati dan Firman berjalan beriringan ke sisi barat dengan sebuah senter di kepala Bagindo Sati dan sebuah senter tangan yang dijinjing Firman. Keduanya berjalan cepat sampai tiba di tengah tengah petak sawah.

Bagindo Sati berdiri diam dan memandang seluruh bagian pematang sawah.

“Kenapa pak Bagindo?..” tanya Firman yang ikut berhenti melihat Bagindo Sati berhenti dan diam secara tiba-tiba.

****

“Manuruik angku baduo, baa kok awak ndak parnah basobok apopun tapi sawah urang taruih jo kanai?" (menurut kalian berdua, kenapa kita tidak pernah bertemu apapun tapi sawah warga terus menerus kena?) tanya Datuk Pagaralam memulai obrolan ditengah keheningan kala itu.

“Antah tuak.. antah memang iko ndak ulah urang gakti do ndak?” (entahlah tuk.. mungkin ini memang bukan ulah orang sepertinya) jawab Pak Solih sambil menapaki satu demi satu pematang sawah.

“Bisa jadi bisa jadi.. atau justru kita tidak menemukan apapun karena yang kita lawan adalah sesama orang yang sudah tau kemana kita akan bergerak?..." ujar Datuk.

Dedet terdiam sedangkan Pak Solih refleks mendelik. Kalau bukan karena gelap, seharusnya Dedet dan Datuk bisa melihat kepanikan di wajah pria itu.

***

“Bagindo lihat sesuatu yang mencurigakan?..” tanya Firman masih dari posisinya berdiri. Ia mencoba mengedarkan pandangannya ke arah pandangan Bagindo Sati sekarang.

“Ubah arah. Kita ke Utara!” ujar Bagindo Sati
singkat.

“Hah?Kenapa bagindo???” tanya Firman kebingungan.

Namun pertanyaan itu tidak dijawab oleh Bagindo Sati yang langsung berbelok ke arah Utara dengan bergegas.

Firman tersentak. Perasaannya mengatakan bahwa rombongan Datuk juga melakukan hal yang sama. Kalau ia dan Bagindo berubah ke Utara.. berarti rombongan Datuk akan berbelok ke…

***

“Iyo iai ado urang sajaek tu?..” memangnya (ada orang sejahat itu?..) tanya Dedet sambil menyenteri jalan di hadapannya.

"Bisa, kok dek matinyo padi padi ko mambueknyo untuang..”( Bisa.. kalau dengan matinya padi-padi ini bisa membuat orang itu diuntungkan..) ujar Datuk.

Ia kemudian berhenti pada salah satu pematang sawah. Pandangannya jauh mengedar ke sekeliling kawasan itu. Sesuai dugaannya, di hadapannya tidak ada apapun.

“Baa tuak? Ado nan nampak?” (kenapa Tuk? Ada sesuatu yang terlihat?) tanya pak Solih di belakang.

“Alun… WAK GANTI ARAH! WAK CALIAK KA ARAH TIMUA KINI!” (Belum..  SEKARANG KITA GANTI ARAH! KITA PERIKSA KE SISI TIMUR!) ujar Datuk Pagaralam yang seketika mengejutkan pak Solih.

“Tapi awak rencananyo ka selatan kan tuak?? Baa barubah??” (tapi kita rencananya akan ke selatan kan tuak?? Kenapa berubah??) dengan panik Pak Solih mencoba mencegah arah mereka ke posisi “terlarang” itu.

“Ndak masalah. Wak buek arah wak ndak tabaco dek urang urang tu!” (tidak masalah. Kita buat arah kita tidak terbaca oleh mereka!) ujar Datuk sambil mempercepat langkahnya.

Dedet mengikuti langkah cepat Datuk dari belakang, sementara Pak Solih berjalan paling belakang dengan pikiran yang sudah kemana mana.

Ia mencoba berpikir bagaimana cara melarang dan mencegah Datuk dan Dedet kesana, namun ia tidak memiliki satupun ide yang tidak mencurigakan.

Pak Solih akhirnya hanya bisa melakukan satu hal, memberitau kedatangan mereka ke arah timur dengan terus menerus batuk.

“Ssstt.. tahan batuak pak. Kok ado urang biko sadar nyo wak tibo!” (Ssst.. tahan batuk pak.. kalau sampai ada orang bisa bisa dia sadar kedatangan kita!) ujar Dedet menegur Pak Solih.

“Ah iyo iyo, maaf maaf, rakuang apak sakik” (ah iya iya, maaf maaf, tenggorokan bapak sakit) ujar Pak Solih. Namun meskipun demikian, ia tetap batuk batuk sepanjang perjalanan.

Ketika sudah tiba di sawah pada sisi Timur bukit, dari kejauhan nampak seseorang berbadan kecil yang sedang menggendong sesuatu dan sebuah selang yang terhubung pada benda di punggungnya.

Datuk Pagaralam mematikan senternya dan menyuruh Dedet dan Pak Solih untuk merunduk setelah mematikan senter dan merendam bara obor yang dipegang Pak Solih ke genangan air sawah. Dengan kode tangan, ia menunjuk kearah sosok kecil itu sebagai target mereka.

Dedet mulai mengendap bersiap untuk menangkap sosok itu. Ia tidak bisa melihat wajahnya karena posisi orang ini memunggungi arah pandangnya. Namun tiba-tiba saja..
“UHUK! UHUK!!” Pak Solih terbatuk dengan suara yang sangat keras.

Sosok itu menyadarinya dan langsung melepaskan beban di punggungnya dan berlari menjauh.

Dedet dengan bergegas langsung melompat dan berlari mengejar sosok itu.

“WOI TUNGGU ANG ANJIANG!” (WOI TUNGGU
KAMU ANJING!) pekik Dedet sambil dengan cepat mencoba mengejar sosok yang juga berlari dengan sangat gesit itu.

Sementara Dedet pergi, Datuk Pagaralam dan Pak Solih keluar dari persembunyian. Mereka hendak mengejar sosok kecil itu namun tenaga mereka tidak sekuat Dedet yang masih muda itu. Mereka hanya berjalan cepat dan berhenti di lokasi sosok tadi melepaskan bawaannya.

Datuk mengangkat benda itu. Sebuah jeriken plastik berisi cairan yang dibuat seperti tas dan sebuah selang penyemprot tenaga pompa manual disampingnya. Datuk meraba bagian ujung semprotan yang masih basah itu hingga ujung jarinya basah.

Cairan itu memberi sensasi panas dan aroma yang sangat kuat.

Selama Datuk memeriksa cairan itu, Pak Solih di belakangnya nampak begitu cemas. Ia melihat kesana kemari memperhatikan apa ada orang lain selain mereka di lokasi tersebut.

Pandangannya terhenti saat sebuah pergerakan terlihat dari arah semak-semak.

A manuruik angku ko Solih?..” (apa ini menurutmu Solih?..) tanya Datuk sambil menjulurkan jari-jarinya ke belakang yang sudah basah oleh cairan itu tanpa menoleh.

Namun Solih tetap diam. Bukan karena tidak tau, tapi ia diam karena seseorang yang berada di semak-semak itu memerintahkannya untuk diam tidak bergerak dan tidak bersuara.

Sosok itu perlahan keluar dari semak lalu mengambil alih bilah bambu obor yang dipegang Pak Solih.

“Solih?..” panggil Datuk karena pertanyaannya tidak dijawab. Beliau menengok ke belakang dan mendapati Solih berdiri diam dan disebelahnya ada soseorang yang tidak bisa beliau kenali karena gelapnya malam.

Namun belum sempat beliau bertanya atau mengatakan apapun. Tiba tiba..

BUG! BUG!

Pukulan sebuah kayu menghantam keras kepala Datuk dan seketika membuatnya roboh. Dari hidung dan telinganya mengeluarkan darah berwarna merah kehitaman.

Datuk Pagaralam kemudian menggelepar. Nafasnya terdengar begitu keras dengan suara cairan yang seakan memenuhi hidung dan tenggorokannya. Tubuh Datuk lalu menegang dan tatapannya berubah semakin kosong..

Pak Solih melihat itu dengan tatapan nanar. Pikirannya tau ia sudah membuat sebuah kesalahan besar dan tidak termaafkan. Tangannya bergetar melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Datuk, orang yang ia hormati meregang nyawa di hadapannya sekarang.

Pria yang memukul datuk lalu berbalik menatap Pak Solih. Tatapan tajam yang sama dengan yang tadi ia temui di gubuk.

“Lihat akibat dari kesalahan yang kau perbuat Solih.. apa yang saya katakan tadi sore??” ujar Buyung dengan menunjuk dada Solih.

Solih tidak bisa berkata apapun. Badannya kaku dan bahkan sekedar untuk berkedip sangat sulit untuknya.

"Da..Da.. Datuk mati Yung.. Datuak Pagaralam..." ujarnya terbata.

Buyung melihat ke arah Datuk yang sudah tidak lagi bergerak dan tidak terdengar suara nafasnya.

Dengan ujung bilah bambu tua yang ia gunakan untuk memukul Datuk tadi, ia mendorong dorong kepala Datuk mengecek tanda tanda kehidupan pada tubuh renta itu.

“Sepertinya iya. Pagaralam sudah mati. Tapi tidak boleh ada yang tau hal ini. Cepat kubur Pagaralam di sisi dalam hutan bukit sebelum Dedet kembali!” perintah Buyung.

Tidak ada yang bisa Solih lakukan selain menuruti perintah itu.

Ia dan Buyung lalu mengangkat tubuh Datuk Pagaralam ke arah hutan di kaki bukit. Menggali tanah dengan tangan dan bilah bambu. Tubuh itu lalu dimakamkan begitu saja dan ditimbun dengan tanah serta dedaunan kering.

“Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Ampuni Ya Allah.. Ampuni hamba.. Astaghfirullah..” bisik pak Solih sambil terus melakukan penguburan itu.

Di tempat berbeda, Dedet masih mengejar sosok kecil itu yang berbelok ke arah bukit. Jalur yang semula landai dan berada diantara persawahan mulai berubah menjadi tanah keras menanjak.

Namun stamina keduanya belum terkuras. Nafas Dedet memburu untuk bisa menangkap sosok itu yang terus melewati celah celah sempit yang tidak bisa Dedet lalui dengan mudah.

Hingga pada suatu pohon besar ditengah hutan, sosok ini berbelok tajam ke arah belakang pohon.

Kesempatan ini dimanfaatkan Dedet untuk memotong jalan dengan berlari langsung tanpa mengitari pohon. Dedet melompat menerjang sosok ini. Ujung baju hitamnya berhasil Dedet cengkram dan menjatuhkannya ke tanah.

Belum selesai, Dedet langsung memegangi leher orang itu dan dan menduduki tubuhnya dengan ancang-ancang kepalan tangan sudah diarahkan kepada orang yang kini sudah terjerambab ini.

“WOI SIA ANG?? A NAN ANG KARAJOAN DI SAWAH???” (HEI SIAPA KAMU?? APA YANG KAMU LAKUKAN DI SAWAH???)

Sosok ini menyilangkan lengannya tepat di depan wajahnya untuk menutupi identitasnya. Namun tubuhnya yang kecil bukan apa-apa bagi Dedet. Dengan hanya satu tangan dengan paksa ia membuka pertahanan itu dan seketika wajah orang itu terpampang di depannya..

“Abbas????? Manga ang Bas????” (Abbas???
Ngapain kamu bas???)

Abbas mulai menangis. Amarah Dedet yang sudah meluap-luap seketika hilang melihat wajah ketakutan Abbas di hadapannya.

“Bang Dedet maaf.. maaf.. Abbas disuruah.. Abbas disuruah..” (Bang Dedet maaf.. maaf.. Abbas disuruh.. Abbas disuruh..) ujar Abbas disela tangisnya.

Dedet terdiam. Kepalan tangannya melunak dan cengkramannya ke tangan Abbas ia lepaskan.

"Si Buyung iblis itu ya?...” ujar Dedet dengan gigi yang gemetar.

Abbas tidak mengiyakannya. Namun tangisannya semakin keras.

“Sudah.. sudah.. bangun.. abang tidak akan menyalahkanmu.. ayo pulang.. kasih tau ke yang lain apa yang sebenarnya terjadi selama ini.. ayahmu yang seharusnya bertanggung jawab" ajak Dedet.

Perlahan Abbas berdiri. Kakinya masih lemas karena berlari daritadi. Namun ia lebih takut lagi jika nanti bertemu ayahnya.

“Bang.. kalau sampai aku menyebutkan ke orang-orang.. bisa bisa Abbas dibunuh ayah.." cemas Abbas.

"Tidak akan. Kita akan minta perlindungan kepada Datuk Pagaralam atau ketua-ketua yang lain. Bahkan kalau perlu kita bawa Buyung ayahmu itu ke penjara" ujar Dedet sambil terus menyusuri jalan.

Namun keanehan mulai keduanya rasakan. Mereka tidak kunjung bertemu dengan jalan mendatar menuju area persawahan. Mereka justru semakin masuk ke dalam hutan yang gelap. Dedet berusaha tidak panik dan mengingat ngingat lagi jalur yang ia lalui.

Tapi sudah sekian lama mereka berjalan, tetap tidak ada perkembangan. Begitu rapatnya pepohonan di bukit ini juga membuat Dedet tidak bisa memprediksi jam berapa sekarang.

Hingga pada suatu titik, mereka bertemu sebuah jurang yang terjal, jurang yang bahkan tidak mereka lewati saat kejar kejaran tadi. Kesimpulannya jelas, mereka sudah melalui jalan yang berbeda dari jalur mereka masuk.

Dedet dan Abbas saling berpegangan untuk membantu keseimbangan, tanah disana begitu lunak dan licin sehingga keduanya sangat mudah terperosok. Sayang, Dedet tidak sadar ada sebuah akar yang mencuat keluar dari sisi tebing yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Ia turut menarik Abbas yang tengah berpegangan padanya. Keduanya terguling dengan sangat cepat ke bawah menerobos semak-semak dan sesekali membetur kayu yang melintang di jurang itu.

Keduanya baru berhenti saat mereka tiba di sebuah permukaan tanah landai. Namun keduanya belum bisa membuka mata. Seluruh badan mereka terasa sakit dan perih sampai tiba-tiba Dedet merasakan silau di matanya.

“hh…” Dedet perlahan membuka matanya. Ia kini tengah telentang menatap langit yang sangat cerah.

Matahari nampak begitu terang dengan langit kekuningan tanpa ada satupun awan. Kini ia berada di sebuah ladang jagung yang cukup rapat.

Disisinya Abbas juga tengah terbaring namun belum membuka matanya.

“Bas.. bas.. bangun” panggil Dedet.

Abbas membuka matanya seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Ia langsung terduduk dan melihat ke sekeliling.

“Di.. dima wak ko bang?..” (di.. dimana kita sekarang bang??) tanya Abbas bingung.

“Abang indak lo tau doh bas.. baru iko lo nampak nan bantuak ko di bukik..” (abang juga gatau bas.. baru kali ini melihat yang seperti ini di bukit) ujar Dedet.

Saat mereka masih mengumpulkan kesadaran mereka, tiba-tiba saja dari arah samping, pohon-pohon jagung itu bergerak gerak seperti ada yang berjalan kearah mereka. Dedet yang sadar langsung memasang kuda-kuda bersiap jika yang datang adalah hewan buas.

Namun tepat saat sesuatu itu sampai ke lokasi dimana Dedet dan Abbas berada, tiba-tiba saja sesuatu itu berbelok. Dari sela-sela ruang antara jagung-jagung disana, Dedet bisa melihat bahwa itu adalah manusia.

“Tunggu!” panggil Dedet sambil menggendong
Abbas.

Kejar-kejaran kembali terjadi, namun kali ini yang Dedet kejar adalah orang asing yang sama sekali belum pernah ia temui. Orang ini berambut panjang dan kulitnya coklat kekuningan, mengenakan baju putih dan bertelanjang kaki.

“Tunggu!! Tunggu!!” panggil Dedet sambil mencari cari jalur diantara tingginya jagung-jagung disana.

Sosok itu bergerak begitu cepat, namun baju putihnya membantu Dedet untuk melihat posisi sosok itu dengan mudah diantara gelapnya ladang jagung.

Kejar-kejaran itu terus berlanjut hingga tibalah mereka pada sisi paling ujung dari ladang jagung itu. Tanah disana mulai berubah menjadi lumpur dan sering membuat kaki Dedet tersangkut. Namun sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berlari. Sayang, sosok itu terlalu cepat.

Dedet kehabisan tenaganya dan hanya bisa melihat punggung sosok itu yang berlari menjauh kearah sebuah perkampungan.
Dedet terengah. Ia mengatur tempo nafasnya sambil mengecek Abbas di punggungnya.

“Aman Bas?” tanya Dedet.

“Aman bang..” jawab Dedet.

Dedet terengah sambil bertumpu pada lututnya. Ia melihat kearah depan. Sebuah perkampungan terlihat pada jarak beberapa ratus meter dari hadapan mereka. Setidaknya mereka sudah keluar dari hutan meskipun Dedet tidak begitu mengenali sisi kampung mana yang penampilannya seperti itu.

Terlebih lagi sepertinya mereka pingsan karena kondisi langit bukan seperti subuh melainkan seperti senja menjelang malam.

Ketika akan mulai berjalan lagi, Abbas menyeletuk.

“Bang.. cubo caliak jajak tu bang.. tu jajak urang nan wak kaja tadi kan?..” (bang.. coba lihat jejak itu bang.. itu jejak orang yang kita kejar tadi kan?..) tunjuk Abbas.

Dedet memperhatikan jejak-jejak di hadapannya, jejak-jejak yang ditinggalkan orang tadi saat menginjak tanah berlumpur yang membuat cetakan kakinya tertinggal.. dan seketika ia sadar sesuatu yang aneh..

Jejaknya.. jejaknya menghadap ke arah mereka. Bukan menjauh seperti yang seharusnya.
Saat itu juga Abbas teringat dengan cerita Datuk Pagaralam di Surau Pamatang malam itu.
“..Orang bunian?...” ujar Abbas tidak percaya.

***

Bagindo Sati dan Firman yang tidak menemukan petunjuk apapun akhirnya berkumpul kembali ke rumah Datuk Pagaralam. Biasanya di lokasi ini mereka evaluasi temuan dan sekaligus beristirahat.

Namun saat itu tidak ada satupun anggota kelompok Datuk yang sudah kembali. Selain itu rumah Datuk yang tidak dikunci juga kosong.

“Kemana orang-orang ya?” tanya Bagindo Sati.

“Entah pak.. mungkin sudah pulang duluan? Kita juga agak lebih lama dari biasanya” ujar Firman.

“Oh iya. Mungkin seperti itu. Baiklah, kita pulang dulu, saya harus antar anak saya juga pagi ini ke sekolah. Salam untuk bapak di rumah ya, terima kasih” ujar Bagindo.

“Baik pak, akan saya sampaikan” ujar Firman, lalu keduanya membubarkan diri dari kediaman Datuk.

Dengan langkah cemas Firman berjalan menuju rumahnya. Ia sangat khawatir kelompok Datuk juga mengubah arah penyisirannya sebagaimana dirinya dan Bagindo Sati lakukan malam ini. Ia harus menanyakan kepada bapaknya apa yang terjadi.

“Assalamualaikum, paak” panggil Firman.

… hening. Tidak ada suara apapun dari dalam. Firman dan Pak Solih tinggal berdua di rumah itu. Ibu Firman sudah lama meninggal dan iapun tidak memiliki saudara kandung.

Firman mencoba membuka pintu, tidak terkunci. Namun saat Firman mendorong pintu itu untuk membukanya, pintu itu terasa begitu berat. Seperti ada yang mengganjal dibalik pintu.

Firman mendorongnya terus sampai terbuka celah yang bisa ia lewati untuk masuk ke dalam dan melihat apa yang mengganjal di balik pintunya.

Namun ketika ia masuk, ia langsung berteriak histeris saat melihat sesuatu yang mengganjal itu adalah tubuh Solih yang menggantung.

Leher Solih terjerat tali yang diikatkan ke ventilasi diatas pintu, tubuhnya sudah menegang, lidahnya menjulur dan bola matanya memutih seluruhnya..

“BAPAAAAAAKKKK!!!!!!!!” pekik Firman memecah ketenangan desa Rangkiang pagi itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close