Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BUKIT ORANG BUNIAN (Part 3) - Kampung Mayat


Warga Desa Rangkiang digemparkan dengan ditemukannya jasad Pak Solih tergantung di kusen pintu rumahnya. Warga sama sekali tidak menyangka Pak Solih akan mengakhiri hidupnya seperti itu, terlebih Pak Solih dikenal ramah dan seperti tidak ada masalah dalam kesehariannya.

Orang yang menemukannya adalah anak kandungnya sendiri, Firman, yang hingga saat ini masih histeris dan harus ditenangkan tetangganya yang lain.

Kabar penemuan jasad Pak Solih langsung sampai ke telinga Bagindo Sati sepulang dari mengantarkan anaknya sekolah.

“Bagindo! Bagindo! Pak Solih maningga gantuang diri!” (Bagindo! Bagindo! Pak Solih meninggal gantung diri!) ujar salah satu warga yang datang ke rumah dengan tergesa dan wajah yang panik.

Tanpa bertanya apapun, Bagindo bergegas ke lokasi rumah Firman. Di lokasi tersebut sudah berkerumun banyak sekali orang.

Kemunculan Bagindo Sati membuat mereka menepi memberi jalan sekaligus mencecar Bagindo berbagai pertanyaan mengenai apa yang terjadi tadi malam, karena-

-orang orang tau Pak Solih dan Firman keduanya mengikuti kegiatan sisir sawah yang digagas Bagindo Sati.

“A nan tajadi samalam Bagindo?.. ado masalah nampak Pak Solih samalam?” (apa yang terjadi tadi malam Bagindo?.. keliatannya Pak Solih ada masalah tadi malam?) tanya warga.

“Saya terakhir bicara dengan beliau sebelum berpencar menyisir sawah. Kebetulan kelompok saya dengan Pak Solih berbeda. Saya dengan Firman dan Pak Solih dengan Datuk Pagaralam dan Dedet..” ujar Bagindo Sati.

“Laporan pagi sebelum pulang memang Bagindo sudah tidak ketemu Pak Solih lagi?” tanya salah satu warga yang sebelumnya sempat ikut sisir sawah dan tau biasanya setelah semalaman dilakukan penyisiran akan ada evaluasi pada pagi harinya.

“Tidak.. hanya ada saya dan Firman, kami berdua tidak bertemu kelompok Datuk sebelum kami pulang. Awalnya kami mengira mereka bertiga sudah pulang duluan” ujar Bagindo.

Semua orang terdiam mendengar jawaban itu, hingga tiba-tiba salah seorang warga datang dan berkata,

“Bagindo Sati nampak dima Datuak Pagaralam? Inyo ndak adoh dirumah doh!” (Bagindo melihat dimana Datuk Pagaralam? Beliau tidak ada di rumah!) ujar orang itu.

“Sudah periksa sekitar rumahnya? Mungkin beliau sedang keluar?” Bagindo Sati mencoba untuk berpikir jernih.

“Ndak ado tando tandonyo do. Lampu di rumahnyo masih iduik, tu pintunyo ndak lo baku”ciu" (tidak ada tanda-tanda. Lampu di rumahnya masih menyala dan pintu juga tidak terkunci) ujar orang itu.

Bagindo mulai merasa khawatir, tapi ia masih mengira Datuk sedang pergi untuk suatu urusan keluar. Namun ia juga harus mengetahui apa yang terjadi dari orang yang satu rombongan dengan Pak Solih tadi malam.

Di tempat lain, beberapa warga mengetuk rumah Supardi. Ia yang dari tadi malam begadang sebenarnya merasa terganggu dengan ketukan pintu sepagi itu. Namun ia tidak bisa merusak rencananya untuk mendapat perhatian para warga.

“Pak Joroong. Pak Jorooong!” panggil beberapa warga di depan pintu rumahnya.

Supardi meminta orang orang itu menunggu sebentar. Ia mengenakan pakaian rapi, menyisir rambut dan memakai wewangian, ia ingin tampil berwibawa di hadapan warga kampungnya.

“Ya? Ada apa bapak-bapak?” ujarnya setelah membukakan pintu.

“Pak Jorong! Ada yang gantung diri! Pak Solih!”

Mata Supardi terbelalak dan tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

“Pak Solih? Pak Solih ayahnya Firman?” tanya Supardi untuk memastikan orang yang ada di kepalanya sekarang tidaklah salah.

“Benar pak! Tadi pagi anaknya yang menemukan bapaknya gantung diri di pintu rumah!” tegas warga tersebut.

“b.. baiklah, saya akan segera kesana. Apa kalian sudah ke kantor polisi untuk melapor??” tanya Supardi lagi.

“Setelah ini kami akan lanjut ke kantor polisi pak” ujar kedua orang itu yang mengenakan sepeda.

“Bagus. Minta mereka kesini. Saya akan menunggu di lokasi kejadian. Agar tidak ada yang menyentuh korban” ujar Supardi.

Kedua warga itu kemudian berpamitan untuk melaporkan kejadian ini ke polisi yang berjarak beberapa kilometer dari desa Rangkiang.

Kala itu motor masih menjadi barang mewah dan tidak dimiliki banyak orang di desa tersebut. Orang lebih banyak berjalan kaki atau mengenakan sepeda untuk melakukan perjalanan jarak jauh meskipun memakan waktu yang cukup lama.

Sepeninggal kedua orang pembawa kabar itu, Supardi masuk kembali ke rumahnya dan minum air putih untuk meredakan kepanikannya. Jantungnya berdegup sangat kencang.

Ketika mendengar kabar tadi, satu wajah yang langsung muncul di kepalanya adalah Buyung. Entah kenapa dalam hatinya ia yakin Buyung ada sangkut pautnya dengan hal ini, terlebih ia tau Pak Solih adalah salah satu warga yang ikut program sisir sawah atas perintah Buyung sendiri.

“Apa yang sudah dilakukan si keparat itu??!!” geramnya sambil meneguk lagi air dalam gelas.

Beberapa waktu setelahnya, Supardi pergi ke rumah Pak Solih. Disana sudah ada Bagindo Sati dan beberapa orang lainnya, namun ia tidak melihat keberadaan Buyung.

“Polisi sebentar lagi datang pak Jorong” ujar Bagindo sambil bersalaman dengan Supardi.

“Iya. Belum ada yang menyentuh jenazah kan?” tanya Supardi.

“Belum. Tadi hanya Firman yang sempat memeluk jenazah sambil teriak-teriak. Kalau bukan karena teriakan dia, warga sekitar tidak akan tau kondisinya begini” ujar salah satu warga.

“Tadi malam pak Solih ikut sisir sawah dengan pak Sati?” tanya Supardi.

“Iya, dan saya sama sekali tidak melihat gelagat aneh beliau malam tadi..”

“Apa dia tidak membicarakan sesuatu yang aneh?” tanya Supardi lagi.

“Saya dan pak Solih berbeda kelompok saat berpencar semalam. Yang bersama dengan beliau adalah Dedet dan Datuk Pagaralam” jelas Bagindo.

“Lalu kemana kedua orang itu? Siapa tau ada petunjuk dari mereka”

“Datuk Pagaralam belum terlihat sejak tadi pagi. Dedet sedang coba dijemput beberapa pemuda” ujar Bagindo.

Beberapa saat kemudian, Polisi datang dan memeriksa kondisi jenazah Pak Solih. Beberapa hal menjadi pertanyaan bagi aparat terkait kaki jenazah yang berlumuran lumpur,-

-kemana korban sebelumnya dan apakah ada masalah yang sedang ia alami. Polisi juga menanyai keterangan dari Bagindo Sati sebagai salah satu orang yang bertemu dengan Pak Solih sebelum kematiannya, namun dari keterangan Bagindo, ia bukanlah saksi mata kunci kejadian ini.

Karena yang terakhir kali berinteraksi dengan almarhum adalah Datuk Pagaralam dan Dedet.

“Mana kedua orang itu?” tanya polisi.

“Dedet tidak ada di dalam rumah pak. Hanya ada ayahnya) ujar salah satu pemuda yang diperintahkan memeriksa Dedet.

Polisi itu mendelik kearah Bagindo Sati. Tatapannya mengisyaratkan keraguan atas apa yang Bagindo Sati sampaikan sebelumnya.

“Pak Sati bisa ikut kami dahulu untuk memberikan keterangan bersama dengan Firman?” pinta polisi.

“…baiklah. Namun saya rasa biarkan Firman tetap disini setidaknya hingga ayahnya dikuburkan” ujar Bagindo.

“Serahkan pengurusan jenazah pada saya dan warga disini. Sambil kita menunggu titik terang keberadaan Datuk dan Dedet” Supardi coba menengahi.

Bagindo menyanggupi hal itu dan beliau pergi bersama polisi. Beberapa polisi sempat membawa dan memeriksa jenazah Pak Solih untuk beberapa waktu sebelum akhirnya disimpulkan ini adalah murni b*nuh diri karena tidak ada tanda-tanda kekerasan apapun dalam tubuh Pak Solih.

Kepengurusan jenazah akhirnya diserahkan kepada Supardi dan beberapa warga disana. Supardi tampil sebagai orang paling peduli dan membelikan banyak keperluan jenazah dari uang pribadinya.

Tentu saja Supardi mesti mengulang ulang bahwa ialah yang membelikan kain kafan dan menanggung semua biaya kepengurusan jenazah hingga masuk liang lahat agar orang-orang tau.

Setelah jenazah dikuburkan dengan layak dan Firman menyusul ke kantor polisi untuk memberikan keterangan, Supardi izin kepada warga untuk menyelesaikan suatu urusannya sebagai kepala Jorong.

Supardi pamit dengan diiringi banyak ucapan terima kasih dari warga yang membuatnya semakin percaya diri membentuk nama baiknya di mata masyarakat.

Supardi tidak pergi ke rumah ataupun kantor Jorong. Satu orang yang ia sangat ingin temui dan interogasi adalah Buyung. Buyung pernah mengatakan padanya bahwa ia berhasil merekrut Pak Solih dan Firman sebagai mata-mata di dalam tubuh kelompok Bagindo Sati.

Supardi pergi ke sebuah saung di samping kolam ikan. Ini adalah “singgasana” Buyung, tempat yang jadi pilihan utama pria bengis itu untuk berfikir mengatur siasat atau sekedar istirahat. Benar saja, sesampainya disana Buyung tengah tertidur dengan satu tangan menutupi matanya.

“Buyuang! Buyuang! Bangun!” bentak Supardi sambil mendorong dorong kaki Buyung.

Buyung berdecak. Matanya terbuka sedikit dengan memperlihatkan bola matanya yang masih memerah dan kantung matanya yang hitam gelap.

“CIH. APA?” bentaknya merasa terganggu.

"Apa yang kau lakukan pada Solih?” tembak Supardi tanpa basa basi.

“Apa? Tidak ada. Kenapa? Kejadian tadi malam terbongkar karena orang itu mengaku?” tanya Buyung balik.

“Apa maksud kau? Solih gantung diri pagi tadi!” ujar Supardi.

Buyung terdiam dan terlihat sedikit terkejut. Melihat ekspresi Buyung, Supardi sadar bahwa orang ini bukan pelaku dibalik berita kematian itu. Namun kalimat Buyung tadi menimbulkan pertanyaan baru di kepala Supardi.

“Tunggu dulu.. apa maksudmu kejadian tadi malam?... ada hal lain??” tanya Supardi.

Buyung menatap mata Supardi dalam dalam.
“Tidak. Tidak ada apapun. Apa Firman masih ada di rumah itu?”

“Dia ada di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Jangan bilang ini bagian dari rencana kau??”

“Ini diluar apa yang saya perkirakan. Tapi kau harus pastikan anak itu tidak boleh bilang apapun diluar dari kasus bunuh diri ayahnya!” ujar Buyung.

“Saya tau ada hal lain yang sudah terjadi!” bentak Supardi.

“Lalu kau mau apa? Biarkan apa yang kamu dan orang orang kampung tidak ketahui tetap tidak diketahui!” tantang Buyung.

“…kau ketahuan tadi malam?..” potong Supardi.

“… Ya.” Jawab Buyung singkat.

“Bajingan! Lalu bagaimana sekarang??? Siapa saja yang melihatnya??”

“..Dedet dan Pagaralam. Hanya dua orang itu”

“Sialan kenapa harus Pagaralam?? Sudah habis kita kalau sampai dia menyampaikannya kepada semua orang!” panik Supardi sambil memukul keningnya.

“Daripada itu, lebih kau pikirkan Dedet. Apa dia sudah muncul?” tanya Buyung.

“Belum, orang-orang masih mencarinya. Kenapa kau malah mengkhawatirkan pemuda itu daripada Pagaralam?” curiga Supardi.

“Mata Pagaralam sudah buram. Meskipun dia melihat saya, belum tentu dia tau siapa yang dia lihat. Tapi Dedet masih muda dan pengelihatannya lebih baik, dan yang jadi masalah dia semalam mengejar Abbas!” ungkap Buyung.

“.. lalu kemana mereka berdua?? Apa anak kau sudah pulang?? Apa dia tertangkap??”

“.. Saya tidak tau. Saya sudah dari pagi ada disini. Berada di sekitar sawah hanya akan mendatangkan kecurigaan orang-orang” jelas Buyung.

“Jadi.. yang harus kita waspadai adalah Dedet itu??”

“Ya.. dan jika ia berhasil menangkap Abbas, itu akan jadi akhir bagi saya dan kau!” ancam Buyung.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang??” Supardi tau untuk taktik disaat genting seperti ini, Buyung dapat lebih diandalkan.

“Kau pergi ke kantor polisi. Susul Sati dan Firman. Pastikan bocah itu tidak membicarakan apapun tentang rencana kita. Pastikan bahwa polisi mengira ini murni permasalahan internal Solih dan tidak ada hubungannya dengan sisir sawah yang ia lakukan” ujar Buyung panjang lebar.

"Lalu, kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?.." tagih Supardi.

“Aku akan menemukan Abbas atau Dedet, dan menahan kedua orang itu secara paksa.. bagaimanapun caranya..” ujar Buyung dengan tatapan pasti.

Supardi menelan ludah. Ia khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa kedua anak itu. Namun ia tau Buyung bukanlah orang yang bisa diajak berbantahan saat menunjukkan sifat bengisnya seperti sekarang.

Sementara itu, di kantor polisi, wawancara terkait kasus meninggalnya pak Solih terus berlangsung. Bagindo Sati terus dicecar berbagai macam pertanyaan karena sempat dicurigai bertanggung jawab atas kasus ini.

Firman disisinya lebih banyak diam dan menjawab tidak tau, meski ia membenarkan malam tadi Bagindo Sati berjalan bersamanya.
Tapi itu belum cukup memuaskan aparat kepolisian, mereka masih mencurigai sesuatu yang janggal dalam kasus ini.

Terlebih orang yang depresi biasanya meninggalkan surat, atau jelang kematiannya memiliki tanda-tanda gangguan baik psikis maupun yang terlihat pada gerak gerik fisik, namun pak Solih sejauh data yang mereka dapatkan tidak memiliki alasan untuk mengakhiri hidupnya secara tiba-tiba.

Di tempat lain, Guntara berjalan sendirian sepulang sekolah, Abbas yang biasanya menjadi teman berjalannya hari ini kembali tidak masuk, membuat Guntara khawatir ada sesuatu lagi yang terjadi pada sahabatnya itu.

Ditengah perjalanan, ketika melewati beberapa warung kopi, Guntara tanpa sengaja mendengar obrolan para pengunjung kedai. Maklum, masyarakat Minang bersuara cukup keras dan menggelegar, bahkan dari sisi jalanpun, Guntara masih bisa mendengarkan percakapan mereka.

“…antah a nan tajadi tadi malam tu sampai gantuang diri pak Solih. A gakti nan nampak dek inyo tu hah?..” (Entah apa yang terjadi tadi malam sampai pak Solih gantung diri. Apa ya kira-kira yang dia lihat sampai begitu?..) ujar salah satu warga.

Guntara tersentak. Ia sengaja melambatkan langkahnya dan berpura-pura membenarkan kaos kakinya agar bisa menguping pembicaraan itu.

“Ah antahlah tu yo. Rasonyo lai elok elok jo lah. Baa kok bisa mandadak tu..” (Ah entahlah. Rasanya dia baik-baik saja. Tapi kenapa bisa mendadak begitu ya?) balas pria lainnya.

“Gakti den ado hubuangannyo jo sawah tu lah.. iyo kanai bala sawah wak tu. Indak padi jo nan mati doh, ka urang urangnyo gai mati..” (menurut saya ada hubungannya dengan sawah itu.. sawah kita sepertinya memang kena azab, bukan cuma ngebunuh padi, tapi sampai orang juga).

“Tapi iyo lo mah.. si Dedet jo Datuak Pagaralam lakik kini alun jo ado nan nampak lai. Inyo baduo tu urang nan tarakhir basamo maniangko mah” (Tapi iya juga ya.. Dedet dan Datuk Pagaralam sampai sekarang juga belum terlihat. Mereka berdua yang terakhir sama almarhum) timpal yang lainnya.

Jantung Guntara berdebar. Ia tau pak Solih, bang Dedet dan bang Firman serta Datuk pergi bersama ayahnya tadi malam. Dan.. apa benar Pak Solih sudah meninggal???

Guntara mempercepat langkahnya menuju rumah. Berharap ayahnya dapat menjelaskan apa yang terjadi. Terlebih ia mendengar Datuk Pagaralam dan Bang Dedet juga masih belum terlihat.

Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati sang ayah. Hanya ada ibunya yang tengah meminum teh di ruang tengah dengan tatapan seperti tidak fokus. Bahkan kehadiran Guntara baru ibunya sadari setelah Guntara sudah berdiri tepat di sampingnya.

“Bu?.. ayah mana?”

“Eh, udah pulang nak, ayah.. ayah lagi di kantor polisi” ujar ibu.

“Kenapa bu? Ada masalah apa ayah di kantor polisi?..” Guntara ingin terlihat seperti seseorang yang tidak tau apa-apa.

Ibu terlihat ragu untuk menjawabnya. Tapi cepat atau lambat, pasti Guntara akan mendengarnya dari warga kampung yang lain.

“Nak.. pagi tadi pak Solih meninggal gantung diri.. lalu Datuk Pagaralam sama bang Dedet juga masih belum ketemu. Dari semua orang yang ikut ayah keliling sawah tadi malam, baru Firman sama ayah yang pulang.. sekarang ayah lagi dimintai keterangan di kantor polisi..” jelas ibu.

Pandangan Guntara kosong, ibunya menyadari ada ketakutan di mata Guntara ketika mendengar ayahnya sedang di kantor polisi.

“Enggak kok.. ayah ga ditangkap dan ayah bukan pelakunya. Ayah nanti pulang..” ujar ibu menenangkan.

Guntara mengangguk pelan lalu masuk ke kamarnya.

Ia mengganti baju sekolah dengan baju rumah lalu bersiap keluar untuk makan siang. Tapi saat bercermin untuk membetulkan kerah baju kausnya, ia menyadari kertas pemberian Datuk beberapa waktu lalu masih menyalip di celah figura kacanya.

Walaupun ia tidak paham apa yang tertulis disana, ada dorongan dalam dirinya untuk membuka kertas itu lagi. Ia meraih kertas itu dan merasakan suhunya sedikit hangat. Padahal kamar Guntara memiliki hawa yang cukup sejuk dan tidak sepanas kertas itu.

Saat Guntara membukanya, ia terkesiap.. tulisan yang terdapat di kertas itu tidak lagi berupa tulisan acak. Di dalamnya kini tertulis sebuah kalimat yang sangat jelas dan dapat dibaca..

Guntara menggenggam kertas itu lalu memasukkannya ke saku belakang. Ia segera bergegas keluar dan izin ke ibunya sambil sedikit berlari.

“Bu Tara pergi dulu sebentar!” ujarnya tergesa.

“Eh mau kemana nak?? Kamu belum makan siang” cegah ibunya.

“Iya bu. Tara sebentar aja. Nanti langsung balik lagi!” ujar Guntara lalu pergi meninggalkan rumah itu.

Ia harus cepat. Ia yakin sesuatu akan terjadi dan dia harus mengikuti perintah di kertas itu!

***

Beberapa waktu sebelumnya, sesaat setelah jasad Datuk Pagaralam dikuburkan..

“A nan alah wak lakuan ko Buyuang..” (apa yang sudah kita lakukan Buyung..) sesal Pak Solih.

“Tidak ada satupun orang selain kita yang melihat kejadian. Dan tidak ada juga orang lain yang akan jauh-jauh mencari Datuk hingga kesini. Kau hanya perlu diam dan semuanya akan selesai dengan sendirinya!” bentak Buyung.

“Tapi awak ko pambunuah yuang! Pambunuah!.. dan urang nan wak bunuah datuak wak surang!” (tapi kita ini pembunuh Yung! Pembunuh!.. dan orang yang sudah kita bunuh adalah Datuk kita sendiri!) Solih tidak bisa menyembunyikan rasa takut dan bersalahnya.

Meskipun Datuk tidak mati di tangannya, namun ia merasa bertanggung jawab mengantarkan Datuk menuju kematiannya.

“RANCAK ANG ANIANG SOLIH ATAU DEN BUNUAH LO ANG DISIKO!” (Lebih baik kau diam Solih atau saya bunuh juga kau disini!) bentak Buyung.

Pandangan Solih kosong. Ia hanya menatap ke tanah dengan gigi yang gemetar. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan nantinya jika perbuatan dosa besar yang ia kerjakan ini diketahui oleh orang-orang dan amalan apa yang harus ia lakukan untuk menebus dosanya ini kepada Sang Pencipta.

“Ayo pergi darisini sebelum pagi datang dan kau akan terlihat mencurigakan berada di sisi bukit setinggi ini!” ujar Buyung sambil perlahan turun setelah memastikan seluruh tempat itu ia tinggalkan dengan keadaan tidak mencurigakan.

Solih mengikuti langkah Buyung, namun meski raganya berjalan di belakang Buyung, pikirannya sudah tidak ada lagi disana. Ia memikirkan kehidupannya yang tidak akan lagi sama dan bayang-bayang wajah sekarat Datuk saat meregang nyawa di hadapannya tadi.

“Ya Allah ampuni ambo.. sarugo untuak Datuak.. sarugo untuak Datuak..” (ya Allah ampuni saya.. Surga untuk Datuk.. surga untuk Datuk..) ujarnya lirih dengan air mata menggenang di ujung kelopak matanya.

Ketika sampai di sisi yang agak datar, Solih menengok ke arah belakang, melihat untuk terakhir kalinya tempat ia dan Buyung menanam tubuh Datuk Pagaralam. Namun saat ia melihat kesana, tubuhnya seketika bergetar dan panik.

Kakinya lemas dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak sempat meraih pundak Buyung di hadapannya.

“Bb.. Bu.. BUYUNG!!” ujar Solih sambil setengah berteriak dan menunjuk ke arah bukit.

Buyung berbalik dan tercengang. Ini pertama kalinya ia melihat pemandangan yang sulit untuk ia terima dan percayai..

Di bukit itu kini berdiri sosok-sosok manusia berbaju putih yang seluruhnya memandang ke arah bawah..

Wajah mereka pucat pasi dengan mata yang hanya berwarna putih.. dan tepat di lokasi makam Datuk Pagaralam, terdapat sebuah rombongan yang mengusung sebuah keranda jenazah berwana hijau. Dari keranda itu mencuat sebuah tangan yang memakai baju lengan panjang, persis milik Pagaralam.

“ALLAHU AKBAR!! ALLAHU AKBAR!!” pekik Solih sambil tetap terpaku di posisinya berdiri.

Buyung membuang ludah dan menarik kerah baju Solih.

“TERUS JALAN DAN TIDAK USAH LIHAT KE BELAKANG!!!” perintahnya.

Namun Solih sama sekali tidak bisa menghilangkan pemandangan itu dari kepalanya. Siapa sosok-sosok itu dan kenapa mereka membawa jenazah Pagaralam??

“Ang.. ang maliek lo kan Buyuang?? Iyo kan??” (Kau melihatnya juga kan Buyung?? Iya kan??) ujar Pak Solih memastikan bahwa apa yang ia lihat bukanlah imajinasinya semata.

“…” Buyung hanya diam dan terus berjalan tanpa melepaskan tangannya dari kerah baju Solih.

Perlahan, semakin mereka menjauhi bukit itu, sosok tadi sedikit demi sedikit menghilang hingga kembali kepada kondisi semula. Sebuah bukit gelap yang hanya disisi pepohonan rindang.

“Kau langsung pulang. Jika ada yang bertanya, bilang saja kau lebih dahulu pulang karena buang air besar atau terserah. Intinya jangan sampai kau bertemu dengan Bagindo dan Firman! Katakan juga pada Dedet hal yang sama nanti!” perintah Buyung.

Pak Solih hanya mengangguk lemas dengan pandangan kosong.

“Ingat. Kalau kau ceritakan ini pada siapapun, akibatnya bisa juga terjadi pada kau. Kau bisa dipenjara atau dihukum adat!” ujar Buyung.

Pak Solih kembali mengangguk pelan. Ia lalu berangsur pulang dengan langkah lemah menuju rumahnya. Saat itu masih cukup lama sampai subuh menjelang. Jalanan kampung tidak ada satupun orang yang melintas dan beraktivitas saat jam itu.

Itulah terakhir kalinya Buyung melihat Solih, ia tidak pernah terpikirkan bahwa trauma itu mengantarkannya kepada kematian. Namun ia merasa ini lebih baik, karena sejak awal ia curiga Solih tidak akan bisa menjaga rahasia itu dan akan membocorkannya cepat atau lambat…

“Kenapa Solih sampai harus berbuat seperti itu.. dasar bodoh” gumam Buyung sepeninggal Supardi yang pergi ke kantor polisi.

Buyung bangkit dari duduknya dan berjalan pulang. Ia akan melaksanakan rencananya. Menghentikan Abbas dan Dedet untuk berbuat terlalu jauh.

Ia harus berpacu dengan warga lain yang saat ini tengah mencari Dedet dan Pagaralam. Ya.. tidak ada orang yang tau Abbas juga hilang selain Buyung dan Supardi..

Buyung berjalan menyusuri jalan desa. Sesekali ia bertemu dengan kelompok warga yang ditugaskan mencari Datuk dan Dedet. Mereka menanyakan siapa saja yang mereka temui di jalan mengenai keberadaan dua orang itu.

“Pak Buyung lihat Dedet dan Datuk Pagaralam?..” tanya seorang warga.

“Tidak.. ada apa memangnya?” tanya Buyung agar tidak mencurigakan.

“Datuk dan Dedet menghilang pak. Di rumah Dedet hanya tinggal pak Heri, dan di rumah Datuk kosong”" jelas warga itu.

“Kalau saya nanti melihat mereka, saya akan beritau kalian” jawabnya dingin.

“Baik, pak”

Buyung mengangguk dan melanjutkan perjalanannya. Sama seperti Abbas, rute yang diambil Buyung adalah melewati Surau Pamatang. Surau yang hanya ada aktivitas saat maghrib saja. Sedangkan saat pagi hingga sore, Surau ini sepi. Terkadang ada jamaah shalat, dan terkadang tidak.

DUG!

Saat Buyung baru saja melewati suaru itu tiba-tiba ia mendengar suara seperti suara pukulan. Buyung mengentikan langkahnya dan menegok ke arah Surau. Suara itu cukup keras, namun ia tidak mengetahui darimana asalnya.

DUG! DUG! DUG!

Suara itu terdengar lagi, dan kali ini ia menyadari sumber suara itu. Ia mendekati sumber suara yang berasal dari dua makam yang berada di sisi Surau Pamatang.

….

Hening..  suara dentuman tadi berhenti ketika Buyung berdiri tepat di samping nisan makam itu.

“Cih!” decak Buyung kesal karena ia seperti dipermainkan dengan mitos aneh yang sejak dulu tidak ia percayai itu.

Buyung melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya menyulut rokok di mulutnya.

Tapi apa yang Buyung tidak tau.. sepeninggalnya dari lokasi itu, makam badantam terus berbunyi terus menerus..

DUG! DUG! DUG! DUG!

***

Dedet dan Abbas berjalan ke arah perkampungan itu. Perlahan mereka menyadari bahwa itu adalah desa mereka yang terlihat dari sisi lain. Melihat hal tersebut keduanya lega, Dedet sudah sangat berambisi menceritakan semua hal mencengangkan ini kepada warga Desa Rangkiang.

“Alhamdulillah awak ditunjuakan jalan pulang” (Alhamdulillah ternyata kita diberi petunjuk ke jalan pulang) gumam Dedet.

Keduanya memasuki sisi desa dari jalur yang sama yang dilalui sosok tadi.

Saat itu hari sudah terlihat seperti senja, Dedet menduga mereka pingsan selama berjam jam di lokasi tadi.

Sesampainya di bagian pemukiman, Dedet dan Abbas memilih untuk berpisah.

"Abbas kembali dulu ke rumah. Jangan bilang apapun tentang ini. Bilang kalau kamu tidak abang tangkap dan abang gatau apa-apa. Abang mau kabari Datuk Pagaralam tentang ini, beliau lebih tau bagaimana cara paling baik menyelesaikan ini semua" ujar Dedet.

Abbas mengangguk paham meskipun dalam dirinya ia cukup ketakutan kalau sampai Buyung mengetahui hal ini. Terlebih sebelumnya ia sudah diancam akan disiksa kalau sampai rencana ini gagal.

Kalau yang disiksa hanya dirinya sendiri mungkin ia tidak merasa setakut ini, namun ayah kandungnya itu juga mengancam akan menyakiti Mina, orang paling berharga saat ini bagi Abbas.

Dedet menuju ke arah rumah Datuk Pagaralam yang berada tepat di sisi terluar area persawahan sebelum masuk ke pemukiman penduduk.

“Assalamualaikum” panggil Dedet sambil sesekali menepuk nepuk celananya yang berdebu dan terdapat banyak corak tanah.

Namun hampir lima menit menunggu, dengan berkali kali mengetok pintu dan memanggil Datuk dari luar, orang yang sangat ingin Dedet temui itu tidak kunjung muncul. Lampu rumah itu juga mati dan tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalam rumah tersebut.

“Pai lah lai. Pagaralam lah pai” (Pergilah. Pagaralam sudah pergi) tiba-tiba saja dari sisi samping rumah Datuk terdengar suara pria yang berbicara.
Dedet berjalan ke arah sumber suara dan mendapati disana seorang pria berkulit putih dan bermata sipit sedang bersandar di dinding rumah.

“Eng.. maaf pak, kama datuak yo?” (Eng.. maaf pak, Datuk kemana ya?) tanyanya.

“Lah pai dari pagi tadi” (Sudah pergi sejak pagi tadi) ujar pria itu tanpa memandang ke arah Dedet.

"Oh.. kira-kira apa pulangnya masih lama pak? Ada hal penting yang mau saya sampaikan ke beliau" ujar Dedet, sebenarnya ia juga tidak mengenali orang yang ia ajak bicara ini, namun sepertinya pria ini adalah kenalan Datuk Pagaralam.

“Salasaian urusan ang tu surang. Jan bagantuang jo Pagaralam taruih. Pulang lah ang lai” (Selesaikan urusanmu itu sendiri. Jangan bergantung dengan Pagaralam terus. Kamu lebih baik pulang sekarang) ujar pria itu seperti sedikit memaksa.

Mendengar jawaban yang sedikit ketus itu, Dedet sejujurnya cukup kesal. Namun ia memilih menuruti apa perintah orang tadi dan akan kembali lagi malam nanti. Dedet berpamitan dengan pria itu dan kembali berjalan ke teras depan yang menghadap langsung ke jalan kampung.

Disana, Dedet baru menyadari sesuatu yang daritadi berada di atas meja kayu di teras rumah Datuk Pagaralam. Sebuah ember kecil berwarna abu-abu yang ditutup dengan sebuah kain coklat bermotif batik.

Dedet menyingkap penutup kain itu, dibaliknya ada beras dan beberapa helai daun berwarna hijau, kuning dan kelopak kelopak bunga yang sudah terlepas dari tangkainya.
Dedet tersentak. Ember berisi beras dan ditutupi kain seperti ini biasanya digunakan oleh masyarakat Melayu untuk-

-tempat sedekah dari para tamu yang melayat jenazah di rumah duka. Namun isi dari ember itu biasanya beras dan uang tunai, bukan dedaunan.

"Ini apa pak?" tanya Dedet sedikit mengeraskan suaranya. Berharap pertanyaannya itu didengar oleh pria dibalik tembok dan akan ia jawab.


Tidak ada jawaban dan suasana terasa begitu hening. Dedet menutup kembali ember itu dengan kain dan berjalan kembali ke posisi pria tadi berada. Tapi sesampainya disana, pria tadi sudah pergi tanpa jejak.

Dedet tidak ambil pusing. Ia berfikir orang tadi sudah langsung pulang melalui jalan belakang tepat setelah ia berpamitan. Lagipula tidak ada bendera hitam ataupun tenda yang biasa dipakai saat pemakaman jenazah.

Dedet yang sempat khawatir ada yang terjadi pada Datuk Pagaralam, seketika dibuat tenang dengan pemikirannya sendiri.

“Mungkin ini sumbangan warga buat Datuk” pikirnya dalam hati lalu melanjutkan perjalanannya ke rumah.

***

Sementara itu di lain tempat, Abbas sendirian menyusuri jalan kampung, melewati rumah dan warung yang sudah tutup padahal hari belum malam. Abbas mulai menyadari suasana kampung ini terasa begitu sepi. Ia tidak sama sekali menemukan orang yang melintas di jalan tersebut.

Jalanan juga terasa lebih gelap dari biasanya. Rumah-rumah masih belum menyalakan lampu meskipun langit sudah berwarna keunguan.

Jalan menuju rumah Abbas melalui Surau Pamatang, Abbas rencananya ingin melihat apakah sudah banyak anak-anak surau yang sudah berkumpul untuk mengaji malam ini. Jumlah anak-anak yang mengaji memang berubah ubah, terkadang ramai, terkadang sepi karena sibuk mengurus PR sekolah.

Abbas sudah hampir dekat dengan surau, namun ia sama sekali tidak mendengar suara riuh teman-temannya yang biasanya bermain kejar kejaran atau mengobrol sambil menunggu adzan maghrib. Selain itu lampu surau juga masih mati.

“Sepertinya hari ini gak ada yang ngaji..” gumam Abbas sambil terus berjalan mendekati Surau itu.

Sisi surau Pamatang yang menghadap jalan kampung terdapat sebuah ventilasi kaca yang dapat dibuka tutup dari arah dalam. Sebelum bertemu pintu masuk surau, Abbas akan melewati ventilasi ini terlebih dahulu.

Walaupun tidak ada suara apapun, Abbas tetap melongo ke arah dalam. Mungkin ada pak Ustadz yang sedang mengaji sambil menunggu murid atau ada teman-temannya yang sudah ada di dalam, pikirnya.

Namun ia tidak melihat apapun. Pantulan bayangannya sendiri justru yang terlihat karena lampu surau mati dan kondisi luar yang lebih terang. Abbas harus membentuk teropong menggunakan telapak tangannya dan menempelkan wajahnya ke kaca untuk melihat ke dalam.

Tapi di dalam ia melihat sesuatu yang janggal..

Dalam kegelapan itu, Abbas melihat anak-anak berpakaian baju koko tengah berdiri mematung. Tidak ada yang bergerak dan tidak ada yang berbicara. Masing-masing dari mereka hanya berdiri dengan sikap siap.

Ia tidak mengenali siapa saja didalam karena mereka mengenakan peci kecil dan anak perempuannya mengenakan mukenah.

Abbas mengetuk ngetuk kaca untuk memanggil teman-temannya itu namun tidak ada jawaban. Penasaran, ia lanjut berjalan ke arah pintu untuk masuk ke dalam.

Pikirannya mengatakan bahwa kampung mungkin sedang mati listrik dan guru mengaji mengadakan permainan sambil menunggu lampu hidup.

Namun saat berada di ambang pintu dan menengok ke dalam, Pak Ustadz, yang merupakan panggilan guru mengaji surau itu, terlihat berdiri diam sambil bersandar pada tembok kayu di sudut ruangan. Dari balik bayangan dan gelapnya surau, wajahnya terlihat pucat pasi dan tatapannya kosong.

“Assalamualaikum ustad..” sapa Abbas dengan sedikit ragu.

Namun salam itu tidak dijawab oleh ustadz yang masih berdiri diam di sudut ruangan yang remang remang itu.

“Hari ini ngaji kan ustadz?.. izin telat ya mau ganti baju dulu..” ujar Abbas.

Ustadz masih menatapnya dengan tatapan kosong.. namun tiba-tiba kepala ustadz itu mulai mengangguk. Mengangguk dengan kecepatan yang tidak wajar.. dan setiap kali ia mengangkat kepalanya untuk anggukan berikutnya, ia sekaligus menghantamkan kepalanya ke belakang.

BRAK! BRAK! BRAK!

Dinding kayu yang menjadi bahan dominan surau itu terdengar bergetar akibat benturan kepala Ustadz yang semakin menggila.

“USTADZ! USTADZ!” pekik Abbas yang panik melihat apa yang ada dihadapannya sekarang.

“Kawan-kawan baa pak Ustadz t…” (Teman-teman itu pak ustad kenap...) Abbas hendak masuk ke dalam surau dan meminta bantuan teman-temannya yang masih berdiri mematung.

Namun saat ia melihat kearah mereka, Abbas melihat seluruh teman-temannya sudah memandang ke arahnya.

Tapi.. mereka memandangi Abbas bukan dengan berbalik badan.. mereka hanya memutarkan kepala mereka 180 derajat ke arah Abbas tanpa merubah posisi mereka berdiri.

Abbas berteriak sangat kencang dan langsung mengambil ancang-ancang berlari. Namun belum selesai sampai disana, ustadz yang dari tadi hanya diam bersandar di sudut ruangan tiba-tiba saja berjalan..

dan tepat pada langkah pertamanya, kepala Ustadz itu patah menggantung ke belakang, lehernya sobek dan mengeluarkan darah kehitaman yang mengalir ke baju koko putihnya.

“AAAAAA!!!!!!!” Abbas terduduk jatuh namun segera berdiri dan lari sekuat tenaga menjauh dari surau itu.

Ia menangis sambil berlari dan menunduk.. dari arah belakangnya, terdengar suara adzan dari pengeras suara Surau Pamatang...

“Allahu Akbar Allahu Akbar..
Allahu Akbar Allahu Akbar..
Allahu Akbar Allahu Akbar..
Allahu Akbar Allahu Akbar…
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR!!!!”

Adzan yang biasanya memberikan ketenangan itu justru memberikan Abbas rasa takut yang semakin dalam. Bukan hanya karena suaranya yang begitu melengking dan menggema.. namun Adzan itu terus diulang ulang tanpa henti di bagian takbir..

Abbas berlari sambil berteriak minta tolong. Namun sepertinya tidak ada satupun orang yang mendengar teriakannya karena begitu melengking dan kerasnya suara adzan yang terus menerus berulang itu.

Dengan sendal jepit yang terasa akan segera putus, Abbas terus berlari menyusuri jalan desa yang kian gelap karena tidak adanya satupun lampu rumah yang hidup.

Tapi Abbas menyadari satu hal, setiap rumah disana pintunya terbuka dan didalamnya ada para penghuni rumah yang berdiri diam di dalam rumah.

Nafas Abbas terasa begitu pendek dan sesak. Rasa takut yang belum hilang dan fisiknya yang masih lelah akibat berlarian menghindari bang Dedet tadi malam membuatnya melambat. Ia melihat ke sekeliling dan berharap ada bantuan yang bisa membuatnya aman.

Pada suatu sisi kampung, ia melihat dua orang tetangganya yang ia kenal sedang duduk di teras. Keduanya adalah Pak Munir dan Bu Yani, suami istri yang dikenal ramah serta sering memberikan mainan kepada anak-anak kampung Rangkiang.

“PAK MUNIRR BU YANII TOLOOONGG!!” panggil Abbas ketika melewati rumah warga kampung yang sering membantunya itu.

Abbas hampir saja berbelok ke rumah tersebut kalau saja ia tidak menyadari hal aneh pada Pak Munir dan Bu Yani...

Tubuh keduanya sudah membiru dan bercorak lebam keunguan. Ada banyak belatung dan lalat mengerubungi kelopak mata dan mulut mereka yang menganga mengeluarkan cairan berbusa berwarna coklat kehitaman..

“HUEK!” Abbas menutupi mulutnya menahan muntah dan segera mundur. Ia kembali berlari ke arah rumah. Suasana kampung benar-benar berubah dari apa yang terakhir ia tau. Apa yang sebenarnya terjadi hanya dalam waktu satu malam???

Sepanjang jalan ia mencium bau anyir dan busuk yang amat sangat. Bahkan di beberapa pohon ada jasad-jasad manusia tergantung dan berputar putar di tiup angin. Abbas harus menahan nafas dan memejamkan matanya ketika berada di lokasi yang terdapat mayat bergelantungan.

“MINAAA!!! NENEKKK!!!” teriak Abbas sambil berlari dengan tenaganya yang tersisa ke arah rumah nenek Pampang. Rumah itu terlihat sedikit terbuka dengan lampu kekuningan di dalamnya. Ia tidak melihat satupun orang di rumah itu dari luar.

Abbas mengatur nafasnya dan melihat ke arah belakang. Sepi. Bahkan terlalu sepi. Ia bisa mendengar suara desiran padi yang bersentuhan satu sama lain karena tertiup angin dan suara kodok yang mulai berbunyi dari arah sawah.

“Mina?... Nenek?.. ayah?..” panggil Abbas lemah. Nafasnya belum kembali normal.

Hening. Tidak ada satupun jawaban atau suara dari dalam. Seketika wajah orang-orang yang sudah membusuk di sepanjang jalan tadi teringat kembali di kepalanya.

Abbas menutup mulutnya lagi karena serangan mual dan pusing yang langsung hadir ketika ia mengingatnya lagi. Ia khawatir akan mendapati hal yang sama di dalam rumah Nek Pampang saat ini.

Dengan tangan bergetar Abbas meraih tuas pintu yang sedikit terbuka itu. Ia menarik nafas dalam-dalam dan membaca bismillah dalam hatinya. Jantungnya berdebar dan kakinya terasa lemas. Perlahan ia mendorong pintu itu sambil mengucapkan salam.

“A.. Assalamualaikum…”

“Waalaikum…” ujar suara dari dalam. Suara wanita renta yang terdengar menggigil.

“Nenek?...” panggil Abbas.

Ia membuka pintu lebar-lebar. Walaupun di dalam sana ada cahaya lampu petromax, namun cahayanya tidak cukup untuk melihat seluruh sudut ruangan. Tidak ada gerak gerik apapun yang terlihat di dalam. Hanya bayangan dari api lampu yang bergoyang-goyang tertiup angin dari pintu yang terbuka.

Abbas melangkah masuk ke dalam dengan sedikit berjinjit pelan. Ia menarik nafas dalam dalam, memastikan tidak ada bau busuk dan sebagainya yang sumbernya tidak ingin ia ketahui.

“Mina?... nenek?..” panggil Abbas lagi untuk kesekian kalinya.

“Di kamar…” ujar suara parau itu.

Abbas mempercepat sedikit langkahnya ke arah kamar. Kamar itu adalah kamar nenek dan Mina. Hanya sebuah bilik kecil dengan pintu rotan dan tirai gorden lusuh berwarna pink bercorak angsa putih.

Embusan angin melalui gorden itu hingga sedikit tersibak. Menampilkan bagaimana gelapnya di dalam. Abbas mengambil lampu petromax yang terletak di atas meja dan membawanya untuk penerangan di dalam kamar nantinya.

“Mina?..”

“Ya bang, sini masuk..” panggil suara yang kali ini terdengar seperti suara Mina.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close