Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NYAI SALMAH PENGGEMBALA BEBEK SILUMAN


JEJAKMISTERI - Seketika Andoko teringat kejadian sebelumnya. Dia memang melempari bebek-bebek yang berkali-kali mengitari cangkruk pos ronda hingga suara gaduhnya memecah kesunyian malam itu dengan pecahan batu bata. Awalnya pelan aja dia melempar, hanya bertujuan untuk sekedar menghalau. Tapi karena tak pergi-pergi juga itu bebek-bebek, emosilah Andoko. Lemparan batunya nggak pelan dan ngawur lagi, tapi kenceng dan pakai ngincer sasaran. Alhasil, seekor bebek kena tepat di bagian kepalanya. Dugaan Andoko benar, bebek-bebek tadi bukanlah bebek sungguhan, tapi jadi-jadian. Bebek siluman ! Ada yang menggembalakan, seorang perempuan. Ya, perempuan yang wajahnya...

*******

Ini kisah secara tak sengaja aku dapat dari obrolan santai bersama Kang Mamat di kampungnya yang kerap jadi tumpanganku sepulang dari mendaki gunung. Sebenernya tak cuman satu-dua kisah misteri yang dia ceritakan. Desa Pengging, kampung Kang Mamat yang berbatasan dengan lahan hutan lepas milik PTPN (PT Perkebunan Nusantara) ini ternyata menyimpan segudang kisah misteri. Tapi kisah Nyai Salmah inilah yang paling keren menurut ku, lain daripada yang lain. Hampir setiap pendatang baru yang tinggal menetap di kampung sini pasti ditemui Nyai Salmah. Kalau aku sih paling cuma numpang tidur semalem, sementara masih aman.

Nyai Salmah bukan hantu yang begitu saja muncul, ada sejarahnya gan. Tak kurang-kurang penduduk kampung Kang Mamat ngadain ritual supaya hantu itu jangan nongol lagi, tapi sia-sia belaka. Akhirnya ya sudah, dianggaplah saja sebagai salah satu penjaga kampung. Nah, lho...! Aku aja bingung mahaminya. Mungkin semacam Hansip gitu kali ya ?! Mangkanya Aku merasa wajib mbagiin ini kisah ke agan-agan penggemar cerita jejak misteri kisah nyata.

Semua nama aku samarkan, kesian ntar kampung Kang Mamat kalau kesohor horror. Rileks aja ngebacanya, pikirannya nggak usah kemana-mana, iman jangan ampe goyah.

*******

Cangkruk adalah semacam gazebo, bisa terbuat dari kayu atau bambu. Bangunan rumah panggung yang hanya punya satu ruangan, tanpa pintu dan jendela. Biasa jadi tempat berkumpul beberapa orang buat saling berbincang secara langsung person to person. Perbincangan non formil dengan topik bebas sekenanya. Sebab itulah kemudian istilah cangkruk-an sering dipakai untuk menyebut kegiatan berkumpul dan saling berbincang semacam itu. Meskipun tidak bertempat di cangkruk. Nah, di cangkruk pos ronda dekat rumah Kang Mamat itulah kejadian misterius yang dikisahkannya itu terjadi 2 tahun yang lalu.

"Cangkruk sing dicat werno abang ngarepan kuwi Kang ?" (Cangkruk yang dicat warna merah di depan itu Kang ?) tanyaku menyela cerita Kang Mamat.

"Iya mas, tapi dulu rumahku belum di sini. Begitu juga rumah-rumah baru yang lain. Sini dulunya persawahan, cuma cangkruk itu satu-satunya bangunan yang berdiri di lokasi sini", jawab Kang Mamat.

Sontak bulu kudukku berdiri, pasalnya hampir tak terhitung sudah kusinggahi cangkruk tersebut sedari belum kenal Kang Mamat. Tiap kali memilih jalur pendakian yang melewati kampung Kang Mamat, seringkali kujadikan cangkruk itu sebagai tempat beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Sebetulnya malam itu Andoko malas pergi nge-ronda, pekerjaan seharian tadi tak seperti biasanya. Tanpa sadar, hampir 2 ton kalau ditotal barang-barang yang meski dia turunkan tadi dari kontainer truk ekspedisi. Berkarton-karton susu bubuk kemasan harus segera mengisi stok gudang malam itu juga. Bersama ketiga rekannya dia menurunkannya dari truk, mengangkut ke dalam gudang dan menyusunnya di atas pallet kayu sesuai SOP (Standard Operating Prosedure) perusahaan distributor tempatnya bekerja. Jika bukan karena Lastri, istrinya, yang tak henti-henti mengingatkan tentang jadwalnya ngeronda malam itu, Andoko tentu lebih memilih terhempas - berbaring di atas spring bed yang baru dibelinya sebulan lalu. Melepas penat setelah seharian bekerja keras.

"Gek ndang siram mas (Cepetan mandi mas), terus makan ! Kamu jatah nge-ronda lho malam ini. Tadi sore Pak Malik pesen agar ngingetin kamu sewaktu berpapasan di jalan", kata Lastri begitu Andoko masuk rumah sepulang kerja. Baru pulang aja udah diingetin.

Usai mandi dan berganti pakaian, Andoko langsung menghampiri meja makan dan menyantap makanan yang dihidangkan istrinya dengan lahap. Sedari masih dalam perjalanan pulang tadi, perutnya memang udah keroncongan. Tak lebih dari 5 menit, sepiring nasi porsi jumbo berikut lauknya telah habis disikat. Jadilah perutnya terasa mengembang sebab kekenyangan. Lastri mendekat, menyuguhkan teh hangat lalu duduk di samping sambil menatap penuh suaminya. Andok cuek aja, segera diambilnya segelas teh hangat itu dan menyeruputnya. Empat kali seruputan sudah cukup membuat badannya tambah terasa hangat. Sikap duduknya semakin melorot, punggungnya ditegakkan bersandar di kursi. Gantian rasa kantuk menghampirinya, Lastri masih tetep dicuekin.

"Mas !" kata Lastri setengah berteriak sambil menepuk lengan suaminya. Yang dipanggil kaget dan segera membalas tatapan istrinya yang sedari tadi tak digubris.

"Aku arep turu dhisek waelah (aku mau tidur dulu ajalah) Las, ngantuk banget rasanya", kata Andoko menanggapi pukulan dan teriakan pelan istrinya tadi.

"Eit ! Nggak boleh !" teriak Lastri sambil memegangi lengan suaminya dengan kedua tangannya.

Dicegahnya niat Andoko yang hendak beranjak dari kursinya. Hari ini memang dia pulang kerja terlalu larut, mendekati waktu jadwal meronda. Tak mungkin istrinya memberikan waktu jeda buat beristirahat. Lebih-lebih tadi dititipin pesen sama Pak Malik, orang yang paling disegenin Lastri di kampungnya.

Andoko pun terpaksa mengurungkan niatnya, kembali terduduk lunglai. Sepuluh tahun sudah dia menghabiskan hidupnya bersama Lastri. Paham betul dia dengan watak istrinya yang keras dan pembawaan cerewetnya. Sekali lagi Lastri mengingatkannya pada jadwal nge-ronda malam ini. Diulanginya lagi cerita tentang berpapasannya tadi di jalan dengan Pak Malik. Lalu berganti dengan cerita lain yang dialaminya seharian tadi. Jadilah kemudian Andoko semacam pendengar setia "Lastri's Podcast" dengan konten reality show-nya. Dengan selingan iklan jadwal nge-ronda malam ini. Tiap kali meleng, Lastri menepuk pundaknya hingga kembali tersadar. Melengnya Andoko bukan karena apa, lebih banyak nggak pentingnya ocehan Lastri dibanding yang penting. Maklumlah, emak-emak gaul. Tapi itulah istrinya, wanita yang dipilihnya sepuluh tahun yang lalu buat jadi pendamping hidup. Dia sadar betul atas segala konsekuensinya. Meski pendidikannya nggak tinggi-tinggi amat, tapi kalau soal budi pekerti dia kenyang betul sebab kakeknya dulu termasuk seorang tokoh masyarakat. Dan dia adalah cucu kesayangan kakeknya, jadi kenyang akan wejangan (nasehat) beliau.

Momen semacam ini sudah jadi sego-jangan (kebiasaan) dalam rumah tangga Andoko bersama Lastri bertahun-tahun lamanya. Momen yang selalu berakhir dengan ketegasan Andoko mengakhiri paksa "Lastri's Podcast" dengan meninggalkan istrinya sebab sesuatu hal. Kali ini sih sudah jelas dan pasti, diputuskannya untuk segera berangkat nge-ronda aja. Apalagi sudah terlewat beberapa menit waktu dari jam menurut jadwal. Toh di cangkruk juga bisa tiduran dulu, begitu pikirnya. Lastri tersenyum ketika ocehannya dipotong pamit suaminya. Segera beranjak ke kamar dia, mengambilkan senter, sarung dan jaket yang sedari suaminya belum pulang udah disiapin.

"Wis, aku budhal dhisik (aku berangkat dulu) Las !" pamit Andoko setelah menerima seperangkat alat ronda dan menyeruput habis tehnya.

"Semua jendela dan pintu jangan lupa dikontrol lagi !"

"Beres mas !"
"Eh, mas ! Sekalian tanyain ke Kang Jono, mixer ku yang dipinjem istrinya udah masih kepake apa nggak. Udah sebulan belum di...."

"Ah kowe iki (ah, kamu ini) ! Berkali-kali dibilangin, urusan laki-laki sama perempuan itu jangan dicampur-aduk !" potong Andoko dengan nada tegas.

Lastri terdiam, sadar kalau permintaan semacam itu dianggap kelewatan bagi suaminya. Dia lupa. Keceplosan !

Singkat cerita, sampailah Andoko di cangkruk yang disepakati untuk difungsikan juga sebagai pos ronda, selain buat cangkrukan para petani di siang hari. Jam 10 lewat 12 menit menurut angka yang tertera di hand phone Andoko. Masih sepi belum ada orang. Sebuah kebetulan buatnya yang memang udah menahan kantuk sedari tadi. Segera dilepasnya sandal, lalu naik ke atas cangkruk. Sarung dibuka dari lipatan lalu dipakai buat menutup kakinya. Direbahkan tubuhnya terlentang dengan alas kepala kedua telapak tangannya yang saling dipertautkan. Diputar separuh badannya ke kiri hingga berbunyi antar sambungan tulang punggungnya. Diulanginya lagi ke arah sebaliknya, lalu kembali terlentang. Tertidur lelap dia kemudian, tak sampai hitungan dua menit.

"Sebentar kang... ! Andoko sama Lastri itu udah lama berumah tangga katamu," tukasku memotong cerita Kang Mamat.

"Iyo aku paham arah omonganmu. Betul mereka lama berumah tangga, tapi tinggalnya di Pengging sini belum ada setengah tahun sewaktu kejadian itu," tukas kang Mamat segera, memotong kalimatku sebelum berlanjut kalimat tanya.

"Denger dulu ceritanya sampai selesai ! Seperti sudah kubilang tadi, Nyai Salmah ndak mungkin ganggu mereka yang sudah lama menetap di sini. Paling banter cuma tampak sekelebatan."

"Lastri memang harus pulang karena Bapaknya sakit-sakitan. Dia anak semata wayang. Akhirnya Andoko minta ke bosnya agar dipindahkan ke daerah sini dan kebetulan dikabulkan. Nah, genap sebulan dirawat Lastri, meninggallah kemudian Pak Nur. Mungkin sudah lega melihat anak-cucunya sudah hidup layak sebagaimana anak-anak saudaranya yang lain."

"Lalu tinggal menetaplah kemudian mereka berdua mendiami rumah warisan dari Pak Nur, bapaknya Lastri".

Begitulah Kang Mamat, selalu detil kalau menjelaskan sesuatu. Pertama aku kenal juga karena tanya-tanya jalur pendakian. Dijelaskannya detil sampai jalan-jalan pintasnya coba, gimana aku gak langsung respek sama ini orang. Ditambah lagi, Kang Mamat adalah penduduk Pengging yang paling cepat tanggap kalau denger ada pendaki yang dikabarkan hilang. Tanpa ba-bi-bu dia pasti langsung berkemas untuk segera melakukan pencarian. Rumahnya terbuka 24 jam buat para pendaki yang kawannya hilang sampai ada keterangan yang pasti.

"Oke, lanjutkan kang ceritanya !" kataku sambil menuangkan kopi ke gelasnya yang isinya hampir menyentuh ampas.

***

Pikiran Positif
Baru setengah jam tertidur, lamat-lamat dia dengar suara bebek bersahutan, membuatnya sontak terbangun. Kaget bukan karena apa, dia pikir sudah pagi. Biasa dalam keseharian, usai mandi pagi persiapan hendak berangkat kerja, Kang Ujang kerap melintas di depan rumah bersama bebek-bebek yang digembalakannya. Suara wek-wek bersahut-sahutan seperti itu tak asing buat telinga Andoko. Dia bakalan malu kalau ternyata ketiduran di pos ronda sampai pagi. Sepanjang perjalanan pulang, orang-orang bakal mentertawakannya.

"Masih gelap..., syukurlah !" gumamnya sambil menghela nafas lega.

Didongakkan kepalanya sedikit, menoleh ke kiri dan ke kanan, tak seorangpun tampak bersamanya di cangkruk pos ronda. Suara bebek menghilang, yang ada suara jangkrik mengerik bersahutan dan suara kodok sesekali. Dirogohnya saku celana berniat mengambil hp untuk mencari tahu sudah jam berapa. Setelah tahu bahwa ternyata waktu baru menunjukkan pukul 11 kurang 10 menit, bangunlah kemudian Andoko. Mengambil senter yang tergeletak di samping kepalanya, lalu menyalakannya dan mengarahkan sinar ke sekeliling cangkruk. Tetep aja tak nampak olehnya seorangpun.

"Ah, kampret !" gumamnya lagi. "Orang-orang pada kemana sih ini ?!"

Nggak puas dengan dengan pengamatannya yang sambil duduk bersila, Andoko pun beranjak turun dari cangkruk. Memakai sandalnya lalu berkeliling sekitaran cangkruk, kali aja kawan ngerondanya lagi kumat isengnya ngerjain orang. Disibakkannya dedaunan semak yang agak rimbun, tak ditemukan siapa-siapa. Di arahkannya sorot lampu senter hingga sejauh mungkin, tak ada penampakan selain pepohonan dan persawahan berikut komunitas binatang malamnya. Akhirnya diputuskanlah buat kembali naik ke cangkruk untuk melanjutkan tiduran. Pegel-pegel di badannya masih sedikit terasa, meski sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum tidur tadi.

Sembari berbaring, Andoko mencoba berpikir positif tentang kawan-kawan merondanya. Barangkali mereka sebetulnya sudah berada di cangkruk sebelum dia datang, dan sepakat untuk berkeliling dulu sebelum cangkrukan. Tentang suara bebek yang didengarnya tadi juga barangkali karena pikiran bawah sadarnya sedang memproses ingatannya tentang Kang Ujang dan bebek-bebeknya yang tiap pagi melintas depan rumah. Kondisi tidur yang begitu lelap itu terkadang memang memunculkan ingatan bawah sadar tentang kejadian-kejadian yang sudah terlewati. Maka kemudian dipejamkanlah lagi matanya, mencoba untuk melanjutkan tidurnya. Toh sebentar lagi juga kawan-kawannya bakal balik dan membangunkannya nanti. Begitu pikir Andoko.

"Wek-wek-wek-wek-wek...!"

Belum juga betul-betul tertidur, suara bebek bersahutan kembali terdengar. Lamat-lamat, tanda posisinya jauh sekali dari cangkruk. Andoko membuka matanya, mendongakkan kepala, memasang pendengaran baik-baik, masih sambil rebahan. Belum yakin betul dia pada telinganya. Sampai akhirnya suara bebek bersahutan itu makin terdengar jelas tanda posisinya mulai tak terlalu jauh dengan cangkruk. Dengan sigapnya Andoko bangun, duduk bersila lalu mengarahkan sorot lampu senter ke sekeliling.

Cangkruk yang berdiri di tepi jalan utama desa itu sekelilingnya sebagian besarnya adalah areal persawahan. Sangat lazim jadi area penggembalaan bebek memang, apalagi waktu itu baru musim panen. Areal sawah yang baru saja dipanen adalah tempat kesukaan para bebek. Ada banyak santapan lezat buat mereka di situ. Andoko yang belum genap setengah tahun menetap di kampung sudah hapal betul mengenai hal itu, tapi di siang hari. Saat pagi, siang atau sore. Tapi kalau di malam hari belum pernah sekalipun dia menyaksikan. Kalau benar ada ya baru kali itu. Maka bangkit berdirilah dia lalu bergegas turun dari cangkruk dan berjalan menghampiri arah suara bebek dengan penuh rasa penasaran. Disusurinya pematang sawah dengan hati-hati. Waspada kalau-kalau ada ular jangan sampai terinjak. Tapi sejauh sorot lampu mengarah ke depan, belum juga tampak seekor bebekpun. Si penggembalanya juga tidak.

Andoko memutuskan untuk berbalik arah kembali ke cangkruk setelah merasa sudah terlalu jauh tanpa menemukan apa-apa. Pikiran positifnya menyimpulkan bahwa anginlah yang membawa suara bebek tersebut hingga terdengar sampai cangkruk. Malam itu memang angin bergerak kurang menentu dan lumayan kencang tiupannya. Tak seperti biasanya.

*******

Sebuah Pertanda
"Emang orang kampung sini belum ada yang ngasih tahu Andoko soal Nyai Salmah itu sebelumnya Kang ?" sela tanyaku.

"Andoko itu meskipun asalnya dari kota, tergolong pemberani dan tidak angkuh. Dia tidak mudah percaya pada cerita-cerita beginian, tapi juga tidak suka menampik cerita orang", jawab Kang Mamat.

"Pernah suatu ketika dia keluar tengah malam dan menuju tengah hutan buat ngambil buah murbei. Sendirian !"

"Lastri ngidam, merengek-rengek ke suaminya agar saat itu juga dituruti keinginannya."

"Aku, Ali dan Juned waktu itu masih cangkrukan, begadang sampai tengah malam. Andoko mau tidak mau meski berpamitan ke kami sebelum melintasi jalanan menuju hutan. Sedikitpun tak nampak raut wajah tegang kami lihat. Malahan kami bertiga yang tegang, maksudnya mengkhawatirkan keselamatannya sebagai warga baru di kampung ini."

"Ali yang menawarkan bantuan ditampiknya dengan sopan, juga menampik untuk ditemeni. Andoko sungkan, belum lama menetap sudah merepotkan tetangga, begitu alasannya. Akhirnya kami cuma bisa mencegat kepulangannya sebagai bentuk solidaritas sesama warga kampung. Dan kenyataannya, Andoko kembali dengan selamat, sambil menenteng kantong plastik kecil berisi beberapa buah murbei. Sekali lagi, tanpa ada raut wajah cemas sedikitpun !"

"Sejak itu, kami warga kampung yang biasa cangkrukan tidak pernah membicarakan yang aneh-aneh kalau Andoko ada bersama kami. Mungkin juga dia sudah dengar cerita-cerita serem dari orang lain, tapi yang semacam itu sepertinya tidak pernah terekam di kepalanya".

"Paham aku Kang ! Andoko itu tipe orang yang tidak gampang percaya kecuali dia sendiri mengalaminya", tukasku.

"Nah !" kata Kang Mamat spontan sambil menunjuk mukaku.

***

Kuambil posisi tidur tengkurep, dengan kepala tersangga oleh kedua lengan dan pandangan mengarah penuh ke wajah Kang Mamat. Cerita agaknya bakal mulai seru, pikirku.

Andoko kembali naik ke cangkruk, duduk di tepi dipan dengan kaki dibiarkan bebas bergelantung. Dirogohnya lagi saku celana mengambil hp untuk sekali lagi melihat angka penunjuk waktu. Sebentar lalu digeletakkan di samping tempatnya duduk. Suara bebek bersahutan masih terdengar, tapi dia sudah tak lagi minat mencari tau keberadaannya. Lagipula suaranya kembali memelan jadi lamat-lamat saja. Malah membuatnya senyum-senyum sendiri. Ternyata di kampung yang lumayan tergolong pelosok seperti ini, ada juga yang kerjaanya sampai lembur, meski cuma menggembala bebek. Begitu pikirnya.

"Wek-wek..., wek-wek... ", suara itu kembali terdengar sedikit mengeras lagi.

Lagipula, apa ya tida kasihan sama bebek-bebek yang semestinya istirahat ? Lanjut pikirnya. Bukannya kalau kurang istirahat justru produksi telurnya malah menurun ? Ah, bodo amat ! Ngurusin kerjaan orang...

Sesekali senter dia nyalakan, diarahkan sinarnya ke sekeliling untuk pertanda. Barangkali kawan ngerondanya sudah dalam perjalanan pulang dari berkeliling, kembali ke cangkruk. Biar segera mempercepat langkah sebab tau bahwa dia juga hadir ngeronda malam ini, sendirian di cangkruk.

"Wek-wek..., wek-wek...!" suara itu tambah menguat. Tapi Andoko tetap tak menggubris, masih tetap pada asumsinya pada angin yang membuatnya seolah-olah mendekat.

Sebetulnya bisa saja dia menelepon kawan-kawan ngerondanya yang tentu saja juga sama-sama punya handphone, tapi tak dilakukan. Keempat kawannya itu punya kegemaran berburu binatang malam seperti kelelawar, bajing, luwak dan sebagainya. Sembari ngeronda keliling, biasa mereka sekalian berburu pakai senapan. Kalau lagi keliling, hpnya pasti disetting tanpa suara dan getar supaya binatang buruannya nggak kaget lalu kabur. Juga biar nggak terganggu konsentrasinya sewaktu membidikkan senapan.

Kegiatan berburu kawan-kawannya itu kerap jadi topik utama cangkrukan, seru-seru ceritanya. Apalagi kalau yang bicara si Sahid, ekspresi wajah dan gerak badannya selalu mengikuti ocehannya. Jadi teringat Andoko pada cerita Sahid yang agak serem, tentang bebek Kang Ujang yang ketinggalan di sawah. Entah gimana ceritanya, itu bebek cuma seekor bisa terpisah dari rombongannya dan tertinggal di sawah sampai larut malam sendirian. Sahid lah yang menemukannya sewaktu berburu. Kalau bukan karena ngelihat tanda merah di lehernya, sudah ditembaknya itu bebek. Itu tanda bebek milik Kang Ujang, warga desa sebelah. Akhirnya dia semaleman malah cuma ngejar-ngejar itu bebek, dibela-belain nangkep hidup-hidup buat dikembaliin ke pemiliknya. Inti ceritanya cuman itu, tapi kalau Sahid yang membawakannya bisa melebar ke mana-mana. Dari komedi, bisa nyampe ke drama bahkan horror.

Di Pengging sendiri yang punya persawahan luas ini malahan tak satupun warga yang miara bebek petelur gembalaan kayak Kang Ujang. Katanya sih pernah ada dulu satu-dua warga yang mencoba, tapi gagal dan kapok miara lagi. Kegagalan itu kemudian menjadi semacam cap bagi warga Pengging bahwa mereka tidak cocok kerja miara bebek petelur. Begitu penjelasan yang pernah didengar Andoko dari Pak Lurah sewaktu cangkrukan di balaidesa sambil njagain kotak suara Pilkada yang bakal kepakai esok harinya.

"Wek ! Wek !... kwek !", suara bebek kali ini terdengar sangat jelas, tapi cuma seekor. Sepertinya tepat di bawah cangkruk.

Segera Andoko membungkukkan badannya lalu melongokkan kepalanya ke bawah cangkruk. Benar, terlihat ada seekor bebek di situ, tanpa tanda merah di leher. Disorotnya lalu dengan lampu senter untuk lebih memastikan betul ada tidaknya tanda. Tidak ada tanda apapun, jelas bukan kepunyaan Kang Ujang. Kembali dia angkat kepala dan mengembalikan badan pada posisi semula. Lampu senter kembali dimainkan. Disapunya gelap malam dengan sorot lampu, ke kiri - ke kanan, dekat - jauh, berharap melihat rombongan bebek yang suaranya makin jelas. Betul saja, dari arah selatan tampak rombongan bebek berjalan beriringan seperti sekompi prajurit artileri, menyusul kawannya yang seekor tadi lebih dulu nyampe di bawah cangkruk.

Soal pergerakan bebek menuju cangkruk itu tak membuatnya terlalu penasaran, kerap dia lihat Kang Ujang duduk-duduk di atas cangkruk sedang bebek-bebeknya sebagiannya berteduh di bawah cangkruk sedang lainnya masih asyik mencari makan di sawah atau mandi di parit. Pertanyaan yang berulang muncul di kepala Andoko tetap pada siapa yang menggembalakan bebek di tengah malam seperti ini.

"Wek-wek-kwek... wekkwek !" riuh suara bebek itu kini betul-betul memecah kesunyian malam.

Layaknya bebek-bebek Kang Ujang yang kerap dia lihat, sesampai rombongan bebek di area cangkruk, sebagiannya lalu berteduh di bawah cangkruk dan sebagiannya lagi mandi di parit saluran irigasi tepi jalan.

"Woiiii ! Bebek e sopo iki (bebek siapa ini) ?!" teriak-tanya Andoko sebab si penggembala belum juga tampak olehnya.

Tak ada jawaban suara selain kwek-kwek suara bebek.

Senternya kembali dimainkan, sambil berdiri di atas cangkruk posisinya kali ini, berharap segera tampak si gembala bebek yang semestinya berjarak tak begitu jauh di belakang barisan bebek. Sorot lampu senter diarahkan sejauh mungkin ke arah selatan, digeser ke kiri - ke kanan. Nihil ! Tak satupun tampak sosok manusia, hanya tetumbuhan dan binatang malam. Sementara berisik suara bebek di sekitaran cangkruk yang makin berisik itu mendadak mengubah frekwensi penasarannya jadi makin meningkat bercampur emosi.

Kolong Cangkruk
Masih dalam posisi berdiri di atas cangkruk, diputarnya badan, dialihkan sorot lampu senter ke arah lain. Dihela nafasnya, mencoba menetralisir emosi. Akhirnya dia turun dari cangkruk dan mencoba menghalau bebek-bebek itu dengan lemparan batu-batu kerikil yang ada di sekitaran halaman cangkruk. Tapi bebek-bebek itu tak begitu bergeming, hanya bergeser sedikit-sedikit lalu kembali lagi. Maka diambillah lebih banyak batu kerikil hingga segenggaman tangan lalu melemparkannya dengan keras. Berhasil ! Bebek-bebek itu akhirnya beranjak dari tempatnya di bawah cangkruk, menyusul sebagian kawannya yang mandi di parit. Andoko pun kembali naik ke cangkruk, duduk bersila sambil tetap mengawasi serombongan bebek tersebut. Sebetulnya dia senang jadi nggak sendirian, ada temannya sekalipun bebek. Tapi bising suaranya terasa risih di telinga. Dan baunya itu menyengat di hidung. Andoko paling tidak senang bau bebek petelur.

Setidaknya emosi Andoko kini sudah mereda, meskipun riuh suara bebek itu sebetulnya masih terasa berisik. Tapi bau menyengatnya paling tidak sudah hilang dengan sedikit menjauhnya posisi bebek darinya. Nanti kalau pemiliknya sudah muncul, bakal dia minta untuk menggiringnya ke areal yang lebih jauh. Begitu pikirnya. Tak sedikitpun ada rasa curiga dalam benaknya atas kehadiran serombongan bebek di malam hari itu. Sampai akhirnya terdengar lagi suara bebek seekor tepat di bawah cangkruk seperti pada awal tadi, tanpa dia tau dari mana asalnya. Padahal sepanjang duduk bersila dia terus mengamati serombongan bebek pada mandi di parit saluran irigasi tepi jalan.

"Wek...! Kweek...!"

Bak dipanggil oleh komandan regu, tiba-tiba serombongan bebek di parit pada naik lagi dan berjalan cepat beriringan menuju cangkruk. Andoko panik, senternya terjatuh ! Sejurus lalu meloncatlah dia turun dari cangkruk, langsung jongkok mengambil senternya. Dinyalakan dan diarahkannya ke bawah cangkruk. Dan benar, bebek yang seekor persis di awal kejadian tadi sudah berdiri di situ. Rupanya dia adalah semacam komandan bagi bebek-bebek yang lain. Pikir Andoko. Maka dengan segera dia berjalan jongkok untuk menghalau si bebek biang kerok itu. Tapi rupanya cukup merepotkan, si bebek seolah tak begitu risau dengan upaya Andoko.

Dengan lincah si bebek menghindari tiap sapuan tangannya, lalu berjalan santai mengitar hingga badannya memutar 360°. Kelelahan berputar-putar dalam posisi jongkok di bawah cangkruk membuat emosinya makin memuncak. Sungguh sangat membuatnya jengkel. Sementara serombongan bebek yang dipanggil komandannya itu mulai memasuki halaman cangkruk. Andoko mundur dengan cepat, keluar dari kolong cangkruk dan segera mencari batu sekenanya. Sementara serombongan bebek tadi sudah genap berkumpul di kolong cangkruk, menyatu dengan si bebek komandannya tadi. Sampai tampak luber, tak lagi tertampung jumlahnya oleh kolong cangkruk.

Tangan Andoko yang menangkap sebilah ranting kayu kering, segera dihalaunya bebek-bebek itu sambil jari tangan kirinya menjepit hidung sendiri. Tak tahan dia dengan baunya. Disambitkan bilah ranting kayu itu ke arah bebek-bebek itu hingga berbunyi wush.. whuus..., bergesekan dengan udara. Bebek-bebek pun berjalan cepat menjauhi cangkruk dengan suara wek-wek yang hingar-bingar. Bak satu peleton prajurit yang mau tak mau harus menarik diri meninggalkan medan perang. Andoko yang sudah terlanjur memuncak emosinya pun tak cukup menggiring mereka hingga parit. Digiringnya barisan bebek yang seolah lari terbirit-birit itu sampai jarak setengah kilo dari parit. Ditungguinya sambil berkacak pinggang hingga barisan bebek itu tak kelihatan lagi tertelan gelap malam. Setelah riuh suara bebek sudah mulai terdengar lamat-lamat, barulah Andoko berbalik badan dan berjalan kembali ke cangkruk.

Sesampai di cangkruk tak langsung dia naik, dipijit-pijitnya pinggangnya yang mulai terasa pegal-pegal lagi seperti waktu sepulang kerja tadi. Bebek sialan ! Batinnya menyumpahi si bebek komandan yang membuatnya harus berjongkok di bawah cangkruk hingga berputar 360° sampai otot pinggangnya serasa terpilin. Digerak-gerakkanlah lalu tubuhnya seperti kalau senam pagi sampai dirasa uratnya mulai mengendor. Barulah dia naik ke atas cangkruk, duduk dan mengatur nafas, menetralisir emosinya yang tadi sempat memuncak.

Sedikit demi sedikit pikiran sadarnya mulai muncul dan akal sehatnya mulai bekerja. Dianalisanya lagi kejadian barusan hingga muncul rasa menyesal. Pikirnya, bisa jadi itu tadi bebek-bebek yang terlepas dari kandangnya sebab si pemilik lupa mengunci pintu. Dirogohnya saku celana mengambil hp, dihubunginya nomer kawan-kawan ngerondanya satu per satu. Namun sayang, bahkan nada sambungnyapun sama sekali tak berbunyi, malah bunyi mesin operator yang tertangkap. Tanda semua hp kawannya dimatikan semua. Kampret ! Umpatnya dalam hati menyumpahi kawan-kawannya. Dilihatnya kemudian angka jam di hp.

"Aneh, belum juga jam 12 malam. Padahal perasaan peristiwa tadi cukup lama...", gumam Andoko.

"Wkwkwk...!"
"Hihihi...!"
"Hihihi...!"
"Hehehe...!"

Suara tawa cekikikan lamat-lamat terdengar dari kejauhan, bisa dipastikan lebih dari satu orang. Dari arah selatan, cahaya lampu senter tampak berkelap-kelip disusul penampakan manusianya. Andoko lega, kawan-kawan nge-rondanya sudah pada pulang dari keliling kampung rupanya. Dua orang tampak menyandat senapan, sedangkan satunya menenteng binatang hasil buruan. Kontras dengannya yang barusan dibikin stress sama serombongan bebek, kawan-kawannya tampak ceria sekali sepanjang jalan becanda dan ketawa-tawi.

"Ndok ! Tumben kowe telat mou (tumben kamu telat tadi) ? Kelon dhisik po (mesra-mesraan sama istri dulu apa) ?!", seru Sahid.

Belum juga sampai di pekarangan cangkruk, sudah disapanya Andoko dengan tanya. Yang disapa tak menjawab, cuman tersenyum kecut.

******

Saling Pandang
"Ki Ndok delengen, yahmene wis oleh kalong 3 aku... (Lihat nih Ndok, jam segini aku udah dapet 3 kelelawar) !" tukas Lukman sambil mengangkat tinggi-tinggi hasil buruannya.

Lain Sahid - lain Lukman, lain pula si Hamid. Kalau Sahid tidak pernah menganggap prestasi berburu itu sebagai sesuatu yang penting. Tujuan berburu Sahid lebih pada sekedar mencari hiburan semata. Tapi bagi Lukman prestasi itu segalanya. Sangat ambisius orangnya. Sedang Hamid lebih seneng dengan kekompakan kerja tim, maka tak pernah dia berburu sendirian, minimal berdua. Paling seneng dia membuat rencana, mengatur orang berikut strateginya dalam berburu. Tidak harus dia yang memegang senapan, nggak kayak Lukman. Tapi langkah-langkahnya harus menurut rencana dia. Sebab itu pulalah Hamid disepakati penuh untuk jadi pimpinan regu jaga malam alias nge-ronda.

Berempat mereka kini cangkrukan bersama. Seharusnya berlima, tapi yang satunya karena sudah sepuh (tua) biasanya nyusul belakangan kalau udah lewat jam 1. Ya, Pak Malik orangnya, yang paling disegenin Lastri di kampung ini. Sebagai orang tua beliau paham banget perangai mereka berempat yang hobi cangkrukan. Bebas ngomongin apa aja dan becanda sembari melepas tawa keras-keras. Maklum juga sebab keempatnya para pekerja keras penuh waktu di kota. Jadi kalau sudah di kampung bawaannya nge-lepasin penat usai kerja seharian. Apalagi kalau week end ! Sedang Pak Malik hanyalah seorang guru Madrasah yang tak begitu sibuk. Selepas mengajar berlanjut ke sawah, lalu malemnya mengajar ngaji anak-anak kecil di Musholla. Di antara mereka berempat yang lagi pada cangkrukan, Lukman lah yang mantan muridnya.

Andoko tak lantas bercerita tentang peristiwa yang dialaminya tadi, dibiarkannya ketiga kawan-kawan ngobrolin kegiatan berkeliling sambil berburunya tadi. Begitulah Andoko, tak terlalu bisa memonopoli pembicaraan. Bukan sebab dia pendatang baru di kampung ini, memang seperti itu karakternya. Lagipula, kopi hangat dan gorengan serta kue-kue kering kini terhidang di tengah-tengah posisi duduk melingkar mereka di atas cangkruk. Lebih baik menikmatinya dulu sebagai obat kekecewaan atas ditinggalinnya dia sendirian di cangkruk tadi. Sembari mendengar ocehan kawan-kawannya yang sangat menghibur. Oleh lawakan Sahid, sampai dibikin tersedak dia. Memancing gelak tawa yang membahana di kesunyian tengah malam.

"Terus kalian tadi papasan nggak sama orang yang ngerasa kehilangan bebek ?" tanya Andoko akhirnya. Setelah dia rasa menemukan celah pembicaraan yang tepat buat melontar tanya.

Lukman dan Hamid menggeleng bersamaan dan saling pandang.

"Ora e Ndok, kowe weruh ono bebek ucul po (Nggak tuh Ndok, emang kamu ngeliat ada bebek lewat apa) ?" jawab Sahid berlanjut balik bertanya.

"Iyo mou akeh banget nang kene (iya tadi banyak banget di sini). Yang jelas bukan punya Kang Ujang, ndak ada tandanya sama sekali."

Denger penjelasan itu, Hamid dan Lukman sekali lagi saling memandang. Sedangkan Sahid menatap tajam ke wajah Lukman.

"Terus saiki ning ndi (terus sekarang pada ke mana) Ndok ?" tanya Hamid kemudian.

"Kesana !" jawab Andoko sambil menunjuk ke arah utara.

Mendadak kepala Andoko pening bukan main, ditambah rasa pegal dipinggang sebab uratnya terpelintir tadi kumat. Lukman yang duduk paling deket dengannya segera tanggap, disuruhnya Andoko tidur tengkurep biar dia lebih enak mijitnya. Hamid dan Sahid sigap menarik mundur dan menggeser posisi duduknya, memberi tempat untuk tubuh Andoko bisa terbaring sempurna. Teko kopi berikut gelas dan makanan terhidang mereka geser menepi biar lebih longgar dan leluasa buat Lukman memijit.

Jari-jemari Lukman mulai merambat memijit tubuh Andoko, dari punggung ke kepala. Pijitan lukman memang mantap terasa bagi Andoko, sakit kepalanya berangsur-angsur mereda. Berganti rasa kantuk. Baru sekali itu dia dipijit Lukman, nggak nyangka dia kalau pijitannya ternyata enak banget. Seolah nggak mau menyia-nyiakan bakat Lukman, dia tunjuk pinggangnya dengan menepuk 2 kali pakai telapak tangan biar ikut dipijit. Sebenernya dia mau ngomong bahwa pinggangnya tadi terpelintir gara-gara mengusir si bebek komandan di bawah cangkruk tadi, tapi mulut Andoko seolah terkunci. Dia hanya berharap Lukman paham pada kode tepukan tangan di pinggang itu. Dan berhasil ! Akhirnya sampailah rambatan jemari Lukman di pinggangnya itu, serasa mak cesh ! seperti ditempeli es batu yang dingin. Kantuk Andoko mendadak jadi makin berat. Kesadarannya berangsur cepat menghilang, berganti dengan tidur pulas.

Selang beberapa waktu, bau bebek yang begitu menyengat menusuk hidung, memaksanya untuk terbangun dari tidur pulasnya dalam posisi masih tengkurep. Suara bebek bersahutanpun kembali riuh terdengar, makin pulih kesadaranya makin terdengar kencang suaranya.

"Kwek... kwek... wek... kwek...!"

Andoko segera membalik badan lalu duduk dengan kaki membujur, memulihkan kesadaran sepenuhnya. Ah, sial ! Lukman, Hamid dan Sahid sudah menghilang lagi. Mungkin berlanjut keliling kampung yang sisi utara. Bisa jadi mereka sungkan membangunkannya dari tidur. Kembali lagi dia ditinggalkan kawan-kawannya sendirian di cangkruk. Tangan kanannya segera menyahut senter yang tergeletak di lantai dipan cangkruk yang terbikin dari papan kayu, sedang tangan kirinya menutup hidung.

*******

Searah Jarum Jam
Andoko menghela nafas panjang, mengumpat dalam hati tentang nasibnya malam ini yang terganggu oleh bebek berkali-kali. Disesalinya kenapa tadi tak segera dia ceritakan pengalamannya pada kawan-kawan nge-ronda. Malah keenakan dipijit Lukman sampai ketiduran. Darahnya kembali naik sebab bau tak sedap dan suara bising bebek-bebek di bawah cangkruk. Tapi mau marah sama siapa ? Dia sadar kalau bebek itu binatang yang tak punya akal, perilakunya cuma ngikutin naluri belaka. Jelas tak mungkin paham dengan yang namanya tata krama. Andaikan tadi dia segera cerita pada kawan-kawannya, mungkin sekarang sudah ditemukan siapa pemiliknya untuk kemudian digiring kembali ke kandang. Tak lagi mengganggunya seperti sekarang ini.

Dengan lunglai dia geser posisinya hingga ke tepian lantai dipan cangkruk, lalu perlahan turun. Lihatlah ! Sendalnyapun sampai tak terlihat gegara tertutupi oleh barisan bebek-bebek yang memenuhi sekitaran halaman bawah cangkruk. Begitu kakinya menyentuh tanah, barisan bebek hanya terkuak sedikit. Unggas piaraan macam itu mana takut sama kehadiran manusia ? Beda dengan binatang liar yang sering dijadikan buruan kawan-kawannya.

"Hush ! Hush !" halau Andoko pada bebek-bebek dengan mulutnya.

Yang dihalau cuman bergeser sedikit ke kiri dan ke kanan, memberi ruang buat Andoko melangkah sedikit saja sampai dia betul-betul keluar dari barisan bebek. Karena itulah penggembala bebek biasanya membawa galah bambu panjang yang ujungnya diberi rumbai-rumbai dari plastik atau kain untuk menghalau bebek-bebeknya. Maka berusahalah dia mencari-cari barangkali nemu ranting pohon kering yang cukup panjang di seputaran halaman cangkruk.

Karna ranting kering tak kunjung ditemukan, tanpa pikir panjang dipakailah batu sebagai alat penghalau bebek. Ditambah suara mulut tentunya.

"Husssh ! Suohhh !" serunya sambil melemparkan kumpulan batu kerikil yang digenggamnya ke arah kerumunan bebek itu. Masih dalam posisi jongkok dan tangan kirinya menutupi hidung.

"Kwek kwek kweeek... wek kwek... kwek !"

Bebek yang berkerumun mulai beranjak, tapi bukannya pergi. Melainkan bergerak mengelilingi cangkruk searah jarum jam. Tambah riuh suaranya. Aneh ? Batin Andoko. Mungkin karena gelap jadi matanya rabun, gak ngelihat jalan keluar. Maka diulanginya lagi lemparan segenggam kerikil, lebih kuat kali ini hingga sebagiannya mengenai tubuh beberapa bebek.

"Hush ! Hush ! Hush ! Pergi ! Pergi !" teriaknya lebih kenceng.

"Wek... kwekk wek ! Kwek kwek kwek !"

Bebek-bebek seolah tak menggubris, masih berbaris dan berlari-lari mengelilingi cangkruk. Bau khas tubuh mereka makin menyengat di hidung Andoko, membuatnya betul-betul kalap naik pitam. Tangannya berkali kali meraup kerikil di tanah lalu melempari bebek-bebek dengan kuat. Barisan bebek mulai sedikit tak rapi, beberapa bebek yang terkena tepat di kepalanya mulai meleng jalannya dan keluar barisan tak menentu. Tapi arah jalannya masih selaras dengan kawan-kawannya.

"Husss ! husss ! hussh !"

Upayanya tampak mulai membuahkan hasil, Andoko jadi makin semangat melempari bebek-bebek. Duduk jongkoknya makin merangsek maju ke arah bebek. Tangannya yang menggapai-gapaibatu mulai ngawur, sekenanya. Ndak cuma kerikil pokoknya, pecahan genting, pecahan bata, gumpalan tanah, pokok sekenyanya.

"Kwaaaak !" jerit seekor bebek yang terkena lemparan Andoko.

Akhirnya upayanya menghalau bebek menampakkan hasil. Satu-dua ekor bebek mulai keluar dari barisan menuju jalan keluar pekarangan cangkruk. Semacam jembatan kecil sederhana yang menyeberangi parit, penghubung pekarangan cangkruk dan jalan raya utama kampung. Tiga, empat, lima bebek mulai mengikuti kawannya yang lebih dulu keluar barisan menuju jalan keluar. Diikuti bebek-bebek lain dalam bentuk barisan yang kompak berjajar berurutan.

"Kwek wek wek....! Kwek...kwek !"

"Kwaaak !"

"Kwaaak !"

"Kwek wek....!"

"Kwaaaak !"

Demikian riuh suara bebek bersahutan, berseling teriakan keras dari antara mereka yang terkena lemparan batu. Andoko yang sudah terlanjur kalap betul-betul kehilangan akal sehatnya. Masih kurang puas dengan pergerakan sepasukan bebek yang sudah mulai berjalan meninggalkan pekarangan. Tangannya meraih pecahan batu bata yang agak besar. Dilemparkannya ke arah barisan bebek. Lemparan batunya nggak pelan dan ngawur lagi, tapi kenceng dan pakai ngincer sasaran. Alhasil, seekor bebek kena tepat di bagian kepalanya. Bebek yang berada di barisan paling belakang.

"Kwaaaak !"
"Aduh emaaak ! Endasku pecah (kepalaku serasa mau pecah) !"
"Kwek week wek ! Kwek kwek....!"

Di balik teriak suara bebek, hampir bersamaan, di antara riuh suara bebek, terdengar pula lamat-lamat teriak suara orang. Andoko sedikit terkejut, nggak percaya pada apa yang dia dengar. Bangkit berdiri dia, lampu senternya kembali diarahkan ke kiri dan ke kanan. Menduga mungkin kawan-kawannya sudah kembali dan menggodanya dengan suara teriakan itu. Tapi sorangpun tak ditemukan sejauh pandangan mata mengikuti sorot sinar senternya. Dihela nafasnya panjang-panjang setelah tangan kirinya dilepas dari menutupi hidung. Sembari menetralisir diri dari kemarahan yang sedari tadi memuncak. Dipasangnya telinga baik-baik, barangkali ada suara manusia terdengar lagi seiring berkurangnya volume suara bebek yang makin menjauh.

De Javu
Rasa penasaran akhirnya membimbing Andoko untuk maju melangkah ke depan cangkruk, terus sampai ke tepian jalan. Sorot senternya digerakkan lagi ke kiri dan ke kanan menyapu sekeliling. Sekilas yang dilihatnya hanyalah rombongan bebek-bebek tadi yang makin menjauh. Menyusur jalan raya beriringan ke arah utara, sama persis kayak peristiwa di awal. Seperti de javu, serasa mengalami kejadian yang sudah pernah terjadi. Tak puas dengan hasil pengamatannya, Andoko lanjutkan dengan mengitari seputar cangkruk dengan teliti. Masih tetap tak ditemukan seorang manusia pun.

Suara alam kembali seperti sedia kala, hening. Hanya suara dedaunan tertiup angin, sahut-sahutan suara jangkrik mengerik dan suara katak yang sesekali menyela. Hawa dingin makin terasa seiring larutnya malam yang tengah-tengahnya sudah terlewati. Mungkin sebentar lagi sudah subuh. Begitu pikir Andoko. Diambilnya sarung di atas cangkruk buat dikalungkan ke tubuhnya bagian atas. Sekalian menyeruput segelas kopi yang baru diseruputnya sedikit tadi sebelum dipijit Lukman. Dia bener-bener butuh pasokan kafein untuk mengendorkan syaraf kepalanya. Dari tadi rasa penasaran atas suara orang mengaduh tadi terus menerus memenuhi pikirannya.

"Kampret ! Segala kopi dan makanan dibawa lagi berkeliling...", umpatnya pelan. Maksudnya pada ketiga kawannya yang dari tadi sudah menghilang. Sahid. Lukman dan Hamid.

Hanya sarungnya yang tergeletak di atas dipan lantai cangkruk, sedang teko kopi sekalian gelas, gorengan dan kue kering rupanya telah lenyap. Pikir Andoko pasti dibawa kawan-kawannya sebagai bekal melanjutkan keliling jaga. Akhirnya ya cuman sarung yang dia ambil, lalu dikalungkan ke badannya. Hawa dingin lumayan teratasi, tapi syaraf tegangnya tak jadi kendor. Malah bertambah kenceng. Aneh, nggak biasanya kawan-kawannya berlaku seperti itu. Membawa lagi semua makanan dan minuman yang sudah terhidang di cangkruk. Bahkan biasa ditinggal begitu saja kalau sudah waktunya nge-ronda selesai dan pulang ke rumah masing-masing. Biasa Pak Malik yang mengalah memberesi semua gelas dan piring serta sisa makanan kalau masih ada.

"Pemberani juga si Andoko kuwi (itu) yo Kang...", celetukku.

"Wooo..., kalau bukan Andoko paling udah ngacir dari sejak suara orang mengaduh tadi terdengar"

"Emang di kisah-kisah yang lain begitu yo Kang ?"

"Iya. Bahkan ada yang baru ngelihat serombongan bebek muncul malem-malem aja udah pingsan di tempat".

"Lha kan bebek-bebeknya itu biasa aja bentuknya Kang ?"

"Iya, tapi hawanya udah lain kalau bebek siluman itu muncul. Bulu kuduk paling tidak sudah merinding. Makane (makanya) aku iki (ini) yo salut karo si Andoko. Kekuatan pikiran positifnya itu lho, luar biasa !"

"Ya karena dia itu lahir di kota mungkin Kang, jadi ndak ngira kalau ada sejumlah besar bebek malem-malem itu bukanlah hal yang lumrah".

"Iyo menowo (mungkin) bro..."

Belum juga sempat pikirannya menjawab rasa penasaran dengan kemungkinan-kemungkinan, tiba-tiba Andoko de javu lagi. Suara seekor bebek terdengar jelas dari arah kolong cangkruk. Persis seperti yang pernah dia dengar sebelumnya, bikin dia panik bukan main.

"Wek !.......Wek !.....Wek !....."

Suara bebek yang hanya seekor itu di peristiwa sebelumnya bak seorang komandan prajurit yang memberi aba-aba kepada pasukannya. Lalu selang tak berapa lama, sekawanan bebek pun muncul berjalan beriringan menuju arah cangkruk. Andoko tak mau kejadian itu sampai berulang terjadi lagi sebab pasti bakal merepotkannya. Dengan sigap di meloncat turun dari atas cangkruk. Lanjut berjongkok, memutar badan menghadap kolong cangruk dengan sorot senternya.

Begitu hendak merangsek maju, bermaksud menangkap si bebek komandan itu, sarungnya serasa menyangkut sesuatu. Gerakannya terhenti tiba-tiba, terhambat oleh kain sarungnya sendiri. Bak seorang pengemudi mobil yang mengerem secara mendadak dan badannya yang spontan berayun ke depan tertahan oleh safety belt. Memaksa Andoko untuk menoleh ke belakang. Dan... terkejutlah dia bukan kepalang hingga terjengkang ! Di depannya berdiri sesosok perempuan berambut panjang terurai, berwajah garang. Matanya melotot, raut muka dan telinganya memerah tanda marah yang teramat marah.

*******

Sulit Dijelaskan
"Kowe wong anyaran ning kene (kamu orang baru di sini), wani-wanine ngelarani (sudah berani-beraninya menyakiti) bebekku !!!" kata sosok perempuan itu dengan nada kasar.

Glek ! Andoko menelan ludah, tenggorokannya mendadak serasa kering. Mulutnya terkatup rapat, lidahnya kelu, tak mampu berucap sepatah katapun. Bulu kuduknya berdiri, tubuhnya merinding sampai bergetar. Kepalanya serasa membesar, jantungnya berdegup kencang, adrenalinnya meningkat drastis. Keringat dingin serasa meleleh di keningnya.

"Sosok di hadapan Andoko itu bukanlah perempuan biasa, tubuhnya tinggi besar di atas rata-rata tubuh lelaki. Tangannya memegang bilah panjang seperti yang biasa dipakai para penggembala bebek, teracung ke wajahnya. Pakaiannya nggak seperti yang biasa dipakai emak-emak jaman now, juga bukan kebaya nenek-nenek jaman dulu, sulit dijelaskan. Hanya warnanya putih kusam dengan bercak hitam gosong dan tepian kain yang seperti bekas terbakar. Di belakang sosok perempuan itu, berjajar barisan bebek yang luar biasa banyaknya. Begitu dekat, tapi baunya tidak menyengat sebagaimana bau yang mutlak dibencinya, melainkan harum semerbak bunga melati. Begitu dekat, tapi tak sedikitpun terdengar suaranya, padahal mulutnya mengo-mingkem (bergerak membuka-menutup berulangkali secara kontinyu)", jelas Kang Mamat detail sekali.

"Sosok itu yang dikenal sebagai Nyai Salmah ?" potong tanyaku.

"Iyo, penggembala bebek siluman yang dihormati warga kampung sini".

"Dihormati Kang ? Kok iso (kok bisa begitu) ?"

"Wis tah menengo dhisik (sudahlah diam aja dulu) !" hardik Kang Mamat.

"Wkwkwk...! Oke kang, oke...! Lanjuuut !" kataku geli.

Begitulah Kang Mamat, jangan sekali-kali memotong penjelasannya yang detail. Pasti sewot dia ! Bisa-bisa ngambek dan tak mau melanjutkan cerita. Sedikit menyesal juga aku, lupa pada tabi'atnya padahal sudah bertahun-tahun akrab laiknya saudara kandung. Padahal wajar saja pertanyaanku, bagaimana bisa hantu yang menakutkan dan galak itu dihormati? Bukankah seharusnya diusir ?

Tak ayal seketika Andoko teringat kejadian sebelumnya. Dia memang melempari bebek-bebek yang berkali-kali mengitari cangkruk pos ronda hingga suara gaduhnya memecah kesunyian malam itu dengan pecahan batu bata. Awalnya pelan aja dia melempar, hanya bertujuan untuk sekedar menghalau. Tapi karena nggak pergi-pergi juga itu bebek-bebek, emosilah Andoko. Lemparan batunya nggak pelan dan ngawur lagi, tapi kenceng dan pakai ngincer sasaran. Alhasil, seekor bebek kena tepat di bagian kepalanya. Dugaan Andoko benar, bebek-bebek tadi bukanlah bebek sungguhan, tapi jadi-jadian. Bebek siluman ! Ada yang menggembalakan, seorang perempuan. Ya, perempuan yang wajahnya sebagian seperti bekas terbaka, rautnya memerah karena marah serta matanya melotot tajam ke arahnya.

Andoko segera teringat pesan kakeknya, selain binatang dan tumbuhan, ada mahkluk lain yang juga hidup bersama manusia. Tak kasat mata, kecuali pada orang-orang tertentu atau di waktu-waktu tertentu. Ada sekat batas alam yang rumit, yang memisahkan manusia dengannya. Jika kita tak mengganggu mereka, maka merekapun tak akan mengganggu kita. Sewajarnya masing-masing mahkluk itu saling menghormati dan mentaati hukum alam yang berlaku. Maka dibenahilah sikap Andoko kemudian, mengambil posisi duduk bersimpuh dan sedapat-dapatnya berbicara kepada sosok di depannya.

"A....a...a...ampun Mbah (sebutan untuk kakek atau nenek dalam bahasa jawa) ! K..k..ku...kulo mboten mangertosi me...menawi n..n..niku bebebeb...bek panjenengan... (saya tidak tahu jika itu bebek kepunyaanmu)", katanya terbata-bata.

"Hiiihhh !"

Shiuuut ! Pakkk !!!

Tanpa terduga, bilah kayu panjang yang dipegang sosok perempuan itu diayunkan ke arah kepala Andoko. Refleks tangan kanannya diangkat, ditangkisnya pukulan itu dengan lengannya. Mengingatkan pada tindakan ibunya yang serta-merta menghajat pakai sebatang lidi di kala masih bocah, jika dia bandel tak bisa dinasehati. Rasanya pun sama, hanya sedikit saja sakitnya. Sungguh aneh ! Padahal bilah kayu panjang itu jauh lebih besar ketimbang sebatang lidi. Sedang ayunan tangan sosok perempuan itu kencang sekali laiknya seorang samurai menebaskan pedangnya di film-film.

"Kali ini kuampuni, ojo kok baleni maneh (jangan kamu ulangi lagi) !!!" jawab sosok perempuan itu masih dengan nada kasar.

Mendadak rasa sakit di lengannya yang tak seberapa itu berganti dengan kesemutan, seperti tersengat aliran listrik arus kecil. Terus menjalar ke punggung berlanjut ke kepala dan menyebar ke seluruh tubuh. Lalu lemas sekujur badannya dan tersungkurlah tubuh Andoko. Hilang total kesadarannya, pingsan.

*******

Terbujur Lunglai
"Ndok...ndok...ndok...!" kata Pak Malik sambil mengguncang-guncang badan badan Andoko yang tergeletak di atas tanah pekarangan cangkruk. Tengkurep posisinya.

"Ndok...ndok...!" katanya lagi dengan lebih keras, demikian guncangannya pun lebih kuat.

Andoko terbangun, matanya dibuka. Lamat-lamat suara Pak Malik berikut guncangan di badan berhasil membuatnya tersadar. Kepalanya segera diangkat sedikit, lalu menyapukan pandangan ke sekeliling. Dilihatnya Pak Malik berjongkok di samping sebelah kirinya, sedang di depan tampak ketiga kawan merondanya. Lukman, Sahid dan Hamid ketiganya dalam posisi jongkok pula tapi agak jauh. Dicobanya membalikkan badan dan duduk, tapi apa daya ? Lemes sekali rasanya. Tak kuasa dia bahkan hanya buat ngebalikkan badan aja.

Pak Malik segera membantunya, berikut ketiga kawannya dengan sigap mendekat dan segera ikut andil. Setelah berhasil terduduk, segelas air putih yang tampaknya telah dipersiapkan sejak tadi segera diulurkan Pak Malik ke mulut Andoko.

"Ombenen dhisik (minumlah dulu) !" katanya.

Tanpa pikir panjang disambutlah segera segelas air putih itu, diminum sampai habis. Tenggorokan Andoko memang terasa kering banget kayak pelari marathon yang memasuki garis finish. Sejurus, rasa segar segera menjalar ke seluruh badan. Pandangan mata yang tadi sedikit kabur mulai menjelas. Syaraf indera perasanya pun mulai pulih. Celana dan kaos yang basah oleh embun rerumputan mulai terasa olehnya.

"Bro...bro...! Aku iki (ini) Sahid !"

"Aku Lukman !"

"Aku Hamid !"

" Iyo...iyo... aku wis weruh (iya...iya...aku sudah tau)...", jawab Andoko lirih sambil mengangguk-angguk.

"Aaa...hhh ! Syukurlah !" kata ketiga kawannya spontan bersamaan.

"Alhamdulillah...", kata Pak Malik tak mau ketinggalan mengucap syukur.

Pak Malik segera memberi kode pada ketiga pemuda itu agar mengangkat dan memindahkan tubuh Andoko ke atas cangkruk. Hamid yang badannya paling kekar segera membopong tubuh Andoko dan membawanya mendekat ke cangkruk. Sementara Lukman dan Sahid dengan sigap mendahuluinya naik ke atas cangkruk bakal menangkap uluran tubuh Andoko. Sedang Pak Malik menyusul paling belakang.

Dalam posisi duduk bersandar dinding cangkruk yang tingginya cuman selutut itu Andoko meneguk lagi segelas air putih yang di sodorkan Pak Malik padanya. Rona wajahnya tampak segera memulih dari yang sebelumnya sedikit pucat. Bibirnya juga berangsur memerah lagi. Tapi kakinya masih terasa lemas, terbujur lunglai di lantai cangkruk. Di pandang ketiga kawannya bergantian satu per satu dari atas ke bawah. Duduk bersila ketiganya mengelilinginya. Yang dipandang senyum-senyum menunjukkan kelegaan mereka atas kondisinya yang sudah mulai pulih. Andoko yang kemudian melongo, ekspresinya menunjukkan keheranan.

"Ngendi bedhilmu (mana senapan kamu) bro ?" tanya Andoko tiba-tiba, membuat tampang ketiga kawannya ikut-ikutan jadi melongo.

"Maksudmu piye (apa maksudmu bertanya seperti itu) Ndok ?" tukas Sahid.

"Wis wis... (sudah sudah...) Mengko wae critone (ntar aja kalau mau cerita) Ndok ! Yang penting kondisimu pulih total dulu. Aku paham... aku paham...", ujar Pak Malik menenangkannya.

Ganti pandangan Andoko mengarah ke Pak Malik, menatap wajahnya dengan tajam masih dengan tampang melongo. Boleh dikata makin melongo, bukan keheranan lagi, tapi penasaran.

"Nje...njenengan (Anda)...", ucapnya.

"Wis tha wis (sudahlah)..., percoyo ro aku (percayalah padaku). Nanti kalau kamu sudah merasa kuat, kita bareng-bareng ke masjid. Itu lho, denger ! Sudah bunyi puji-pujian, bentar lagi subuh. Silahkan cerita sepuasmu nanti di sana", jelas Pak Malik memotong ucapan Andoko.

"Iyo Ndok, atur dulu nafasmu. Nanti kita bareng-bareng ke masjid", kata Lukman menimpali penjelasan mantan guru madrasahnya sambil memijit-mijit telapak kaki Andoko.

"Hid Sahid, motormu cedakke mrene le (dekatkan motormu ke sini nak) !"

"Njih (iya), mbah..."

Sahid segera bangkit berdiri, melangkah turun dari cangkruk lalu mengambil motornya untuk didekatkan ke cangkruk. Bakal persiapan buat mboncengin Andoko pulang, tapi mampir ke masjid dulu. Sebelumnya memang dia sempat pulang ke rumah, berlari secepatnya buat ngambil motor. Sewaktu Andoko belum sadar dan masih ditungguin Pak Malik seorang diri. Begitu dia, Lukman dan Hamid nyampai ke pekarangan cangkruk usai berkeliling jaga kampung, Pak Malik langsung menyuruhnya pulang ngambil motor. Pasalnya rumah Sahid memang yang paling dekat dari cangkruk dibanding rumah yang lain.

Begitu seruan adzan terdengar, segera dibopoh Andoko sama Hamid dan Lukman, melangkah menuruni cangkruk dan mendudukkannya ke boncengan motor Sahid. Pak Malik menyusul duduk di belakang Andoko, jaga-jaga jangan sampai dia terjatuh selama perjalanan.

"Wis ayo budal (yuk berangkat) !" suruh Pak Malik pada Sahid yang duduk paling depan memegang kendali motor.

Meluncurlah lalu motor berpenumpang Sahid, Andoko dan Pak Malik dengan Andoko dijepit di tengah-tengah. Melintasi jembatan sederhana depan cangkruk lalu belok ke kanan menyusuri jalan utama desa menuju masjid. Lukman dan Hamid menyusul kemudian dengan berjalan kaki setelah membereskan barang-barang yang ada di cangkruk. Termasuk sarung dan senter milik Andoko.

***

Kembalinya Kesadaran

"Nggak usah...nggak usah, Hid !" tepis Andoko sewaktu Sahid memegang pundaknya. Bermaksud memapahnya sampai ke dalam rumah, sampai ketemu Lastri.

"Wis yakin tenan (udah yakin betul) ?" tanya Sahid.

"Iyo. Wis linggih o wae kene (sudah duduk aja sini) !" jawab Andoko tegas sambil menarik sedikit punggung kursi di teras rumahnya buat diduduki Sahid.

Sahid nurut, segera ambil tempat yang sudah dipersiapkan, duduk manis menunggu kopi panas Lastri disuguhkan. Nggak pernah tidak dia dibikinkan kopi sama Lastri tiap berkunjung ke rumah warisan bapaknya itu. Apalagi dia sudah berjasa menemani dan mengantarkan suaminya pulang dengan selamat.

Tadi usai sholat subuh berjama'ah, Pak Malik memang meminta beberapa orang agar pulang lebih dulu dan mampir ke rumah Lastri buat ngasih tahu musibah baik yang menimpa suaminya. Sahid melihatnya, tapi Lukman dan Hamid tidak. Apalagi Andoko, tergeletak lunglai di atas karpet masjid. Makanya sekarang dia yakin betul bakal dibikinin kopi panas dan dikorek keterangan sama Lastri.

"Sek...sek...(sebentar) Kang, kok bisa musibah baik itu gimana maksudnya ?" sela tanyaku lagi.

"Hehehe..., wis tak bedhek kowe mesthi bakal takon(sudah kuduga kamu pasti bakalan nanya)", kata Kang Mamat tak segera menjawab pertanyaanku.

"Kamu itu cowok tapi crigis (ceriwis-kepo) kayak emak-emak. Kudu tak plester wae lambemu (pengin tak plester aja bibirmu) !"

"Hidup itu penuh misteri bro... Sebuah pengalaman buruk itu bisa jadi berakibat baik di kemudian hari. Demikian sebaliknya, pengalaman baik itu kadang berimbas buruk di kemudian hari".

"Contohnya pengusaha kaya yang hidupnya mewah dan sarat perilaku maksiat, setelah mengalami kecelakaan hingga harus dirawat bertahun-tahun sampai jatuh miskin, justru berubah jadi orang baik yang taat agama. Sebaliknya orang miskin yang tadinya baik, setelah nasibnya berubah jadi kaya raya, lupa pada ajaran agama. Hidupnya penuh kemaksiatan".

"Wis paham durung ?"

Aku menggeleng, mulutku melongo tanda tak paham.

"Konon sejarahnya desa ini awalnya didirikan oleh segerombolan maling dan rampok yang tersesat. Mereka melarikan diri sebab dikejar-kejar prajurit kerajaan hingga sampai di tengah hutan. Tepatnya ya di desa ini, sewaktu masih berupa hutan belantara. Sampai di titik lokasi perempatan jalan desa sebelah sana itu, mereka seperti terkurung tak bisa kemana-mana. Ke arah manapun mereka berjalan, selalu kembali ke titik semula. Begitu terus sampai kelelahan."

"Akhirnya diputuskanlah untuk bermukim barang semalam di tengah hutan dan melanjutkan lagi perjalanan esok hari. Dalam tidurnya, si ketua perampok, orang yang paling jago berkelahi di antara mereka, bermimpi melihat ular raksasa yang sedang bertapa. Melingkar dari ujung batas desa sebelah utara sana posisi kepalanya, sampai di jalur pendakian yang sering kamu lewati situ posisi ekornya."

"Rupanya hari itu adalah hari terakhir si ular mengakhiri pertapaannya. Maka kemudian dia perlu santapan untuk memulihkan kondisinya. Kebetulan serombongan manusia yang tak lain adalah para perampok itu masuk dalam lingkaran area pertapaannya. Maka diperangkaplah mereka dengan tubuh ular raksasa itu. Dengan menggeser sedikit ekornya hingga bertemu kepalanya, tembok perangkap pun terbentuklah sudah".

"Begitu terbangun dari tidur, si pimpinan perampok menceritakan mimpi tersebut pada anak buahnya. Lalu menyuruh semua orang betapa saat itu juga, termasuk dirinya. Sampai ada di antara mereka mendapat petunjuk untuk menyingkirkan ular ghaib seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Alhasil setelah hampir satu bulan, turunlah petunjuk kepada tiga orang yang sungguh-sungguh dalam bertapa."

Agaknya cerita Kang Mamat mulai ngelantur, tapi kubiarkan saja. Aku takut menyelanya lagi. Kuangkat saja badanku dari rebahan, menyeruput kopi lalu menggeser dudukku lebih mendekat. Setidaknya itu bahasa kodeku untuk mengingatkan Kang Mamat kalau-kalau dia melenceng terlalu jauh dari topik kisah Nyai Salmah.

"Ketiganya mendapat petunjuk bahwa ular yang dimaksud dalam mimpi si pemimpin hanyalah khiasan belaka, yang benar memang ada seorang pertapa di dekat mereka yang harus ditolong untuk dibangunkan sebab terlalu lama bertapanya. Ngelantur sampai tertutup dan terjepit akar pohon besar tak jauh dari tempat para perampok bermukim sementara."

"Akhirnya semua perampok bergotong royong membebaskan pertapa itu dari jepitan akar pohon. Terkejut mereka menemukan seorang lelaki tua dalam posisi duduk bersila. Rambut, alis, kumis dan jenggotnya telah memutih, panjang tak terurus. Segera si pimpinan memerintahkan anak buahnya agar sebagian membuat tandu, dan sebagiannya lagi mengumpulkan air embun dedaunan. Sedang tiga orang anggota yang mendapat petunjuk dalam semedinya disuruh mendekat dan membangunkan si pertapa tua dengan mantera apa saja yang mereka punya."

"Demi merawat sang pertapa tua itu, dibuatlah akhirnya rumah pemukiman sederhana. Beberapa pohon ditebang dijadikan sebagai bahan bangunan sedang tanah lapangnya dimanfaatkan sebagai lahan bercocok tanam. Selama si pertapa tua itu belum bisa memberi petunjuk, mereka akan tetap terkurung di tengah hutan tersebut. Pergi melangkah ke arah manapun, terasa sejauh apapun, hanya akan membawa mereka ke titik semula."

"Setelah hampir tiga bulan pertapa itu pulih kondisinya, bisa bicara dan beraktivitas seperti biasa. Dan tanpa terasa, di tengah-tengah hutan itu sudah terbentuk semacam kompleks pemukiman dengan beberapa rumah lengkap dengan lahan perkebunannya. Semua anggota perampok termasuk si pemimpin akhirnya menjadi murid sang pertapa demi bisa keluar dari hutan misterius itu. Tapi semakin lama berguru yang tumbuh justru kembalinya kesadaran akan kebaikan yang menumbuhkan rasa penyesalan atas perbuatan-perbuatan mereka di masa lalu."

"Bertobatlah mereka semua dan pintu keluarpun terbuka lebar. Pada akhirnya mereka malah tak mau pulang, meski sang pertapa mempersilahkan. Kompleks pemukiman sederhana iti segera berubah menjadi padepokan. Si pimpinan..., eh..., si mantan pimpinan rampok mengambil inisiatif untuk mendirikan desa saja sekalian. Dia mencari perempuan dari desa-desa terdekat untuk diperistri dan dibawa ke padepokan, diikuti oleh anak..., eh..., mantan anak buahnya."

"Harta hasil merampok yang mereka kumpulkan dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Harta yang pemiliknya dulu mereka bunuh, dibagikan kepada fakir-fakir miskin."

"Nah, kau dari tadi mau nanya khan ? Apa hubungan panjang lebar ceritaku tentang sejarah desa ini dengan Nyai Salmah ? Aku jelaskan, Nyai Salmah adalah cucu dari si mantan pimpinan rampok yang kuceritakan tadi, danyang (tokoh pendiri) desa Pengging yang kami kenal sebagai Ki Banur Seto. Makamnya secara rutin kami ziarahi bersama setiap tahun dalam acara sedekah bhumi (hari ulang tahun desa)."

"Oalah..., ngono tha jebule (ternyata begitu). Tapi..., durung njawab pitakonku e (belum menjawab pertanyaanku) Kang..."

Kang Mamat garuk-garuk kepala, memandangku sebentar lalu melempar pandang ke luar jendela rumahnya. Aku paham, dia sedang mengingat-ingat apa pertanyaanku sebelumnya. Pertanyaan yang membuatnya kemudian bercerita panjang lebar dan seolah keluar dari konteks. Kugeser lagi dudukku lebih mendekat padanya dengan tetap menatap wajahnya sambil senyum-senyum. Seneng ngelihat Kang Mamat yang sedang berusaha menyembunyikan ekspresi lupanya. Menyuruhku mengulang pertanyaan hanya akan memperjelas bahwa dia sedang lupa, dan dia gengsi ketahuan.

******

Wong Apik

"Piye (gimana) Lik ? Sakteruse iso mbok atasi dewe tha (selanjutnya bisa kamu tangani sendiri kan) ?"

"Saget (bisa) Mbah, mpun monggo menawi panjenengan badhe kondur rumiyin (silahkan kalau Anda mau pulang duluan)", kata Pak Malik kepada Kyai yang sudah mengobati Andoko di serambi masjid.

Kyai sepuh (tua banget) yang telah mendapat jawaban itu segera melangkah pergi, sedikit tertatih jalannya, dipandu seorang pemuda belia yang notabene adalah santrinya. Rambut, alis dan jenggotnya yang panjang sudah memutih semua. Beliau adalah orang tua yang paling disegenin orang sekampung sini. Pengasuh pondok pesantren yang konon adalah kelanjutan dari padepokan (perguruan) tempat Ki Banur Seto beserta anak buahnya dulu berguru pada Sang Pertapa. Betul tidaknya sudah sangat sulit buat dibuktikan.

Kondisi Andoko kini sudah betul-betul pulih. Kakinya yang lunglai sudah kuat dipakai berdiri, bahkan berjalan. Lengannya yang bekas kena pukulan Nyai Salmah sudah bisa digerak-gerakkan secara normal, tadinya berat sekali. Semua itu berkat diobati dengan cara dimandikan di masjid yang airnya terlebih dulu dibacakan do'a bersama dipimpin Kyai sepuh. Sesederhana itu, nggak ada ritual yang aneh-aneh.

Orang yang pernah ditemui Nyai Salmah, jika tidak segera diobati minimal bakal sakit-sakitan, maksimalnya gila. Andoko termasuk yang beruntung bisa segera tertolong. Meskipun agak gondok sebab baru sekali itu denger cerita tentang Nyai Salmah. Kenapa dari dulu nggak pernah ada yang cerita ? Kenapa Lastri, istrinya sendiri, juga nggak pernah cerita ?

"Setidaknya kamu beruntung Ndok sudah ditemui Nyai Salmah lebih awal", jelas Pak Malik.

"Maksudnya ?" tanya Andoko penasaran.

Lukman segera menepuk-nepuk pundaknya berkali-kali dan sesekali memijit.

"He..he..he..., iya pokoknya begitu. Lain kali kujelaskan", jawab Pak Malik diikuti senyuman yang lain, termasuk beberapa warga jama'ah sholat subuh yang masih enggan pulang.

"Sekarang lebih baik kita bubar saja dulu, pulang ke rumah masing-masing. Kalau pulang kesiangan ntar pada dicariin istrinya lho !", jawab Pak Malik.

"Iyo kono podo mulih dhisik (iya sana pada pulang dulu) !" sahut salah seorang warga yang seumuran dengan Pak Malik.

"Leres (betul) Mbah, saya juga ada kerjaan siang nanti. Kalau nggak nyicil tidur dulu sehabis begadang semaleman, nggak kuat kerja nanti", jawab Lukman.

"Yuk Ndok tak anter pulang !" ajak Sahid.

Berlima mereka segera bangkit dari cangkrukan di teras masjid. Hamid dan Sahid bermaksud kembali memapah Andoko berdiri tapi lekas-lekas ditepisnya. Masing-masing melangkah ke arah sandalnya buat dipakai pulang ke rumah masing-masing.

"Eh, Mid, Hid ! Bedhilmu ora keri tha (senapan kalian nggak ketinggalan kan) ?" tanya Lukman berkelakar.

Hamid tertawa dan langsung menjengguk kepala Lukman, sedang yang lain ikutan tertawa. Termasuk Pak Malik, senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.

Jadi selama cangkrukan di teras mesjid, setelah pulih betul kondisinya, sempat menceritakan kronologi peristiwa yang barusan dialaminya. Termasuk bagian dimana dia sempat melihat ketiga kawannya membawa senapan berburu dan binatang hasil buruannya. Dimana bagian itu segera disangkal oleh ketiganya. Satupun dari mereka nggak ada yang bawa senapan berburu tadi malam, pada kehabisan amunisi dan lupa membeli di sore harinya.

Pokoknya dari sejak Andoko denger suara bebek lamat-lamat itu, kesadaran dia sebetulnya sudah dikendalikan oleh Nyai Salmah. Dia sudah masuk dalam frame pertunjukan illusinya. Begitu penjelasan Pak Malik tadi. Sedang Nyai Salmah sendiri sebetulnya juga bukan arwah Nyai Salmah cucu Ki Banur Seto yang sebenarnya, melainkan segolongan jin yang menguasai ilmu ilusi tingkat tinggi, yang dulu pernah ditakhlukkan oleh Ki Banur Seto. Begitu tadi imbuhan penjelasan dari Kyai sepuh.

"Lalu kenapa sering disebut-sebut sebagai Nyai Salmah, Yai ? Apa betul dulu wujud almarhumah Nyai Salmah seperti itu ?" tanya Andoko tadi.

"He...he...he...! Uhuk...uhuk...!" tawa Kyai sepuh yang dengan cepat dihentikan oleh batuk ringannya.

"Mungkin saja, sebab konon ceritanya Nyai Salmah yang notabene adalah cucu satu-satunya dari Ki Banur Seto, meninggal sebab tersambar petir sewaktu menggembalakan bebeknya di sawah. Tapi tak perlu terlalu percaya pada kaum jin semacam itu, mereka lebih banyak bohongnya ketimbang benernya. Lebih baik ambil hikmahnya saja, bagaimanapun mendiang Nyai Salmah sudah selayaknya juga kita kenang namanya selaku cucu dari tokoh pendiri desa ini", tutur Kyai Sepuh menjelaskan sekaligus mencerahkan.

"Makamnya ada, Yai ?"

"Ada di sekitaran makam kakeknya situ bersama keluarga yang lain tentunya. Bagus kalau kamu mau ziarah ke sana, do'aken supaya Allah menerima semua amal perbuatan dan juga mengampuni dosa-dosanya. Kowe pancen wong apik le(kamu memang orang baik nak), siapa namamu tadi ?"

"Andoko, Yai".

"Hmmm..., Andoko. Ahmad Andoko ! He...he...he...! Uhuk...uhk...!"

Mendengar nama Andoko yang ditambah-tambahi itu, Lukman, Sahid dan Hamid saling pandang bergantian sambil senyam-senyum. Mau ketawa, sungkan sama Kyai sepuh. Sedang Pak Malik dan beberapa warga lain yang memang sudah tua, dengan bebas mereka tertawa bersama Kyai sepuh. Tapi tawa mereka bukan tawa geli, tapi tawa bahagia, sebab kehadiran Andoko sebagai tetangga baru sudah dapat semacam stempel orang baik oleh Kyai sepuh.

*****

Tanpa Sambungan

Gak nyampe selang 10 menit, kopi panas sudah terhidang di meja ruang teras rumah Lastri. Rumah warisan berbentuk joglo lengkap dengan beranda teras berisi meja kuno berbentuk bulat dengan ukiran khas Jepara, terbuat dari kayu jati utuh tanpa sambungan. Satu paket sama kursinya. Sahid getol banget ngamati itu meja tiap kali main ke rumah Lastri, mejanya aja. Kalau dijual sekarang pasti mahal, sangat langka buat ngedapetin pohon jati yang diameternya segedhe itu.

"Kepiye critane mou (gimana ceritanya tadi) Hid ?", tanya Lastri setelah menyuguhkan segelas kopi.

Buru-buru dia keluar menemui Sahid lagi mumpung suaminya lagi ganti pakaian. Pulang sampai ke rumah tadi diantar Sahid berboncengan motor berdua. Langsung disambut Lastri dengan penuh perhatian.

Lastri sudah tahu perihal suaminya yang habis kena musibah semalam, beberapa santri Kyai sepuh tadi disuruh Pak Malik agar segera kasih kabar kepadanya seusai sholat jama'ah. Berpesan agar Lastri nggak usah panik sebab suaminya sedang ditanganinya bersama Kyai sepuh dan jama'ah masjid yang lain. Juga nggak perlu nyusul suaminya kalau mungkin sampai siang belum pulang, takutnya dia ngajak emak-emak lain dan malah bikin heboh suasana ntar. Tadi aja jama'ah sholat subuh yang perempuan langsung dihardik Pak Malik agar ndak ikut-ikutan nonton dan cepet-cepet pulang.

"Sek tah yu...(sebentar dong mbak), taknyeruput kopi dulu aku", kata Sahid tak segera menjawab pertanyaan Lastri.

Sahid dan Lastri hanya beda usia setahun, kawan sepermainan semenjak kecil. Sahid lebih muda, tapi lebih dulu menikah. Lastri anaknya baru satu, sedangkan Sahid sudah tiga.

"Ning ndi kedadeyane (di mana kejadiannya) ?" tanya Lastri lagi tak sabar.

"Ahhh....!" desah Sahid setelah menyeruput kopinya tiga kali.

"Kowe iki lho (kamu ini lho) Hid ! Ditakoni (ditanya) kok malah...."

"Sabar...sabar...", kata Sahid sambil membetulkan letak duduknya senyaman mungkin.

"Kalau takceritakan ulang apa yang dikisahkan Kang Andoko di masjid tadi panjaaaaa...ng banget yu. Ntar biar suamimu sendiri yang cerita."

"Aaaa...aah...! Garing dia itu kalau cerita, nggak seru !" kata Lastri kecewa sambil mencak-mencak.

Sebagai kawan sepermainan tentulah percakapan mereka berlanjut begitu akrab, panjang-lebar dan penuh kasak-kusuk. Dasarnya keduanya sama-sama terkenal doyan ngerumpi.

"Lha kowe dewe entuk isyarat opo (lha kamu sendiri dapat isyarat apa) yu ?"

Yu adalah kependekan dari mbakyu, sebutan orang kampung sini buat perempuan yang lebih tua tapi tak begitu terpaut jauh.

"Semalem sih ndak ada apa-apa, aku tidur pules-pules aja sama si thole (anak lelaki). Tapi beberapa hari ini memang aku sering mambu (mencium) bau kayak bebek e Kang Ujang yang saban hari melintas depan rumah. Cuman gak pernah takgagas (takpikirin).

"Terus biasanya orang dietemui Nyi Salmah itu ada jalarannya (sebab-sebab yang mengawalinya). Kiro-kiro opo yu (kira-kira apa mbak) ?"

"Mbok menowo mergo aku njupuk woh murbei nang tengah alas mbengi-mbengi kae (mungkin sebab ngambil buah murbei di tengah hutan malam-malam dulu itu) Hid", sahut Andoko dari depan pintu.

Lastri dan Sahid spontan menoleh ke arahnya.

"Lah, gae opo (buat apa) Ndok ?"

" Lha iki ! Mbakyumu ngidam ora biso dikantheni (kakakmu ngidam tanpa mau ditunda nanti-nanti)", jawab Andoko yang kini sudah berada di samping Lastri sambil mengelus-elus kepalanya.

Lastri segera bergelayut manja sambil senyam-senyum, sedang Sahid melongo berlanjut menggerutu.

"Heewhhh...! Yuuu...yu ! Ngrepotno wong lanang wae (ngerepotin suami aja) !"

"Lha yo ojo nyalahke aku (ya jangan menyalahkan aku) tha Hid...", kata Lastri sambil mengelus-elus perutnya yang belum jelas kelihatan hamil.

Lastri menggeser duduknya dan menarik Andoko untuk duduk di sisinya. Andoko pun segera terduduk.

"Kok kamu nggak pernah cerita tentang Nyai Salmah sebelumnya tha Las...?" tanyanya sambil melotot ke istrinya.

Lastri terdiam, begitu pula Sahid. Hening seketika, cukup lama. Tapi Andoko memang tak terkesan butuh buru-buru dijawab. Diamnya mereka berdua, justru adalah jawaban baginya. Sahid dan istrinya tentu telah terdidik oleh orang tuanya sejak dini agar tidak membocorkan perihal Nyai Salmah kepada pendatang baru. Cuman ya apa iya sampai suami sendiri juga tidak boleh tau ? Padahal akibatnya jelas-jelas bisa berbahaya lho ! Setega itukah para tetua kampung Pengging yang sehari-harinya terlihat ramah ? Tinggal misteri itu yang kini tersisa di pikiran Andoko, pertanyaan yang terus muncul di kepalanya kemudian.

"Ngene wae (begini saja) Ndok, lain hari mintalah keterangan dari Pak Malik. Ntar sore atau malem pasti ke sini kok orangnya", kata Sahid akhirnya mengakhiri kebisuan.

"Yo wis yu, Ndok, aku tak bali dhisik (aku tak pulang dulu) ya...", kata Sahid dengan sungkan berpamitan. Dia paham dengan apa yang dirasakan Andoko, tapi dia tidak berani mendahului yang lebih tua.

"Iya Hid, maturnuwun (terimakasih) ya...!"

Lastri yang menjawab, sedang Andoko masih terdiam. Rasa penasarannya menutupi rasa ingin berterimakasih pada kawan yang sudah berjasa mengantarkannya pulang.

"Sama-sama. Selamat ya yu..."

"Iya iya..."

Andoko segera menghabiskan kopinya dan beranjak pergi, sedang Lastri makin bergelayut manja. Campur aduk perasaannya antara rasa bersalah sama takut kena marah. Hanya jabang bayi yang sedang dikandungnyalah pengharapannya. Diraihnya paksa tangan Andoko untuk diletakkan ke atas perutnya. Berusaha menenangkan perasaan suami dengan mengingatkannya pada si jabang bayi.

"Nha, sudah inget aku sekarang pertanyaanmu tadi bro...!" kata Kang Mamat dengan wajah berseri-seri.

Aku tersenyum lebar dan mataku terbelalak ikut kegirangan. Rasa penasaranku bakal segera terjawab nih ! Pikirku.

"Jadi begini bro, efek samping habis ditemui Nyai Salmah dan bebek silumannya itu memang bisa fatal. Itu hanya prediksi belaka, kenyataannya tidak pernah ada sejarahnya. Justru setiap kita, warga Desa Pengging ini, baik yang baru atau yang asli kelahiran sini, hidupnya jadi lebih baik pasca bertemu Nyai Salmah dan bebeknya. Memang seketika menyakitkan, tapi berikutnya bisa berubah kehidupannya menjadi lebih baik. Jangankan ketemu Nyai Salmah, ketemu bebeknya aja juga begitu."

"Ah, mosok tha Kang ? Jadi ibarat habis gelap terbitlah terang gitu ?"

"Atau bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian", timpal Kang Mamat.

"Sengsara membawa nikmat !" kataku lagi bersemangat.

"Yo wis sak uni-unimu (semaumu aja mau dibilang apa) ! Opo maneh (apa lagi) ?"

Aku melongo nggak percaya, makin bersemangat aku menggeser posisi dudukku mendekati Kang Mamat.

"Opo ? Kowe (kamu) kepengen ?"

"Andoko emang saiki kepiye urip e (emang Andoko sekarang gimana kehidupannya) ?" tanyaku lagi malah, setengah berbisik.

"Hehehe...Besok mampirlah kamu ke Balai Desa, carilah perangkat desa yang namanya Andoko !"

"Ah..., Kades pasti !" tebakku.

"Yak betul !"

Dengan yakin aku menebak demikian, alasannya yang paling utama adalah karakter Andoko yang sering disebut Kang Mamat, pemberani dan tangguh, dengan kekuatan berpikir positifnya yang hebat. Warga sudah pasti menginginkan pemimpin yang demikian. Kedua, sebagai pendatang baru, Andoko cepat beradaptasi dengan warga sekitar. Ketiga, bertemu Nyai Salmah sendiri dalam durasi yang cukup lama, tentu setelah itu kharismanya bertambah kuat. Keempat, dapat stempel wong apik (orang baik) oleh Kyai sepuh.

"Piye ? Kowe pengen tenan ketemu Nyai Salmah (kamu pengin banget ketemu Nyai Salmah) ?" ulang tanya Kang Mamat.

"Emang sampeyan (kamu) tau caranya Kang ?" balas tanyaku.

"Sek...(bentar...), tunggu di sini, jangan ke mana-mana !" kata Kang Mamat segera bangkit berdiri dan melangkah ke kamarnya.

"Ojo (jangan) aneh-aneh sampeyan Kang !" seruku ketakutan.

Tak berapa lama dia kembali dengan satu tangan disembunyikan di belakang punggung. Membuatku bertanya-tanya dalam hati, penasaran bercampur khawatir. Tiba-tiba dia duduk bersila tepat di depanku jarak sejengkal. Dikeluarkannya barang yang disembunyikannya sedari tadi lalu secepat kilat diacungkan ke mukaku.

"Ngilo o dhisik (berkacalah dulu) !" serunya keras sekali lalu tertawa cekikikan.

Sekilas aku menatap wajahku sendiri yang terpantul di cermin kecil berbingkai yang diacungkannya, sebelum kutepis pelan.

"Diamput sampeyan (sialan kamu) Kang !"

SEKIAN

close