Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BUKIT ORANG BUNIAN (Part 1) - Entitas Penghuni Bukit Barisan, Sumatera

"...mereka terlihat seperti kita, namun dengan arah kaki terbalik dan wajah tanpa cekungan diantara hidung dan bibir.."


Orang Bunian, dikenal sebagai "penghuni asli" pegunungan di sepanjang tulang punggung Pulau Sumatera, Bukit Barisan. Tidak ada yang tau apakah mereka ghaib atau justru nyata. Namun banyaknya laporan mengenai kehadiran mereka menjadi bukti bahwa sesuatu itu benar benar ada..

Kali ini, saya akan menceritakan sebuah kisah yang memiliki latar perkampungan di Sumatera Barat.. sebuah desa asri yang berdampingan dengan sebuah bukit yang disebut "Bukit Bunian".
...

Kedua alam sudah terikat sebuah perjanjian luhur untuk tidak saling mengganggu. Ada sebuah batasan yang menciptakan keharmonisan selama ratusan tahun..

Hingga akhirnya, tangan tangan serakah manusia menghancurkan keseimbangan itu dan mendatangkan sebuah malapetaka besar...

***

BUKIT ORANG BUNIAN PART 1

Langkah kecil kedua anak itu meninggalkan jejak diatas tanah lembab yang baru saja diguyur hujan lebat tadi pagi. Udara segar dan gemericik air dari irigasi sawah mengalun dengan sesekali suara serangga yang bersembunyi dibalik dedaunan.

Dibawah naungan kokoh bukit barisan, penduduk desa Rangkiang beranjak pulang dari sawah dan aktivitas mereka hari ini.

“besok kita nyari belalangnya ke sawah sebelah aja. Lebih banyak” ujar Guntara sambil melihat hasil tangkapannya yang tidak terlalu banyak.

“Segini udah cukup harusnya. Bisa buat makan malam ini” ujar Abbas masih dengan senyumannya yang seingat Guntara tidak pernah lepas dari wajahnya.

“Nanti mau diapain belalangnya dek?” tanya Abbas sambil menengok ke belakang.

“Goreng!” ujar Mina, adik perempuan Abbas yang selalu ia gendong kemanapun ia pergi.

Ketiganya menyusuri sawah dan jalan kampung yang hanya berupa kerikil yang disebar di atas tanah merah yang akan berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan melanda.

Satu demi persatu para petani berpapasan dengan mereka. Kehidupan desa yang begitu kekeluargaan membuat mereka saling mengenal. Mereka saling sapa dengan senyuman ramah.

“Pulang bu?” sapa Abbas.

“Iya, darimana ini udah mau sore?” ujar Bu Puja, salah satu warga kampung itu.

“Ini abis nyari belalang” kata Guntara sambil mengangkat toples bekas astor yang ia lubangi atasnya dan menjadi tempat menaruh belalang belalang hasil buruan mereka.

“Wah banyak juga, kalian kalo mau cari serangga atau langkitang, itu di sawah ibu banyak” ujar Bu Puja.

“Oh boleh bu, besok sore coba liat kesana deh!” ujar Abbas, semangat.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Guntara dan Abbas melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah simpang yang memisahkan arah rumah keduanya. Guntara lalu memberikan belalang hasil tangkapannya pada Abbas.

“Nih, besok kalo masih nyisa, abang minta yaa” ujar Guntara pada Mina sambil mencubit pipinya dan tertawa.

Bagi Guntara, menangkap belalang ini hanyalah sebagai hiburan dan mengisi kegiatan bersama sahabatnya. Namun tidak demikian dengan Abbas, ia menangkap belalang belalang ini untuk lauk makannya nanti malam..

Abbas bernasib kurang beruntung, dalam keluarganya, satu satunya yang menyayanginya dahulu adalah ibu kandungnya. Sayang, ibunya meninggal saat melahirkan Mina beberapa tahun lalu.

Sementara ayah Abbas, Pak Buyung, dikenal sebagai pribadi keras dan pelit walaupun sebenarnya ia cukup mampu. Ia tidak segan segan main tangan kepada anak anaknya jika emosinya sudah tersulut.

Ia juga jarang pulang ke rumah untuk sekedar memberi nafkah kepada dua anaknya, dan kabar yang tersebar, ia sudah menikah lagi dengan seorang wanita di kampung lain walaupun secara siri.

Kini Abbas dan Mina tinggal dirumah dengan Nek Pampang, adik dari nenek kandung Abbas yang ekonominya pun juga sulit..

“Makasih ya, besok kalau panas kayak tadi gausah nemenin aku gapapa kok. Nanti kulitmu hitam” ujar Abbas

“Hangus hangus sedikit gapapa lah, biar keliatan gagah” jawabnya asal.

Abbas hanya tertawa melihat kulit Guntara yang putih itu selalu menjadi merah padam setiap terkena panas.

Setelah berpamitan, Guntara langsung mengarah ke rumahnya. Sementara Abbas,  sebelum pulang, ia akan mampir ke Surau Pamatang, sebuah Surau kecil berdinding kayu dengan dua buah makam tepat di sampingnya.

Makam tua ini hanya terdiri dari sebuah nisan batu dan tumpukan bata merah yang sudah ditumbuhi lumut dan tanaman di sekelilingnya. Namun bagian tanahnya masih bersih seakan ada orang yang merawatnya secara rutin.

Makam ini oleh warga sekitar disebut dengan Pusaro Badantam, konon yang dimakamkan disana adalah tokoh kampung yang semasa hidupnya dikenal sebagai pemuka agama. Atas dasar itu juga, banyak warga yang mengkeramatkan makam ini, salah satunya dengan cara menaruh uang logam-

-hingga uang kertas di bawah nisan yang sudah tidak terbaca lagi nama dan tahun kematiannya itu.

Uang uang ini biasanya diberikan oleh orang yang mempunyai hajat atau bagian dari nazar. Orang dewasa dan yang mengetahui keramatnya makam ini tentu tidak berani mengusik uang-

-uang yang berserakan disana. Namun bagi Abbas, uang uang receh disana adalah uang jajan tambahan yang bisa ia manfaatkan untuk membantu neneknya.

Orang kampung tau Abbas sering memunguti uang uang receh ini namun mereka juga tidak bisa melarangnya karena memang keadaan Abbas yang mengkhawatirkan.

Pusaro Badantam sendiri jika diartikan berarti “makam yang berdentum”, penamaan ini bukan tanpa alasan, menurut kepercayaan yang berkembang dan beberapa saksi mata, makam ini akan mengeluarkan bunyi seperti ada yang berdentum atau memukul-mukul dari bawah saat bencana besar akan melanda.

Bunyi dari makam ini menjadi indikator bagi masyarakat untuk bersiaga karena pertanda dari Pusaro Badantam ini biasanya hanya berjarak hitungan hari dari bencana itu sendiri.

Abbas berjalan mendekati makam itu dan melihat beberapa pecahan uang logam 5 dan 10 rupiah yang berceceran didekat nisan Pusaro Badantam. Ia memungutinya satu persatu dan menyimpannya ke dalam saku. Neneknya sudah berkali kali melarangnya, namun ia tidak punya pilihan lain.

“Pamisi pamisi..” ujarnya sambil memunguti uang receh itu.

Sementara itu Guntara tiba di rumahnya dengan peluh yang sudah mengering dan beberapa tanaman berduri yang menempel di ujung kain celananya.

Wajahnya juga terlihat merah padam, tanda ia baru saja berjemur di bawah terik matahari. Ibunya yang sedang memasak di rumah terheran melihat anaknya itu.

“Darimana sih bang?.. kotor gitu” tegur ibu Guntara sambil mencuci piring.

“Nyari belalang bu, sama Abbas” jawabnya singkat.

“Nyari belalang lagi?.. Abbas gaada lauk lagi nak?..” tanya ibu khawatir.

“Iya bu..” jawab Guntara sambil melepaskan pakaiannya dan mengambil handuk.

“Nak, kamu gak ajakin Abbas sama Mina ke rumah aja buat makan? Ibu ga tega denger mereka makan belalang terus..” tanya ibunya.

“Udah bu, merekanya yang ga mau. Segan katanya”

“Hm.. yaudah, besok kalo kamu main sama dia lagi, bilangin ibu ya. Ibu bungkusin lauk buat dia sama Mina makan. Mina masih kecil gitu kasihan makanannya ga dijaga..” ujar ibu.

“Iya bu. Besok rencanaya aku mau bantuin dia nyari langkitang di sawah”

“Hati hati main di sawahnya.. ntar ada lintah atau apa gigit kakimu” nasehat ibu.

“Iya.. Tina mana bu?” tanya Guntara saat sadar adiknya tidak ada di ruang tengah.

“Itu di dalam kamar, tadi sih tidur. Jangan digangguin. Mending kamu mandi dulu sana” cegah ibu.

“Iya..iya..” ujar Guntara malas.

Berkebalikan dengan Abbas, Guntara berada di keluarga terpandang dan berkecukupan di Dusun Rangkiang. Ayahnya, Bagindo Sati merupakan salah satu orang kaya raya dan dermawan di dusun ini. Meskipun demikian, keluarganya tidak membatasi pergaulan Guntara, termasuk pergaulannya dengan Abbas.

Keluarganya juga tidak melarang Guntara ketika ia bermain dengan Abbas di alam dan membantunya mencari bahan makanan. Bahkan Ibu Guntara sesekali mengajak Abbas singgah untuk makan di rumahnya, namun Abbas selalu menolak dengan halus karena merasa tidak enak.

Satu hal yang membuat Ibu Guntara membiarkan anaknya bersahabat dengan Abbas karena ia tau Abbas adalah anak yang jujur dan tidak pernah berbuat aneh aneh. Ditengah kekurangannya, Abbas tidak pernah mau merepotkan atau merugikan orang lain.

Untuk sekedar mengambil buah matang di pohon pinggir jalan saja ia enggan padahal perutnya sudah melilit menahan lapar yang amat sangat.

Beruntung beberapa orang sering memberikannya makanan dengan berbagai alasan, seperti ada sisa panen, lebihan yang lupa terangkut, dan lain lain.

Mereka tau Abbas tidak suka dikasihani sehingga mereka selalu menyiapkan alasan sebelum memberikan sesuatu secara cuma cuma pada Abbas.

Namun uang uang di Pusaro Badantam adalah cerita yang berbeda, Abbas pertama kali melakukannya justru karena disuruh oleh Datuk Pagaralam, orang yang paling dihormati di desa itu yang merasa sayang jika uang uang itu dibiarkan padahal ada orang orang yang lebih membutuhkan.

***

“Abbas, waang tu nak?..” (Abbas, itu kamu nak?..) ujar Nek Pampang dengan langkah lambat berjalan ke dapur rumah sambil berpegangan ke dinding kayu disampingnya. Pencahayaan rumah itu begitu kurang, hanya ada beberapa lampu minyak yang ditempel di tengah tengah ruang.

“Iyo nek, sadang masak” (Iya nek, lagi masak) jawab Abbas sambil mendekati sang nenek dan memapah tangannya.

“Masak? Masak a tu?” (masak? Masak apa?)

“Bilalang jo talua nek, ko lah masak. Nah makan nek samo Abbas jo Mina” (belalang sama telur nek, ini udah matang. Ayo nek makan bareng Abbas sama Mina) Abbas menarik lembut tangan sepuh neneknya ke arah sebuah tikar anyaman yang sudah banyak lubang di dapur.

“Talua?.. darima ang dapek talua tu.. waang ndak maliang kan Bas?..” (Telur?.. kamu dapat telur darimana.. kamu ga nyuri kan Bas?..) tanya nek Pampang heran.

“Indak nek.. tadi abbas bali di waruang” (Enggak kok nek.. tadi Abbas beli di warung) jawab Abbas sambil menyendok nasi yang ia masak dengan kuali kecil diatas bara api. Tidak ada magicom atau kompor saat itu.

Memasak dengan cara seperti ini sebenarnya membuat nasi berbau asap dan sering menjadi kerak, namun jangankan membeli kompor minyak, untuk memikirkan lauk saja mereka terkadang harus memilih antara garam atau potongan cabe yang tumbuh di belakang rumah.

“Darima ang dapek pitihnyo..” (kamu dapat uang darimana..) tanya nenek lagi seakan penasaran dengan sumber uang yang didapat cucunya itu.

“…..” Abbas terdiam, ia ragu untuk menjawabnya.

“Dari pitih pitih darai di pusaro sampiang surau nek!” (dari uang uang di kuburan samping surau nek!) celetuk Mina tanpa rasa bersalah.

“HEH!” Abbas gelagapan.

“Abbas.. a nan enek katoan tantang maambiak pitih di pusaro tu..” (Abbas.. apa nenek bilang tentang ambil uang di pusaro itu)

“Tapi nek, Datuak kan lah maizinan.. lagipulo pado tabuang ndak manga pitih pitih ko..” (tapi nek, kan Datuk udah izinin.. lagipula daripada kebuang..)

“Ndak dek itu doh.. Itu tu pusaro keramat.. urang urang nan malatakan pitih disinan tu banyak lo niaik nyo. Ang ndak tau pitih nan ang ambiak tu untuak niaik baiak atau buruak kan?..”

(Bukan begitu.. itu pusaro keramat.. dan mereka yang taruh uangnya disana juga macam macam niatnya. Kamu gak tau uang yang kamu ambil itu diniatkan untuk hal baik atau jelek kan?..) ujar nenek lagi dengan lebih serius.

“Iyo nek..” (Iya nek..)

“Wak iyo payah nak.. tapi enek ndak katuju kok sampai Abbas bantuak tu.. enek usaoan wak bisa makan basamba tiok hari.. atau saindaknyo lai banasi..”

(Kita memang susah nak.. tapi nenek gasuka kalau sampai Abbas kayak gitu.. nenek usahain kita bisa makan dengan lauk setiap hari.. atau setidaknya ada nasi) ujar nenek.

“Iya nek..” Abbas kian tertunduk dan hanya mengais ngais nasi di piring. Suasana menjadi sedikit kikuk karena Abbas yang merasa begitu bersalah.

“Nah.. lah tu. Capek sinduak nasinyo. Nek lah litak. Ma taluanyo? Bagi enek nio lo” (Nah.. yaudah, cepat sendok nasinya. Nenek udah lapar. Mana telurnya? nenek juga mau) ujar nenek dengan senyum lebar menunjukkan barisan beberapa sisa giginya yang disambut tawa oleh Mina dan Abbas.

Abbas memotong telur dadar yang begitu lebar namun tipis itu menjadi tiga dan memakannya bersama sama dengan nenek dan Mina. Belalang yang sudah ia kumpulkan dan goreng juga menjadi pelengkap makan malam sederhana ketiganya sambil diselingi tawa cerita keseharian mereka hari ini.

***

Pagi itu kantor Jorong (lurah) Dusun Rangkiang dipadati beberapa penduduk. Mereka diminta berkumpul oleh kepala Jorong yang tiba tiba saja memberikan pengumuman melalui masjid jami di kampung itu, dari kabar melalui pengeras suara itu warga diminta berkumpul karena-

-akan ada hal penting yang akan dibicarakan. Masyarakat yang masih dengan cangkul dan topi camping menyempatkan singgah ke kantor Jorong untuk mendengarkan pengumuman apa yang sedang dikabarkan kepala Jorong.

Disana juga ada Guntara dan ayahnya yang kebetulan mampir saat akan mengantarkan hasil panen pinangnya ke pengepul.

“Ini salah satu cara untuk memajukan desa ini bapak bapak dan ibu ibu, kalau proyek ini berjalan, kita disini bisa dapat pekerjaan yang lebih layak dan kawasan kita akan lebih maju!” ujar Supardi, kepala Jorong desa itu dengan berapi api.

“Tapi bukit itu bukan punya siapa siapa, hanya turun temurun diturunkan pendahulu kita dulu. Kebun kebun kami juga ada di kaki bukitnya, kalau sampai digusur kami mau dapat penghasilan darimana..” keluh salah satu petani.

“Tenang pak, kita akan dapat ganti rugi yang sesuai. Uangnya akan lebih banyak dari penghasilan bapak bertani di kaki bukit itu” jawab Supardi dengan bersemangat.

Warga Dusun Rangkiang yang hadir saat itu hening. Saling melihat satu sama lain dengan wajah yang saling berharap akan menjawab ucapan Supardi itu. Namun tidak ada satupun yang berani angkat suara..

“Kalau saya pribadi, biarkan saja kita kayak gini pak. Dengan hasil dari kebun itu kita selama ini bisa makan, bisa hidupkan anak istri, ya mungkin sederhana, tapi cukup” ujar seorang pria dengan baju lusuh dan celana pendek.

Topi camping masih melekat di kepalanya, tanda ia akan pergi atau pulang dari sawah.
Mendengar hal ini Supardi kesal dan urat di keningnya terlihat.

“Kamu mau begini saja hidupnya selama bertahun tahun tidak ada kemajuan? Kamu puas dengan penghasilan yang bahkan hanya cukup untuk makan hari ini dan besok? Orang diluar sana sudah punya kendaraan, sudah bisa beli ini itu segala macam dan kita mau begini saja??” tantang Supardi.

“Iya, tidak ada yang salah dengan itu. Ketimbang saya kehilangan sumber penghasilan tetap saya dan apa yang sudah diturunkan oleh niniak mamak kita secara turun temurun” ujar petani muda itu sama kerasnya dengan Supardi.

“Itu dek ayah ang bantuak tu keadaannyo, bantuak tu sajo ma ka mangarati ang a pantiangnyo punya pitih! Rancak ang uruih ayah ang tu pado sumbarang mangecek sajo ang disiko”

(itu karena ayahmu keadaannya begitu begitu saja, mana tau kamu pentingnya uang! Lebih baik kamu urus saja ayahmu daripada bicara sembarangan disini) Buyung yang berada di samping Supardi angkat bicara setelah dari tadi hanya diam sambil menyilangkan tangannya.

Tangan pria itu mengepal. Urat urat tangannya keluar dan matanya memerah dengan nafas yang menggebu.

“APAK IJAN BAO BAO AYAH DEN PAK!” (BAPAK GAUSAH BAWA BAWA AYAH SAYA!) pekik pria itu sambil membanting topi camping yang ia kenakan.

Forum itu hening, semua orang melihat ke arah pria itu dengan tatapan khawatir. Ingin rasanya mereka membela pria tadi karena ucapan Buyung sudah keterlaluan, tapi mereka masih terlalu takut terlibat masalah dengan salah satu orang paling tidak punya hati di kampung ini.

“Det.. sudah Det.. gausah dibawa emosi.. kita tau Pak Buyung gimana orangnya..” cegah Firman berbisik memegangi Dedet yang tubuhnya sudah mengeras karena emosi.

Pak Buyung tetap memandang Dedet rendah sambil menyilangkan tangannya di dada tanpa rasa bersalah.

Dedet dibawa berangsur keluar oleh Firman agar pikirannya tenang dan tidak berbuat keributan lebih jauh. Saat itu Dedet membawa celurit untuk membabat rumput liar di pinggangnya, jika ia kalap mata, bukan tidak mungkin mata celurit itu akan menebas leher Buyung.

Firman tau Dedet adalah orang yang sabar dan tenang jika menghadapi masalah kecuali pada satu hal.. yaitu orang yang mengejek keadaan ayahnya.

Ketika Dedet dibawa keluar, disaat bersamaan seorang pria berbaju putih masuk ke dalam ruangan dan berdiri diam di sudut ruangan.

Pandangannya kosong ke arah depan hingga salah satu pria sepuh dengan kaca mata bulat tebal yang dari tadi duduk menyapanya.

“Nah.. tibo lo angku.. dangaan se dulu, biko ang tantu a nan tajadi disiko..” (Nah.. datang juga kamu.. dengarkan saja dulu, nanti kamu tau ada apa disini..) ujar pria berkacamata itu tanpa ditanya oleh pria tadi.

Pria berbaju putih itu hanya mengangguk pelan dan tetap berdiri diam. Guntara mengamatinya, ini kali pertama ia melihat orang ini di kampung. Guntara hapal dan kenal semua orang di kampung ini satu persatu, namun wajah pria ini asing baginya...

“Sudah sudah! Saya ga mau ada keributan disini. Saya hanya minta persetujuan saudara saudara yang ada disini untuk mendatangani surat ini, agar perusahaan sawit bisa berdiri di bukit belakang kampung kita ini. Ayo pak demi kemaslahatan kita bersama!” ujar Supardi.

Ia berorasi sambil mengangkat sebuah map berbungkus plastik bening di tangannya.
Tidak ada satupun dari warga yang hadir bergerak maju padahal pensil sudah tergeletak di atas map itu. Hanya ada 2 nama yang sudah mengisi data persetujuan, siapa lagi kalau bukan Supardi dan Buyung.

Mayarakat enggan untuk menandatangani perjanjian itu karena banyak hal, bagaimanapun kaki bukit itu adalah lokasi mereka berkebun dan mencari nafkah, mereka juga punya firasat buruk tentang niat Supardi dan Buyung.

Keduanya adalah orang yang tidak begitu disukai oleh warga. Saat pemilihan Supardi menjadi Ketua Jorong menggantikan Datuk Pagaralam juga mencurigakan, karena tiba tiba saja musyawarah mengesahkan Supardi menjadi ketua padahal masyarakat kala itu lebih menyukai Bagindo Sati,

Bagindo Sati seorang tokoh adat yang sudah dikenal kebijaksanaannya.
Supardi sejak masa mudanya sudah dikenal sebagai pribadi yang gila harta, ia sering berjudi dan perbuatannya jauh dari kata bijaksana.

Selama beberapa bulan menjabat kepala Jorong pun ia terkesan tidak peduli dengan kemajuan perekonomian dan fasilitas desa, lalu tiba tiba saja ia berbicara sesemangat ini untuk sebuah proyek yang konon mensejahterakan warga.

Keganjilan ini membuat warga curiga perjanjian ini akan menguntungkan dirinya pribadi sehingga ia begitu berniat membuat perjanjian ini tembus.

“Pak Jorong.. saya rasa kita tidak usah seambisi itu untuk pembangunan kebun sawit dan pabrik disana. Kita cukup seperti ini saja, itu juga tanah dan bukit yang sudah dijaga dan dimanfaatkan masyarakat desa sejak ratusan tahun lalu..“ kali ini Bagindo Sati, orang yang menjadi saingan Supardi saat pemilihan Kepala Jorong dahulu yang angkat bicara.

“Kalau seperti itu pola pikirmu, kita gaakan maju Sati. Uang pembebasan tanah adat ke perusahaan ini bisa berkali kali lipat dari hasil panen! Kita bisa bangun jalan, masukkan listrik yang layak di kampung ini dan pembangunan pembangunan lainnya” ujar Supardi lagi yang tidak suka ditantang oleh Sati.

Guntara tidak suka ayahnya dibentak seperti itu. Ia memandangi ayahnya, berharap melihat wajah ayahnya itu marah dan membalas bentakan Supardi.

Namun Bagindo Sati terlihat tetap tenang dan tidak terpancing sama sekali.

“Mungkin secara nominal akan lebih besar, tapi uang itu akan habis begitu saja sementara lingkungan kita sudah rusak, hutan akan gundul dan ancaman bencana bisa kapan saja datang.

Masih ada cara lain melakukan pembangunan desa ini selain menjual tanah dan bukit belakang pada orang orang kaya itu” ujar Bagindo Sati dengan tenang, pemikirannya benar benar jauh ke depan dan membuatnya pantas digelari Bagindo yang berarti “Baginda” orang yang dihormati ucapannya.

“Kami satuju jo Bagindo Sati Pak Jorong. Ndak diam wak buek pabrik atau a jo lah disinan tu.. Ndak baa gai wak dapek pitih ndak banyak, tapi taraso bamanfaaik sampai lamo, pado pitih gadang tapi pamasuakan kami hilang”

(kami setuju dengan Bagindo. Kita gausah buat pabrik atau apapun disana.. gapapa kita hanya dapat sekian rupiah tapi dalam jangka waktu lama, daripada dapat uang sekali terus penghasilan tetap hilang) ujar salah satu warga yang kemudian dibenarkan hampir seluruh orang di lokasi.

Suasana forum itu semakin riuh. Hanya ada dua orang yang diam dan mengamati saja saat itu, seorang pria berpeci dengan kacamata bulat, dan pria berbaju putih yang masuk setelah Dedet dibawa keluar tadi. Hingga akhirnya pria berkacamata itu angkat bicara..

“..Pardi.. padiaanlah alam wak ko tataok bajalan takah ma seharusnyo.. alam ko saimbang dek awak saliang manjago.. cangok urang ko nan mambueknyo rusak, tu kalau lah rusak, awak lo nan kanai dek nyo baliak..”

(Pardi.. biarkan alam tetap berjalan sebagaimana mestinya.. alam ini seimbang karena kita saling menjaga.. ketamakan manusia hanya akan membuat alam ini rusak dan akhirnya membalas dendam pada kita..) dari sudut ruangan, Datuk Pagaralam yang sudah sangat sepuh juga angkat bicara.

Jika bukan karena usianya yang sudah tua dan sudah kesulitan melihat, mungkin ia akan terus menjadi ketua Jorong selama 5 periode. Namun pada akhirnya ia mengundurkan diri dan digantikan Supardi.

“Kok iyo angku pak Jorong ka mandanggan kami, anggota apak, bantuaknyo lah sampai kato mufakaik untuak indak manjua bukik jo tanah di balakang tu..” (Kalau memang kamu mau mendengarkan wargamu, sepertinya sudah terlihat bahwa warga lebih memilih untuk tidak menjual bukit dan-

-lahan dibelakang.. dan saya rasa ini sudah bertemu dengan kata mufakat..) lanjut Datuk Pagaralam sambil memperbaiki posisi kacamatanya.

Gigi Supardi bergemeretak. Ia begitu kesal melihat sikap orang-orang kampung ini yqng menghalangi tujuan besarnya.

Terlebih 2 orang ini, Bagindo Sati dan Datuk Pagaralam, mereka harusnya tunduk pada dirinya yang merupakan pemimpin desa, tapi malah masyarakat lebih mendengarkan mereka ketimbang dirinya.

Ia ingin membantah perkataan pria udzur tersebut saat itu juga. Namun ia saat ini belum memiliki rencana apapun. Bersitegang dengan seorang Datuk Pagaralam sama saja dengan menantang satu isi desa yang begitu patuh dan segan padanya.

Ia awalnya mengira, mengarahkan orang kampung yang pendidikannya rendah ini akan mudah, namun karena dua orang yang berpengaruh ini ada di pihak mereka, warga jadi ada kekuatan untuk bertahan.

Akhirnya forum itu bubar tanpa ucapan penutup dari Supardi. Ia menggulung kertas tanda tangan itu dengan kasar dan berlalu begitu saja bersama Buyung meninggalkan kantornya yang sebenarnya juga hanya sesekali ia tempati.

Melihat hal ini, masyarakat ikut membubarkan diri satu persatu dan melanjutkan kegiatan mereka yang awalnya terhenti.

Bagindo Sati sempat melihat ke arah Datuk Pagaralam dan tersenyum. Ia begitu lega ada Datuk Pagaralam di lokasi itu sehingga Supardi berhasil dibungkam dari nafsunya menguasai bukit belakang.

Bagindo Sati lalu menuntun Guntara untuk keluar meninggalkan ruangan tersebut, saat melewati Datuk dan pria berbaju putih tadi, ia mencium aroma bunga yang begitu semerbak dan telinganya sempat mendengar Datuk berkata.

“Niaik paja ko buruak.. kok kami kalah, kalian nan harus mampatahanan rumah kalian surang..” (Niat orang ini jelek.. kalau kami kalah, pertahankan rumah kalian sendiri..) ujar Datuk Pagaralam, namun Guntara tidak sempat melihat atau mendengar respon pria tadi.

Ketika keluar, Guntara dan Bagindo Sati berpapasan dengan Abbas yang seperti biasa menggendong Mina di belakangnya.

“Oy Bas! Mau kemana?” panggil Guntara.

Abbas menoleh dan mendapati ada Bagindo Sati di sebelah Guntara.

Ia ragu untuk menyebutkan tujuan aslinya karena pasti Guntara akan minta ikut dan ia malu jika nanti Bagindo Sati akan melarangnya.

“Ini.. mau..” ujarnya terbata.

“Oh iya nyari langkitang yaa?? Ikut yaa. Ayah, Tara pergi sama Abbas nyari langkitang ya” pinta Guntara sambil memandangi ayahnya.

“Mau nyari dimana Bas?” tanya Bagindo Sati ke Abbas.

“s..sawah belakang pak Bagindo..” ujarnya ragu.

“Yaudah, pergilah biar ayah yang antar pinangnya. Hati hati digigit lintah ya, sebelum sore udah pulang” ujar Bagindo Sati sambil melepaskan genggaman anaknya dan membiarkannya berlari riang ke arah Abbas.

Abbas masih keadaan canggung merundukan sedikit tubuhnya sambil berpamitan mencari langkitang bersama Guntara.

Langkitang adalah sejenis keong yang biasa hidup di sawah atau sungai berair tenang. Warnanya hitam dengan cangkang berbentuk silinder hitam. Langkitang sebenarnya sering memakan kotoran atau hidup di lumpur lumpur, namun karena memiliki cita rasa yang manis dan mudah diolah.

Langkitang jadi salah satu menu yang bisa Abbas olah untuk makanannya selain belalang, Selain cara menangkapnya yang mudah, para petani yang sawahnya baru akan tumbuh justru berterimakasih saat ada orang yang menangkap langkitang disana karena sifatnya yang hama.

Kemarin salah satu tetangga Abbas memberitahunya bahwa langkitang dan keong di sawahnya ada banyak, ia menawari Abbas untuk menangkapnya dan tentu saja diiyakan Abbas dengan senang hati.

***

Supardi berjalan meninggalkan kantor jorong dengan langkah tergesa yang mengisyaratkan emosinya yang sedang meluap luap.

Langkahnya terdengar sengaja ia hentak tidak peduli debu debu jalan berterbangan karenanya.

Map yang ia bawa kini sudah bergulung berbentuk tabung dan basah oleh keringat tangannya sendiri.

“Kau kalah telak..” ujar Buyung menyusul jalan Supardi.

“Diam. Kau bahkan tidak mambantu saya sama sekali disana” kesal Supardi.

“Saya malas berhubungan dengan orang orang kampung seperti mereka..“ ujar Buyung lagi sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan rokok lintingan miliknya.

“Kita tidak akan bisa mengambil alih tanah adat dan bukit itu kalau tanpa tanda tangan mereka!”ujar Supardi pada Buyung.

“Warga bodoh seperti mereka hanya akan tunduk pada hukum adat ketimbang iming iming keuntungan dan perintah seorang Ketua Jorong yang bahkan mereka tidak pilih” sindir Buyung sambil menghisap dalam rokok lintingnya.

Supardi berdengus. Matanya liar melihat ke segala arah sambil menggeleng gelengkan kepalanya, kebiasaan seorang Supardi saat emosinya memuncak.

“Harus ada cara.. bagaimanapun caranya proyek ini harus tercapai! Ini proyek besar yang tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya!” nafas Supardi memburu. Ada ambisi besar di matanya.

“Sebenarnya caranya mudah, kau buat mereka percaya bahwa menjual dan menyerahkan tanah adat itu lebih bermanfaat daripada mempertahankannya. Kedua, kita harus mendapatkan suara orang orang penting atau menghilangkan suara suara yang akan mengganggu kita..” ujar Buyung.

“Menghilangkan?..” Supardi bertanya untuk memastikan.

“Satu dua tidak masalah.. yang penting satu atau dua itu pengaruhnya besar “ ujar Buyung penuh arti.

“Kau gila!” bentak Supardi sambil berlalu meninggalkan Buyung.

“Terserah, kau bosnya, kau yang paling ingin ini terjadi dan saya hanya kasih saran yang paling sederhana” ujar Buyung dari kejauhan.

***

Desa Rangkiang merupakan sebuah desa yang sangat asri. Udara segar masih tersedia tanpa ada satupun corong corong industri sejauh mata memandang. Hampir seluruh penduduknya adalah petani dan pekebun.

Kondisi desa yang berada di dekat sebuah bukit membuat udaranya sejuk dan tanahnya subur sehingga cocok untuk bertani. Sawah sawah dan kebun warga berada disekitar bukit itu membentang dengan pematang yang terlihat begitu teratur.

Namun warga memiliki peraturan adat sendiri, pemanfaatan tanah hanya dibatasi hingga kaki bukit sementara bagian atasnya terlarang demi menjaga desa terkena bencana tanah longsor dan sebagainya.

Di salah satu petak sawah di kaki bukit itu, tiga bocah masih terlihat asyik memilih langkitang dan belut yang berlimpah di lokasi mereka berburu. Abbas dan Guntara berpencar ke sudut sawah yang berbeda.

Sebenarnya jika mau irit, langkitang dan belut ini cukup untuk makan Abbas dan Mina selama dua hari. Sementara Mina ditugaskan duduk menjaga ember agar tidak tumpah atau langkitangnya tidak keluar memanjat ember.

“Hush hush” ujar Mina sambil mencabut langkitang yang sudah sampai ke bibir ember lalu menaruhnya kembali ke dasar.

Tanpa terasa, langit yang semula cerah perlahan mulai menjadi kelabu. Angin kencang berhembus membelah sawah yang terbuka lebar tanpa penghalang.

Abbas memandang ke arah selatan dan mendapati segulungan awan hitam dengan kilatan petir sedang mengarah kearah mereka.

“Wah mau badai kayaknya Tar” ujar Abbas.

“Gelap banget! Udahan dulu aja kali ya?” tanya Guntara.

“Cukup deh. Daripada kehujanan. Ini juga udah lumayan, besok aku kesini lagi buat ambil di petak yang disana” ujar Abbas menunjuk petak sawah yang belum mereka jajahi tadi.

Ketiganya lalu bergegas pergi dari sawah itu. Sawah sama sekali bukan tempat yang aman ketika hujan dan badai tiba. Angin kencang dan petir kapanpun bisa saja muncul dan mengancam nyawa mereka.

Abbas menggendong adiknya dan Guntara mengangkat ember berisi langkitang dan belut.

Saat ia mengambilnya, ternyata sudah ada banyak langkitang yang memanjat ke bibir ember. Guntara sejenak melepas lepaskan langkitang itu tanpa sepengetahuan Abbas yang terus berjalan keluar dari pematang sawah.

Setelah semua langkitang berada di dasar ember, Guntara bangkit dan tanpa sengaja melihat ke arah salah satu lereng bukit. Meski dari kejauhan, ia bisa melihat ada seseorang berdiri diam dengan baju putih disana. Warnanya begitu kontras dengan gelapnya pepohonan di kaki bukit itu.

Pandangan Guntara mengedar dan seketia ia sadar tidak hanya satu, tapi puluhan orang berbaju putih berdiri diam diatas bukit itu.

“OY GUNTARA! AYO KEBURU HUJAN!” teriak Abbas dari kejauhan.

Refleks Guntara menoleh ke belakang dan menjawab teriakan itu.
“IYAAAA SEBENTAAR”

Lalu Guntara kembali melihat kearah bukit, namun seluruh orang tadi sudah menghilang secara tiba tiba. Guntara tertegun dan memastikan ia tadi tidak salah liat. Namun puluhan orang tadi memang tidak terlihat lagi satupun.

DARR!

Gemuruh petir dari kejauhan membuat Guntara segera berkemas dan berlari ke arah Abbas sambil memikirkan kejadian tadi. Beruntung, mereka bisa sampai ke tepian sawah sebelum hujan turun dgn deras. Mereka segera berteduh ke rumah paling dekat dengan sawah itu, rumah Datuk Pagaralam.

Datuk saat itu kebetulan berada di rumah dan melihat ada bayangan anak kecil berdiri dibalik gorden ruang tengahnya. Iapun berjalan pelan keluar dan membuka pintu. Dihadapannya kini ada 3 anak kecil yang sedang memandang sawah karena terkurung hujan.

“Eh, si Abbas jo Guntara.. bahujan hujan kalian?” (Eh si Abbas sama Guntara.. kehujanan?) sapa Datuk Pagaralam ramah walaupun tetap mengejutkan ketiganya.

“Eh assalamualaikum Tuak, maaf kami numpang bataduah yo, hujan“ (Maaf mau numpang berteduh dulu, hujan) ujar Abbas.

“Waalaikumsalam, jadih silakan ndak a doj. Atau ka di dalam sajo ndak? Kanai aia jo kalau di lua mah” (waalaikum salam.. silakan silakan atau di dalam saja masih kecipratan kalau diluar) tawar Datuk dari ambang pintu.

“Ndak a do tuak. Kami disiko se lah. Beko kok agak taduah hari wak balari se takuik malam lo hari” (Gapapa untuk disini saja. Nanti kalau udah agak teduh mau diterabas aja keburu malam) jelas Abbas lagi.

“Oo yolah, darima kalian ko? A isi embe ko?” (Ya, ya, abis dari mana kalian?.. bawa apa ini dalam ember?” Datuk Pagaralam mendekat dan membuka ember yang ditutupi daun pisang itu. Di dalamnya ada banyak langkitang dan belut sawah.

“Hahaha iko kalian nan manangkok?” (hahaha ini kalian yang nangkap?) tanya Datuk lagi dengan tertawa.

“Iyo tuak, dari sawah sinan” (Iya Tuk, dapat dari sawah disana) tunjuk Guntara.

“Datuak dulu maso mudo acok lo jo kawan kawan datuak mancari langkitang jo apo jo di sawah. Mancaliak ko jadi takana mudo ambo haha” (Datuk dulu pas masih muda juga sering sama teman teman datuk nyari langkitang sama serangga serangga sawah. Jadi ingat pas masih muda dulu haha).

Ternyata hujan tidak kunjung reda seperti harapan Abbas dan Guntara. Kini, mereka yang awalnya berdiri di tepi teras sudah duduk di bangku panjang mendengarkan Datuk bercerita. Meskipun hanya tiga bocah, Datuk tetap menjamu mereka dengan teh hangat yang ia buat.

Datuk Pagaralam memang tinggal sendirian setelah sang istri meninggal dunia beberapa tahun lalu, ia tidak memiliki satupun anak, maka dari itu sejak dulu ia dikenal dekat dengan anak anak kampung dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

Tidak seperti orang orang tua yang terkenal menyebalkan dan sering menggerutu, Datuk Pagaralam dimata anak anak kampung adalah orang sepuh yang ramah dan dermawan serta pandai bercerita.

“Pagi tadi urang heboh heboh ka maolah bukik nan iko ko yo tuak?“ (Tadi pagi itu heboh heboh di kantor Jorong mau ngolah bukit itu ya Tuk?) tanya Guntara setelah meneguk teh hangat yang ada di hadapannya.

“iyo, ang tibo lo jo ayah ndak?” (iya, kamu datang juga sama ayahmu kan ya?” ujar Datuk.

“Iyo tuak, a nan ka dibuek dek urang?” (Iya Tuk, emangnya mau dibuat apa sih?)

“Itu, nyo ka mambuek pabrik sawit di bukik tu, tu ka diubah nyo sawah jo kabun wak ko jadi kebun sawit. Tapi tu lah, masyarakaik manolak.. datuak ndak lo satuju do” (Itu, mereka mau bikin pabrik pengolahan sawit dan ubah bukitnya jadi kebun sawit. Tapi warga menolak..Datuk juga tidak setuju) jelasnya.

“Baa tu tuak?” (Kenapa memangnya Tuk?) Abbas yang tadi tidak hadir di forum Jorong penasaran dan ikut dalam pembicaraan, padahal ayahnya adalah orang yang juga berbicara pagi tadi.

“Sawit tu marusak tanah dek inyo tu paneh.. kok sampai pohon pohon di bukik tu habih baganti jo sawit, bisa bisa sawah nan lain jo tanah kampuang ko jadi masiak tu hari ko angek jo taruih alun lai kok hujan, bisa longsor bagai”

(sawit itu ngerusak tanah dan dia itu panas.. kalau sampai pohon pohon di bukit itu habis dan diganti sawit, bisa bisa tanah sawah dibawah kering dan suhu kampung ini jadi panas.. belum lagi kemungkinan longsor) jelas Datuk.

Abbas dan Guntara mengangguk paham. Mereka belum memahami hal hal semacam ini sebelumnya. Disisi lain Datuk juga tidak ingin menceritakan tentang dugaan keuntungan pribadi yang mungkin dilakukan Supardi dan Buyung.

“Tapi Tuk, tadi Tara ado like ado urang baju putiah putiah sampiang Datuk sia tu? Tara patamo kali bana sobok rasonyo lah” (tapi Tuk.. tadi Tara liat ada orang pakai baju putih putih disamping Datuk, itu siapa ya? Kayaknya Tara baru liat pertama kali tadi) ujar Guntara.

Datuk Pagaralam mendelik. Matanya memandangi Guntara untuk beberapa saat dan senyumnya hilang.

“Urang babaju putiah? Dima nampak diang?” (Orang baju putih? Dimana kamu liat?) tanya Datuk memastikan.

“Di sampiang datuak bana. Nyo masuak siap bang Dedet babao kalua, Ndak takana Datuak do?” (Disamping Datuk persis. Dia masuk habis bang Dedet dibawa keluar.. masa Datuk ga ingat)” tanya Guntara lagi semakin menekan.

“Oooh, iyo ingek. Urang kampuang sabalah tu. Sanaknyo pak Menan, inyo lah lamo ndak pulang mangko ndak parnah nampak diang” (Oooh, iya ingat ingat, itu orang kampung sebelah. Saudaranya Pak Menan, udah lama memang ga pulang makannya kamu gatau) ujar Datuk terkekeh.

“Tapi tadi Tara nampak lo apak tu di bukik ko Tuak.. wakatu hari ka hujan.. tapi sabanta nyo lah hilang. Asiang jo bantuaknyo ado urang di bukik satinggi tu pakai baju putiah putiah” (tapi tadi Tara liat orang yang sama di bukit kek.. pas udah mau hujan.. Cuma sekilas terus ilang. Aneh aja kenapa di bukit setinggi itu dan pakai baju putih putih..) ujar Guntara menceritakan semua yang ia liat.

“waang liek di bukik?” (kamu liat di bukit?) Datuk berusaha meyakinkan.

“Iyo tuak, ado banyak, tu mailang nyo lai” (Iya, ada banyak, terus tiba tiba hilang..)

Abbas memandangi Datuk menunggu jawaban. Wajah Datuk awalnya nampak serius namun tiba tiba saja tersenyum.

“Pasti ang nampak sabalun kilek gadang ndak?” (pasti kamu liatnya sebelum ada petir besar ya?) tanya Datuk lagi masih dengan senyuman penuh arti.

Yo batua tuak. Ndak lamo siap tu tibo kilek gadang” (betul Tuk. Ga lama langsung petir besar) jawab Guntara.

“Ooh indak gai urang tu doh. Itu cahayo kilek tu nan balantun ka batang batang di hutan tu. Datuak nan rumah maadok bukik ko acok lo mancaliak a nan Tara liek tu mah, kok ka ujan. Patatamo kicek den iyo urang lo, tapi ndak taunyo kilek sajo nyo”

(ooh itu bukan orang, itu kilatan yang kena pantulan di pohon pohon hutan. Datuk karena rumahnya menghadap bukit juga sering liat yang kayak gitu kalau mau hujan. Kirain orang, tapi ternyata pantulan kilat)

“Ooo dek itu mangko langsuang mailang nyo yo tuak” (ooo pantas langsung hilang ya) ujar Guntara merasa pertanyaannya terjawab dengan hal logis dari Datuk.

“Nah iyo, ko Abbas jo Mina nampak lo?” (Iya, ini Abbas sama Mina juga lihat?) tanya Datuk melemparkan pandangannya ke kedua kakak beradik itu. Namun keduanya menggeleng.

“Tadi si Guntara tingga lakang dek mauruih langkitangnyo dulu tuak” (Tadi Guntara memang ketinggalan di belakang sendirian karena mungutin langkitangnya dulu Tuk..) jelas Abbas.
Datuk hanya mengangguk.

Sekitar pukul lima sore, hujan akhirnya reda dan ketiganya berpamitan dengan Datuk Pagaralam setelah sebelumnya berterimakasih dengan jamuan teh hangat serta izinnya untuk berteduh.

Abbas menggendong Mina dan membawa seember penuh langkitang dan belut sawah tadi di tangan kanannya. Sementara Guntara berjalan di belakangnya sambil menghindari beberapa lubang yang kini sudah tergenang air.

Di persimpangan jalan Surau Pamatang, ketiganya kembali berpisah. Sama seperti kemarin, Abbas memeriksa koin koin receh yang tercecer di atas Pusaro Badantam. Saat menyadari abangnya berjalan kembali ke arah makam keramat itu, Mina coba mengingatkannya

“Bang.. tapi kata nenek gaboleh ambil uang disini kan..” ujarnya takut.

“Abang gaada pilihan lain dek.. abang gamau nenek harus hutang sana sini gara gara kita..” ujar Abbas sambil memunguti satu persatu uang koin disana.

Hujan tiba tiba saja kembali turun dan memaksa Abbas dan Mina berteduh di tepi makam sambil menunggu hujan mereda. Saat keduanya tengah berteduh, tiba tiba saja seorang pria berpayung berjalan kearah mereka.

Pria itu menyadari keberadaan Abbas dan Mina lalu menatap keduanya dengan tatapan sinis.

“Manga ang di sinan Bas?..” (ngapain kamu disana Bas?) tanya pria itu.

Abbas tersentak dan menengok ke arah pria berpayung itu.

“Sa..sadang bataduah, ayah..” (la.. lagi berteduh, ayah..) ujarnya tergagap melihat Buyung, ayah kandungnya ada di hadapannya sekarang..

Buyung memperhatikan gelagat anaknya itu dan melihat beberapa uang koin yang ia genggam lalu melirik ke arah Pusaro Badantam.

“Ang ambiak pitih pusaro ko???” (Kamu ambil uang di makam ini??) suara Buyung meninggi.
Abbas gemetar dan tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya sendiri.

“TAGAK ANG!” (BERDIRI KAMU!) perintah Buyung.

Abbas segera berdiri dan tanpa ia sadari uang uang receh yang ia selipkan di bajunya berjatuhan.

PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Abbas dengan sangat keras hingga ia terjatuh.

“CARI MALU DEN JO ANG ANJIANG!” (MENCARI MALU SAYA AJA KAMU ANJING!) hardik Buyung.

Abbas meringis sambil memegangi pipinya yang memerah. Mina yang ada di gendongannya segera direbut oleh Buyung secara kasar hingga Mina sedikit berteriak karena genggaman ayahnya yang terlalu keras.

“PULANG ANG KINI!” (PULANG KAMU SEKARANG!) ujar Buyung sambil berjalan dibawah payung bersama Mina, sedangkan Abbas menyusulnya di belakang, basah kuyup oleh hujan yang belum reda.

***

“Assalamualaikum buu” ujar Guntara sambil melangkah masuk ke rumahnya.

“Waalaikumsalam, kehujanan bang? Ayah mana?” jawab ibu Guntara yang sedang meminum teh di ruang tengah.

“Ayah tadi ke pasar sendiri bu, Tara tadi pergi sama Abbas nyari langkitang” jawab Guntara.

“Loh kamu jadi main sama Abbas? Itu ibu ada masakan buat dia sama Mina makan, antarin ke rumahnya bang” pinta Ibu.

“Oh iya lupa tadi bu soalnya ketemunya pas di Jorong” jawab Guntara.

“Ibu siapin dulu, nanti kalau hujannya sudah agak redaan kamu baru jalan” pesan ibu.
Ibu lalu beranjak ke dapur, menyendok sayur sop dan beberapa potong tahu ke dalam plastik. Ibu juga membungkus nasi untuk porsi tiga orang makan.

“Ini, pakai payung ya. Pelan pelan jangan sampai jatuh” pesan ibu sambil menyerahkan payung dan makanan tadi kepada Guntara.

Guntara lalu kembali menyusuri jalan kampung menuju rumah Abbas. Guntara sudah terbayang wajah Mina yang akan sangat ceria menerima makanan enak ini nantinya.

Sesampainya di depan rumah Abbas, ketika hendak mengetuk, Guntara mendengar suara laki laki yang membentak bentak di dalam.
“WAANG JAN CARI MALU ADEN JO ANJIANG! MANGA ANG AMBIAK PITIH TU HAH?? KA JADI MALIANG ANG??” (KAMU JANGAN BUAT MALU SAYA! NGAPAIN KAMU AMBIL UANG ITU HAH?? MAU JADI MALING KAMU??)

Lalu tak lama, terdengar hantaman yang cukup keras dari dalam rumah itu...

Guntara sempat ragu untuk mengetuk pintu tersebut tapi ia memutuskan melanjutkannya demi mengantarkan makanan titipan ibunya.

“Assalamualaikuum, Abbas, Minaa..” panggil Guntara.

Suara orang yang heboh di dalam sejenak berhenti. Lalu pintu terbuka perlahan, tidak secara penuh. Di hadapan Guntara kini berdiri Nek Pampang dan Mina yang keduanya terlihat sedang menangis. Terutama Mina yang masih terus mengalirkan air matanya dan sesegukan.

"Waalaikumsalam, Guntara..” ujar Nek Pampang pelan.

“Abbasnya ada nek?” tanya Guntara.
Nek Pampang diam, bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.

“Inyo sadang mandi di balakang.. ado apo tu?” (Dia lagi mandi di belakang.. ada apa?) tanya Nek Pampang.

“Ooh.. yaudah, ini ada makanan nek, buat Abbas, Mina sama nenek dari ibu” ujar Guntara sambil memberikan plastik itu.
Namun wajah Mina maupun nenek tidak menunjukkan wajah bahagia. Hanya sebuah senyuman getir yang nenek tunjukkan sambil meraih plastik itu.

“Ooh.. iyo tarimo kasiah banyak yo.. salam untuak ibu jo ayah..” (ooh iya terima kasih banyak ya.. salam untuk ibu sama ayah..) ujar nek pampang dan langsung menutup lagi pintunya rapat rapat.

Guntara lalu beranjak pulang. Namun baru beberapa langkah dari rumah Abbas, tiba tiba saja pintu itu kembali terbuka.

“OY GUNTARA!” panggil Buyung yang sudah berdiri diambang pintu.

Guntara berbalik dan melihat ke arah Buyung yang mengangkat bungkusan hitam ditangannya. Itu adalah plastik yang Guntara bawa tadi.

“Kamari lah ang” (kesini kamu) ujar Buyung.
Setelah Guntara tiba di hadapannya lagi, Buyung menyerahkan makanan itu kembali ke Guntara.

“Makanan kami lah banyak. Ndak diam ang agiah agiah jo makanan ko ka Abbas. Bao pulang liak, makan dek amak jo ayah ang” (makanan kami sudah banyak. Kamu gausah kasih makanan ini ke Abbas. Bawa balik saja, makan sama ayah dan ibumu) ujar Buyung ketus.

Guntara tidak mampu berkata apa apa. Aura dan sikap Buyung yang kasar membuatnya takut untuk sekedar menjawab ucapan itu. Tanpa sengaja, Guntara melirik ke dalam karena saat itu Buyung membuka pintunya cukup lebar.

Di dalam Mina sedang menangis sambil dipeluk Nek Pampang, sementara Abbas sedang duduk membenamkan kepalanya ke pahanya.

“Lah pulang lah ang lai” (Udah kamu pulang sana) ujar Buyung lagi sambil menutup pintunya.

Guntara pulang dengan hati gusar. Ia tau sesuatu sudah terjadi di dalam rumah Abbas. Namun ia tidak bisa melakukan apa apa.
Ketika Guntara kembali ke rumah, Bagindo Sati sudah pulang dan sedang mengobrol dengan istrinya di ruang tengah saat anaknya itu muncul dari pintu dengan kantong plastik di tangannya.

“Loh gajadi dikasih ke Abbas bang?..” tanya ibu.

“Ngasih apa bu?” tanya Bagindo.

“Itu tadi ibu nitip makanan buat Mina sama Abbas, kasihan makan belalang sama langkitang terus..” jawab ibu.

“Sudah Guntara anterin bu.. tapi sama pak Buyung dikembaliin lagi..” jawab Guntara apa adanya.

“Astagfirullah..” ujar Bagindo Sati dan istrinya hampir bersamaan.

“Besok kalau kamu main sama dia, ajak ke rumah saja ya.. gausah bilang ajak makan, alasan saja ambil sesuatu, biar dia sama adiknya makan disini..” ujar Bagindo Sati prihatin.

“Iya yah..” jawab Guntara.

***

Seorang berkumis tebal dengan kepala plontos mengetuk sebuah rumah berdinding kayu dengan ketukan yang cukup keras saat hari baru saja menjelang malam.

TOK TOK TOK!

Supardi yang saat itu masih di dalam kamarnya seakan sudah tau siapa yang ada di balik pintu rumahnya malam itu. Dengan tergesa ia mengenakan pakaian lengkap dan sedikit menyisir rambutnya.

Supardi membuka pintu dan sesuai dugaannya, di hadapannya kini sudah ada Sidi, seorang utusan dari PT pengolahan sawit yang sangat berminat membangun kebun di lereng dan bukit kampung.

“Bagaimana? Sudah dapat persetujuan mereka?” tagih Sidi tanya mengucapkan salam atau berjabatan tangan dengan lawan bicaranya.

“Belum.. mereka benar benar berkepala batu..” ujar Supardi.

“Apa bayarannya kurang? Mereka minta berapa?” tanya Sidi lagi.

“Tidak, saya bahkan belum masuk ke tahap negosiasi harga dengan mereka. Mereka terlalu takut menjual tanah adat dan melangkahi hukum adat turun temurun”

“Loh kamu kan Ketua Jorong mereka. Harusnya mereka patuh karena ucapan dan perintahmu adalah hukum adat baru buat mereka” tekan Supardi.

“Tidak semudah itu. Mereka lebih mendengarkan ucapan Sati dan si tua Pagaralam” ketus Supardi.

“Terserah, kami memilihmu untuk melancarkan proyek ini karena kami tau kamu adalah pemimpin mereka. Kami sudah menawarkan banyak hal padamu jika saja proyek ini sukses. Waktunya semakin sempit, satu bulan lagi saya harap semuanya sudah beres dan pembukaan lahan sudah bisa dimulai bagaimanapun caranya. Atau kalau kamu tidak sanggup, kamu bisa membatalkannya dan saya akan menawarkannya pada orang lain” balas Sidi.

“Tidak usah gegabah membatalkan proyek ini. Saya hanya bilang belum, bukan gagal dan mundur. Siapkan saja perjanjiannya dan biarkan saya mengurus warga dusun ini” ujar Supardi dengan yakin.

“Satu bulan. Lebih dari itu, saya anggap semuanya batal” ujar Sidi sambil menunjuk Supardi dengan mata mengancam.

Sidi lalu berlalu meninggalkan rumah itu bersama Supardi yang masih mengatur siasat cara meyakinkan warga desa.

Sementara itu di sudut kampung, di sebuah rumah dengan kondisi yang memprihatinkan, Dedet baru saja bangun setelah tidur sore karena hujan lebat itu segera menimba air di belakang rumahnya. Ia lalu menghidupkan api dengan kayu bakar dan memanaskan air tampungan hujan untuk minum keesokan hari. Ia melakukan semuanya sendiri karena tidak ada orang lain di rumah itu selain dirinya dan sang ayah.

Setelah semua siap, Dedet mengetuk pintu kamar tengah dan membangunkan sang ayah yang masih tertidur.

“Yah.. jago lu nah.. mandi jo Dedet” (Yah, bangun dulu.. mandi dulu sama Dedet ya) ujarnya lembut.

“hgh!” hanya itu suara yang dikeluarkan Heri, ayah kandung Dedet.

“Nah yah, barasiahan dulu cirik mato lah manumpuak” (ayo yah, dibersihin dulu itu kotoran matanya udah numpuk) ujar Dedet lagi masih dengan penuh sabar.

“hmh!” Heri sudah terbangun namun ia terus menghindar sambil menutup telinganya.
Begitulah keadaan Heri, sejak lima tahun lalu Heri depresi secara tiba tiba. Dahulu ia adalah orang yang dikenal pintar dan juga ramah, namun pada suatu hari orang menemukannya tertidur dibawah sebuah pohon di kaki bukit dalam keadaan seperti orang bingung. Sejak saat itu heri berkelakuan seperti orang gila.

Ia tidak bisa berkomunikasi dan perilakunya seperti anak anak. Akibat hal ini juga istrinya meninggalkan Heri dan Dedet begitu saja karena tidak sanggup mengurus suaminya itu. Hanya Dedet yang dengan setia mendampingi ayahnya itu dan mengurusinya setiap hari dengan penuh kesabaran.

Dedet yang berusia delapan belas tahun saat ini harus menerima keadaan bahwa sekolahnya terputus dan ia harus bekerja pagi hingga sore mengurus sawah peninggalan ayahnya. Hanya ini dan rumah sederhana itu saja harta dari Heri yang tersisa, sementara sisanya dibawa kabur oleh istrinya termasuk tabungan emas dan uang tunai yang Heri simpan selama ia normal dahulu.

Dengan telaten, Dedet membopong ayahnya ke pintu belakang. Disana sudah ada beberapa ember kecil yang sudah terisi air untuk keperluan ayahnya mandi. Ia mengguyurkan badan ayahnya itu dan mulai memandikannya dengan penuh kesabaran. Sesekali Heri memberontak dan menepis tangan Dedet, namun Dedet membalasnya dengan genggaman hangat dan terus mengajak ayahnya itu mengobrol.

“YOLAH ANAK PANT*K ANG! MAMPAYAH GAEK JO KARAJO ANG!” (ANAK PANT*K! NYUSAHIN ORANG TUA AJA KAMU!) bentak Heri pada anaknya.

Kelakuannya memang demikian, Heri bisa saja membentak dan menghujat anaknya secara tiba tiba tanpa alasan yang jelas.

“Iyo yah.. iyo..” ujar Dedet dengan sabar. Ia tidak pernah ambil hati dengan perkataan apapun yang terlontar dari mulut sang ayah. Yang ia ingat adalah saat ayahnya dahulu mendidiknya sat masih kecil. Sosok seorang ayah terbaik dan sangat perhatian kepada dirinya dan ibu kandungnya. Pribadi yang baik dan perhatian itu ia sadari ada di dalam diri ayahnya sampai kapanpun.

“Yah.. maaf tadi Dedet tabaok emosi dek ado nan mancimeeh ayah..” (yah maaf tadi Dedet kebawa emosi karena ada yang jelek jelekin ayah) ujar Dedet sambil menggosok punggung ayahnya. Ia akan menceritakan apapun yang ia alami dan rasakan karena memang Heri adalah satu satunya keluarganya yang tersisa.

“HEM! MANGA JO ANG LAI BARUAK??” (HEM! NGAPAIN KAMU MONYET??)

“…Pak Buyuang mancumeeh ayah di muko urang banyak.. Dedet ndak tarimo doh, tu tabao emosi disinan..” (pak Buyung ngejek ayah di depan orang banyak.. saya ga terima pak dan sempat emosi disana..) jelas Dedet.

“YO ANAK NDAK TANTU DEK UNTUANG ANG TU LAI JALEH??” (EMANG ANAK GATAU DIUNTUNG KAMU GA BERGUNA! NGERTI KAMU??) ujar Heri lagi.

“Iyo yah.. iyo..”

Dedet tidak sama sekali butuh jawaban dan nasehat sang ayah. Ia hanya ingin Heri masih sadar akan perannya dan sadar memiliki anak yang akan selalu mengadu apapun pada ayahnya. Dedet sendiri juga tetap melakukan ini karena dengan begini ia juga merasa memiliki tempat untuk mengadu sebagai seorang anak.

***

Datuk Pagaralam baru saja menyudahi bacaan Qurannya saat terdengar suara adzan shubuh dari kejauhan. Datuk mengenakan baju kokonya dan sarung lalu mengambil wudhu di sungai kecil depan rumah.
Saat sedang menggayung air dengan tangannya, tiba tiba ia melihat pantulan seseorang yang berdiri di sisi lain sungai tepat di seberang Datuk berada.

Datuk yang menyadarinya lalu berkata,
“Ucap Assalamualaikum gai baa..” (ucap Assalamualaikum dulu memangnya gabisa?..)

Namun sosok berbaju putih berwajah datar itu hanya diam dengan pandangan kosong memandang Datuk.
Datuk tetap meneruskan wudhunya hingga selesai, sementara sosok itu masih disana.
Setelah membasuh kaki dan berdoa wudhu, Datuk Pagaralam lalu memandang balik pria itu lalu bertanya.

“A kaba?..” (Ada kabar apa?..)

“…” mulut sosok ini masih terdiam. Namun ia berkomunikasi dengan Datuk melalui suara di dalam kepala Datuk sendiri.

“..ka tibo bancano gadang ka kami..” (akan ada bencana besar bagi kami..) ujar suara pria itu di dalam kepala Datuk.

“ A nan ka tajadi tu??” (apa yang akan terjadi?) tanya datuk.

“..kami alun tau.. tapi patandonyo lah ado di tanah kaami" ujarnya lagi masih tanpa menggerakan mulutnya.

“Jadi dek itu kalian manampakan diri ka paja ketek tu tadi?..” (Jadi karena itu kalian menampakan wujud kalian ke anak kecil itu tadi?..)

“Iyo.. dek satu diantaro anak tu nan ka mamulai bancano ko..” (iya.. karena satu diantara anak tadilah yang akan memulai bencana ini)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close