MEMUTUS JERAT PESUGIHAN
Keris yang Tertanam di Tubuh
JejakMisteri - Apakah aku pernah merasa takut, ketika berhadapan dengan mereka’?
Itulah pertanyaan yang sering kudengar dari kebanyakan orang. Manusia pasti punya rasa takut. Tentu aku juga pernah merasakan takut.
Salah satunya, ketika pertama kali berhadapan dengan hantu. Si Nenek muka rata penghuni pohon kersen dekat rumah. Itu saja sudah membuat susah tidur.
Lambat laun, aku memang sudah terbiasa. Terutama setelah Si Kingkong dan Si Hitam (Macan Kumbang) datang. Kedua penjagaku itu selalu mengajakku ‘jalan-jalan’ untuk melihat atau berkenalan dengan makhluk-makhluk gaib, baik yang positif maupun negatif. Dari yang berbentuk manusia normal sampai yang tidak jelas bentuknya.
Namun.. kejadian malam itu membuatku benar-benar ketakutan. Tidak hanya aku saja, bahkan kedua penjagaku ikutan panik menghadapinya.
Oktober 2019. Pagi itu aku sedang ada di rumah, selonjoran sambil menonton tv.
Ting! Sebuah pesan masuk dari temanku Deni.
[Mir, lu lagi ngapain?]
[Lagi nonton tv, napa emang Den?]
[Kalau ada waktu, datang kemari, Mir. Ada yang mau gw omongin]
[Omongin sekarang aja]
[Gak bisa, lu musti kesini dulu]
[Ya udah, ntar jam 10 gw kesana]
Deni ini bukan orang biasa. Jika aku baru dua tahun bisa melihat ‘mereka’. Dia sudah bisa melihat ‘mereka’ sejak lima tahun lalu. Setidaknya dalam dunia gaib, dia sudah lebih senior.
Namun kata-katanya tadi membuatku sedikit curiga. Jarang-jarang dia memintaku datang, tanpa menceritakan masalahnya. Aku jadi berpikir, masalah segenting apa yang hanya boleh dibicarakan di rumahnya saja.
Setelah mandi, aku pun bergegas ke rumahnya, mengendari sepeda motor. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh, hanya 15 menit pun sudah sampai.
Baru masuk gang depan rumahnya. Aku sudah melihatnya berdiri di halaman depan, seperti tau kedatanganku.
“Tau aja gw datang,” sapaku sembari memparkirkan sepeda motor di halaman rumahnya.
“Ya dong, udah ada yang datang duluan soalnya,” balasnya.
“Siapa?”
“Tuh.” Deni menunjuk sosok yang ada di depan pintu rumahnya.
“Oh.. Si Hitam dah nyampe duluan. Ngomong-ngomong ada apaan sih, Den. Tumben banget lu nyusuh gw ke sini siang-siang. Dah gitu gak ngasih tau pula ada apaan,” ucapku.
“Kita obrolin di dalem aja yuk! Sambil ngopi,” ajak Deni seraya berjalan masuk ke rumahnya.
“Jadi apa apa, Den?” tanyaku sambil menyandarkan punggung di sofa ruang tamunya.
“Sabar dong, gw musti manggil orangnya dulu,” balasnya.
“Orang-orangan atau orang beneran nih?”
“Orang beneran lah, bentar ya,” balasnya lalu berjalan ke luar rumah.
Baru tiga kali menyeruput kopi, Deni sudah datang membawa seorang anak.
“Nih, Mir. Kenalin namanya Ilham,” ucap Deni sambil meminta Ilham untuk menghampiriku.
Ilham nampak malu-malu. Dia terus menundukan kepala, tidak mau melihat wajahku. Apa aku semenakutkan itu?
“Ada apa sih, Den?” tanyaku kebingungan.
“Ham, kamu duduk di deket kakak itu,” pinta Deni pada Ilham yang daritadi hanya berdiri di samping sofa. Ilham pun menuruti perintah Deni, duduk di dekatku.
“Lu belum jawab ada apa, Den?”
“Coba lu perhatiin dia.”
Aku menatap Ilham yang masih menundukan kepalanya.
“Gak ada apa-apa ah, Den.”
“Ah, Si Hitam aja udah tau ada apaan,” ucap Deni sambil melirik ke arah Si Hitam yang ada di belakangku.
Aku menoleh, Si Hitam sedang dalam posisi siaga. Tatapan tajamnya terus mengarah pada Ilham.
“Apa apa sih?” tanyaku pada Si Hitam.
“Liat di pundaknya, Amir. Fokus!” Aku kembali melihat Ilham, berfokus pada bagian pundak.
“Keris?” Deni menganggukan kepala.
Aku terus menatap keris kecil yang tertanam di pundaknya. Gambaran demi gambaran mulai bermunculan, untuk mengetahui asal-usul keris itu.
“Asli dah! Jahat amat ada yang tanam begituan,” ucapku kesal, diikuti anggukan kecil Deni.
“Lu dah tau, Den?” sambungku.
“Udah, mangkanya gw panggil lu kemari,” balasnya.
“Lah? Napa gak lu lepas itu, kasian tau.”
“Udah gw coba, tapi gak bisa, Mir.”
“Kok gitu?”
“Energinya gede banget, gak sanggup gw.”
“Jadi maunya gimana ini, dilepas?”
“Coba lu tanya anaknya!”
“Ham.. kamu tau ada yang tanam keris kecil di pundak?” Dia hanya membalas dengan gelengan kepala.
“Ham, pengen tau gak itu apa?” tanyaku.
Ilham mengangkat kepalanya, menoleh ke arahku.
“Pengen, Kak,” ucapnya pelan.
“Jadi.. ada orang yang mau numbalin kamu.”
“Siapa, Kak?”
“Bapak kamu. Dia bikin perjanjian sama dukun di tempat kamu tinggal dulu. Nanti, setelah umur 17 tahun, nyawa kamu bakal dituker sama harta kekayaan. Sekarang umur kamu berapa?”
Ilham nampak syok dengar ucapanku, “Sepuluh tahun, Kak,” balasnya dengan wajah ketakutan.
“Sekarang mau kamu gimana? Kakak cabut atau biarin aja?”
“Cabut ajalah, Mir,” sela Deni.
“Iya kak, cabut aja,” balas Ilham.
“Kamu tau gimana cara nyabut itu?” tanyaku pada Si Hitam melalui ucapan batin.
“Apa kamu yakin mau mencabut keris itu?” tanyanya balik.
“Yap, kasian anak itu.”
“Apakah kamu yakin?” tanyanya lagi.
“Iya.”
“Kenapa kamu tidak membiarkannya saja,” ucap Si Hitam.
“Kenapa bilang begitu?”
“Karena itu sudah jalan hidupnya.”
“Tapi kan.. masih bisa ditolong.”
“Iya, hanya saja resikonya sangat besar.”
“Resiko besar?”
“Efeknya tidak hanya pada anak itu. Siapapun yang melepas jerat pesugihan, dia akan diincar terlebih dahulu. Tidak hanya kamu saja, tapi semua anggota keluargamu juga. Jadi saya tidak menyarankan untuk membantunya.”
“Hmm.. tapi apa kamu bisa membantu melepas keris itu?” tanyaku.
“Bisa, tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku takut jika Si Kingkong akan memarahiku.”
“Tenang, nanti aku akan bicara padanya. Sekarang bisakah kamu mengajariku cara mencabut keris itu.”
“Tidak sulit, hanya tinggal tempelkan tangan kirimu ke pundaknya. Setelah itu bacakan surat al-fatihah dan an-naas 3x, sambil kuatkan niat untuk mencabutnya.”
“Baiklah.”
Aku pun mengikuti arahan Si Hitam, menempelkan tangan kiri ke pundak Ilham. Rasanya panas, setiap kali aku membacakan surat an-naas. Lama kelamaan, tanganku mulai terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Jangan ragu,” ucap Si Hitam.
Aku menutup mata, mencoba untuk tetap fokus. Pada bacaan terakhir, keris itu sudah ada di genggamanku. Namun, keris itu tiba-tiba menghilang dalam hitungan detik.
“Udah, Mir?” tanya Deni.
“Udah,” balasku.
“Alhamdullilah.”
Benar ucapan Deni, keris itu memiliki energi yang besar. Rasanya lemas sekali, sepertinya energiku sudah terkuras habis.
“Makasih, Kak,” ucap Ilham tersenyum. Ini baru pertama kali dia berani menatapku langsung.
Selanjutnya kami mengobrol cukup lama. Sikap Ilham pun sudah berubah, tidak malu-malu lagi. Dia menceritakan tentang kehidupannya di kampung, sebelum pindah ke sini.
Adzan dzuhur berkumandang, Ilham pamit untuk pulang ke rumah.
“Gw balik juga ya, Den.” Aku pun ikut pamit.
“Oke, Mir. Hati-hati dijalan.”
Dengan badan masih lemas, aku pulang mengendarai sepeda motor. Entah kenapa sepanjang perjalanan perasaanku tak enak. Aku terus berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa.
Tiba di rumah, aku langsung menuju kamar. Baru saja membuka pintu kamar, aku langsung dikagetkan dengan kehadiran Si Kingkong yang duduk di atas kasur.
“Bodoh kamu, Mir!” ucapnya kesal.
“Ada apa, Kong?”
“Kenapa kamu melakukan itu.”
“Mencabut keris itu?”
“Iya!”
“Tidak apa-apa, sudah selasai kok.”
“Selesai katamu? Mulai saja belum.”
“Hah?”
“Apa kamu tidak memberitahunya?” Si Kingkong bertanya pada Si Hitam yang bersembunyi di belakangku.
“Sudah,” balas Si Hitam.
“Lantas, kenapa kamu masih mau melakukan itu, Mir,” ucap Si Kingkong.
“Aku kasian, dia masih kecil dan tidak tau apa-apa.”
“Argh.. sudahlah. Semua sudah terjadi,” keluhnya seraya membalikan badan ke tembok.
Aku menghampirinya, duduk di ujung kasur.
“Kenapa sih daritadi marah-marah mulu,” ucapku sambil mengelus bulu halus di kepalanya.
“Tumben kamu takut,” sambungku.
“Bukan begitu.”
“Terus?”
“Aku takut diomeli ‘Kakek’ jika terjadi sesuatu padamu.”
“Tenang, aku baik-baik saja kok.”
“Sekarang baik-baik saja, tapi nanti? Siapa yang tau.”
“Ya sudah itu urusan nanti, sekarang aku mau sholat terus istirahat dulu. Badanku lemas banget.”
Sehabis magrib, aku sedang mengobrol bersama kakak dan ibu di ruang tamu. Dari dalam kamar, terdengar ponselku terus berdering.
“Siapa sih, gak tau apa magrib,” ucapku dalam hati sambil berjalan menuju kamar.
“Deni? Ngapain dia nelpon magrib-magrib,” gumamku. Aku angkat teleponnya.
“Mir, bisa kesini gak?” tanyanya dari balik telepon. Suaranya terdengar panik.
“Ada apa, Den?”
“Dah buruan kesini! gawat pokoknya.”
“Gawat?” tanyaku, tapi Deni sudah keburu menutup teleponnya.
Kedatangan Sang Iblis
Aku bergegas pergi ke rumah Deni. Di depan rumah, Si Kingkong sedang duduk di atas motor.
“Yang saya takutkan benar-benar terjadi,” ucapnya.
“Kamu sudah tau?” tanyaku.
“Iya.. dukun itu mulai melancarkan aksinya. Ini sangat bahaya bisa ada korban,” balasnya.
“Argh.. ini juga gara kalian berdua sih,” lanjutnya.
“Maafkan saya,” ucap Si Hitam.
“Ya sudah. Minggir, Kong! Aku mau naek motor,” ucapku. Dia pun tiba-tiba menghilang, bersama Si Hitam. Aku langsung menyalakan motor dan meluncur ke rumah Deni.
Di sepanjang perjalanan, perasaanku tak tenang. Aku terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
“Dia sudah tau kedatanganmu,” ucap Si Hitam yang tiba-tiba muncul di belakangku.
“Terus?”
“Kamu harus hati-hati, dia bisa saja menyerangmu sekarang.”
“Si Kingkong kemana?”
“Dia sedang berjaga-jaga.”
Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai di depan rumah Deni. Kulihat ada beberapa sepeda motor yang terparkir di halamannya. Dengan cepat aku turun dari motor dan berlari ke dalam rumahnya.
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam, saat memasuki ruang tamu. Ternyata Deni sedang tidak sendiri, ada tiga orang bersamanya.
“Walaikumsalam,” jawab mereka bersamaan.
“Nah.. Si Amir dah datang,” ucap Deni menyambutku lalu berdiri. Deni langsung memperkenalkan ketiga temannya itu. Namanya Hadi, Zainal dan Jajang. Setelah perkenalan singkat, Deni langsung mengajak kami semua ke rumah Ilham.
“Ilham gak kenapa-napa kan, Den?” tanyaku memecah keheningan.
“Nanti liat langsung aja ya, Mir,” balasnya sambil mempercepat langkah.
Sampai di depan rumah Ilham, sudah banyak warga yang berkumpul. Kedatangan kami menjadi pusat perhatian mereka.
“Eh Dek, mau kemana? Jangan masuk!” ucap salah satu warga yang sedang duduk di teras depan.
“Gak apa-apa, Pak RT. Biarin mereka masuk,” ucap seorang bapak-bapak yang berdiri di samping pintu.
“Kenalin, Mir. Ini bapaknya Ilham,” ucap Deni.
“Panggil aja, Pak Mul,” ucap bapaknya Ilham memperkenal diri.
“Iya, Pak. Saya juga mohon maaf. Ini semua gara-gara saya,” balasku.
“Ini semua salah bapak. Yuk masuk! Kita obrolin di dalam saja.” Pak Mul mengajak kami semua masuk, duduk di ruang tamu. Dari dalam rumah terdengar suara tawa. Sepertinya itu suara Ilham, tapi agak lebih berat.
“Itu Ilham, Pak?” tanyaku.
“Iya, dari sore tadi begitu terus,” balasnya.
“Boleh saya liat?” tawarku.
“Jangan dulu! Guru saya udah ada di dalem,” balas Zainal.
“Iya, Dek,” ucap Pak Mul.
“Mereka bertiga ini, anak pesantren deket sini, Mir. Sekarang gurunya lagi di dalem,” jelas Deni.
“Oh.. maaf tadi belum sempet ngobrol banyak,” balasku.
Pak Mul mulai bercerita tentang awal mulanya dia melakukan perjanjian dengan dukun itu.
“Di daerah bapak, dia itu dukun yang cukup terkenal,” ucap Pak Mul.
“Walaupun bapak sering mendengarnya dan teman-teman bapak ada yang bekerja sama dengannya. Bapak sama sekali tidak tertarik,” lanjutnya.
“Terus sekarang? Bapak malah bekerja sama dengannya,” balasku.
“Bapak terpaksa, Dek. Usaha bapak bangkrut, istri bapak mulai sakit-sakitan. Bapak butuh uang untuk pengobatan dia.”
Kutatap wajah Pak Mul, mulai muncul gambaran-gambaran masa lalunya. Saat istrinya sakit, sembuh lalu meninggal.
“Ujung-ujungnya sama saja kan? Setelah istri bapak sembuh, dukun itu malah mengambilnya.”
“Iya, Dek.”
“Sekarang giliran Ilham. Apa bapak udah tau juga?”
“Udah, Dek. Setelah bapak tau kalau Ilham bakal jadi tumbal, bapak buru-buru pindah rumah.”
“Pindah rumah juga percuma, Pak. Dukun itu akan tetap mengejar bapak. Apalagi dia udah tanam keris itu di badan Ilham.”
“Bapak udah tobat, Dek. Bapak juga udah nyoba cari orang yang bisa lepas itu keris, tapi banyak yang gak berani. Deni juga udah coba, tapi gak bisa,” ucap Pak Mul.
“Kemaren Deni bilang ada temen dia yang mungkin bisa lepas. Jadi bapak minta Deni untuk panggil Dek Amir. Bapak juga terimakasih ke adek, udah mau bantu Ilham. Cuman bapak gak tau kalau efeknya jadi begini,” sambung Pak Mul.
“Sekarang kita harus berdoa, semoga Ilham baik-baik aja,” balasku.
Suara jeritan dan tawa Ilham masih terdengar dari dalam kamarnya. Aku sungguh penasaran. Sebenarnya, apa yang terjadi di dalam?
“Dia bisa mati, Mir,” ucap Si Hitam.
“Maksudmu?”
“Orang itu tidak bisa mengeluarkan Jin dari dalam tubuh Ilham.”
“Kok begitu?”
“Penjaganya tidak kuat menarik Jin itu.”
“Terus aku harus bagaimana?”
“Kamu harus cepat-cepat ke sana, sebelum semuanya terlambat.”
“Tapi aku belum diizinkan untuk ke sana.”
“Ya tinggal usir dia! Apa susahnya sih?” ucap Si Kingkong yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Ish.. datang juga dia. Kirain gak mau bantu.”
“Bagaimana pun aku tetap penjagamu, Amir. Walaupun kamu sudah bikin repot, aku tetap harus membantumu,” ucap Si Kingkong.
“Heh, Macan Kecil. Sana usir orang itu dari dalam kamar!” perintah Si Kingkong pada Si Hitam.
“Baiklah,” balas Si Hitam lalu menghilang.
Sekitar lima menit kemudian, Sang Guru itu keluar dari kamar Ilham. Wajahnya terlihat pucat dengan keringat mengucur dari keningnya.
“Gak bisa, Pak,” ucap Sang Guru. Pak Mul tertunduk lesu, matanya mulai berembun, menahan tangis.
Aku menoleh ke Si Kingkong yang sedang bergelantungan di atas pintu. Sejak tadi dia hanya tertawa, melihat Sang Guru. Begitu pula Si Hitam yang ikutan tertawa.
“Kamu apain dia?” tanyaku pada Si Hitam.
“Rahasia.. yang penting dia sudah keluar kan? Sekarang giliran kamu masuk.”
“Pak, apa saya boleh coba masuk?” tanyaku pada Pak Mul.
“Adek yakin?”
“Yakin, Pak.”
Pak Mul mengantarku sampai di depan kamar Ilham. Sang Guru pun memberiku nasihat, yang intinya harus berhati-hati.
Kubuka pintu kamar. Ilham pun tertawa keras sambil melotot ke arahku. Sepertinya dia senang melihat kedatanganku.
“Hahahaha.. akhirnya kamu datang juga anak kecil,” ucap Jin yang merasuki tubuh Ilham.
Aku mulai fokus, melihat makhluk apa yang ada di dalam tubuh Ilham. Sesosok makhluk berbulu lebat, berwarna hitam. Mulutnya lebar dengan gigi taring panjang. Mata merahnya itu terus melotot ke arahku.
“Hey, Genderuwo. Jangan ganggu anak kecil itu,” ucapku.
“Hahahaha.. anak ini sudah jadi milikku.”
“Lebih cepat pergi atau aku terpaksa melukaimu,” ancamku.
“Bisa apa kamu, anak kecil?”
Si Hitam sudah mengambil ancang-ancang untuk menyerang Genderuwo itu. Dia mulai memamerkan kukunya yang tajam.
“Keluar atau saya cabik-cabik perut buncitmu,” ancam Si Hitam.
“Hah? Macan kecil ini, nanti aku injak-injak,” ucap Genderuwo itu.
“Sombong sekali kamu,” balas Si Hitam langsung melancarkan serangan. Kukunya yang tajam itu sukses mencakar-cakar tubuh Genderuwo. Ilham menjerit kesakitan.
“Hahahaha.. melukaiku berarti melukai anak ini juga. Apa kamu mau anak ini mati?” ucap Si Genderuwo.
“Sekarang tugasku sudah selesai,” sambungnya.
“Tugas?”
“Aku hanya bertugas memancingmu, sisanya biar urusan tuan.”
“Tuan? Siapa lagi itu?” tanyaku.
Genderuwo itu hanya tertawa.
“Mati kau anak kecil!” ucap Genderuwo itu, lalu pergi meninggalkan tubuh Ilham. Dengan membawa sukma Ilham bersamanya. Spontal Si Hitam langsung mengejarnya.
“Dia sudah datang,” ucap Si Kingkong.
“Siapa?”
“Raksasa itu!”
“Aku tidak melihatnya.”
Si Kingkong mengarahkan penglihatanku lebih jauh, di sebuah gunung. Sesosok makhluk bertubuh sangat besar, sedang berjalan ke arah kami. Kulitnya berwarna merah mengkilap, berambut panjang dan berkuku tajam.
Bagian yang paling menakutkan adalah wajahnya. Dia memiliki tiga mata yang besar. Mulutnya yang lebar itu terus menganga, memamerkan deretan gigi tajam dengan empat taring panjang. Lidahnya pun menjulur sampai menyentuh perutnya.
Aku hanya bisa mematung melihatnya. Perhalan dia terus mendekat sambil menggoyang-goyangkan tangan serta pinggulnya, layaknya seperti sedang menari.
“Makhluk apa itu, Kong?” tanyaku sambil terus menatap Raksasa itu yang semakin mendekat.
“Kami menyebutnya sebagai iblis. Raja dari para Jin pesugihan. Dia sangat kuat,” balas Si Kingkong.
“Apa kamu bisa melawannya?”
“Mungkin.”
Aku menoleh ke arah Si Kingkong. Badannya yang kecil itu kini semakin membesar, sampai menyamai Raksasa itu. Bulu putihnya pun sudah berubah menjadi warna merah.
Tidak ada lagi senyuman atau suara tawa darinya. Sekarang dia hanya menatap ke depan, menanti kedatangan Raksasa itu.
“Hahahahaha..” Raksasa itu tertawa. Suaranya yang besar membuat telingaku berdenging.
“Mati kau!” Dengan cepat Raksasa itu berlari ke arahku.
Amarah Penjaga
Larinya cepat sekali, hanya hitungan detik dia sudah sangat dekat denganku.
Duag!
Terdengar suara benturan keras. Ternyata Si Kingkong sedang menahan Raksasa itu untuk tidak mendekat. Dia memegang tubuh Raksasa itu dengan kedua tangannya.
“Hahahaha.. itu saja kemampuanmu, monyet kecil,” ejek Raksasa itu.
“Amir! Berdoa!” ucap Si Kingkong.
“Doa apa?” tanyaku.
“Apa saja, cepat! Saya tidak bisa menahannya lebih lama.”
Aku mencoba konsentrasi, lalu mulai membaca ayat kursi. Aneh, setiap kali mendengar Raksasa itu tertawa. Tiba-tiba hafalan suratku buyar.
“Tutup mata dan telingamu, Amir! Dia hanya menggertak.”
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Setiap aku tutup mata, wajahnya malah semakin jelas.”
“Lebih baik kamu liat wajah anak itu!”
Aku memandangi wajah Ilham yang terbaring di atas kasur. Sejak tadi hanya diam, tak bergerak. Tatapannya kosong, dengan mata melotot menatap langit-langit.
“Apa kamu tidak kasian dengan anak itu?” tanya Si Kingkong.
“Kasian,” balasku
“Jadi cepat, baca doa! Jangan takut.”
Kuambil nafas panjang, lalu mulai melafalkan ayat kursi. Usahaku berhasil, Raksasa itu mulai sedikit melemah. Dan dia berhasil dipukul mundur.
Tiba-tiba.. Raksasa itu berteriak. Suara sampai memekakan telingaku. Kepalaku pun tiba-tiba pusing sekali.
“Ah sial,” keluh Si Kingkong.
“Ada apa, Kong?”
“Dia memanggil anak buahnya.”
Jika diibaratkan dengan bisnis, pesugihan ini mirip dengan MLM (Multi Level Marketing). Raksasa itu posisinya berada di paling atas. Dia memiliki tangan kanan, salah satunya Genderuwo yang masuk ke dalam tubuh Ilham. Selain itu masih banyak lagi.
Setiap tangan kanannya, memiliki anak buah lagi, begitu seterusnya. Sampai di deretan bawah ada kumpulan Jin Qorin dari orang yang melakukan perjanjian. Sedangkan tumbal menjadi asupan energi buat ‘mereka’ semua.
Anak buah Raksasa itu mulai berdatang dari segala penjuru, mengepung kamar. Jumlahnya benar-benar tak terhitung. Makhluknya mulai dari yang sering terlihat, sampai yang baru pertama kali aku lihat. Salah satunya adalah sesosok makhluk besar, berbentuk seperti anjing.
“Makhluk apa itu, Kong?” tanyaku penasaran.
“Jin pelahap,” balasnya.
“Pelahap bagaimana?”
“Dia itu pemakan para Jin.”
“Aku baru pertama kali lihat.”
“Dia yang mengawasi Jin lain dalam rantai pesugihan. Jika ada yang membangkang, maka diancam akan dimakan olehnya.”
“Sekarang harus bagaimana? Apa kamu sanggup melawan mereka semua?” tanyaku.
“Tentu tidak, tapi aku tidak mau mati konyol di sini,” ucapnya lalu mulai memanggil anak buahnya.
“Kong.. aku khawatir.”
“Apa yang kamu khawatirkan? Tugasmu hanya berdoa, itu saja. Setidaknya dengan berdoa ada energi positif untuk makananku.”
“Bukan itu.”
“Aku khawatir, daritadi Si Hitam tidak kembali juga. Aku takut dia kenapa-napa.”
“Hahahahaha, kamu terlalu meremehkannya. Melawan puluhan Genderuwo tadi saja dia sanggup. Jadi tidak perlu mengkhawatirkannya. Tugasmu hanya satu, berdoa agar sukma Ilham bisa kembali ketubuhnya. Kasian anak itu, sekarang pasti sangat menderita.”
“Baiklah.” Aku kembali melafalkan ayat kursi dan an-naas berulang kali.
Si Kingkong sudah memanggil teman-teman dan anak buahnya. Mereka semua sudah siap bertarung, hidup atau mati. Memang terdengar konyol, tapi ‘mereka’ pun bisa mati dan binasa.
Duar!.. Duag!... Brug!
Terdengar suara ledakan dan benturan saling bersahutan. Pertempuran sudah benar-benar dimulai. Target utama Si Kingkong adalah menangkap Raksasa itu. Namun dia kesulitan mendekat, karena terlalu banyak anak buahnya yang menghadang.
Argh! Ampun.... Aduh.... Sakit....
Itulah kata-kata yang kudengar selama pertempuran. Dari kedua belah pihak sudah banyak yang gugur, termasuk anak buah Si Kingkong. Aku senang dia masih berdiri tegap, menghancurkan anak buah Raksasa itu satu persatu. Ini pertama kali aku melihat amarahnya. Gara-gara terlalu mengkhawatirkan Si Kingkong, aku malah kehilangan fokus.
Tiba-tiba...
Ada dua Genderuwo yang mendekat. Mereka menarik tangan kanan dan kaki kiriku. Saking kencangnya tubuhku sampai sedikit melayang.
“Aw,” teriakku kesakitan.
“Aduh.” Mereka terus menarikku.
Pintu kamar terbuka, tiba-tiba Deni masuk ke dalam.
“Kenapa lu, Mir?” tanyanya.
“Lu napa masuk ke dalem,” balasku.
“Abis lu teriak-teriak.”
“Cepetan keluar!”
Deni tidak menuruti perintahku, dia malah melihat sekeliling kamar.
“Astagfirullah, banyak amat,” ucapnya.
Brug!
Tiba-tiba Deni ambruk. Kedua Genduruwo yang tadi menarikku, kini berusaka menarik sukma Deni.
“Mir, tolong,” ucap Deni kesakitan.
“Aduh, udah dibilang keluar.”
Belum sempat aku mendekat, kedua Genderuwo itu sudah lari terbirit-birit.
“Belang,” ucapku melihat sesosok macan besar yang baru saja datang.
“Tuan Brosman juga datang,” sambungku ketika melihat seorang pria Belanda yang sedang menunggangi kudanya. Mereka berdua memang penjaga ibu, tapi sering membantuku ketika menghadapi hal-hal seperti ini.
“Amir biar saya yang jaga. Aku tau kamu ingin sekali mencicipi ‘Anjing’ itu kan?” ucap Tuan Brosman pada Si Belang.
“Kamu tau saja,” balas Si Belang lalu masuk ke arena pertempuran.
“Udah, Den, gak apa-apa. Lu keluar aja dulu.” Aku sampai lupa kalau Deni masih ada di belakangku.
“Lu bantu doa aja, trus habisin yang di sekitaran rumah,” sambungku.
“Oke, Mir,” ucapnya lalu ke luar kamar.
Aku kembali mengamati pertempuran. Si Kingkong masih belum sanggup mendekati Raksasa itu. Anak buahnya seperti tidak ada habisnya, terus bermunculan. Di sisi lain, Si Belang sedang berduel dengan Si Pelapap alias sosok yang menyerupai anjing besar.
Masih belum kapok, kedua Genderuwo itu datang lagi membawa teman-temannya. Tuan Brosman meminta izin untuk melawan mereka.
“Amir!” panggil Si Kingkong.
“Ya?” sahutku.
“Kenapa kamu tidak lanjut membaca doa?”
“Bukannya situasi sudah am ....” Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Tubuhku pun tidak bisa digerakan.
“Ko-ng ...,” ucapku terbata-bata masih sulit bernafas. Penglihatanku mulai meredup.
“Argh, sudah kubilang jangan berhenti berdoa.” Samar-samar kulihat Si Kingkong terbang mendekat.
“Menyerahlah anak kecil.” Sayup-sayup kudengar suara seseorang.
“Saya tidak tega membunuhmu. Jadilah muridku,” sambungnya.
“Jangan ganggu dia!” balas suara lain menggema. Seketika itu rasa sesak pun ikut menghilang. Perlahan-lahan, penglihatanku sudah kembali normal.
Seseorang sudah ada dihadapanku. Sosok yang sudah pasti kukenal. Dia menggunakan kuda putih. Dan tangan kanannya memegang tongkat kayu.
“Kakek,” sapaku. Dia hanya membalasku dengan senyuman. Di belakangnya ada Si Kingkong yang sedang mencabik-cabik sesosok Siluman Ular.
“Hey, Kakek Tua, ini bukan urusanmu!” Suara itu kembali terdengar. Suara orang yang tadi memintaku menyerah. Ternyata berasal dari sukma sang dukun.
“Dia adalah cucuku,” balas Kakek.
Pesan Kakek
Kakek tidak datang sendiri, Si Burung ternyata ikut dengannya. Dia langsung memerintahkan Si Burung untuk masuk ke dalam tubuhku. Supaya anak buah dukun itu tidak bisa menyakitiku lagi.
Aku tak menyangka Si Burung memiliki energi yang cukup besar. Badanku yang tadinya terasa dingin, tiba-tiba berubah menjadi lebih hangat. Selain itu, penghilatanku menjadi bertambah. Sekarang, sukma dukun itu bisa terlihat dengan jelas.
“Hey, Kakek Tua! Jika kau hebat, tangkap saya!” ucap Si Dukun lalu menghilang dari pandanganku.
“Kemana dia, Kakek?” tanyaku.
“Dia tidak akan bisa pergi jauh,” balas Kakek lalu memacu kudanya dan ikut menghilang.
“Loh? Kakek kemana, Kong?”
“Kakek sedang mengejar dukun tadi,” balasnya sambil menggigit leher Siluman Ular itu. Ya.. Siluman Ular yang melilitku sampai nyaris pingsan.
“Sekarang giliranmu,” ucapnya pada Si Raksasa, sambil menginjak kepala Siluman Ular itu hingga pecah.
“Dasar Monyet Kecil, cuih!” balas Si Raksasa.
Si Kingkong langsung terbang melesat ke arah Raksasa itu. Dia sama sekali tak peduli dengan hadangan anak buahnya. Dengan satu pukulan saja, anak buahnya sudah terpental jauh.
Aku mengalihkan pandangan, melihat duel maut antara Si Belang melawan Siluman Anjing itu. Duel yang terlihat sangat seru, bagai kucing lawan anjing. Mereka saling mencakar satu sama lain.
“Tuan Brosman,” panggilku.
“Ada apa, Amir?” balasnya sambil menyeret dua Genderuwo dengan kudanya.
“Hati-hati teman mereka datang,” ucapku.
“Tenang saja, mungkin mereka ingin kuseret juga,” balasnya tersenyum.
Puluhan Kuntilanak terbang ke arahku. Diikuti dengan satu Siluman Ular berkepala dua.
“Sepertinya mereka mau menyerang kita,” ucapku pada Si Burung.
“Biar saja,” balasnya.
Hihihihi... Hihihihi....
Tawa Kuntilanak itu bersahut-sahutan.
“Lebih baik kalian pergi,” ucapku.
“Jangan sombong anak kecil, kamu tidak akan bisa selamat dari racunku,” balas Siluman Ular itu.
“Ya sudah, terserah.”
Si Burung mulai melebarkan sayap emasnya. Dengan satu kali kepakan, kuntilanak-kuntilanak itu langsung berhamburan.
“Sekarang hanya sisa kamu,” ejekku pada Siluman Ular itu. Kemudian, dia mendesis dengan suara nyaring dan mulai membuka mulutnya.
Dari mulutnya itu, dia menyemprotkan cairan berwarna hitam ke arahku. Dengan sigap, Si Burung membuat benteng dari sayapnya, menghalau cairan itu. Efeknya sungguh dahsyat, sampai membakar bulu di sayapnya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tidak.”
Si Burung kembali melebarkan sayapnya. Terbang ke atas, lalu menghilang.
“Hahahaha.. dia sudah kabur. Sekarang tinggal kamu sendiri, Anak Kecil!” ucap Siluman Ular itu sambil melata ke arahku.
Wus!
Tiba-tiba ada angin besar.
“Dia kembali,” ucapku ketika melihat Si Burung sedang terbang menukik ke bawah. Dengan cepat paruhnya mematuk kepala Siluman Ular itu.
Siluman Ular itu menjerit kesakitan. Tidak sampai disana, Si Burung langsung mencengkram tubuhnya dan membawanya terbang ke tempat yang jauh.
“Kamu bawa dia kemana?” tanyaku setelah dia kembali.
“Rahasia,” balasnya.
“Ayolah, masih rahasia aja.”
“Kamu mau melihatnya?”
“Iya.”
Dia memberiku potongan gambar tentang nasib dari Siluman Ular tadi. Tubuhnya sudah terpotong-potong hingga beberapa bagian.
“Kejam sekali kamu,” ucapku.
“Biar saja, dia sudah merontokan buluku yang berharga,” balasnya.
“Jadi sudah sepantasnya sekarang jadi santapan teman-temanku,”sambungnya.
“Benar juga.”
Di sisi lain, Si Kingkong masih kesulitan mendekati Raksasa itu. Sayang sekali aku tidak bisa membantu. Masuk ke arena pertempuran bisa jadi bunuh diri.
Kuarahkan pandangan ke tempat lain. Tempat dimana Si Belang sedang berduel dengan Siluman Anjing.
“Wuih,” ucapku takjub, melihat Si Belang sudah berubah menjadi wujud aslinya. Seorang Kakek yang memegang tongkat kayu. Dengan cepat, dia melompat tinggi. Kini posisinya sudah berada di atas Siluman itu.
“Keren, sudah tua masih bisa lompat tinggi,” batinku diikuti tawa Si Burung.
Duag!
Terdengar dentuman keras, ketika Si Belang memukul tongkat itu ke kepala Siluman Anjing. Hingga Siluman itu berkali-kali mendengking dan roboh.
“Kakek sudah kembali,” ucap Si Kingkong.
“Mana?” tanyaku.
“Oh di sana,” sambungku ketika melihat Kakek mendekat. Tapi ... dia tidak membawa apapun. Apa sukma dukun itu berhasil lolos?
“Kakek..,” panggilku.
“Ya,” balasnya.
“Apa Kakek tidak berhasil menangkap dukun itu?”
Kakek hanya tersenyum, “Ternyata kamu masih belum melihatnya.”
“Melihat apa, Kek?”
“Coba perhatikan anak kecil itu.” Mataku langsung tertuju pada Ilham yang masih terbaring di atas kasurnya. Mata Ilham berkedip.
“Apa Kakek berhasil mengembalikan sukma Ilham? Lantas kemana Si Hitam, jangan-jangan..,” batinku.
“Lepaskan.. lepaskan saya!” ucap Ilham, dengan suara lebih berat dari biasanya. Aku langsung memfokuskan pandangan pada tubuh Ilham.
“Oohh.. kapan Kakek memasukannya kesitu?”
“Kamu tidak sadar?”
“Tidak, Kek.” Kakek pun tersenyum.
Ternyata, Kakek memasukan sukma dukun itu ke tubuh Ilham. Lalu menguncinya agar dia tidak bisa kemana-mana.
“Tolong lepaskan, saya berjanji tidak akan ganggu cucumu,” rengek dukun itu.
“Sekarang tergantung kamu, Amir. Mau kamu apakan dukun ini. Kakek mau bantu murid kesayangan kakek dulu,” ucap Kakek. Dengan cepat dia melesat ke arah Si Kingkong.
“Lepaskan saya, Anak Kecil!”
“Ish, udah diiket masih sombong, manggil anak kecil.”
“Aku bisa memberimu kekayaan.”
“Gak!”
“Jabatan atau kamu bisa memilih wanita manapun untuk menjadi kekasihmu.”
“Udah deh, diem dulu. Gak tau lagi fokus liatin Kakek apa!”
Daritadi mataku tidak bisa lepas dari Kakek. Sosok yang selalu tampak tenang itu, kini sedang masuk ke arena pertempuran. Tongkat kayunya sudah berubah menjadi cambuk bercahaya putih. Setiap dia mengibaskannya, terdengar seperti suara petir. Setelah itu, anak buah Si Raksasa sudah banyak yang terkapar.
Ketika melihat anak buahnya sudah terkapar dan lari berhamburan. Raksasa itu pun itu melarikan diri. Si Kingkong dan Kakek langsung mengejarnya.
“Hey, Anak Kecil,” panggil Si Dukun.
“Apaan?”
“Saya juga punya banyak pusaka seperti itu. Jika kamu mau, saya akan berikan beberapa. Asalkan kamu mau melepaskan ikatan ini.” Sepertinya Si Dukun tau kalau daritadi aku memperhatikan cambuk itu.
“Tidak perlu. Jika pusakamu sakti, kenapa kamu bisa kalah oleh Kakek,” ledekku.
“ARGH.. SIAL ANAK KECIL! Kalau sampai saya lepas, mati kamu!”
“Nahkan, sifat aslinya keluar.”
“Belang.. kemana Kakek dan Kingkong pergi?” tanyaku pada Si Belang yang sudah kembali berwujud macan.
“Sebentar lagi juga selesai,” balasnya.
“Tuh!” sambungnya.
“Ada apa kamu mencari saya, Amir?” ucap Si Kingkong yang tiba-tiba muncul di sampingku.
“Darimana saja kamu? Terus Kakek mana?” tanyaku.
“Kakek sedang mengikat Raksasa itu, lalu mengurungnya.”
“Kenapa tidak dibunuh saja?”
“Dengan cara itu akan lebih menyiksanya,” balas Kakek yang tiba-tiba muncul.
“Sekarang tinggal dukun ini,” ucap Si Kingkong.
“Tapi.. Si Hitam belum juga kembali.”
“Biarkan saja, mungkin dia sedang bersenang-senang di kandang Genderuwo itu,” balas Si Kingkong.
“Amir, ada kalanya kamu tidak perlu terlalu kasihan dengan orang lain. Biarkan orang itu menanggung akibat dari perbuatannya. Kamu tidak pernah tahu sampai mana batas kemampuanmu bisa melawan orang-orang seperti dukun ini,” ucap Kakek.
“Apakah kamu tidak mempelajari perjalanan hidup ayahmu? Jika kamu terus mengambil resiko besar, maka bisa jadi kamu akan berakhir sepertinya,” sambungnya.
“Tapi, Kek. Ilham tidak tau apa-apa,” balasku.
“Memang, tapi ketika kamu mecampuri urusan mereka. Maka tidak hanya kamu saja yang terancam, tapi keluargamu juga. Kakek sangat yakin, kejadian ini masih akan berlanjut. Dan kamu harus benar-benar siap.”
“Marahi aja, Kek. Memang anak ini keras kepala,” ucap Si Kingkong.
“Kamu juga, saya utus sebagai penjaga utamanya. Kenapa pada saat itu tidak menasehatinya, malah berkeliaran, main bersama teman-temanmu,” balas Kakek.
“Rasain, diomelin juga,” ucapku puas.
Tidak lama kemudian, Si Hitam datang dengan membawa sukma Ilham bersamanya. Ilham tidak henti-hentinya menangis. Kasihan, dia pasti sangat ketakutan disekap di kandang Genderuwo.
“Lama sekali kamu, Hitam,” ucapku menyambutnya.
“Maafkan saya,” balasnya.
“Kamu melewati pertempuran seru tadi.”
“Maaf tidak bisa membantu. Genderuwo itu cukup membuat saya kerepotan.”
“Sekarang tinggal kamu pikirkan bagaimana nasib dukun ini, Mir,” ucap Si Kingkong.
“Aku?”
“Iya, kamu harus bisa mengambil keputusan yang tepat,” ucap Kakek.
“Ya.. lepaskan saja, toh dia juga sudah kapok,” balasku.
“Duh.. bodohnya anak ini,” ejek Si Kingkong.
“Terus harus gimana?”
Kakek mendekati kasur dan meletakan tangan kanan di dada Ilham. Lalu, dia mulai membacakan sesuatu.
“Argh.. sakit.. ampun..,” ucap Dukun itu meronta-ronta.
“Ulurkan tanganmu, Amir!” perintah Kakek. Dia memberiku tiga buah bola cahaya.
“Jika kamu menghancurkan salah satunya, maka dukun ini akan terus gelisah. Jika kamu menghancurkan dua, maka dukun ini akan kehilangan akal. Dan jika kamu hancurkan semua, maka tidak lama dukun ini akan mati. Pikirkan baik-baik pilihanmu,” jelas Kakek.
“Tolong kembalikan inti sukma saya,” ucap Dukun itu.
Aku termenung, melihat tiga inti sukma dukun itu yang ada di tanganku. Rasanya dilema sekali, harus menjatuhkan pilihan kemana. Tidak menghancurkan satupun berarti ada kemungkinan dia bisa balas dendam. Jika dihancurkan satu, dia hanya akan stress atau gelisah. Itu berarti masih ada kemungkinan dia balas dendam.
Apa aku harus membuatnya gila? Supaya dia tidak ingat semua kejadian ini. Atau.. aku hancurkan semuanya saja. Jika dia mati, maka urusan ini akan cepat selesai. Argh, sumpah aku bingung.
Nasib Sang Dukun
Aku masih menggenggam tiga inti sukma dukun itu. Terus berpikir langkah apa yang harus kuambil.
“Jadi, bagaimana keputusanmu, Amir?” tanya Kakek.
“Sepertinya aku tidak sanggup, Kakek.” Kuulurkan tangan untuk mengembalikan tiga inti sukma.
“Coba sekali lagi, kamu pandangi anak itu. Berandai-andai, bagaimana jika nasib dia sama seperti ibunya. Apakah dukun itu akan berpikir dua kali untuk mengambilnya? Semua yang dia lakukan hanya untuk uang dan keselamatannya.”
“Iya juga, Kek. Tapi apa aku bisa menghancurkannya?”
“Kamu pasti bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Tetapkan hati, membaca doa dan fokuskan energi. Lalu hancurkan dengan tangan kirimu.”
“Baiklah.” Aku pindahkan salah satu inti sukma itu ke tangan kiri. Kupandangi cahaya bulat bercahaya itu, lalu mulai membaca doa.
“Jangan.. jangan hancurkan. Saya akan bertaubat,” ucap Dukun itu mengiba. Sukmanya masih terjebak di dalam tubuh Ilham.
“Konsentrasi, Amir. Biarkan saja dia.”
Aku kuatkan genggaman. Semakin kuat rasanya semakin panas.
Dush!
Inti sukma itu hancur. Diikuti suara teriakan dari si Dukun.
“Ampun.. ampun,” ucap si Dukun, ketika melihatku memindahkan inti sukma keduanya ke tangan kiriku.
“Kenapa baru sekarang?” tanyaku.
“Kemana saja kamu selama puluhan tahun?” tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, hanya terus merengek meminta agar inti sukma itu dikembalikan.
“Apa aku harus menghancurkan semuanya, Kek?”
“Ikuti kata hatimu.”
Tekadku sudah bulat. Kuremas inti sukma itu dengan kencang.
Dush!
Inti sukma itu hancur berkeping-keping. Si Dukun kembali menjerit kesakitan.
“Tolong, jangan bunuh saya.” Si Dukun memohon agar aku tidak menghancurkan inti sukma yang terakhir.
Kini, nyawa dukun itu sudah ada di ujung tanduk. Aku hanya perlu menghancurkannya, tidak lama pasti dia akan mati.
Namun.. entah kenapa tangan ini mulai bergetar. Ada perasaan tak tega. Padahal hanya tinggal satu langkah lagi untuk mengakhiri semuanya. Kutatap wajah Kakek yang daritadi nampak tenang, tanpa ekspresi.
Kuambil nafas panjang, “Kakek, sepertinya aku tidak bisa menghancurkan yang ketiga.”
“Kenapa?”
“Jika aku hancurkan, maka aku akan sama dengannya.”
“Bagus, sejak awal Kakek yakin kamu tidak akan mengancurkan semuanya.”
“Fiuh.. saya sampe deg-degan, Mir,” ucap Si Kingkong.
“Aku takut ke depannya menjadi terbiasa membunuh. Sekarang dukun itu sudah kehilangan akalnya. Tinggal menunggu takdir akan membawanya kemana.”
“Kamu jauh lebih berani dibandingkan ayahmu dulu. Rasa kasian membuatnya sering membebaskan para dukun. Dia berharap mereka segera bertaubat. Nyatanya, mereka malah balas dendam dan terus-terusan menyerang. Hingga ayahmu tak kuat lagi.”
“Iya, Kakek.”
“Bagus, Mir.” Si Kingkong mengusap rambutku.
“Lagian, inti sukma itu sudah dikunci Kakek. Jadi kamu memang tidak akan bisa menghancurkannya,” sambungnya.
“Benarkah itu, Kakek?”
“Kakek hanya ingin mengujimu saja,” balas Kakek sambil tersenyum.
“Sekarang semuanya sudah selesai.” Kakek mulai menarik sukma si Dukun dari tubuh Ilham. Lalu, memasukan kembali sukma Ilham ke tubuhnya.
“Sekarang kamu harus lebih berhati-hati dalam melangkah. Jangan sampai kebaikan kamu malah mencelakaimu atau keluargamu,” ucap Kakek lalu menghilang dengan kuda putihnya.
Tidak lama kemudian, Ilham langsung tersadar dan menangis. Perjalanannya di alam lain pasti membuatnya sangat ketakutan.
“Makasih, Kak,” ucap Ilham yang berusaha bangun dari tidurnya.
Namun aku tak bisa membantunya. Bahkan untuk bangkit pun tak sanggup. Sepertinya energiku sudah terkuras habis. Efek pertempuran malam ini sungguh luar biasa. Tubuhku terasa pegal, panas, pusing dan lemas sekali.
“Kamu istirahat dulu aja, tiduran. Jangan kemana-mana!” Di sisi lain, aku sedang mengatur nafas dan me-recharge energi. Setidaknya hanya untuk pulang ke rumah.
“Den... Deni,” teriakku.
“Apa, Mir?” sahutnya dari luar.
“Bantuin dong!”
“Udah boleh masuk?” balas Deni dari balik pintu.
“Iya.”
Deni masuk ke dalam kamar.
“Udah kelar?”
“Liat aja sendiri.” Aku menunjuk Ilham yang sedang tiduran. Deni langsung menghampiri Ilham.
“Ilham?” tanya Deni.
Ilham membuka matanya, “Iya, Kak.”
“Alhamdullilah.. parah tadi, Mir. Di luar juga..”
“Stt.. nanti aja ceritanya. Mending bantu gw bangun nih. Lemes banget,” selaku.
“Pantesan daritadi cuman duduk di situ doang.” Deni tertawa, lalu membantuku berdiri.
Kami pun berjalan ke luar kamar. Dari balik pintu, Pak Mul dan guru pesantren sudah menunggu. Dengan cepat mereka berdua masuk ke dalam, melihat kondisi Ilham. Pak Mul langsung memeluk anak semata wayangnya itu, sambil menangis.
“Makasih ya, Dek,” ucap Pak Mul terisak.
“Iya, Pak,” balasku.
Guru pesantren itu melihat setiap sudut kamar, seperti orang kebingungan.
“Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Mereka udah bener-bener pergi. Kok bisa?”
“Ya diusir, Pak,” balasku singkat. Deni pun tertawa pelan mendengar ucapanku.
“Emang tadi Bapak liat apa?” sambungku.
“Bapak liat ada Macan gede warna item. Terus banyak Genderuwo di sudut-sudut kamar.”
“Owh, udah saya usir, Pak.” Aku melirik ke arah Si Hitam. Ternyata itu cara dia mengerjai guru itu. Pantas sejak tadi Si Kingkong terus tertawa.
“Den, balik yuk! Capek banget nih gw,” bisikku.
“Ya udah, gw pamitan bentar,” balasnya.
“Pak, saya sama Amir pulang dulu ya,” ucap Deni.
“Gak makan atau minum dulu?”
“Gak usah, Pak,” balasku.
“Makasih banyak ya, Dek.” Pak Mul menghampiri dan memelukku.
Di luar rumah, sudah tidak seramai tadi. Hanya ada Pak RT dan beberapa warga lain.
“Sudah, Dek?” tanya Pak RT.
“Sudah,” balas Deni.
“Alhamdullilah.”
“Saya pulang dulu ya, Pak.”
“Iya, Dek.”
Deni masih menuntunku ke rumahnya.
“Tadi gw gak sengaja liat, ada kakek-kakek naek kuda putih. Itu siapa, Mir?”
“Penjaga utama.”
“Baru liat gw. Jarang muncul ya?”
“Iya.”
“Terus tadi gimana perang lawan tuh Dukun?”
“Aduh, lu nanya mulu. Nanti aja gw ceritain.”
“Ish, kan penasaran. Soalnya tadi gw bantu jaga di sekeliling rumah. Itu aja banyak banget.”
Tak terasa, kami sudah sampai di halaman depan rumah Deni.
“Lu langsung balik?” tanya Deni ketika melihatku sedang menyalakan motor.
“Iya, Den. Asli gw butuh istirahat nih.”
“Yakin kuat? Lemes gitu, ntar kenapa-kenapa di jalan.”
Aku berpikir sejenak. Benar juga, walaupun jarak dari sini ke rumah tidak terlalu jauh. Tetapi akan sangat bahaya harus mengendarai motor di saat kondisi seperti ini.
“Gw nginep tempat lu aja ya?”
“Siap, Bos.”
Setelah subuh, kondisi tubuhku sudah mulai pulih. Setidaknya hanya menyisakan sedikit pegal di bagian pinggang.
“Ini, Mir. Sarapan dulu.” Deni membawa dua bungkus nasi uduk. Satu untuknya, satu lagi untukku.
“Beuh, tumben.”
“Kasian lah, dari semalem lu tepar, gak makan.”
“Iya, aslinya laper sih, Den. Cuman bener-bener mual aja semalem.” Dengan cepat kubuka bungkus nasi uduk itu. Langsung menyantapnya tanpa aba-aba.
“Mir, lu gak takut apa, kalau nanti tuh Dukun bales dendam.”
“Kenapa harus takut?”
“Ya kan, kondisi orang itu gak selamanya fit. Kaya lu semalem deh, jalan aja sempoyongan, musti gw tuntun. Kalau tadi malem lu balik, terus si Dukun nyerang gimana? Bisa tamat.”
“Gak akan.”
“Yakin amat?”
“Beneran deh, percaya. Gak akan dia bisa bales dendam.”
“Argh, curiga gw lu nyembunyiin sesuatu.”
“Nanti juga lu tau kok, sabar aja.”
“Tuhkan maen rahasia-rahasiaan.”
Kami pun mengobrol sebentar. Sebenarnya hanya obrolan satu arah. Deni terus bercerita tentang kejadian semalam. Bagaimana dia untuk pertama kalinya bertarung melawan puluhan Kuntilanak.
“Padahal cuman Kuntilanak,” pikirku sambil menyeruput teh hangat.
“Den gw balik dulu ya,” ucapku menyela ceritanya.
“Dih buru-buru amat.”
“Makasih udah dikasih penginapan plus sarapan gratis.”
“Ah, biasanya juga lu begadang di sini.”
Aku berjalan ke luar rumah dan menyalakan sepeda motor. Kemudian pulang ke rumah. Perjalanan pulang ini cenderung aman, tanpa ada sedikit pun gangguan.
Sesampainya di rumah. Ibu dan Kakak sedang ada di ruang TV, menonton berita. Aku langsung ikut bergabung, duduk di sofa.
“Mam, dulu abah pernah ke daerah *sini* gak?” tanyaku pada Ibu yang sedang menyelupkan biskuit ke dalam gelas kopi.
“Pernah, pas sebelum nikah. Abah sering ke sana, buat ngobatin temen-temennya yang kena santet gitu.”
“Oh pantesan.” Sejak awal aku sudah curiga kalau Dukun itu sudah mengenal Kakek. Pantas dia langsung lari ketakutan ketika Kakek datang.
“Emang kenapa?” tanya Dani, kakakku.
“Jadi gini ....” Aku menceritakan secara detail tentang kejadian semalam.
“Wuih Raksasa, segede apa?” tanya Dani.
“Segede tiang sutet samping rumah tuh.”
“Keren juga ya, Si Kingkong. Kirain cuman bisa narikin buntut kucing doang. Sekarang Kakek Yamannya masih ada?”
“Udah gak ada. Emang jarang banget datang kan.”
“Yah.. padahal pengen denger cerita dia pas jaga abah.”
“Ngarep amat, paling ujung-ujungnya kaya Si Belang. Kalau ditanya gak tau mulu atau gak mau jawab.”
“Bener juga.”
Selang seminggu setelah kejadian. Aku mendapatkan kabar dari Deni. Katanya, Pak Mul kemarin sempat pulang kampung. Setibanya di kampung, dia mendengar berita mengejutkan.
Si Dukun yang melakukan pesugihan dengannya mendadak gila. Pak Mul sempat melihat langsung ke rumahnya. Si Dukun itu sedang bersujud, sambil teriak-teriak minta ampun.
Aku hanya tersenyum membaca pesan WhatsApp dari Deni.
“Jangan senang dulu, Amir,” ucap Si Kingkong.
“Kenapa?”
“Semua anak didiknya sudah tau perbuatanmu.”
Balas Denda
Sebulan kemudian.. tepat di malam jumat. Aku sedang bermain game mobile bersama teman komplek di lapangan.
Hihihihihi..
“Lu denger gak, Mir?” tanya Dudi yang duduk di sebelahku.
“Denger apaan?”
“Coba lepas earphonenya.” Dudi menarik earphone-ku hingga terlepas.
“Apaan sih, Dud? Gak ada apa-apa juga.” Aku tidak mendengar suara apapun.
“Ih... tadi ada yang ketawa, Mir.”
“Ah, salah denger kali.”
Hihihihihi..
“Tuhkan! Merinding gw asli dah.”
Aku melihat sekitar, mencari sumber suara itu. Oh.. ternyata itu ulah si Canih, Kuntilanak penghuni toren. Dia sedang duduk sambil memelintirkan rambutnya di atas sutet.
“Lu dah liat, Mir?” tanya Dudi.
“Udah, tuh lagi nangkring di atas sutet. Bentar deh, Dud, gw mau tanya ngapain dia kemari.” Aku mulai berbicara melalui batin.
“Canih! Kan gw dah bilang jangan keliaran di sini. Lu mau bikin heboh satu perumahan lagi?”
“Amir.. abisnya gak betah di sana.”
“Gak betah gimana? Kan biasanya lu suka-suka aja nontonin Dani mandi.”
Hihihihihi..
Canih tertawa cekikikan.
“Jangan ketawa, Canih! Itu mulut mau gw jait?”
“Jahat ih.. tapi bener Amir, aku lagi gak betah di sana.”
“Kenapa sih?”
“Kamu liat aja sendiri, rumah kamu lagi ramai.”
“Ramai?”
“Iya, cepat pulang, Mir! Mereka sudah datang.” Si Hitam tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Mereka siapa?”
“Kamu lihat saja sendiri!”
Aku beranjak dari kursi.
“Mau kemana lu, Mir?” tanya Dudi.
“Gw balik dulu ya.”
“Beuh, cepet amat.”
“Iya ada urusan mendadak.”
“Oh.. ok.”
Aku pun bergegas pulang ke rumah. Sedangkan si Canih dan Hitam sudah pergi duluan.
Sambil berjalan pulang, aku edarkan pandangan melihat situasi perumahan. Tidak seperti biasa, makhluk-makhluk gaibnya bisa terbilang sepi. Bahkan Kuntilanak yang biasa nongkrong di pohon kayu putih pun tidak terlihat.
Suasananya berubah ketika aku berbelok ke jalan depan rumah. Di sana sudah ramai dipadati ‘mereka’. Mereka berjajar, di depan rumahku layaknya sedang berdemo. Didominasi oleh gerombolan Kuntilanak dan Pocong.
“Rame amat ini, tumben,” ucapku ketika melewati kerumuman pocong yang berbaris.
“Ada apa sih, Kong.” Aku bertanya pada Si Kingkong yang sedang duduk di atas atap.
“Kamu bikin ulah lagi? Sampe pada demo gini,” imbuhku.
“Bukan saya, tapi kamu,” balasnya.
“Kok aku?”
“Dukun itu sudah mati. Sekarang anak didiknya ingin membalas dendam.”
“Berapa orang?”
“Hitung saja sendiri!” Si Kingkong terbang, masuk ke kamarku.
“Hey, Kong! Mau kemana kamu?”
“Aku mau tidur!” sahutnya.
“Terus ini gimana?”
“Biar Si Belang yang urus semuanya.”
Mataku langsung tertuju pada Si Belang, yang mulai berjalan perlahan ke luar rumah. Setiap satu langkah, tubuhnya menjadi bertambah besar. Sampai di depan rumah, ukurannya sudah berkali-kali lipat. Gerombolan Pocong dan Kuntilanak itu pun akhirnya mundur, agak menjaga jarak.
Bukannya mengusir para pendatang itu. Si Belang malah berbaring, sambil menjilat-jilat bulu halus di perutnya.
“Pamer!” teriak Si Kingkong dari dalam kamar.
Tiba-tiba, Si Belang bangkit. Matanya terus menyorot ke arah depan. Seperti tau ada sesuatu yang akan datang.
“Lumayan juga kamu anak kecil.” Terdengar suara seseorang berbicara.
“Siapa kamu?” Aku celingak-celinguk mencari sumber suaranya.
Sosok itu perlahan muncul dari balik kerumuman Kuntilanak. Dia adalah bentuk astral dari salah satu dukun. Tepatnya pemimpin dari beberapa dukun yang merencanakan penyerangan.
“Ya Allah, udah tua bukannya tobat,” celetukku.
“Berani-beraninya menghina saya!” Dukun itu marah.
“Itu kenyataan, bukannya Kakek sudah tua?”
“Kurang ajar!”
Dukun itu memanggil sesosok makhluk. Sebut saja Genderawi alias versi wanita dari Genderuwo. Perawakannya sangat berbeda dengan Genderuwo.
Genderawi ini terlihat lebih kurus dan berbulu hitam. Jemari dan kuku tangannya panjang. Tentu dengan wajah yang cukup menyeramkan. Aku malah fokus dengan dagu dan hidungnya.
“Ya ampun, itu dagu sama idung lancip amat,” tanyaku tersenyum pada si Genderawi.
“Saya cekik kamu!” Genderawi itu marah.
“Ah elah, makhluk kaya kamu. Lawan Dani pas masih TK aja keok. Dah mending pergi sana! Daripada nanti saya kepang tuh rambut.”
Genderawi itu menggeram. Dia memerintahkan puluhan Kuntilanak yang merupakan anak buahnya untuk menyerang. Mereka mendekat sambil tertawa cekikikan. Si Belang sama sekali tidak bereaksi, dia masih menatap tajam Dukun itu.
“Dibilang saya mau tidur! Berisik sekali.” Si Kingkong ke luar dari kamar. Lalu menangkap salah satu Kuntilanak.
“Ini anak buahmu?” tanya si Kingkong pada Genderawi.
“Lihat ini!” Si Kingkong meremas tubuh Kuntilanak itu, hingga menjerit kesakitan. Kemudian dia melahapnya bulat-bulat. Kontan Kuntilanak lainnya langsung berhamburan.
“Sudah lah Kakek Tua, jangan ganggu kami,” ucap Si Kingkong. Dukun itu tertawa agak meledek.
“Wah minta dikerjain. Mir, sana ikut sama Si Belang,” perintah Si Kingkong.
“Ikut kemana?”
“Sudah ikut saja, Amir,” balas Si Belang.
Aku duduk di kursi. Kemudian berkonsentrasi untuk melepas sukma. Si Belang memintaku untuk menaiki punggungnya.
“Tutup matamu!”
“Siap!” Aku menutup mata. Ada angin kencang berhembus, ditambah suara riuh yang saling berbenturan.
“Buka matamu!”
Aku sudah berdiri di depan sebuah rumah. Si Belang sudah berjalan masuk, sedangkan aku membuntutinya dari belakang. Dia mengarah ke sebuah kamar di pojok belakang. Tanpa permisi, kami berdua masuk ke kamar itu.
“Mau apa kalian?” Dukun itu terkejut melihat kehadiran kami di depannya.
“Jangan sentuh, ibunya. Atau kamu akan tau akibatnya,” ancam Si Belang.
“Loh? Tadi dia mau nyerang mamah?” tanyaku.
“Iya.. sebenarnya saya malas meladeni orang macam ini. Hanya saja dia berniat mencelakai ibumu.”
“Wah.. cari gara-gara. Hajar Belang!”
“Am-pun.. saya tidak tau. Maafkan saya.”
Dengan cepat Si Belang mengambil satu inti sukmanya.
“Ini peringatan bagimu. Jika sekali lagi datang ke sana. Aku akan menghabisimu.”
“Bagus Belang.” Aku hanya bisa menonton dan memberi semangat. Setelah itu, kami kembali ke rumah.
Di depan rumah, suasana sudah agak sepi. Satu persatu pasukan itu ditarik mundur, termasuk Si Genderawi tadi.
“Sudahkan? Sekarang aku mau tidur.” Si Kingkong kembali terbang melayang ke dalam kamar. Si Belang juga begitu, sudah mulai merebahkan tubuhnya di teras.
Daritadi aku tidak melihat si Canih dan Hitam. Kemana mereka berdua pergi? Tidak mungkin kan mereka berdua salah masuk rumah. Aku berusaha memanggilnya.
“Apa, Mir?” Si Hitam muncul.
“Kemana saja kamu?”
“Si Kingkong menyuruhku mengerjai salah satu Dukun itu.”
“Sama si Canih?”
“Iya.”
“Terus Dukunnya gimana.”
“Ini.” Si Hitam membawa satu inti sukma milik Dukun.
“Wuih, mantap.”
Aku pun masuk ke rumah. Dani dan Ibu sudah tidur di kamarnya. Tentu saja, sekarang sudah hampir pukul dua pagi. Bergegas aku masuk ke kamar. Mulai membaringkan tubuh di atas kasur.
Aneh, setiap kali memejamkan mata. Aku selalu melihat sosok hitam besar di depan rumah. Tidak jelas itu apa, tapi aku sedang malas mengeceknya. Sosok itu berkali-kali terbayang di pikiranku, sampai akhirnya tertidur.
Subuh, Dani sudah bangun duluan. Dia sedang duduk di ruang tengah, sambil menonton TV.
“Semalem panas gak, Mir?” tanya Dani.
“Gak kok, kamar Amir adem,” balasku.
“Gak tau dah, semalem panas banget, padahal AC nyala. Jadi kebangun jam setengah tiga pagi.”
“Emang ada kejadian aneh?” tanyaku curiga.
“Pas mau tidur lagi. Di atas plafon ada suara orang menggeram gitu. Suaranya gede plus berat.”
“Hmm.. jangan-jangan itu dari sosok item gede yang Amir liat semalem.”
“Dari mana lagi sih itu?”
“Itu, Kak. Dari anak didiknya Dukun pesugihan. Semalem emang rame, mau bales dendam. Malahan mamah mau ditarget juga.”
“Terus? Gimana?”
“Ya gak gimana-gimana. Kirain udah kelar, eh ternyata masih ada yang mau masuk ke kamar Kakak kayanya. Berarti Kakak juga diincer.”
“Ya pasti sih. Emang berapa orang semalem?”
“Kayanya bertiga. Yang dua udah disamperin, sampe minta maaf. Satu lagi kayanya yang nyoba masuk ke rumah.”
Sejak kejadian itu, rumahku sering kedatangan ‘kiriman’. Biasanya setiap malam senin dan jumat. Kini jumlah mereka semakin banyak. Targetnya bukan padaku saja, tapi pada Dani dan Ibu.
Sejauh ini aku masih bersikap santai. Terlebih kebanyakan sosok yang datang tidak terlalu kuat. Namun, semuanya berubah ketika mereka berhasil masuk ke dalam rumah. Dan mengancam nyawa ibu dan Dani.
“Mau kemana, Mir?” tanyaku pada Amir yang sedang memasukan baju ke dalam tas.
“Biasa, Kak. Malam minggu mau ke Bandung.”
“Tumben bawa baju ganti agak banyak.”
“Rencananya mau nginep beberapa hari di villa.”
“Oh, jadi satpam gaib lagi?”
“Biasalah, Kak.”
Aku kembali ke kamar, duduk di depan laptop dan menyelesaikan pekerjaan. Tidak lama, Amir sudah dijemput oleh temannya. Tersisa aku sendirian di rumah. Tidak ada kejadian aneh-aneh selama seharian di rumah.
Keesokan harinya, Ibu baru kembali dari Batam, dan langsung mentraktirku makan di mall. Setelah berbelanja kebutuhan sehari-hari dan makan, kami pun pulang ke rumah.
Ada yang berbeda dengan suasana rumah ketika pertama kali pintu terbuka. Rumah terasa panas dan pengap. Cepat-cepat kunyalakan AC agar lebih dingin, lalu pergi ke kamar.
Di dalam kamarku pun sama saja, udaranya panas dan pengap. Aku berpikir positif saja, mungkin pas tadi keluar, ada yang bermain di dalam rumah.
Soalnya Amir bilang, sudah beberapa minggu ini kondisi rumah sudah lebih aman. Kiriman yang biasanya datang setiap malam jumat dan senin, sudah berkurang jauh. Ada beberapa, tapi hanya untuk memantau saja.
Pukul sebelas malam, aku sudah berbaring di tempat tidur, sambil bermain game di ponsel. Semakin malam, udara di kamar semakin nyaman. Tidak butuh waktu lama aku pun tertidur pulas.
Sampai tiba-tiba..
Brug!.. Prang!
Aku mendengar seperti suara benda terjatuh arah dari dapur. Kulihat ponsel, sudah pukul lima pagi. Dengan cepat aku berlari ke sana.
Ibu sudah terduduk sambil meringis kesakitan. Di sekitarnya ada piring dan gelas yang pecah.
“Aduh.. Astagfirullah,” ucap ibu berulang kali.
“Kenapa, Bu?” tanyaku sembari menjauhkan beberapa pecahan piring di dekatnya.
“Jatuh dari meja.”
Sedikit cerita, di rumah kami ada satu kucing yang hidup di atas plafon rumah. Cerita kucing ini pernah aku angkat sebelumnya di #KMTC. Setiap pagi, kucing itu akan datang dan meminta makan. Dengan menunjukan wajahnya di lubang plafon dapur.
Pagi ini, untuk pertama kalinya ibu mencoba memberinya makan. Tentu dengan naik ke atas meja dapur. Biasanya itu menjadi tugasku dan Amir.
“Kenapa gak bangunin Dani sih,” omelku sembari membantunya berdiri.
“Aduh, pelan-pelan sakit ini.” Ibu mengeluhkan kaki kanannya yang sulit digerakan.
“Bagian mana yang sakit?”
“Lutut, kenceng banget.”
“Ototnya ketarik kali ya.” Aku pun membopong ibu sampai kursi di ruang tengah.
“Besok anter ke rumah Mang Yana.” Mang Yana ini salah satu ahli pijat patah tulang yang cukup terkenal di kotaku.
“Oke,” balasku sambil memijat-mijat kakinya pelan-pelan.
“Coba diceritain, kenapa bisa ampe jatuh gitu. Meja selebar gitu, kok bisa-bisanya?” tanyaku.
“Tadi lagi ngasih makan si Gendut (Kucing), tiba-tiba dari plafon ada angin kenceng, terus ibu ke dorong.”
“Hmm.. kok bisa ya, ntar aku tanyain Amir.”
Setelah memijat dan mengompres lutut ibu, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel yang diletakan di samping laptop.
[Mir, ibu jatuh dari meja dapur]
Aku menulis pesan Whatsapp. Kutunggu sepuluh menit, belum juga centang dua. Mungkin dia habis begadang, jadi masih tidur.
Agak siang, Amir baru membalas pesanku.
[Kondisinya gimana, Kak?]
[Gak apa-apa, cuman kakinya aja keseleo paling. Besok mau ke rumah Mang Yana buat diurut]
[Oke, bentar lagi Amir pulang]
Aku kembali mengecek kondisi ibu. Ibu sedang berusaha bangkit dari tempat tidur.
“Mau kemana, Bu?” ucapku sambil mengintip dari balik pintu.
“Ambil Wudhu,” balasnya sambil duduk di ujung kasur.
Aku langsung membantunya berjalan ke kamar mandi. Perasaanku campur aduk, antara kesal, sedih dan penasaran.
Siapa dalang dibalik semua ini?
Apa ini ada hubungannya dengan komplotan dukun pesugihan itu?
Rasanya aku tak tega melihat ibu kesusahan berjalan seperti itu. Argh ... tau begitu aku meminta Amir membuat ‘mereka’ semua gila saja.
Menjelang magrib, Amir sudah kembali ke rumah. Dia membelikan plester kain, agar ibu bisa jalan lebih enakan.
“Kerjaan siapa sih, Mir?” tanyaku.
“Jangan tanya sekarang, Amir juga gak tau, Kak.” Amir sedikit berlari ke arah dapur dan berdiri di dekat meja.
“Udah tau siapa?”
“Gak ada gambaran sama sekali, Kak.”
“Masa sih? Tanya si Belang aja coba. Masa dia gak tau.”
“Dari kemaren si Belang ikut Amir.”
“Hmm.. pantesan, tau aja tuh orang pas kondisi rumah sepi.”
“Ya mangkanya, ngambek tuh dia.”
“Ya udah deh. Yang penting gak kenapa-napa. Udah gak usah dipikirin.”
Amir masih berdiri di dapur. Sepertinya dia masih kesal dan penasaran.
Malam hari, kulihat Amir berlari tergesa-gesa ke luar rumah. Aku yang penasaran menyusulnya dari belakang.
“Kenapa, Mir?”
“Ada yang ‘ngirim’, Kak.”
“Orang yang sama?”
“Gak tau deh, ini lagi mau Amir tangkep setannya.”
“Ya udah aku masuk ke dalam lagi deh.” Aku berjalan menuju kamar.
Selang 15 menit kemudian, Amir masuk dan menghampiriku di kamar.
“Udah?” tanyaku.
“Udah, tapi bukan dia pelakunya.”
“Emang seberapa banyak sih dukunnya?”
“Banyak sih, Kak. Yang terakhir kan tiga, dua dikerjain, satu lolos. Nah mereka itu cari bantuan ke yang lain lagi.”
“Ya ampun, maennya keroyokan.”
“Tadi ketangkep?”
“Iya.”
“Terus diapain?”
“Dimakan si Belang.”
“Beuh.. sadis.”
“Ya udah, Amir balik kamar lagi.”
Malam ini, kondisi rumah sangat tenang. Kami semua bisa tidur pulas.
Pagi hari, aku sudah bersiap-siap mengantar ibu ke rumah Mang Yana. Harus dari pagi sekali jika ingin dipijat ke sana. Soalnya pasiennya pasti sudah banyak dan mengantri.
Pulang dari rumah Mang Yana, kaki ibu sudah mulai bisa digerakan. Katanya hanya sendi yang bergeser dan masih perlu beberapa kali terapi.
Aku membuka pintu rumah. Semilir angin dingin bertiup ke wajahku. Diikuti semerbak bau bunga.
“Nyium gak, Bu?”
“Iya, ada yang datang.”
“Baunya wangi banget, apa ya?”
“Gak tau, dah buruan masuk ngapain diem di depan pintu!” Aku lupa dari tadi berdiri menghalangi pintu.
Melihat kedatangan kami, Amir pun keluar dari kamarnya.
“Mir, tadi ada wangi bunga harum banget apa ya? Masa Kuntilanak bisa masuk rumah?” Aku langsung mengajukan pertanyaan yang membuat dahinya mengkerut.
“Hah? Apa, Kak?”
“Cuci muka dulu sana, masih ngelindur susah konek.”
Amir bergegas ke kamar mandi, lalu kembali ke ruang tengah.
“Apa tadi, Kak?”
“Pas buka pintu ada wangi bunga harum banget. Ibu juga nyium baunya. Benerkan, Bu?”
“Iya, wangi,” sahut ibu yang sedang duduk di sofa.
“Apa ya?” Amir menutup mata.
“Ohh.. Ratu datang,” sambungnya.
“Ratu?”
“Iya atasannya si Belang. Kayanya abis diomelin tuh si Belang.” Amir tertawa.
“Loh di atas si Belang ada lagi? Ibu tau?” tanyaku.
“Kagak, baru tau juga,” balas Ibu.
“Amir belum cerita pas ketemuan di Pemandian Air Panas kan? Kemaren baru cerita tentang Ambulannya aja.”
“Oh yang itu..”
“Iya. Tapi ini baru pertama kali Amir liat dia ada di rumah.”
“Mau nengok ibu kali.”
“Ya bisa jadi. Atau lagi jagain ibu biar gak dikerjain orang lagi.”
Malam jumat,
Kamarku mulai terasa panas dan pengap sekali. Aku sudah merasa pasti ada yang tidak beres malam ini. Amir pun daritadi tidak keluar kamar, masih sibuk bermain game di ponselnya.
Kunyalakan AC dan kipas angin, hanya mengurangi rasa panasnya saja. Tapi dada terasa sesak. Kepala pun sudah mulai pusing. Aku membaringkan diri di atas kasur, sambil berusaha untuk tidur.
Pukul dua pagi, aku terbangun dengan keringat bercucuran. Padahal AC masih menyala, namun rasanya semakin gerah saja.
Aku membuka pintu kamar, agar ada udara dari luar.
WUSH!.. WUSH!
Ada suara angin berhembus kencang, tepat di depan kamarku. Arahnya dari ruang tengah.
WUSH!.. DUG!
Angin itu mengarah ke atas rumah. Suara benturan dengan plafon terdengar kencang. Seketika nyaliku menciut, buru-buru menutup pintu. Dan melompat ke atas kasur.
TREK!.. DUG!.. DUAR!
Seperti ada bunyi suara petasan di atas rumah. Aku mulai beristighfar dan berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa malam ini. Aku tetap terjaga, sampai rasa kantuk menyerang dan terlelap.
Dalam tidur, aku bermimpi ada sesosok makhluk besar berwarna putih sedang berjalan-jalan di ruang tengah. Ada sosok lain berwarna hitam besar, menunggu di atas atap. Tak jelas bentuknya apa. Tiba-tiba sosok putih itu terbang ke atas. Dan terjadi benturan energi, layaknya menonton pesta kembang api. Setelah itu aku tak ingat lagi.
Adzan subuh berkumandang, dibarengi dengan bunyi alarm di ponselku. Aku terbangun dengan kepala masih terasa berat. Ya.. mungkin efek kurang tidur. Entah bagaimana, aku dan Amir keluar kamar bersamaan. Lalu duduk dan mengobrol sebentar di ruang tengah.
“Semalem ada yang ngirim ya?” tanyaku.
“Kayanya sih, soalnya Amir juga gak bisa tidur ampe jam 3. Kaya ada uler gede banget warna item.”
“Oh jadi itu uler.”
“Emang kaka liat?”
“Gak sih, cuman semalem berisik banget di atas. Terus mimpi ada sosok putih sama item.”
“Putih? Si Kingkong kayanya.” Amir mentutup mata, memfokuskan indranya.
“Eh katanya bukan dia,” sambungnya.
“Terus?”
“Ada sosok lain, baru pertama kali ke sini.”
“Apa bentuknya?”
“Macan putih gede, lebih gede dari si Belang. Dan dia bawahannya Ratu juga.”
“Owh, temennya si Belang.”
“Di atasnya malahan.”
“Wah bisa jadi temen latihan si Kingkong dong.”
“Yang ada malah dikerjain sama si Kingkong.”
“Coba tanyain Siluman Ulernya diapain. Ada gak si Macan Putihnya sekarang?”
“Ada tuh di ruang tamu, baru masuk. Bentar...” Amir kembali menutup matanya.
“Katanya udah dimakan,” sambungnya.
“Oh bagus lah, biar kapok.”
Beberapa bulan semenjak malam itu, kondisi rumah sangat kondusif. Ibu pun melarang Amir berurusan dengan penggiat ilmu hitam untuk sementara waktu. Khawatir, akan mengganggu kegiatan sehari-hari atau mencelakainya.
Pesan ibu pada Amir, “Setiap orang pasti akan mengalami saat iman kita di level terendah. Ketika itu, ‘mereka’ akan mudah masuk dan menghancurkan kita. Belajarlah dari perjalanan hidup ayahmu.”
Sekarang untuk sekedar mengisi kekosongan, Amir lebih sering melakukan penyelusuran bersama teman-temannya. Setidaknya aku tidak akan kehabisan cerita untuk ditulis.
“Mir, bapaknya Ilham masih idup ampe sekarang?” tanyaku.
“Masih idup kok. Tapi..”
“Tapi apa?”
“Ya, hidupnya susah, Kak.”
“Ekonominya?”
“Iya.. soalnya dia gak bakal bisa lepas dari Karma Buruk.”
“Maksudnya?”
“Gini, Kak. Ketika kita mengambil rezeki orang melalui jalur hitam. Walaupun dilepas atau bertaubat tetap harus mengembalikan rezeki orang-orang yang dulunya kita ambil. Dibayar dengan rezeki kita sendiri atau turunan kita nantinya.”
“Repot juga ya, malah bikin sengsara keturunannya.”
“Mangkanya jangan sekali-kali dah tergiur sama bujuk rayu Jin Pesugihan.”
~~~SEKIAN~~~