Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERANGKONG - Sang Pemutus Rogoh Nyowo (Part 5)


JEJAKMISTERI - "Ini awal yang buruk"

Satu suara berat dari Mbah Toha, membuat Tanto dan Wasis saling pandang.
Kening keduanya berkerut, menatap penuh rasa penasaran pada wajah tua di hadapan mereka.

"Apa maksudnya, Mbah?" Wasis yang tak sabar, memberanikan diri bertanya.

Mbah Toha sendiri seperti mengacuhkan ucapan Wasis, ia tampak fokus memeriksa sekujur tubuh membiru, Fandi, yang di temukan Tanto tergeletak di lantai depan kamar.
"Mbah, hal buruk apa? yang Mbah Toha maksud?" kembali Wasis yang di rundung rasa penasaran mengulang pertanyaanya pada Mbah Toha.

Sejenak tangan Mbah Toha terhenti dari mengurut kening Fandi. Ia memalingkan wajah sebentar pada Wasis, yang terlihat begitu mengharap sebuah jawaban.

"Omah Iki ora keno gawe sembarangan. Akeh Cikal Pancer seng wes ketandur sak kelilinge. Mulo tak saranke, golek kontrakan liyane ae." (Rumah ini tidak bisa untuk sembarangan. Banyak Sukma buangan yang sudah tertanam di sekelilingnya. Maka dari itu Saya sarankan, cari kontrakan lainya saja.)" Jelas Mbah Toha.

"Opo maneh, koncomu iki wes ketemu Rojo Jenggolone kene. Bakal dowo urusane yen tetep nekat mbok teruske manggon kene. (Apa lagi, temanmu ini sudah bertemu Pimpinan dari semua mahluk yang bersemayam di sini. Akan panjang urusannya jika tetap nekat meneruskan untuk tinggal di sini.)" Sambung Mbah Toha, dengan penuh expresi kekhawatiran.

"Ada apa sebenarnya di rumah ini, Mbah? dan siapa yang sudah mencelakai teman saya ini?" sahut Wasis yang seperti belum percaya dan mengerti dengan penjelasan Mbah Toha.

"Maaf, Saya tidak bisa menceritakannya," jawab Mbah Toha, sambil berdiri.

"Lalu, bagaimana dengan keadaan Teman Saya ini, Mbah?" Tanto, yang sedari tadi hanya diam, ikut bertanya.

Mbah Toha terdiam sebentar, matanya kembali menatap tubuh lemah Fandi yang sudah tertutup selimut, menyiratkan keprihatinan tersendiri yang mendalam dengan apa yang sudah menimpa pada diri Fandi.

"Temanmu tersandra sukmanya. Dan hanya Sang Pewaris, yang bisa mengembalikan ke Badalnya." jawab Mbah Toha, seraya menarik nafas panjang.

"Sang Pewaris? Apakah, Sanjaya yang Mbah maksud?" tanya Tanto, yang kemudian di jawab anggukan kepala oleh Mbah Toha.

"Kalau begitu Saya akan meminta tolong pada Sanjaya, Mbah. Kebetulan Saya juga  mengenalnya." sahut Tanto, penuh antusias.

"Bukan hanya Mas Sanjaya saja, tapi juga Ibunya, sebab ini ada kaitan erat dengan masa lalu Nduk Wuri." Terang Mbah Toha, membuat Tanto terdiam.

"Biar Saya saja yang menemui Mas Sanjaya dan Ibunya. Kalian jaga saja teman Kalian ini. Dan satu lagi, jangan pernah menyentuh atau bahkan membuka kamar paling ujung belakang." Tegas suara Mbah Toha berpesan setelah menyanggupi untuk menemui Sang Pewaris, SANJAYA.

Sepeninggalan Mbah Toha, Wasis yang seperti tak percaya akan semua cerita tentang rumah itu, menarik paksa Tanto ke belakang. Tak ada penolakan saat itu dari Tanto. Namun, ketika Wasis berhenti tepat di depan pintu kamar ujung, Tanto seketika terhenyak mundur.

"Apa yang akan kamu lakukan, Sis!" Sedikit bergetar suara Tanto melihat kenekatan Wasis.

"Aku tak percaya jika ada syetan bisa mencelakai manusia. Lagian, kenapa juga dengan kamar ini? kok sampai gak boleh di sentuh." Wasis dengan tegas mengutarakan rasa ketidak percayaanya, dan bersikeras ingin membuka pintu yang sudah 20 tahun lamanya tertutup. 

Tapi, ketika tanganya baru menyentuh gagang pintu, Tanto dengan cepat menepisnya.
"Jangan gila, Kamu! apa bukti Fandi yang sudah seperti itu belum cukup untuk membuka pikiranmu!" Tanto dengan cepat menarik mundur Wasis dari depan pintu, dan  menyeretnya kembali ke depan.

"Apa-apaan, Kamu ini! Aku hanya ingin membuktikan apa benar dalam kamar itu ada mahluk yang sudah mencelakai Fandi. Itu saja!" ujar Wasis bersungut-sungut.

"Terserah, Kamu mau percaya atau tidak. Tapi yang jelas, dengan adanya keadaan Fandi seperti ini, Saya harap, Kamu jangan menambah urusan tambah runyam. Ingat! Kita hanya tamu di sini." Tegas, kalimat yang di ucapkan Tanto, sebelum ia beranjak ke kamar depan, di mana tubuh Fandi terbaring.

Tak berapa lama, Tanto kembali ke depan sambil menenteng tas hitam. Di tatapnya lekat-lekat Wasis yang duduk terdiam dan menyandar di sofa, sebelum menyerahkan HP milik Fandi ke tanganya.

"Saya akan melapor ke kantor dan sekalian surfei lapangan. Tolong kamu jaga Fandi, dan ini HP Fandi, kalau sewaktu-waktu nanti Istri atau keluarganya ada yang nelfon, Kamu angkat. Tapi, ingat! jangan Kamu katakan keadaan Fandi yang sebenarnya." Pesan Tanto pada Wasis yang hanya menerima HP milik Fandi, tanpa menyahut ucapan apapun.

"Kalau ada apa-apa, kabari." Sekali lagi Tanto berpesan sebelum beranjak meninggalkan rumah itu, guna mengurus pekerjaan yang seharusnya mereka bertiga. Namun, di karenakan keadaan Fandi, maka Tanto terpaksa mewakili kedua temanya. Di samping dirinya sebagai seorang pelaksana lapangan sekaligus penyuluh, Tanto juga terhitung orang paling lama di banding kedua temanya di sebuah Perusahaan penanaman kabel dan proyek Tower.

Sepeninggalan Tanto, Wasis masih terdiam di ruang tamu. Ia masih termenung dengan segala rasa tak percayanya. Tapi, ketika mengingat ucapan-ucapan Tanto, ia mengendurkan saraf penasaran yang mengencang bila mengingat dengan apa yang ia dengar tentang rumah itu.

***

Setelah beberapa jam melewati jalanan ramai, sepi, dan mengitari perbukitan kecil, Mbah Toha, akhirnya bisa merenggangkan otot-ototnya yang kaku, saat sepeda Motor yang memboncengnya berhenti di halaman sebuah rumah Joglo bergaya ciri khas Jawa. Rumah yang di penuhi dengan lekukan dan ukiran indah bernuansa keraton, menggambarkan jika sang pemilik rumah adalah orang yang menjujung tinggi satu nilai budaya dan tradisi begitu kuat.

Mbah Toha yang tau tentang siapa dulunya pemilik rumah itu, sedikit sungkan saat berjalan keteras berpilar kayu jati berlekuk ukiran. Langkahnya pelan penuh hati-hati yang di ikuti seorang pemuda pemboncengnya.

Dengan memberanikan diri, Mbah Toha mengetuk pelan daun pintu tebal yang mengkilap. Sejenak Mbah Toha bersabar menunggu, sampai akhirnya terdengar sahutan lembut dari dalam, lalu di susul terbukanya daun pintu

Mbah Toha dan sang pemuda seketika menunduk penuh hormat, saat muncul di hadapan mereka sesosok wanita Ayu bergelung, selaras dengan kebaya batik dan kain jarik sebagai bawahannya.

"Mbah Toha... Monggo, Masuk Mbah." Pelan dan penuh wibawa suara wanita anggun mempersilahkan tamu yang sudah di kenalnya.

Mbah Toha mengangguk pelan dan langsung mengikuti langkah gemulai wanita yang sebenarnya terpaut jauh usianya lebih muda. Akan tetapi, dengan beberapa alasan, membuat Mbah Toha yang lebih tua, seakan lebih menghormatinya.

"Sepertinya ada hal yang sangat penting, sampai Mbah Toha menyempatkan diri datang ke sini?" ucap Sang wanita setelah berbasa-basi sebentar, seraya menuangkan air teh ke dalam dua cangkir yang di suguhkan untuk Mbah Toha dan pengantarnya.

"Benar, Nyai. Ini ada kaitannya dengan tiga orang yang menempati rumah Prabon di sana." jawab Mbah Toha, setelah sedikit meneguk teh yang di suguhkan.

Sosok wanita yang tak lain adalah WURI, mengernyitkan keningnya dan sebentar kemudian berubah menegang, kala Mbah Toha mulai menceritakan semua kejadian yang menimpa Fandi. Beberapa kali Wuri menarik nafas panjang seperti tengah menahan satu beban berat dalam batin, saat Mbah Toha menyinggung nama-nama yang ia tau sebagai penunggu rumah Prabon, dan sudah menjadikanya sebagai sebuah Jenggolo.

Suasana sesaat hening, setelah Mbah Toha selesai bercerita. Ia menunduk menunggu Wuri yang terdiam seperti tengah mencerna semua cerita dari Mbah Toha. Yang mau tidak mau  memaksa ia mengulas balik peristiwa demi peristiwa di rumah itu. Sampai membuat matanya panas dan menggulirkan dua air bening, tanpa terasa.

Sebentar Wuri mengusap air matanya, seraya menatap Mbah Toha dengan seulas senyum yang di paksa, membuat Mbah Toha terlihat iba.

"Maaf, Mbah. Untuk urusan ini, saya akan bertanggung jawab dengan Sanjaya. Tapi, karena Sanjaya masih pergi, jadi Saya menunggu Sanjaya dulu, Mbah." ucap Wuri sedikit parau.

Mbah Toha terlihat mengangguk pelan, mengerti dan menyadari dengan apa dan semua yang tengah di rasakan sosok Ayu TRAH terakhir RENGKO SASMITO, yang juga pemegang pusaka simbol LAWEYAN LENGGAN dari Penguasa Pesisir Selatan.

***

Hari beranjak sore. Wasis, yang sudah di hinggapi rasa bosan, terlihat mondar-mandir. Sesekali matanya menatap gerbang tak berpintu, berharap Tanto segera datang. Namun, dari Langit dengan semburat kemerah-merahan sampai berangsur tertutup awan hitam, orang yang di tunggunya tak juga muncul. Bahkan, sudah tak terhitung ia mencoba menghubungi lewat HP, tapi sayang, juga tak bisa tersambung dengan Tanto.

Bosan, penat, dan jengkel membaur di benak Wasis. Ia kemudian memutuskan menutup pintu dan berniat untuk mandi. Akan tetapi, ketika kakinya berada tepat di depan pintu kamar ujung, lagi-lagi rasa penasaran menghinggapinya. Terdiam Wasis menatap pintu yang tinggal berjarak dua langkah dari tempatnya berdiri. Seperti sedang menimbang-nimbang antara keraguan dan rasa penasarannya. Sampai akhirnya, kakinya mantap melangkah mendekati pintu yang terdapat ukiran bunga di tengahnya.

Perlahan, tangan Wasis mendorong gagang kayu yang menempel di daun pintu tak berkunci. Terdengar suara derit pelan saat sedikit demi sedikit pintu terbuka, lalu berganti sunyi saat pintu sudah terbuka lebar.

Wasis tertegun, menatap ruang kamar yang gelap dan berhawa lembab. Tak ada apapun yang bisa di lihat oleh matanya, namun justru membuat Wasis semakin di buru rasa penasaran.

"Apa yang aneh dari kamar ini? sampai-sampai tak boleh di buka?" gumam Wasis, sembari melangkah masuk ke dalam kamar.

Wasis kembali mengedarkan matanya, menatapi seluruh ruang kamar yang gelap saat ia sudah berada di dalam kamar. Tapi, lagi-lagi ia tak menemukan apa-apa. Sesaat, sebelum  Wasis yang sudah berniat meninggalkan kamar itu, tiba-tiba matanya di kejutkan dua kerlipan berwarna merah, tepat lurus di depannya.

Seketika Wasis mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kamar, ia beralih dan tertarik dengan dua larik kerlipan yang di rasa menarik baginya. 
Setapak demi setapak Wasis lalui sambil terus menatapi dua larik merah, yang di rasanya begitu dekat. Tanpa di sadari jika keganjilan sudah terjadi. 

Wasis terus melangkah menembus gelap ruang yang ia lalui, sampai ketika kakinya mulai merasakan lantai teramat dingin, di saat itulah baru ia merasakan keanehan. Wajah Wasis mendadak pucat, saat menyadari ada hal yang tak masuk akal. Di mana ia awal memasuki sebuah kamar yang hanya berukuran 2x3, tapi kini dirinya seperti menyusuri lorong-lorong gelap tanpa ujung.

Wasis benar-benar panik, tanganya meraba-raba seperti ingin memastikan. Namun, hanya dinding lembab yang tersentuh jarinya, membuat ketakutannya mencuat setelah yakin jika ia memang berada di suatu tempat yang tak dirinya ketahui.

Sebentar Wasis terdiam, mencoba berpikir tenang sembari sesekali berteriak meminta tolong. Tapi, teriakan-teriakan Wasis hanya menghasilkan pantulan suaranya sendiri yang menggema,

Dengan tubuh gemetar Wasis kembali berjalan menyusuri lorong lembab nan gelap tanpa tau arah. Berharap akan ada jalan baginya untuk bisa keluar. Sampai pada titik dimana tubuhnya terduduk lemas, Wasis di kejutkan dengan suara riuh dari arah depanya.

Setitik harapan seketika memancar dari sorot mata Wasis. Yang kemudian memaksa tubuhnya untuk bangkit, mengayunkan langkah kaki penuh semangat dan berharap bisa segera lepas dari ketakutan yang menderanya.

Wajah Wasis sejenak menyirat satu kelegaan, ketika menemukan ujung lorong bercahaya terang. Bukan hanya itu, suara riuh yang membuat dirinya bersemangat juga terdengar dari arah ujung lorong, membuatnya yakin jika itu adalah jalan keluar dari lorong menakutkan berhawa lembab.

Wasis terlihat bisa bernafas lega, setelah sampai di ujung lorong dan mendapati tempat terang yang ramai. Ia sempat terduduk dan sebentar membaringkan tubuhnya, melepas rasa takut dan meredam nafasnya yang masih memburu.

Namun tak berapa lama setelah Wasis terlihat tenang, mendadak wajahnya kembali menegang, ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau wangi Kamboja yang teramat menyengat.

Buru-buru Wasis bangkit untuk memastikan bau kembang, yang ia tau adalah kembang kuburan. Matanya menatap tempat lapang yang terang dengan banyak manusia bersliweran hilir mudik. Satu persatu Wasis menatap tiap-tiap orang yang berjalan dekat dengan tempatnya berdiri. Lama Wasis terbengong, bingung dengan keadaan di sekelilingnya. Keanehan kembali ia rasakan ketika mengamati seluruh tempat layaknya tanah lapang yang sangat asing baginya. Apalagi, saat dengan seksama matanya melihat orang-orang yang berlalu lalang, Wasis semakin merasakan keganjilan. Dimana, wajah dan kulit tubuh mereka semuanya putih memucat serta terdapat bulatan hitam di mata luarnya. 
Tapi, yang membuat tubuh Wasis seketika merinding ketakutan adalah bau wangi bunga Kamboja, ternyata bersumber dari tubuh mereka...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
JERANGKONG - Sang Pemutus Rogoh Nyowo (Part 6)

*****
Sebelumnya

close