Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARAH ANGKORO (Part 2 END)


JEJAKMISTERI - Pagi kedua, kembali perdebatan kecil antara Aku dan Arman terjadi. Tetap saja Aku yang kalah atau mengalah, sebab memang Arman sepertinya belum merasakan seperti yang Aku lihat dan alami. 

Setelah membawa bekal secukupnya, Aku dan Arman memulai hari pertama mengais rezeki di perkebunan.
Meski tanpa semangat menggebu, setidaknya kubuat sedikit melupakan ketakutan, yang masih meliputiku. 
Tapi, lagi-lagi Aku salah! 
Saat waktu istirahat sejenak melepas dahaga, Aku mengikuti Arman di sebuah pondokan panggung di tengah ladang. 
Sebentar saja rasa sejuk dan tenang singgah di benakku, sebelum seorang bapak umur 60an ikut singgah di pondok, saat mengetahui keberadaan kami di dalam pondok. 

"Anak ini, baru ya... kerja di kebun ini?" Tanya beliau ramah, dengan logat bahasa warga asli setempat.

"Iya, Pak. Kami berdua baru hari ini mulai kerja." Jawab Arman.

Terlihat si Bapak manggut-manggut ketika mendengarkan semua penjelasan dari Arman. Wajah keriput beliau yang awal begitu antusias, tiba-tiba berubah, manakala obrolan kami menyangkut rumah yang Aku dan Arman tinggali. Seakan ada sesuatu yang terselip dalam benaknya, hingga tatapan matanya yang mengarah kepadaku dan Arman,  menyiratkan satu gambaran penuh misteri. 

"Anak berdua ini, kalau bisa pindah tempat saja. Cari rumah-rumah kosong milik warga sekitaran kan ada. Bapak kasian nantinya sama kalian." Ucap beliau mengandung sebuah pesan, yang sudah kedua kalinya kudengar dari orang yang berbeda. 

Aku tertegun sejenak, setelah mendengar pesan dari sang Bapak, mengingatkan pada kejadian menakutkan, yang kualami semalam. 

Kembali perdebatan antara Aku dan Arman terjadi sepeninggalan Bapak yang menyebut dirinya Pak Wasis. Tapi, tampaknya Arman masih tak begitu percaya dengan hal-hal ghaib di rumah itu, walau ia sendiri mendengar langsung, dari dua orang tua yang memberi saran pada kami untuk pindah dari rumah itu, tetap saja ia tak menggubris meski kupaksa. 

Perasaan tak nyaman, berdebar, lagi-lagi mendera, ketika kakiku baru menapak halaman rumah, sepulang dari kebun. Waktu yang sudah masuk surup, ditambah cuaca mendung, membuat keadaan sekitar rumah begitu sunyi dan sepi. 

"Yan Aku mandi dulu ya." Ucap Arman padaku yang tengah menyimpan alat kerja di emper dapur. 

"Iya." Jawabku,  melihat Arman sudah menyambar handuk yang tersampir dan melangkah ke arah kamar mandi. 

Sebatang rokok kunyalakan sembari duduk di emper dapur, memainkan asapnya yang keluar dari hidung dan mulutku, sembari mendengarkan gebyuran air dari kulah tempat mandi. Saat itu tak ada kejanggalan atau keanehan kurasakan, sampai saat rokok yang ku apit di jariku tinggal setengah, tiba-tiba hidungku membaui amis darah menyengat, membuatku terhenyak. 

Belum sempat nafasku longgar karena bau amis darah, mataku di kejutkan lagi dengan kemuculan satu sosok yang berdiri entah sejak kapan di bawah pohon kelapa, tepatnya di pojok belakang rumah.

Sosok yang terlihat sedikit jelas dengan penerangan alam, adalah sosok seorang laki-laki berbadan tegap, bertelanjang dada, berambut gondrong, serta terdapat tato di lengan kanan dan dadanya.

Matanya kulihat jelas tengah menatap tajam, ke arah kamar mandi tak beratap, dimana Arman tengah mengguyur tubuhnya.

Entah apa yang sedang sosok itu perhatikan dari diri Arman, Aku sendiri tak bisa menerkanya dengan pasti. Tapi satu yang membuat tubuhku merinding, bau amis darah yang menyengat, berasal dari sosok tersebut. 

Tubuhku rasanya kaku, dingin dan mungkin pucat wajahku ketika itu. Apalagi, ketika mata sosok itu beralih menatapku, jantungku seolah berhenti berdetak.

"Kamu kenapa Yan!" Teguran keras dari Arman, seketika menyadarkanku.

Namun aneh! Saat teguran Arman, kujawab dengan isyarat mata kearah sosok itu, Arman seolah tak melihat apa-apa, bahkan keningnya berkerut seperti bingung. Padahal, mataku melihat jelas sosok itu masih berdiri dengan wajah putih pucat, dan terdapat guratan hitam di leher, tengah menatap tajam Arman, yang masih berbalut handuk. 

"Apa Yan! " Kembali Arman menyeru padaku dengan masih beraut bingung.

Aku mendengar seruan Arman. Tapi, entah mengapa mataku seolah enggan untuk mengalihkan pandangan dari sosok, yang kini kulihat mulai melangkah pelan ke halaman depan.

Kutarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa takut. Hampir Aku berucap, tapi Arman lebih dulu berlalu masuk kedalam rumah, sembari memasang wajah jengkel.

Dingin, air kulah yang menyirami tubuhku, tapi tetap saja tak mampu mengalahkan rasa takutku. Apalagi, suasana sudah begitu gelap, hanya ada sorotan cahaya dari lampu dapur, yang sedikit membantu mataku untuk melangkah cepat setelah kubersihkan tubuhku. 

Hawa lembab masih terasa, meski sudah dua hari Aku dan Arman, menempati kamar itu. Selalu saja perasaan tak enak tiba-tiba muncul, seolah ada penghuni lain yang selalu mengawasiku jika berada di dalam kamar. 

"Man! apa tak sebaiknya kita pindah saja dari rumah ini. Aku bener-bener takut dan gak tenang Man." Ujarku pada Arman, setelah Aku selesai berganti pakaian dengan buru-buru.

Arman yang kala itu tengah menghidangkan mi instan sebagai menu makan malam kami, terdiam sesaat. Kulihat ia seperti tengah berpikir, terlihat dari raut wajahnya yang kali ini tampak begitu serius. Namun, sampai beberapa lama, tak ada ucapan apapun yang keluar dari mulutnya untuk menanggapi saranku. 

Setelah selesai menyantap mi instan buatan Arman, Aku yang masih berada di dapur untuk membereskan perkakas, tiba-tiba di kejutkan suara benda jatuh begitu keras dari arah kamar. Sejenak Aku berpikir, jika itu adalah ulah Arman, yang lebih dulu masuk ke kamar setelah selesai makan.

Tapi, ketika suara itu terdengar lagi dengan di sertai suara pekikan, Aku buru-buru berlari untuk memastikan. 

"Man! Kamu kenapa!" Seruku terkejut. Menyaksikan Arman sudah terduduk di lantai, menyandar di kayu tepian ranjang.

Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat pasi serta tatapan mata kosong kesudut lemari. Dimana tas ransel, baju serta barang-barang lainya sudah berserakan di lantai.

Namun, bukan itu yang di maksud Arman. Tapi, satu sosok yang sedang berdiri di samping lemari. Sosok laki-laki sama persis yang kulihat beberapa saat tadi, tepatnya saat di belakang rumah. tapi ada satu yang membedakan, guratan di lehernya, ternyata sebuah luka seperti sayatan yang menganga. 

Keadaanku kini tak jauh beda dengan Arman. Pucat, berkeringat di selimuti rasa takut yang sangat.

"Kalian sudah berani meniduri ranjangku! dan kamu! sudah menghinaku!" Satu suara berat mengandung amarah, yang keluar dari mulut miring sosok itu, benar-benar meluluhkan keberanian dan mentalku.

Apalagi, beberapa saat kemudian, satu kejadian yang tak kusangka, yang membuat tubuhku gemetar, yang membuat kepala dan mataku berat, dan sebuah kengerian, manakala sosok itu mendekati Arman, meraih kepalanya dan membentur-benturkan pada kayu tepian ranjang.

Tak ada jeritan atau teriakan dari Arman yang keluar, hanya ringisan menahan sakit dengan mata berlinang yang kulihat dari wajahnya, serta geraman-geraman dari sosok itu, sebelum kurasakan berat dan gelap semua...

***

Aku terjingkat kaget, saat mataku terbuka dan mendapati beberapa orang sudah mengelilingiku.

Ada kelegaan dari salah satu wajah tua yang duduk di sampingku, yang kukenal ketika di kebun. Pak Wasis. Beliau tersenyum sembari memijat pelan keningku, yang memang terasa berat. 

"Alkhamdulillah kamu sadar Nak," Ucapnya pelan.

Lidah dan mulutku terasa kaku dan sulit kugerakkan, sebelum segelas air putih yang di berikan Pak Wasis, membuatnya kembali pulih dan memberiku ketenangan.

Perlahan ingatanku kembali pulih, mengulang kembali memori kejadian mengerikan yang ku alami, sampai membuatku, kala itu menangis ketakutan. 

Pak Wasis kembali memijit keningku yang kali ini lebih keras, tanganya yang sedikit kasar dan sudah di basahi air, mengusap wajahku dengan pelan sembari bibirnya melafalkan doa-doa. 

"Arman... Arman. Teman saya di mana pak?" Tanyaku pelan setelah ketenangan menyelimutiku.

"Temanmu ada di kamar itu Nak, dia masih pingsan" Jawab Pak Wasis datar.

Air mataku kembali mengalir, teringat kejadian yang menimpa kami, khususnya Arman. Dimana kulihat jelas, jika kepalanya di benturkan berkali-kali oleh sosok menakutkan itu.

"Tenang Nak. Kamu dan temanmu aman di rumah Bapak." Ucap Pak Wasis kembali, seperti tau yang kupikirkan.

"Saya di rumah Bapak?" Tanyaku heran,

"Iya, dari semalam kamu pingsan." Jawab Pak Wasis datar. 

Aku terkesiap mendengar cerita dari beberapa orang, yang membawa kami keluar dari rumah neraka sejak semalam.

Itu artinya, Aku pingsan dari kejadian awal sampai Aku lihat kala itu hari sudah terang.

"Lalu, teman saya bagaimana keadaannya sekarang Pak?" Tanyaku pada Pak Wasis, dan beberapa orang yang masih berada di tempat itu. 

Satu tarikan nafas dari beberapa Pak Wasis dan raut sedih dari beberapa wajah, membuat dadaku berdebar.

"Teman Kamu, masih pingsan. Kamu ceritakan bagaimana awalnya, sampai JONTO melakukan ini pada kalian berdua, khususnya temanmu itu." Sahut Pak Wasis menjawab dan memintaku untuk bercerita. 

Wajah-wajah tua yang telah menolongku, menghadap, menatapku penuh harap. Sejenak Aku bangkit dari pembaringan dan bersandar pada tembok kamar, sebelum Aku mulai bercerita dari awal sampai akhir kejadian yang membuatku pingsan berjam-jam. 

Ada kecemasan dari beberapa wajah yang ikut mendengar ceritaku, apalagi, ketika ceritaku sampai pada sosok itu yang kulihat membentur-benturkan kepala Arman, semua menegang, termasuk Pak Wasis. 

"Ada apa sebenarnya di rumah itu Pak?" Tanyaku setelah kuselesaikan ceritaku,

Beberapa dari Bapak-Bapak itu kulihat saling pandang, seperti saling menyerahkan untuk menjawab keingintauanku tentang asbab musabab rumah yang sudah mencelakaiku dan Arman. 

"Di dalam rumah itu, khususnya di kamar yang kalian tempati, pernah terjadi tragedi pembunuhan yang menumpahkan DARAH ANGKORO." Akhirnya, Pak Wasis sendiri yang mulai membuka ucapan untuk bercerita.

"Kenapa kami bilang Darah Angkoro? sebab pembunuhan itu di lakukan oleh beberapa orang yang di dalangi oleh adik kandung dari JONTO. Si korban."

"Mereka membunuh Jonto, karena sudah tidak tahan dengan kebengisan dan kesewenang-wenangan, dan kejahatan Jonto, pada warga sekitar, termasuk keluarganya sendiri."

"Jonto berhasil di bunuh setelah di rencanakan lama, sebab Jonto mempunyai banyak ilmu. Makanya tak hanya satu dua orang yang ikut terlibat. Setelah menentukan waktunya yang tepat, berdasarkan anjuran dari orang-orang tau berilmu kebatinan, Malam kelahiran Jonto sendiri yang bisa menjadi malam tragisnya."

"Jonto di bunuh dengan cara di sem****h. Tepat jam 12 malam di kamar itu."

Pak Wasis berhenti sejenak dengan menarik nafas dan menengadahkan wajah serta menatap kelangit-langit kamar, mengumpulkan kembali kepingan-kepingan kejadian tragis itu. 

"Tapi, sebelum Jonto menghembuskan nafas terakhirnya, ia sempat bersumpah! Jika darah yang telah di tumpahkan dari tubuhnya dengan cara pengecut, akan menghantui dan mencari teman untuk tinggal di rumah itu."

"Sumpah Jonto benar-benar terbukti saat pertama ada sepasang suami istri yang menempati rumah itu meninggal dengan cara gantung diri, disusul satu tahun kemudian, seorang pemuda sama seperti kalian yang juga bekerja, mati tergantung di kamar itu." Ucap Pak Wasis mengakhiri cerita ringkasnya. 

Tubuhku yang sedari awal merasakan ngilu dan sakit, seketika menggigil mendengar sekilas cerita itu. Tak terbayang betapa mengerikanya kamar itu, setelah tau kejadian-kejadian sebelum Aku dan Arman menempatinya. 

*****

Sejak hari itu, Aku tak berani lagi untuk melihat apalagi masuk kerumah itu. Arman yang sudah sadar namun terlihat linglung, ia sering menangis, berteriak-teriak sendiri serta membenturkan kepalanya tanpa sebab.

Pak Anam yang pada akhirnya menjadi sasaran umpatan kata-kata kasar, dari orang-orang tua dan tetua adat penduduk setempat, karena telah menempatkan kami di rumah itu, bersedia mengantarku dan Arman pulang kekampung. 

Namun keadaan Arman tak berubah, meski berbagai cara sudah di tempuh orang tua dan keluarga Arman, untuk menyembuhkan sakitnya. 
Sampai akhirnya, sekitar 40 hari kepulanganku dan Arman di kampung, dan sudah mengusahakan segala cara untuk Arman.

Takdir berkata lain, Arman di panggil yang MAHA KUASA. Arman meninggal dunia tepat jam 12 malam. Meskipun banyak spekulasi dari banyak orang, tapi Aku percaya jika Sahabatku Arman, mendapat tempat yang terbaik DI SISINYA. 

---===SEKIAN===---

*****
Sebelumnya

close