Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARAH ANGKORO (Part 1)


JEJAKMISTERI - Setelah menempuh perjalanan lebih dari 3 jam, melawan rasa bosan dan suhu dingin dari ruang VIP kapal cepat SpeadBoat, akhirnya Aku bisa tersenyum lega.

Sejenak kurengnggangkan otot-otot tubuhku yang kaku, sebelum keluar dari kapal dan menginjakkan kaki di pelabuhan MUNTOK. 

"Masih jauh tempatnya Man?" tanyaku pada Arman, teman satu desa yang membawaku merantau untuk pertama kalinya, di Propinsi yang terkenal dengan Martabak, Timah dan Sahangnya.
 
"Ya... masih Yan. kita naik bis lagi kesananya." jawab Arman, dengan terus melangkah sembari menenteng tas ransel, sama sepertiku yang mengekor di belakangnya. 

Hampir 20 menitan Aku dan Arman berjalan, sebelum akhirnya kami berhenti di sebuah warung kecil, pinggir jalan hitam aspal. Ada alasan tersendiri, mengapa Arman memilih menghadang bis di pinggir jalan, bukan di dalam terminal. Di samping bisa tawar menawar ongkos, pilihan jenis bisnya juga jadi pertimbangan Arman. 

Hari beranjak semakin siang, ketika Aku harus duduk di salah satu deretan kursi bis, untuk beberapa jam kedepan. Bayangan rasa bosan sudah menghantuiku, saat bis yang tak terlalu mewah mulai berjalan meninggalkan wilayah pelabuhan. Tak ada hiburan apapun yang bisa kunikmati di dalam bis, kecuali suara deru mesin dan teriakan kenek bis yang mencari tambahan penumpang. 

Hingga sekitar pukul empat sore, Arman mencolekku dan memberi isyarat agar segera bersiap-siap, mengakhiri rasa lelah dan bosanku yang hampir membuncah.

Setelah turun dari bis, Arman kembali mengajakku berjalan memasuki sebuah perkampungan, dengan masyarakatnya yang ramah tamah. Satu kesan yang membuatku langsung membayangkan, akan betah jika tinggal di tempat itu. Tapi Aku salah, Arman rupanya hanya menemui seseorang, yang akan mengantarkan kami berdua ke lokasi tempat kerja. 

Pak Anam, beliaulah yang bakal mengantar Aku dan Arman di kebun Sahang milik seorang juragan kaya, yang di percayakan padanya. 

"Apa mau berangkat sekarang mas Arman, Mas Riyan?" tanya Pak Anam, setelah segelas kopi yang di suguhkan padaku dan Arman tinggal ampas. 

"Ohh, iya pak." jawab Arman.

Butuh waktu 20 menitan dengan mengendarai mobil picup, untuk sampai ke lokasi perkebunan dari rumah Pak Anam. Meskipun tak begitu jauh dari perkampungan warga lain, tapi, lokasi rumah yang bakal kami berdua tempati lumayan masuk kedalam. 

Ada hal aneh yang kutangkap dari sikap Pak Anam, ketika kami baru sampai. Beliau terlihat gusar dan buru-buru pamit setelah menyerahkan kunci pada Arman. Tanpa mejelaskan apapun perihal rumah berlantai acian semen dengan dinding separuh papan dan separuh batu bata. 

Hening, Senyap, saat kakiku melangkah di belakang Arman, memasuki rumah dengan dua kamar bersampingan yang tertutup.

Sedikit lega perasaanku ketika Arman menemukan saklar dan menghidupkan seluruh lampu rumah, karena waktu sudah gelap.

"Mau tidur di kamar sendiri-sendiri? atau sekamar berdua yan?" tanya Arman padaku yang masih duduk di kursi menghadap ke pintu. 

"Aku nurut Man." jawabku singkat. 

"Sekamar aja yan, gampang bersihinya." sahut Arman memutuskan.

Aku yang sekiranya ingin menyahuti lagi ucapan Arman, mendadak urung. Ketika mataku melihat kehalaman depan, lewat pintu yang masih terbuka, sekilas satu sosok melintas.

"Ada apa yan?" tanya Arman sedikit heran, melihatku berdiri dan menatap lekat keluar.

"Tadi kayak ada orang lewat Man." jawabku jujur.

"Warga kampung sebelah mungkin... pulang dari kebun." jawabnya memberi alasan yang tak begitu ku yakini.

"Aku mau istirahat yan, capek!" ucap Arman kembali sambil berlalu.

Aku sendiri yang juga merasa capek, meski rasa penasaran masih bergelayut, kuputuskan menutup pintu dan menyusul Arman. 

Senyap dan lembab, lagi-lagi hawa yang kurasakan ketika memasuki kamar yang di pilih Arman.

Ada rasa tak nyaman ketika pandanganku mengedar, mengelilingi isi kamar, seolah ada sorot mata tajam, tengah mengawasi kehadiran kami di kamar itu.

Tubuhku tiba-tiba saja merinding, manakala pandanganku tertuju di atas ranjang berkasur kapuk, dimana tubuh Arman sudah terbaring disisi kiri, yang mungkin sudah terpejam. 
Tapi, bukan Arman yang membuatku tercekat, melainkan, bayangan seorang laki-laki, terbaring dengan posisi terlentang di samping Arman. 

"Mann...!" tanpa sadar Aku terpekik, membuat Arman kaget! ia langsung terduduk dan menatapku dengan penuh keheranan.

"Ada apa Yan?" tanya Arman bingung. 

"Gak Man... Gak apa-apa." jawabku berbohong.

"Ya sudah!" sahutnya jengkel, kemudian kembali berbaring. 

Aku yang masih berdiri mematung, tak menghiraukan kejengkelan Arman. Mataku masih menatap kearah ranjang, meskipun bayangan itu sudah menghilang, tapi, kini hidungku mencium bau amis darah seperti berasal dari ranjang, tepatnya dari bekas bayangan tadi terbaring.

Ragu, takut, namun tak ada pilihan bagiku. Terpaksa kurebahkan juga tubuhku yang terasa lelah di ranjang, dengan jantung berdebar...

***

Untuk pertama kalinya, Aku menghirup udara pagi di tanah perantauan. Suasana asri dengan hamparan kebun, berbalut cahaya hangat sinar matahari,  sejenak, membuatku lupa akan kejanggalan yang ku alami semalam. 

Tak banyak yang bisa kami lakukan pagi itu, selain bersih-bersih dalam rumah, sembari menunggu intruksi dari Pak Anam. yang katanya, akan datang dengan membawakan bahan-bahan kebutuhan untuk kami. Tapi, sampai hari mulai beranjak siang, Pak Anam, belum juga terlihat, sedangkan cacing dalam perutku mulai beraksi. 

Ketika Aku dan Arman berniat untuk keluar mencari makanan, dari jalan samping rumah, sebuah sepedah motor dengan keranjang penuh bawaan berhenti di halaman depan. 
Aku dan Arman sedikit heran melihat lelaki setengah abad yang datang mengantarkan bahan kebutuhan untuk kami, bukan Pak Anam.

"Lho, Pak Anam kemana, Pak?" tanya Arman.

"Pak Anam ada kepentingan mas, makanya menyuruh saya untuk mengantar ini semua." jawabnya sambil menurunkan barang bawaannya.

"Mas berdua, nanti sore disuruh kerumahnya untuk masalah kerja." sambung si bapak setelah menurunkan barang terakhir, sekantong beras.

"Lha... kami kesananya jalan kaki pak?" sahut Arman yang bingung.

Bapak itu terdiam, hanya matanya yang memandang Aku dan Arman bergantian, dengan tatapan kulihat seperti menyiratkan sesuatu.

"Maaf mas, saya permisi, mau langsung keladang soalnya." ucapnya berpamitan.

Lagi-lagi Aku melihat keanehan dari raut wajah bapak itu, sama dengan yang di tunjukan Pak Anam saat pertama kali mengantar kami.

Sejenak Aku dan Arman, saling pandang setelah kepergian si bapak, ada perasaan tak enak yang sama-sama kami rasakan, melihat sikap bapak itu, seperti ketakutan. 

"Man, sepertinya ada yang aneh dari rumah ini! Kemaren Pak Anam, juga sama seperti bapak tadi, kayak takut lihat rumah ini." ucapku sambil menata bahan-bahan di ruang dapur.

"Aneh gimana maksudmu?" tanya Arman yang baru selesai mengaduk dua gelas kopi.

"Aku merasa rumah ini angker! dari semalam banyak kejanggalan yang Aku rasakan." jawabku menjelaskan.

"Ahh... Kamu ini, ada-ada saja. minum dulu ini kopinya! biar pikiranmu fress dan gak mikir yang aneh-aneh." sahut Arman kembali, seperti tak percaya dengan alibiku.

Kutarik nafas dalam-dalam mendapati temanku yang memang pemberani, dan tak begitu mempercayai hal-hal yang berbau ghoib. Membuatku sungkan, untuk terus berdebat dalam hal-hal seperti itu. 

Waktu terus berputar, terik matahari yang menyengat, perlahan berganti semburat kemerah-merahan di langit ujung timur, menandakan jika senja akan segera menyambut malam. 

Aku yang mengikuti langkah Arman di belakang, sedikit jengkel dengan Pak Anam. pasalnya, bukan jarak yang dekat, rumah yang kami tempati dengan rumah Pak Anam. Tak kurang dari satu jam, kami harus berjalan kaki dengan kucuran keringat membasahi. 

Setelah bertemu dengan Pak Anam, hanya seputar pekerjaan yang kami bicarakan, tanpa menyentuh perihal rumah. Sempat ingin kutanyakan, tapi urung, sebab Pak Anam ingin kami segera pulang dengan berbagai alasan, seperti tau dan enggan membahas soal rumah yang kami tempati. 

Dengan perasaan bercampur aduk, Aku terpaksa menahan rasa penasaranku dan mengikuti Arman kembali kerumah. 
Langkah gontaiku dan Arman sempat terhenti, ketika seorang lelaki tua, berbaju batik lengan panjang serta sarung kotak-kotak, berpapasan dan menatap kami dengan penuh selidik.

"Mas-Mas berdua ini dari mana?"  tanyanya dengan kening berkerut.

"Maaf pak, kami dari tempat Pak Anam." jawab Arman pelan.

"Ohh... Anam. Tapi kayaknya Mas-Mas ini bukan warga sini ya?" sahutnya masih dengan curiga.

Aku dan Arman sejenak terdiam, sebelum Arman menjelaskan singkat tentang kami berdua. 
Sekilas bapak itu manggut-manggut sebelum wajahnya berubah tegang, ketika Arman menyebut rumah yang kami tempati. 

"Saran saya, kalian cari tempat tinggal lain saja." ucapnya sembari berlalu dan menambah lagi satu keanehan bagiku. 

Kali ini, Arman terlihat seperti memikirkan ucapan sang Bapak tadi, ia terlihat diam merenung sepanjang jalan, membuat suasana sunyi bertambah hening tanpa adanya percakapan apapun antara Aku dan Arman. 

Ketika kaki ku baru menginjak halaman rumah, hawa senyap sudah menyambutku. Bulu kuduku seketika meremang, manakala Arman membuka pintu, bayangan seseorang yang tengah duduk di kursi plastik ruang tamu, sangat jelas terlihat oleh mataku meski dalam keadaan gelap. Namun, ketika Arman menghidupkan lampu, sosok itu tak terlihat lagi. Membuatku berusaha berpikir positip, dan tak menceritakan apa yang barusan kulihat, karena tak ingin berdebat. 

Setelah berbincang tentang pekerjaan yang akan kami mulai besok, Arman pamit untuk istirahat. Aku yang juga lelah dan mulai di serang kantuk, berniat menyusul Arman. Tapi, saat lampu ruang tamu kumatikan, lagi-lagi bayangan itu terlihat kembali, tengah duduk di kursi menghadap kearah pintu. 

Hampir saja Aku berteriak ketakutan, tapi masih bisa kutahan dan memutuskan segera masuk kamar, memaksa mataku untuk terpejam. 

Entah jam berapa tepatnya, malam itu tiba-tiba saja mataku terjaga. Posisiku yang berbaring miring, mendengar suara dengusan di barengi dengkuran tepat di sampingku. 
Namun, ketika kepalaku menoleh, kulihat hanya sosok Arman yang pulas, tanpa mendengus maupun mendengkur.

"Lalu, dengusan dan dengkuran siapa yang kudengar jelas tadi" batinku berkecamuk, 
Saat kembali kubaringkan tubuhku, Aku kembali tercekat! Bukan karena dengusan atau dengkuran, melainkan aroma amis darah yang pekat menusuk hidungku...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close