Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERANGKONG - Sang Pemutus Rogoh Nyowo (Part 7 END)


JEJAKMISTERI - "Sekarang jadi urusanmu. Abah, akan membantumu dengan Do'a."

Seraut wajah tenang penuh wibawa, dengan seulas senyum berkharisma, menatap dan menepuk pelan pundak sesosok lelaki muda, yang berada di sampingnya.

Meski keadaan saat itu, di halaman belakang, tepatnya di depan sebuah pohon besar nan tinggi menjulang, sangat mencekam. Namun, tak tersirat sedikit pun rasa takut di wajah sesosok lelaki bersurban yang perlahan mundur, menjauh dari tempatnya berdiri bersama sang lelaki muda. Memberi kesempatan pada Sang pemuda untuk merampungkan urusanya.

Sang pemuda sendiri hanya mengganguk pelan, menunduk sebentar, dan kembali tegak berdiri menghadap pada pohon di depannya.

Bersamaan dengan itu, dari arah pohon, angin kencang kembali bergemuruh kencang, menghempaskan daun-daun dan ranting kering berguguran ke tanah. Tak hanya itu, satu helaan nafas kemudian, dari balik pohon tua yang tinggi menjulang, bau gosong menyengat tiba-tiba tercium pekat, menjadi awal kemunculan puluhan siluet hitam, melayang dan berdiri mengelilingi Sang pemuda.

Kini, nampak jelas wujud dari puluhan sosok yang sudah tegak, meski hanya terpapar cahaya redup dari lampu teras. 
Wujud layaknya tulang belulang tanpa daging, terbungkus kulit hitam. Hanya saja mata sosok-sosok itu tampak putih rata, menyorot tajam pada Sang pemuda.

Ketegangan terlihat dari wajah Sang pemuda. Walaupun tak tersirat rasa takut, saat dirinya harus berdiri sendiri menghadapi puluhan Mahluk mengerikan. Padahal, di belakangnya, di dalam teras, nampak tiga sosok laki-laki dan sesosok perempuan ikut menyaksikan.

Dari ke empat orang itu, hanya wajah sosok perempuan berkebaya hitam dan bersanggul tampak menggurat kecemasan. Sebab dirinya tau, yang tengah di hadapi Sang pemuda bukanlah Mahluk sembarangan. Tapi dirinya juga sadar, jika yang mampu memusnahkan Mahluk-Mahluk tinggi hitam itu adalah Sang pemuda, di karenakan dalam darahnya mengalir darah Pancer dari dua TRAH besar yang menjadikanya seorang GETEH PENGAREP.

"Duh, Gusti. Lindungi dan bantu Anakku!"

Gumamnya lirih, saat melihat puluhan Mahluk tinggi hitam mulai berkelebat mengerumuni Sang pemuda. 

Sang pemuda sendiri yang tak lain, Sanjaya, terlihat tak bergeming. Ia masih tegak berdiri menyungging senyum sinis, meski aura hitam pekat mengelilinginya. 
Sejenak, suara gemeretak panjang mengeluarkan percikan-percikan api, membuat hawa sekitar panas. Suasana semakin mencekam manakala Sanjaya, mengeluarkan sebilah keris bergagang kepala naga, bermata batu hijau.

Riuh ramai sesaat halaman belakang. Di mana kilatan-kilatan hitam saling bertemu, berbenturan, menimbulkan suara gemuruh. Angin semakin berhembus kencang, menyamarkan pandangan, ketika sosok-sosok jangkung, menjadi siluet-siluet membentuk gumpalan hitam berkabut, bergulung-gulung mengurung Sanjaya.

Tak lama setelahnya, hawa panas tiba-tiba begitu kuat menyengat, yang di susul satu dentuman keras terdengar, saat gumpalan-gumpalan hitam pecah dan memudar menjadi bayang-bayang.

Kelegaan sejenak terpancar dari wajah merah Sanjaya, melihat puluhan sosok jangkung hitam yang mengroyoknya sirna. Namun, itu tak bertahan sampai lima tarikan nafas, sebab sebentar kemudian, mendadak kabut-kabut hitam lebih tebal dan pekat muncul bersama liringan bola-bola api memancar putih, dan menghantam Sanjaya.

Sanjaya terpekik, terkejut dengan kekeuatan besar di balik bola-bola api itu. Hingga saat kembali benturan tak terhindari, tubuh Sanjaya terpental jauh kebelakang.
Wajah Sanjaya kini terlihat pucat. Matanya nanar menatap gumpalan kabut hitam yang di kelilingi bola api, berubah dalam sekejap menjadi satu sosok hitam yang tingginya tiga kali dirinya. 
Sosok dengan sepasang mata putih rata sebesar kepalan tangan terdengar menggeram berat, seperti sedang menahan sebuah letupan amarah.

"Jaha**m! Tak akan ku biarkan siapapun menghancurkan Jenggoloku. Termasuk, Kamu! Hai... Anak manusia!"

Keras menggelegar, suara bentakan dari sosok yang menatap nyalang pada Sanjaya.
Bukan hanya Sanjaya, saat itu terlihat panik. Tapi juga pada ketiga sosok yang berdiri menyaksikan dari teras. Hanya satu wajah yang terlihat masih tenang, wajah dari seorang lelaki berbadan tegap yang terhitung dan memiliki gelar AHLUL BAIT.

Sanjaya perlahan bangkit, setelah mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Rasa sesak serta nyeri di dadanya, seolah tak terasa lagi ketika mendengar amarah sosok mengerikan di depannya. Ia kembali menggenggam erat keris kecil berkepala naga yang berada di tangannya, bersiap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya.

"Sanjaya! Teteskan darahmu pada Keris itu, cepat!"
Sedikit terkejut Sanjaya mendengar suara melengking, di belakangnya. Suara yang sangat ia kenal milik Ibunya, seketika mengingatkannya akan pesan awal sebelum ia dan Ibu serta Sang Ahlul Bait, gurunya, datang untuk membebaskan rumah prabon yang di jadikan Jenggolo oleh sosok Jrangkong yang kini ada di hadapannya.

Sadar akan hal itu, Sanjaya mundur dua langkah. Lalu dengan setengah memejamkan mata, ia menggoreskan ujung keris pada tangannya. Seketika darah merah mengalir dari bekas goresan. Walau tak deras, namun cukup untuk membaluri ujung keris hingga pada lekukan ke tiga. 

Tawa keras dari sosok hitam sesaat menggema, melihat kesiapan Sanjaya, dengan sebilah keris kecil Laweyan Lenggan yang sejatinya milik Ibunya. Tanpa menyadari jika keris yang kini telah terolesi darah dari sang GETEH PENGAREP, mengandung sebuah kekuatan luar biasa.

Dengan di awali bentakan dan teriakan keras, Sanjaya berlari maju ke depan, sambil menghunuskan keris. Kilat-kilat kuning ke emasan seketika memenuhi dan menerangi tempat sekitar, berasal dari keris Laweyan Lenggan yang di sabetkan Sanjaya. Kini riuh desingan angin bercampur kilatan berasap kembali memenuhi halaman belakang.
Entah berapa kali letupan-letupan kecil terjadi saat kilatan keemasan menghantam gumpalan hitam yang melindungi tubuh jangkung sosok Jrangkong. Sampai akhirnya, di satu kesempatan, Sanjaya yang tepat berada di depan sosok Jrangkong, menerjang kencang dengan hunusan keris ke tubuh hitam Jrangkong.

Seketika itu, asap hitam membumbung tinggi, sebelum suara layaknya ledakan dan geraman terdengar keras membahana sampai menggetarkan sekitaran halaman. Jeritan tak kalah melengking juga sebentar kemudian menyusul, saat WURI, Ibu Sanjaya, melihat Sang Geteh Pengarep, Anaknya, terpental jauh dan terguling-guling.

Saat itu juga, Wuri berlari menghampiri Sanjaya. Naluri sebagai seorang Ibu seketika tergugah mendapati Anaknya terkapar berlumur darah. Tangis Wuri tak mampu terbendung saat mengusap darah yang keluar dan mengalir dari bibir dan hidung Sanjaya. 

"LAA HAULAA WALAA QUATA ILLAA BILLAAH" 
Sejenak Wuri menolehkan kepalanya, mendengar suara lantunan Kalimah Suci dari Ahlul Bait yang memang ia percaya sebagai penuntun Anaknya. Lenguhan juga sebentar terdengar dari Sanjaya, yang mencoba bangkit dari pangkuan Ibunya.

"Apa ini sudah berakhir?" lirih suara Sanjaya, bertanya.

"Sudah, Nak. Mahluk itu sudah kembali ke asalnya."

Kelegaan seketika memancar dari wajah Sanjaya, mendengar jawaban sosok yang sedikit demi sedikit telah menuntunya keluar dari garis hitam, leluhurnya.

Akan tetapi, baru saja Sanjaya yang berjalan tertatih dengan di bantu Ibu dan Gurunya baru memasuki teras, mereka di kejutkan satu teriakan dari dalam.

Buru-buru ketiganya masuk dan memastikan yang terjadi. 
Sesaat, ketiganya terhenyak, melihat Tanto menangis pilu di samping sebujur tubuh membiru yang tengah di pangku Mbah Toha.

Tubuh itu kaku meregang. Matanya melotot, mendongak ke atas, seolah merasakan sakit luar biasa, sebelum nafasnya terputus.

"Fandi...!" Tanto masih begitu histeris, melihat kematian Fandi, yang tak di sangkanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un," ucap Sang Ahlul Bait, ketika ikut memeriksa keadaaan Fandi yang benar-benar sudah tak bernyawa.

Sanjaya dan Wuri terlihat saling pandang. Bibir keduanya sama-sama kelu, melihat satu korban lagi, akibat kutukan Lemah Ireng Jalasuto. Meskipun kini Jenggolo sudah berhasil di hancurkan oleh Sanjaya, namun harus di bayar nyawa Fandi, sahabat Sanjaya. 

Wasis, yang belum sepenuhnya pulih terlihat bibirnya bergetar, melihat sahabatnya meninggal dengan tragis. Air matanya deras mengalir tanpa ia sadari. Jiwanya sangat terguncang saat itu, hingga hanya isakan yang mampu keluar dari tenggorokannya.

"Rupanya iblis itu tak mau melepas dan ikut membawa pergi Sukma Nak Fandi," ucap Mbah Toha yang baru saja selesai mengatupkan kedua mata Fandi.

"Untuk sementara, kita urus jenazahnya. Dan urusan rumah ini, tolong kosongkan dulu selama 41 hari. Setelah itu, Insya Allah Saya sendiri yang akan membersihkannya dari aura hitam lainya." Sang Ahlul Bait, sejenak menarik nafas panjang setelah berucap. Kemudian menatap tubuh Fandi yang sudah tak bernyawa sembari melantunkan Do'a, membuat yang lain terdiam mengamini.

---===SEKIAN DULU===---

*****
Sebelumnya

close