Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERANGKONG - Sang Pemutus Rogoh Nyowo (Part 2)


JEJAKMISTERI - Gemericik tetesan air dari atap genteng yang tersiram hujan tak begitu lebat, sedikit menambah keresahan seraut wajah bersih nan tampan milik Sanjaya.

Dirinya yang baru saja tiba di rumah beberapa puluh menit lalu, masih di bayang-bayangi dua sosok yang ia lihat di makam leluhurnya.
Bukan hanya itu, reaksi Ibunya yang sedemikian takut akan salah satu sosok, meninggalkan klebatan pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri. Sebab, sosok Ibunya yang ia tau biasa dengan hal-hal tak kasat mata, belum pernah sekalipun merasa takut meski melihat semengerikan dan paling menyeramkan sekalipun.

Sanjaya merasakan ada satu sekat yang membatasi dirinya untuk mengetahui semua jati dirinya. Sekat yang memang Ibunya jaga agar dirinya tidak tau, atau lebih tepatnya tak boleh tau.

Tarikan nafas berat yang di hempaskan begitu saja, seolah mewakili beban pikiran yang di pikulnya. Berkali-kali matanya mengerjap, menatapi gelap malam berhawa dingin dari jendela yang sengaja ia buka, membiarkan hembusan angin masuk menerpa wajah dan mengibas rambut lurusnya.

Sampai satu derap langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Ibu" sapanya lembut, ketika membalikan tubuh dan mendapati sosok anggun Ibunya, sudah berdiri dengan tersenyum.

Sanjaya sebentar terdiam. Wajahnya menyiratkan satu keheranan melihat sosok Ibunya yang tak pernah melakukan satu hal dan kini tengah ia lihat nyata, yaitu TERSENYUM.

"Sanjaya, Anakku. Malam ini Ibu, ingin mengajakmu ke suatu tempat yang nantinya akan menjawab semua pertanyaan dalam hatimu." Lembut, suara sosok Ibunya masuk ke telinganya.

"Maksud, Ibu?" tanya Sanjaya, sembari mengerutkan keningnya.

"Bukankah... Kamu ingin tau semuanya?" jawab sosok Ibunya masih dengan lembut dan seulas senyum menghiasi sudut bibirnya.

Sanjaya semakin mengernyitkan kening, mendengar ucapan sosok Ibunya yang bisa tau isi pikiran dan benaknya. Apalagi, sikap sosok Ibunya yang sama sekali belum pernah dirinya lihat sebelumnya, di tambah bau wangi bunga Kamboja yang tak pernah sekalipun di pakai Wuri, Ibunya, sedikit membuatnya curiga.

"Kenapa diam, Sanjaya?" kembali sosok Ibunya bertanya yang kini seraya menatap tajam bola mata Sanjaya.

Ada getaran aneh yang Sanjaya rasakan, ketika tatapanya beradu dengan sorot mata sosok Ibunya. Desiran dalam darahnya pun seolah ikut menghangat seiring detak jantungnya yang ikut mulai memburu. Apalagi, saat tangan lembut sosok Ibunya menyentuh pundak kekarnya, mata Sanjaya berubah sayu.

"Sekarang, ikut Ibu, ya?" seketika Sanjaya mengangguk, mendengar ajakan sosok Ibunya yang kembali tersenyum dengan menggandeng lengan dan menuntunnya melangkah.

Namun, baru tiga langkah Sanjaya dan sosok Ibunya meninggalkan ruang tamu rumah PRABON yang penuh lekukan ukir-ukiran khas Jawa kuno peninggalan KI RENGKO, satu bentakan keras membuat kaki keduanya terhenti.

"Berhenti dan lepaskan!" Kembali suara bentakan keras dari arah belakang terdengar, memaksa keduanya membalikan badan.

Belum sempat keduanya melihat jelas siapa pemilik suara lantang saat baru membalikan badan, tiba-tiba sapuan angin panas menghantam tubuh mereka. 

Kemudian di susul jeritan melengking dari sosok yang menggandeng 
Sanjaya, setelah terpisah dan terpental ke belakang menghantam dinding papan.
Sedang Sanjaya, yang ikut terjengkang dan terduduk di sebelah pintu utama, terbelalak kaget, saat matanya melihat jelas sosok yang berdiri tegak memegang sebuah keris berkepala naga dan bermata hijau adalah Wuri, Ibunya. 

"Ibu!" gumamnya lirih.

Sejenak, perasaan bingung menggurat pada wajah Sanjaya. Namun sesaat kemudian terjawab, kala satu sosok yang sempat menggandengnya berdiri dan menyeringai. 

Kini bukan lagi sosok ayu nan anggun menyerupai Ibunya yang terlihat di matanya, melainkan sesosok perempuan berambut acak-acakan, bergaun putih panjang, dengan dua bola mata putih rata. 

Sanjaya yang terkejut melihat sosok itu, spontan melompat ke arah Ibunya. Wajahnya semakin memucat mendengar tawa ngikik dari sosok berbau amis yang sedikit mulai mendekat. 

Berbeda dengan Ibunya. Meski wajahnya tegang, tapi tak terlihat sedikitpun rasa takut. Bahkan, bibirnya masih sempat menyunggingkan senyum sinis pada sosok yang dulu pernah di lihatnya.

"LAWEYAN LENGGAN!" 

Sedikit terkejut sosok perempuan berwajah pucat lemir, setelah menatap lekat-lekat dengan bola mata putihnya, keris yang masih terhunus di tangan Wuri.

"Siapa lagi yang menyuruhmu mengganggu Anakku!" tanya Wuri tegas.

Tak ada sahutan. Sosok itu hanya terdiam sembari terus menatapi keris teracung padanya. Seperti menyadari jika keris yang di pegang Wuri, bukan sebuah keris biasa dan main-main.

"Rupanya Kamu sudah menjadi Trah terakhir Laweyan Lenggan. Pantas matamu tak bisa di kelabuhi. Tapi Aku tak akan menyerah begitu saja, Aku akan tetap membawa Geteh Pengarep, yang sudah puluhan tahun Aku menunggunya." Sahut sosok itu, begitu mengenali siapa Wuri sebenarnya.

"Silahkan kalau mampu!" jawab Wuri sengit.

Wuri yang tau dengan siapa dirinya tengah berhadapan, tak ingin kecolongan. Segera jari-jari tangannya melepas salah satu batu hijau yang menempel pada gagang keris, sebagai mata dari kepala naga.

Ketika Wuri melakukan itu, nampak sosok bergaun putih lusuh terkesiap. Bahkan, ia beringsut mundur dan ingin menghindar, saat Wuri menggenggam batu itu. Namun sayang, usahanya sia-sia. Tubuhnya tak mampu mengelak, ketika batu hijau yang di lempar Wuri melayang dan tepat mengena bagian dada.

Jeritan melengking seketika kembali terdengar dan lebih menyayat, dari sosok bergaun putih yang terkapar dengan dada mengepulkan asap-asap hitam tipis. Mulutnya merintih dan terkadang mengerang, mata putihnya melotot ke atas sebelum akhirnya ia kembali menjerit panjang dan semakin membeliakan mata putihnya, saat Wuri menghujamkan keris di tangannya tepat di dada sebelah kiri sosok itu.

Bau gosong menyengat sebentar merebak, mengiringi lenyapnya sosok bergaun putih yang meninggalkan bekas hitam di lantai.

Wuri sejenak terdiam sambil menyeka keringat di wajahnya, yang terlihat selalu kelelahan setiap ia menggunakan Keris simbol turun temurun, TRAH RENGKO.

"Ibu, maafkan Sanjaya." ucap Sanjaya di sertai isakan saat bersimpuh di kaki Wuri.

Wuri yang saat itu juga merasakan panas di kedua matanya, menengadahkan wajahnya. Bayangan-Bayangan kejadian puluhan tahun silam yang sangat ia sesalkan, seakan ikut berkejaran dengan air mata yang sudah mengalir di pipi. 

"Sanjaya, Anakku. Kamu tau siapa sosok yang hampir membawamu tadi?" tanya Wuri pada Sanjaya yang masih bersimpuh di kakinya.

"Dia salah satu dari puluhan, bahkan ratusan Mahluk yang menginginkan darahmu." Jelas Wuri setelah melihat gelengan kepala dari Sanjaya.

"Itulah mengapa Ibu selalu mengkhawatirkanmu." Sambung Wuri.

"Mengapa mereka menginginkan Saya, Buk? ada apa di dalam diri Saya? ada apa dengan hidup Sanjaya, Buk?" tanya Sanjaya bertubi-tubi seraya mendongakan wajahnya, saat merasa aneh mendengar penuturan Ibunya.

Wuri yang sekilas melihat wajah Anaknya, kembali menengadahkan wajahnya ke atas, sebelum menjawab.

"Ketahuilah, Anakku. Mereka yang mengincarmu, mereka yang menginginkanmu bukan tanpa alasan." Sejenak Wuri terdiam dan menarik nafas dalam-dalam, sebelum meneruskan.

"Karena kamu lahir dari keturunan GETEH PANCER dan juga Cucu dari seorang pemilik ROGOH NYOWO. Meskipun Ayahmu gagal menjadi penerus Rogoh Nyowo, dan menjadi RANGGI ANOM. Namun dalam darahmu tetap mengalir GETEH PENGAREP. Dan dari Darahmu juga kelak Ibu berharap, bisa menghapus semua keangkara murkaan akibat persekutuan dan pertikaian yang menelan banyak nyawa termasuk sebagian besar dari keluarga Ibu sendiri. Bahkan, Eyangmu Wardoyo dan Pakdemu tak sempat melihat kelahiranmu. Mereka meninggal di Banyuwangi, saat berusaha menyelamatkan Ibu. Belum lagi Eyang-Eyangmu dan saudara Ibu yang lain. Luka yang di torehkan dari semua cerita ini begitu membekas Anakku. Kelak Kamu pasti bakal tau semuanya." Pungkas Wuri dan mengakhiri ceritanya.

Bagaikan tersengat listrik tubuh Sanjaya, mendengar cerita ringkas Ibunya. Darahnya seolah beku membuat tubuhnya dingin. Matanya menatap tajam ke lantai kayu berlapis kain tipis, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang ia dengar dari Ibunya adalah suatu kebenaran, jika dirinya seorang GETEH PENGAREP...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


close