Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERANGKONG - Sang Pemutus Rogoh Nyowo (Part 3)


JEJAKMISTERI - "Semoga mereka mengurungkan!" Satu gumaman lirih terdengar penuh harap, dari bibir seorang lelaki tua berkopiah lusuh. Matanya menyorot lepas menatapi gerbang tak berpintu yang redup, tertutup sinungnya dua buah pohon besar nan tinggi yang berdiri di kanan kiri.

Wajahnya yang sudah mulai di penuhi kerutan, menggurat keresahan dan terlihat samar dari bayang-bayang kepulan asap tebal segulung rokok hasil olahan tangannya sendiri. 

Sampai beberapa saat kemudian, wajahnya mendadak mempias seperti menahan rasa takut, kala telinganya mulai mendengar sesuatu dari belakang, tepatnya dari dalam rumah yang masih tertutup.

Sang lelaki tua berkain batik semakin memucat saat suara Tarhim terdengar nyaring, menandakan jika sebentar lagi masuk waktu Maghrib. Itu artinya waktu yang paling ia takuti saat berada di sekitaran rumah itu telah tiba, Surup.

"Mungkin mereka benar-benar urung datang," gumamnya sembari beranjak dan berlalu dengan cepat meninggalkan teras, setelah merasa yakin jika yang di tunggunya tak akan datang.

Namun, baru saja tiga langkah kakinya menapak di halaman tanah berpasir, tiba-tiba matanya di kejutkan cahaya menyorot dari sebuah mobil yang baru saja berbelok dan masuk ke halaman.

Tiga orang lelaki yang berada di dalam mobil, segera beranjak turun dan mendekati lelaki tua yang berdiri terpaku.

"Njenengan Mbah Toha?" tanya salah satu dari tiga lelaki muda, berkemeja kotak-kotak sambil menenteng tas hitam.

"Njeh, Pak." jawab leleki tua yang mengiyakan namanya di sebut, Mbah Toha.

"Ohh, Saya Fandi. Dan ini rekan-rekan kerja Saya, Wasis dan Tanto." ucap laki-laki muda yang memperkenalkan diri dan kedua temanya, sambil mengulurkan tangan.

Mbah Toha langsung menyambut uluran tangan ketiga lelaki muda, yang sebenarnya ia sudah tau akan kedatangan dan tujuannya. 

Nampak seulas senyum yang di paksa keluar dari bibir tua Mbah Toha saat berbasa-basi sejenak, sebelum mengantarkan ketiga lelaki itu memasuki rumah yang sama sekali belum pernah di masukinya saat malam, meski sudah hampir sepuluh tahun ia menjaga dan merawatnya.

"Waaooww, rumah lawas yang nyaman, sepertinya." Satu kekaguman terlontar dari lelaki muda yang memperkenalkan diri, Wasis, ketika lampu-lampu menyala terang, memperjelas isi rumah yang masih banyak menampilkan ciri khas Jawa.

Tak jauh beda dengan Wasis, Fandi dan Tanto juga terkesima melihat semua ornamen yang masih utuh, kental dengan Kejawen yang tak mereka mengerti sejarahnya.

Berbeda dengan Mbah Toha, kecemasan seketika menyusup di benak melihat ketiga lelaki yang akan mulai menempati rumah lawas malam itu juga, memperlihatkan tingkah takjub yang sembrono.

"Apa, Mbah Toha yang membersihkan semuanya?" tanya Fandi, sedikit mengagetkan Mbah Toha.

"I_Iya, Pak." Tergugup Mbah Toha.

Tapi, bukan karena pertanyaan Fandi tampaknya Mbah Toha tergugup, melainkan satu tiupan lembut yang menyapu lehernya.

"Mbah Toha, kenapa?" tanya Tanto, seperti menyadari kecemasan Mbah Toha.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya ada tanggungan di rumah. Jadi, kalau sudah tidak ada yang di perlukan lagi, Saya mohon pamit." jawab Mbah Toha pamit setelah memberi alasan.

Meski agak sedikit ragu, ketiganya mempersilahkan Mbah Toha pulang. Tanto yang menangkap hal aneh dari sikap Mbah Toha, sejenak tertegun. Ia merasa jika Mbah Toha menyembunyikan sesuatu dari kecemasan yang terlihat olehnya, di raut wajah tua Mbah Toha.

"Kita tidurnya kamar sendiri-sendiri, apa gimana nihh?" tanya Wasis yang masih antusias dengan segala kenyamanan dalam rumah itu, setelah kepergian Mbah Toha.

"Terserah kalian saja," jawab Fandi sambil merogoh saku celananyanya.

"Saya mau ngabarin Mas Sanjaya dulu, kalau Kita sudah menempati Rumahnya mulai malam ini." Sambung Fandi, berlalu kedepan.

Sepeninggalan Fandi, Wasis melangkah mendekat ke salah satu kamar paling depan. Sedang Tanto, tampak masih berdiri tertegun, dengan pandangan mengarah ke belakang.

Entah apa yang mendorongnya, saat perlahan kakinya melangkah menuju ruangan belakang, melewati lorong tanpa sekat yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur serta tiga kamar.

Tak ada apapun yang ia lihat, kecuali barang-barang yang sudah di bersihkan Mbah Toha dan perabotan baru pesanan mereka.

Namun, saat akan berbalik, dari salah satu kamar yang terletak paling belakang serta berukuran paling kecil di banding lainya, tiba-tiba Tanto berhenti dan terdiam sejenak. Wajahnya menciut dengan kening berkerut ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara wanita tengah melantunkan sebuah tembang dari dalam kamar itu.

Merasa kurang yakin dengan pendengarannya, Tanto melangkah pelan mendekati pintu kamar. 
Hening, yang di rasa Tanto. Ketika ia menempelkan telinga kanannya pada daun pintu. Membuatnya sedikit lega dan merasa jika hanya perasaanya saja yang berhalu.

Tapi baru saja selangkah Tanto menjauh dari pintu, lagi-lagi suara lirih wanita layaknya Sinden, kembali terdengar oleh telinga Tanto. Bahkan, tak hanya itu, tubuh Tanto seketika merinding ketika suara tembang dengan syair menyayat di barengi bau harum kembang melati yang lembut tercium hidungnya.

Tanto yang mulai tersusupi rasa takut, dengan jantung berdebar cepat-cepat meninggalkan tempat itu...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close