TALIAWAK - Dedemit Penunggu Kandang Ayam
Delapan Tahun Sebelum Kebun Kandang Ayam
________________
Kehilangan hewan ternak sudah menjadi hal biasa di Babakan, konon katanya kehilangan itu bukan karena pencurian untuk dijual, melainkan dimangsa oleh seseorang yang sedang melakukan syarat pesugihan, untuk menyempurnakan ilmu hitamnya
Namaku Jully, kisah ini terjadi tahun 1991, mungkin bertepatan dengan tahun dimana Dilan putus dengan Milea, tapi maaf ini bukan kisah romantis dan menggemaskan buat ABG.
Aku punya kekasih orang Cibau, kampung yang terletak ditengah hutan daerah Cipongkor, pinggiran Kota Wajit, Kabupaten Bandung Barat, nama kampungnya mungkin sangat unik, tapi biarlah tak perlu dibahas karena itu hanya sekedar nama kampung.
Sebut saja namanya Ai, kedua orang tuanya bekerja jadi TKI di Timur Tengah, dia tinggal bersama tiga adik dan Neneknya, Pamannya Ade adalah sahabatku saat sekolah.
Sore itu aku berniat malam mingguan, sekalian menjenguk Neneknya yang kudengar sedang sakit, kubawakan roti tawar dan susu yang kubeli dari warung Bah Maman.
Hari sebelumnya Ade mengajakku bekerja bangunan ke kota Bandung, katanya dia ada proyek dekorasi ruko didalam mall Bandung Indah Plaza, yang mana BIP baru dibuka saat Milea baru pindah ke Kota Bandung.
Sore itu aku diantarkan Barna ke rumah Ade yang tak jauh dari rumah Ai, karena dulu hanya Barna temanku yang sudah punya motor.
"Nanti malam kamu pulang gimana?" Tanya Barna, "Mau dijemput lagi gak?".
"Gampang lah, lelaki mah panjang langkah!" jawabku sembari membakar sebatang rokok.
"Oke atuh, kalo sempet aku jemput, tapi kalo gak bisa maaf yah!" sahut Barna yang langsung bergegas pulang, karena waktu sudah sore, biasanya banyak penumpang ojek kalo malam Minggu.
Menjelang Adzan Isya, setelah selesai membicarakan proyek kerja dirumah Ade, aku lanjut bergegas menemui Ai, jarak rumah Nenek Ai lumayan jauh terpisah dengan pemukiman warga lainnya.
Aku berjalan menuju rumah Ai, terangnya bulan purnama diselimuti dinginnya hutan pedesaan membuatku sangat betah jika punya rumah disana, dibandingkan dengan tempat tinggalku di Kota Bekasi sekarang.
"Duh maaf Ma, Jully ngelongok gak bawa apa-apa!" aku berbasa-basi sambil menyodorkan Roti tawar dan Susu kental manis pada Neneknya.
"Eh si Aa, meni ngerepotin atuh." Jawab Nenek sambil kucium tangannya.
Setelah berbincang-bincang aku dan Ai pindah ke ruang tamu, takutnya mengganggu Nenek yang ingin beristirahat.
Tak lama kami ngobrol diruang tamu, Ai membuatkan segelas kopi hitam favoritku, cuaca malam itu sangat dingin karena menjelang musim kemarau.
Ketiga adik Ai sudah tertidur pulas didepan ruang TV, malam semakin sepi, kurasa hanya aku dan Ai saja berdua disana.
Rumah panggung berbilik bambu yang terpisah jauh dari rumah tetangga, dibalut dinginnya kabut hutan pedesaan, sangat memancing kemesraan kami yang sedang berduaan.
Aku tak sadar kenapa aku bisa berada disebuah kamar paling depan dirumah itu, tepatnya kamar Ai mojang kampung yang juga gadis SMA semester akhir kala itu.
"Kreket, , Kereket, ,!" suara lantai talupuh atau bambu pecah yang dijadikan lantai rumah.
Pasti kalian tahu apa yang kulakukan saat berduaan disana, jadi aku tak perlu menceritakan dengan detail di Thread ini, takutnya jika aku ceritakan dengan jelas, nanti ada LST (Lembaga Sensor Thread) yang membuat tulisan si Adoelt Beby jadi blur.
Waktu menunjukan pukul sembilan lebih, aku bergegas merapikan pakaianku, sambil duduk kubakar sebatang rokok diruang tamu.
Menghisap rokok menenangkan detak jantung yang masih berdebar kala mendengar suara pentungan warga yang sedang ronda malam, tak lama berselang Ai keluar dari kamarnya lalu ke kamar mandi.
"A, kamu hati-hati yah kalo lagi kerja!" ucap Ai mengingatkanku,"Jangan sampai kamu tergoda perempuan kota yang cantik-cantik!".
Ku usap kepalanya sambil mengecup keningnya, aku bergegas untuk segera pulang, takutnya keburu malam dan digerebek warga.
Sepertinya malam itu adalah terakhir aku main kerumahnya sampai larut malam, dari ujung jalan kulihat Ai masih memperhatikan aku dari depan rumah, kulambaikan tanganku tanda aku akan segera memasuki hutan.
Tak jauh aku berjalan dihutan itu, aku berpapasan dengan empat orang yang sedang ronda malam, kulihat Bapak-bapak sekitar 40 atau 50 tahunan, dengan baju pangsi adat Sunda seperti jawara.
Dari empat orang yang berpapasan denganku, ada satu orang yang memanggilku setelah berpapsan jauh.
"Jang!" Sahut Bapak itu.
Aku kembali mendekatinya, Bapak itu menunggu aku berjalan setelah tertinggal dari rombongannya, tubuhnya sangat gagah tinggi besar.
"Dari mana kamu?" Bapak itu bertanya dengan nada membentak.
"Abis nengok Nenek Isah Bah!" jawabku sedikit kaget, takutnya rombongan ronda itu mau menggerebek aku, yang maen kerumah gadis hingga larut malam.
"Kamu hati-hati, ini malam khabisat! tubuhmu tercium sangat amis, segeralah pulang jangan tergoda apapun yang terlihat menyenangkan!" dengan nada tinggi Bapak itu mengingatkan.
"Memangnya ada apa denganku Bah?" tanyaku dengan penasaran.
"Pokonya hati-hati, kalo kamu ragu lebih baik jangan melewati hutan ini!" seperti tulisan yang pernah kubaca disebuah pintu masuk markas Kopasus ucapan Bapak itu.
"Kalau bisa sepanjang perjalanan kau bawa bara api, agar amis tubuhmu tak tercium mereka!".
Aku tak paham apa yang dikatakan pria tua itu, tak selang beberapa detik saat aku membakar rokok, kulihat dia sudah beranjak dari hadapanku, padahal aku mau menawarinya sebatang rokok.
Belum jauh aku berjalan dari tempat itu, tak lama aku bertemu kembali dengan tiga orang pemuda yang sedang ronda malam.
Kulihat mereka bukan Bapak-bapak tadi, tapi pemuda sebaya teman sekolah Ai, ketika berpapasan Jarom menyapaku.
"Eh Kang baru pulang?" tanya Jarom dengan ramah, aku kenal Jarom anak penjahit dipasar dekat pangkalan ojek.
"Iyah euy, abis nengok Mak Isah!" Jawabku, "ko kelilingnya gak barengan sama rombongan didepan?" tanyaku sambil menawarkan rokok pada mereka.
"Rombongan didepan siapa?" Jarom bertanya dengan heran, "kita jaga cuman bertiga kang!" Mereka saling memandang seperti bingung.
"Barusan ada Bapak-bapak, satu rombongan berpapasan, gak jaauh paling baru sampe rumah Mang Ade!" jelasku, mereka semakin heran seakan bebefikir.
"Wah kang, jangan-jangan itu bangsat?" sahut salah satu dari mereka.
"Ah gak mungkin, kulihat tadi mereka bawa pentungan mirip punya kalian ini!" kujelaskan sambil menunjukan pentungan yang mereka bawa, pentungan itu ada cat bertuliskan RT.08/05.
"Pentungan kan cuman ada 3, terus dari tadi pentungannya kita pegang!" Jarom dan dua Temannya masih kebingungan.
"Ah sudahlah, aku lanjut dulu yah, kalian hati-hati ngerondanya!" Aku bergegas melanjutkan perjalanan, Jarom dan kedua temannya masih berkumpul dan memperhatikan aku berjalan menjauh dari kampung itu.
Tak jauh dari sana kulihat sebuah warung di pertigaan jalan, yah warung Haji Somad yang sebelumnya dibtulis dalam Thread yang berjudul 'Ronda Nyasar'.
Kala itu bangunan warungnya baru dibangun, sebelumnya Haji Somad jualan dari jendela rumah, yah namanya juga warung dipelosok, paling-paling jualannya Jajanan anak-anak dan rokok.
Kulihat warung itu masih buka, disana ada beberapa Bapak-Bapak sedang ngobrol sambil ngopi, ada juga yang sedang berjudi memainkan kartu domino.
Ada juga Acok, preman pangkalan ojek yang sangat jago berjudi.
"Punten?" kusapa mereka yang sedang asik ngobrol didepan warung itu.
"Pa Haji beli Rokok!" aku membeli setengah bungkus rokok, untuk menemaniku perjalanan ditengah hutan yang jaraknya lumayan jauh, rokokku yang tadi habis kuberikan pada Jarom dan teman-temannya.
"Jull!" Acok memanggilku, "Mau kemana? jangan dulu pulang lah, disini maen dulu!" sahutnya mengajaku berjudi, aku meminta maaf, dengan alasan aku tidak membawa uang untuk main judi.
"Marangga pak!" pamitku pada mereka yang sedang ngobrol, sambil jalan kaki kubakar sebatang rokok lalu berjalan meninggalkan warung itu.
Aku melanjutkan perjalanan sambil berfikir, kenapa warung itu masih buka sampai larut malam, dengan penuh rasa penasaran, aekitar 10 meter dari warung itu aku membalikan badan untuk melihat warung Haji Somad.
"Astagfirulloh!" aku sangat kaget, kulihat diwarung itu tidak ada seorangpun, bahkan seingatku dari tadi sore ketika aku berangkat, warung itu sudah tutup.
"Ya Allah, apa benar yang dikatakan Pria tua tadi!" gumamku dalam hati, sambil lanjut melangkah, aku menghisap rokok ditangan untuk mengurangi rasa tegang.
Aku terus berjalan hingga dipertengahan hutan Babakan, kudengar seperti ada suara gamelan dari arah depan.
Sampailah aku disebuah pertigaan jalan kedua, tepat dimana sekarang disana ada sebuah kandang tempat peternakan ayam.
Dulu disana masih lapangan yang luas, kulihat seperti sedang ada hiburan wayang golek lengkap dengan para penari jaipong, banyak pula yang mononton, ada juga beberapa orang yang ngibing (Berjoget sambil nyawer pada penari jaipong).
Aku cukup tenang berjalan, karena kulihat sekitar sangat ramai pengunjung, tapi aku tak berhenti disana, takutnya apa yang dikatakan pria tadi memang nyata, yah seperti kejadian Warung Haji Somad tadi.
Hingga tiba diujung lapangan tersebut, datanglah seorang penari cantik yang mengajakku ngibing.
"Ayo kang mau ngibing dulu?" ajak gadis cantik yang melenggok-lenggokan tubuhnya dihadapanku.
"Maaf, aku gak bawa uang neng!" jawabku menolak, kulihat wajah penari itu seakan benci padaku yang menolak ajakannya.
Seperti saran Pria tua tadi, aku tak banyak mempedulikan apa yang kulihat sangat menggiurkan hawa nafsu.
Sekitar tujuh langkah aku meninggalkan penari jaipong itu, aku membalikan badan karena penasaran dengan perkataan pria tua itu.
Ternyata benar, acara wayang golek yang tadi kulihat sangat ramai, dalam beberapa detik, semuanya lenyap, hanya lapangan kosong yang diterangi cahaya bulan purnama.
Tak banyak bergumam dalam benakku, aku hanya berdoa dalam hati, semoga tidak ada kejadian apapun yang menimpaku dalam perjalanan pulang.
Kupercepat langkahku berharap aku tak menemukan apapun lagi didepan, kembali kubakar sebatang rokok untuk menenangkan detak jantungku yang berdegur kencang seperti habis dikejar debt colector.
Kuhisap rokok menenangkan langkahku, disamping jalan kulihat ada beberapa orang yang sepertinya sedang pesta miras, setelah kulihat lebih dekat ternyata itu Ade Rambo, tukang ojek yang biasa mangkal dipangkalan pasar.
Rambo ditemani dua temannya dan seorang perempuan malam, kalo tidak salah sebut saja namanya Mawar, dia bukan pelaku pedagang cilok formalin.
Mawar perempuan panggilan yang sudah terkenal kala itu, kulihat pakaiannya yang hanya mengenakan celana jeans sepaha dan baju merah tanpa lengan.
"jull, dari mana kamu?" sahut Rambo.
"Biasa abis dari Cibau, nemuin si Ade!" jawabku.
"Ko sendirian? Sinilah gabung dulu, gua lagi ulang tahun nih, ada Neng Mawar minta ditemenin minum juga!" Rambo mengajakku mabuk disana.
Kembali teringat apa yang dikatakan Pria tua tadi, "Jangan tergoda apapun yang terlihat sangat menggiurkan hawa nafsu!" kata-kata itu menjadi patokan dalam benakku untuk mengabaikan apapun yang kulihat sepanjang perjalanan.
Aku menolak ajakannya, tanpa peduli Rambo temanku atau itu hanya iblis menampakan diri menjadi siapapun juga.
Berselang beberapa langkah kulihat kembali kebalakang, Mawar, Rambo dan dua temannya berdiri menatap ke arahku seperti para srigala dalam film Twilight, matanya melotot seakan marah karena aku menolak tawarannya.
Gadis malam yang seksi itu tertawa, lalu merayap, keatas pohon besar yang ada dibelakangnya.
"Hiiiiii, hii hii, hii." tertawanya seperti kuntilanak yang membuat bulu kuduk merinding, Mawar berubah menjadi perempuan dengan wajah menyeramkan, baju merahnya yang seksi juga menjadi seperti daster kuntilanak merah terowongan Casablanca.
Mungkin tubuhku yang belum suci memancing semua godaan yang menggiurkan ini, aku berjalan mundur perlahan lalu berbalik dan berlari sambil berdoa.
Hingga tiba diujung hutan yang katanya angker itu, aku bertemu dengan Mamat, Mamat adalah teman adikku sekolah, kulihat mereka sedang masak nasi liwet sambil membakar ayam.
"Mat!" tanyaku.
"Eh mang Julli," jawab Mamat "Dari mana ko kaya abis lari malem-malem kang!".
"Oh abis malem mingguan atuh!" jawabku sambil berusaha menenangkan diri, "Lagi pada ngapain nih?" kutanya mereka.
Sedikit berbincang dengan Mamat sambil kuceritakan beberapa kejadian yang kulewati tadi..
"Wah Mang, untung masih dikasih inget!" jelas Mamat, "Ayo mang sini kita makan bareng, ayamnya udah mateng!" Mamat mengajakku makan nasi bersama.
Saat aku beranjak kesumur dibelakang sebuah rumah kosong untuk mencuci tangan, kurasa ada sebuah kejanggalan lagi disini, mengapa mereka masak nasi ditempat yang jauh dari pondok.
Lokasi itu memang dekat dengan pos ronda, tapi anehnya kenapa masak diujung hutan yang sangat sepi, setelah mencuci muka sambil beristigfar, dari balik sumur aku mengintip mereka dari sebuah lubang kecil.
"Inalillahi!" kulihat Mamat dan teman-temannya bukan bukan menyajikan nasi dan ayam panggang, ternyata yang mereka sajikan adalah ayam yang masih hidup dengan kaki terikat.
Dari balik sumur aku mundur perlahan menjauh,
"Kreek, ," suara ranting terinjak, mataku melongo, melihat Mamat dan teman-temannya yang menengok dengan wajah yang berbeda.
Mamat dan empat temannya berdiri, kulihat tatapan mereka terfokus padaku, mereka menggesekkan gigi seperti vampire yang ingin menggigitku.
Mereka berjalan sambil menggelengkan kepala seperti zombi yang kaku, pelan-pelan aku semakin menjauh mundur dari tempat itu.
"Whaaaa!" kulihat kepala mereka terlepas dari tubuhnya, kepala itu terbang dan tubuh mereka tergeletak begitu saja.
Lima kepala terbang itu berkeliling di sekitarku, kepala terbang itu tidak seperti Kuyang atau Palasik, hanya kepala yang ditumbuhi urat dileher yang terputus dari organ tubuh seperti tentakel Gurita.
"Siapa kalian sebenarnya?" teriakku memberanikan diri.
"Ha haa haa ha, beraninya kau menanyakan itu manusia jahanam!" ucap salah satu dari mereka dengan suara menggeram seperti vokalis Burgerkill.
Wajah yang tadi kukenal sudah berubah, mereka menunjukan tampang asli yang sangat menyeramkan, bukan lagi muka Mamat dan teman-temannya yang seperti boy band.
Saat itu pula aku berlari sambil membaca doa yang kuingat, ketika aku berlari ternyata aku masih ditengah hutan yang memang masih jauh menuju kampung Babakan.
Aku terus berlari sekuat tenaga hingga kutemukan ujung hutan, lalu tiba-tiba ditengah jalan aku melihat Sumi yang sedang berdiri seakan menungguku, Sumi adalah seorang janda paruh baya yang memang tinggal didaerah situ.
Dengan hati penuh keyakinan pada Allah, aku terus berlari dan menabraknya, ternyata itu hanyalah bayangan Maya yang menjelma menampakan diri seperti orang yang aku kenal seperti kejadian yang sebelumnya kulihat.
Aku terus berlari ditengah kampung Babakan tanpa menghiraukan sekitar, hingga melewati sawah dan masuklah aku ke lapangan sepak bola Desa Citalem.
Karena lelah berlari sekitar 1,5 Km, aku berhenti menghela nafas dipinggir lapangan itu, sambil duduk kuhela nafas yang terengah-engah.
Terlihat dari jauh sebuah cahaya lampu senter seperti semakin mendekat,
"Tidak, , tidak, , jangan ganggu aku, ," teriakku sambil memohon pada pria yang kulihat seperti Bah Jadoel.
Bah Jadoel adalah tokoh masyarakat yang mengerti dunia ghaib, rumahnya memang dekat lapangan itu, beliau menatapku dengan memancarkan cahaya senter kearah wajahku yang sedang duduk kelelahan.
"Untung kamu orang gila, kalo kamu waras pasti sukmamu sudah nyasar di Alas Maya!" sahut Bah Jadoel lalu mengajaku mampir kerumahnya "Ikuti aku sekarang!".
Aku berdiri dan melangkah perlahan mengikuti langkahnya, dirumah Bah Jadoel aku disuruh melepas semua pakaian yang kupakai lalu disuruh masuk ke sebuah kolam yang penuh dengan bunga beraneka ragam.
"Masukan ragamu ke kolam itu!" perintahnya.
Duduklah aku bersila ditengah kolam itu, Bah Jadoel mengguyur tubuhku dengan air kolam berisikan bunga tujuh rupa itu, mulutnya komat-kamit seperti membaca jangjawokan (Mantra atau Ajian berbahasa sunda kuno).
Sebelum bercerita apa kejadian yang aku alami, beliau sudah tahu, ternyata tubuhku yang sedang dalam keadaan berhadast, tercium oleh 'Taliawak'.
Taliawak adalah Dedemit penunggu kebun angker, yang mana sekarang kebun tersebut dikenal 'Kebun Kandang Ayam Babakan' kata Bah Jadoel.
Sebenarnya Taliawak bukan hantu atau dedemit, tapi sebutan kepada manusia biasa yang mempelajari ilmu hitam untuk pesugihan kekayaan, mereka yang menganut Ilmu Hitam itu harus mengikuti ritual memakan hewan yang masih hidup saat bulan purnama.
Ilmu hitam itu diwariskan turun temurun dari leluhur mereka, entah benar nyata atau hanya cerita rakyat, sejak kejadian itu aku tak berani lagi main sampai larut malam kesana, apalagi jika tubuhku sedang berhadapan.
RONDA NYASAR
"Bapakmu belum bisa pulang, paling pekan depan, ngumpulin dulu buat ongkos katanya!" kabar itu kudapat dari Mang Ade tetangga dari kampung sebelah yang dititipi uang untuk berobat adikku dari Abah di Jakarta.
Kasihan sekali Ummi, jika aku sudah bekerja mungkin aku bisa membantu meringankan pengobatan Toni adikku yang sakit panas.
Abah hanya seorang pekerja bangunan, aku yang baru lulus sekolah dan belum bekerja, melihat adikku sakit-sakitan, membuatku harus pulang di pondok, selesai ngaji aku selalu menemani Ummi dirumah untuk menjaga Toni.
Kampung ku setiap malam selalu ada jadwal ronda, karena tidak sedikit warga yang kehilangan barang elektronik atau peliharaan ternaknya.
Tidak hanya peliharaan ternak, kadang hewan liar yang sehari-hari berkeliaran juga hilang tanpa bangkai, seperti mantan yang juga hilang tanpa kabar.
Namaku Mamat, aku tinggal di kampung Babakan, dekat sebuah pondok pesantren yang dikelola pamanku, kejadian ini terjadi 5 tahun sebelum kejadian yang ditulis Adoelt Beby sebelumnya dengan judul 'Kebun Kandang Ayam'
Sabtu malam setelah aku pulang ngaji, dijalan aku bertemu Kang Ajat.
"Mat mau gak gantiin akang jaga ronda, nanti Akang kekasih buat ngopi Rp25.000 buat Mamat?" Kang Ajat menawarkan aku mengganti jadwal dia Jaga Ronda.
"Wah boleh atuh kang, lumayan buat beli rokok." Jawabku mengiyakan tawarannya, aku bergegas pulang kerumah dan minta ijin Ummi untuk jaga ronda malam itu menggantikan Kang Ajat.
"Katanya sedang tidak enak badan Mi!" jelasku setelah Ummi bertanya kenapa Ajat tidak jaga Ronda, Rp25.000 tahun 1994 cukup lumayan bagiku yang belum berpenghasilan.
"Ton, Aa ngeronda dulu yah! nanti uangnya buat Toni berobat," kataku pada Toni, "Kalo Toni berobat nanti udah sembuh bisa ikut ngaji lagi sama Aa!", pamitku berangkat ke pos ronda yang jaraknya hanya sekitar 50 Meter dari rumahku.
Malam itu cuaca sedang tidak bersahabat, hujan yang tak deras tapi gerimis menggericik, membuat warga enggan untuk keluar rumah.
Pikirku, mungkin maling juga enggan untuk melakukan operasi malam itu, aku jaga ronda bersama Mang Asep, Mang Didin dan Usman temanku yang menggantikan jadwal Bapaknya.
Seperti biasa jaga ronda, kami berkumpul di Pos sambil ngopi dan ngobrol, cerita hantu dari orang yang lebih tua adalah favoritku, meskipun seram tapi bikin penasaran.
Ceritanya menyeramkan, tapi aku yang selalu berfikir logis, tidak terlalu mempercayai cerita-cerita mitos atau cerita rakyat yang tak pasti, berbeda dengan Usman yang sedikit penakut, mendengar cerita saja dia langsung merinding.
Waktu sudah jam setengah sebelas malam, Mang Asep nyuruh Usman beli Rokok ke warung Haji Somad, karena Usman sedikit penakut jadi aku menemaninya pergi.
"Us, nih kamu beli rokok lagi setengah bungkus, sisanya kamu beliin kartu domino biar nanti malam ada permainan!" kata Mang Asep.
"Nih ada rejeki tambahan dari Ustad Rasyid, saya tambahin biar rokoknya jadi sebungkus, sama kopi hitam juga Us biar gak ngantuk nanti main gapleh!" kata Mang Didin.
Aku dan Usman berangkat ke warung Haji Somad yang lokasinya lumayan jauh dan harus melewati kebun yang diceritakan angker itu.
Di tengah kebun, aku menakuti Usman, aku berlari lebih dulu dan Usman mengikutiku dari belakang.
"Udah ah, jangan nakut-nakutin, aku kan punya asma!" sahut Usman sambil ngos-ngosan menghela nafas, aku hanya menertawakannyayang sedikit ketakutan.
Dari jauh kulihat seorang perempuan sedang berjalan, sepertinya dia baru pulang belanja dari warung Haji Somad.
"Yah lemah kamu, lari segitu aja udah Ngah, Ngeh, Ngoh!" kataku, "Gimana kalo nanti dikejar Dedemit? haha haaa." aku bercanda supaya Usman gak marah.
"Suttt, jangan sompral kamu!" Kata Usman, perempuan itu berhenti dan melirik ke arahku mendengar guyonanku.
"Berani banget Teteh itu malem-malem keluar rumah, gak bawa payung lagi!" gumamku dalam hati.
Kulihat dari belakang dia sangat cantik dengan rambut terurai sedikit basah terkena gerimis hujan dan pakaian tidur yang tidak terlalu tebal berwarna putih tipis.
Setelah menjauh "Uhh harumnya, seperti wangi parfume Anya Geraldine!" pikiranku dirasuki iblis untuk berimajinasi sambil terus kutatap langkahnya yang manja dan tubuh indah yang tak bisa kuceritakan, takutnya kalian nanti gak bisa tidur mikirin Teteh ini.
"Siapa Mat? Kamu kenal?" tanya Usman.
"Woiii, Istigfar woii!" Usman mengusap wajahku.
"Aahh, kamu mah ganggu ajah!" sahutku sambil kembali berjalan ke arah warung.
Jalan yang lurus dari warung ke arah kebun, membuatku tak henti menatap teteh cantik yang semakin menjauh, hingga kulihat hanya jalan setapak yang terpancar cahaya lampu dari depan warung saja.
Usman masih didalam warung, aku menunggu duduk dibangku depan.
"Masih ditatap, udah jauh kali!" sahut Usman yang keluar dari dalam warung Haji Somad, warung sudah tutup mungkin karena memang sudah malam dan suasana sangat sepi karena hujan, Usman belanja lewat pintu rumah.
"Ayo balik!" ajak Usman, aku pulang melewati kebun itu menuju pos ronda, dalam perjalanan aku masih memikirkan Teteh cantik yang tadi berpapasan denganku.
Teteh itu sangat misterius, sepertinya dia bukan pulang jajan atau belanja dari warung, karena kata Usman "Haji Somad sudah menutup warungnya dari habis adzan Isya," karena hujan dan tidak ada pembeli.
Dalam perjalanan Usman tak banyak bicara hanya fokus tertunduk memilih jalan yang becek, tibalah di pertigaan yang kalo sekarang ada Kandang Ayam Ternak, kala itu disana belum ada bangunan sama sekali, karena jauh dari pemukiman.
"Nah disini yang tadi diceritakan Mang Asep Us!" Kataku sambil bercanda.
"Hemmm." Usman hanya tersenyum seperti tidak ketakutan.
"Jangan terlalu percaya sama yang begituan mah, kita itu manusia Us, lebih mulia dari Setan!" kataku sambil becanda.
"Jangan terlalu so berani juga, kalo udah apes kamu selesai!" jawab Usman mengingatkanku dengan serius sambil terus berjalan mendahuluiku.
Kami berjalan ditengah kebun tanpa obrolan, sangat hening dan sepi hanya suara air hujan yang jatuh menimpa dedaunan pohon jenjen, hingga kulihat perempuan tadi berdiri tertunduk, namun Usman mengacuhkannya seolah tidak melihat.
"Us lihat, ini Teteh yang tadi kan?" Kutanya Usman yang terus berjalan sambil kuhampiri perempuan itu, karena penasaran aku memberanikan diri bertanya pada perempuan itu.
"Teh?" tanyaku, dia tidak menjawab hanya membelakangiku "Teh kenapa malem-malem disini?" kudekati dia yang menunduk seperti menangis.
"Us sebentar sini, ini kasihan si Tetehnya nangis!" teriakku memanggil Usman yang kulihat sudah jauh melangkah.
"Huuuu huuuhuu huuuu." perempuan itu hanya merintih seperti sedang sedih.
"Us, sini bentar, lah mana tu bocah!" Kulihat Usman terus berjalan, teteh cantik itu tetap menangis dan tiba-tiba dia memelukku.
"Teteh kenapa?" kubuka rambut poni yang menutupi wajahnya, dia mengangkat kepala menatapku dengan tatapan tajam.
"Astagfirulloh!" perempuan cantik yang tadi kulihat, wajahnya berubah jadi hancur, seperti terkena luka bakar dan darah kering yang sudah membusuk ditempeli belatung yang bergerak-gerak.
"Ku,, Ku,, Kuntiiiiiiii." Teriakku sambil melepas pelukannya.
"Hiiiiii hii hii hihiiiii,,," Kuntilanak itu menertawai aku yang ketakutan, aku berusaha melepaskan pelukannya yang erat dan kubantingkan badanku.
"Us tungguin Us,, Us tungguin!" aku bangun dan berlari secepat mungkin mengejar Usman.
"Us kamu budek yah, kupanggil gak denger malah jalan terus!" bentakku pada Usman.
Usman hanya menunduk berjalan tanpa berkata-kata, "Us kamu gimana sih, temen ketakutan malah cuek!" Kutepuk pundak Usman "plak."
"Makanya jangan sok berani kamu!" kulihat yang membalikan badan bukan Usman, tapi sesosok lelaki yang mukanya sangat menyeramkan, dengan pakaian mirip yang digunakan Usman.
"Aaaght."
Sontak aku terjatuh kebelakang karena kaget, laki-laki itu wajahnya sangat menyeramkan, dengan kumis sebesar pegangan pintu, rambut ikal yang mengembang dan taring giginya yang menganga seakan ingin menggigitku.
Aku merangkak mundur, kulihat laki-laki itu memegang kepala dengan kedua tangannya, dia menggelengkan kepalanya perlahan dan kepalanya terlepas melayang dari tubuhnya, hanya organ tubuh tanpa kulit seperti Kunyang.
Aku menutup wajah dan membaca ayat suci yang kuingat, sosok itu terbang kearah pohon, tubuhnya terguling tepat dihadapanku tanpa kepala, ah bau darah yang ku ium seakan membuatku mual malam itu.
Aku bangun menenteng sandal jepit milikku yang talinya copot, berjalan dengan pakaian yang berlumuran tanah kotor menuju pos ronda, saat itu aku tidak peduli Usman kemana, yang terpenting bagiku adalah aku selamat dari mahluk itu.
Dari jauh kulihat Mang Asep dan Mang Didin berlari seperti mengejar seseorang, aku berlari mengikuti mereka ke arah kebun.
Kulihat mereka berlari sangat cepat sampai tak bisa ku kejar, "Mang? Mang? Kemana larinya yah, ko cepet banget?"
"Plak,," dari belakang Mang Asep menepuk pundakku.
"Aduh,, kirain siapa Mang! Ngagetin aja."
Mang Asep mengajakku mencari mang Didin, katanya tadi berpisah saat mengejar seseorang yang dicurigai maling.
Kami berkeliling kesemak-semak ketengah hutan itu, kupanggil-panggil Mang Didin sambil sesekali kulihat kesemak ilalang.
Sambil nyari mang Didin aku bercerita apa yang terjadi padaku tadi, dari mulai teteh Kunti dan Usman yang berubah jadi Taliawak, tiba-tiba dari balik rumpun kudengar,
"Kreek,, kreek,, kreek." seperti sesuatu yang sedang diremukan.
Dengan penasaran kulihat dari balik semak, "Astagfirulloh,," gumamku dalam hati, kulihat sosok kepala yang terlepas dari tubuhnya tadi, sedang menggerogoti seekor ayam jago milik warga.
Aku mundur mengendap dari semak mendekati Mang Asep, dan saat aku membalik,
"Aaaaaght!" Mang Asep yang kulihat, dia berdiri dengan kepalanya yang sudah tidak ada.
Aku berlari sambil berdoa dan berusaha menjauhi kedua sosok tersebut, hingga kudengar suara Adzan awal dari sebuah mesjid, aku berjalan menuju pos ronda dengan tenang.
Hingga sampai di Pos, kulihat disana tidak ada siapa-siapa, aku termenung duduk sambil berfikir kenapa Usman dan Mang Asep berubah menjadi Taliawak? dan kemana Mang Didin kenapa tidak ada di pos Ronda?
Beberapa menit kemudian datanglah seorang kakek tua yang aku seperti pernah bertemu dengannya, tapi aku lupa dia itu siapa, kakek itu berjalan dan menghampiriku.
"Sedang apa kamu disitu sendirian?" tanya kakek itu.
"Aku sedang jaga ronda Ki, nunggu temen-temen!" Jawabku.
"Pulanglah nak, belum saatnya kamu disini, tubuhmu bergantung pada dahan pohon besar, tepat tadi kamu bertemu Perempuan itu!" Kata kakek itu, "Bangunlah sebelum 2 kumandang Adzan, Teman-temanmu sedang mencarimu!".
Aku sangat heran kenapa kakek itu berkata begitu dan pamit setelah memberitahuku.
Aku berjalan menuju kebun, sebelum memasuki kebun kulihat ada sebuah rumah yang kaca jendelanya bisa memantulkan bayangan, kulihat tubuhku dari kaca itu dan ternyata aku tidak memiliki banyakan, aku lanjut menuju ke kebun.
Kulihat Mang Didin memanggilku dari belakang tapi aku menghiraukannya, tak lama Mang Asep juga memanggilku aku tetap berlari, Usman meminta tolong padaku ditengah jalan tapi aku tetap fokus pada tujuanku.
Aku terus berlari mencari pohon dimana tadi aku dipeluk kuntilanak, yang kutakutkan jika aku mendengar adzan Subuh, berarti itu kali kedua aku mendengar kumandang adzan.
Dalam benakku, "Ya Allah selamatkan aku, berikan aku kesempatan untuk hidup." dari jauh kulihat sesosok Kuntilanak itu sedang terduduk mengelus rambutnya dibawah pohon.
Tanpa belas kasihan dan berkata permisi aku menginjak kepala Kuntilanak sebagai landasan untuk loncat ke dahan pohon pertama.
"Lailahaillallah Muhammadarrasulullah." Geramku.
Aku menaiki dahan demi dahan, kulihat Sosok Kepala terbang itu mengganggu konsentrasiku agar terjatuh dari dahan pohon, kembali kuucapkan,
"Lailahaillallah Muhammadarrasulullah." Kukepalkan jariku dan kuhantamkan tepat pada muka mahluk berkumis itu.
Sampailah aku di dahan pohon ke tujuh, tepat kulihat tubuhku yang terlelap seperti sedang tidur, aku masuk melewati jari kuku sesuai yang diperintahkan kakek tua tadi.
"Ha,, Ha,, Hachiim,, Alhamdulillah hirobbil alamin." aku terbangun dan mendengar suara speaker masjid yang baru dinyalakan, kudengar Dadang yang kala itu mengumandangkan adzan subuh.
Tubuhku yang lemah turun ke dahan-dahan pohon dan di dahan paling bawah aku loncat tepat dihadapan Usman, Mang Asep dan mang Didin yang sedang berjalan mencariku.
Mereka kaget dan membawa aku yang kelelahan ke rumah, kuceritakan apa yang terjadi pada mereka dan Ummi.
Kata Ustad Rasyid sukmaku disasarkan ketika sedang melamun dalam pelukan Nyai Sumi atau kuntilanak yang berwujud perempuan cantik, diperintah oleh dedemit yang bernama 'TALIAWAK' atau sering disebut 'Penunggu Kebun Kandang Ayam'.
SEKIAN
BACA JUGA : Misteri Pendaki Tanpa Kepala Gunung Sumbing