Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU DINO (Part 3 END)


JEJAKMISTERI - Sri dan Dini melihat satu sama lain, mereka tidak mengatakan apapun lagi.

"Sak iki yo opo, mundur?" tanya mbah Krasa, matanya mengintimidasi.

"Mboten mbah" kata Dini dan Sri bersamaan.

Mbah Krasa mengangguk puas.

"Asline, raperlu onok korban nak podo nurut ambek si mbah, mek butuh norot tok ndok, opo angel, ngerungokne wong tuwo" 

(Aslinya tidak perlu ada korban, kalau kalian mengikuti apa yang si mbah katakan, cuma butuh nurut saja. Apa susahnya dengerin orang tua)

Mbah Tamin, menatap Sri.

Sri menyimpan sesuatu yang selama ini ia tahu, bahwa dalang di balik semua ini adalah si mbah Tamin sendiri, namun.

Sri masih merasa ia tidak memiliki bukti apapun, mata mbah Tamin seperti mengawasinya, tidak memberinya ruang leluasa untuk bicara dengan mbah Krasa secara pribadi.

Namun entah, bagaimana sekelebat pikiran itu muncul, Sri lantas mengatakan apa yang ia temukan di kamar mbah Tamin, bahkan..

Sri menunjukkan boneka yang ia temukan di bawah pohon beringin, sebuah pesan dari cucunya Dela Atmojo.

Mendengar itu, mbah Krasa mengerutkan kening. ia diam..

Mbah Krasa memandang mbah Tamin yang sedari diam sembari berdiri, lalu ia tertawa, cukup membuat Dini dan Sri tersentak, seakan ucapan Sri hanya omong kosong.

Lalu, mbah Krasa mengatakanya. "koen rung cerito ta nang cah-cah iki, opo sing asline kedaden?" 

(Kamu belum cerita ke anak-anak ini apa yang sebenarnya terjadi?) ucap mbah Krasa tenang.

"Kemeroh" (sok tau) kata mbah Tamin, beliau, mengambil sesuatu di sakunya, boneka yang sama, termasuk foto keluarga Atmojo, Sri terlihat bingung apa yang terjadi sebenarnya?.

"Tak ceritakno kabeh sak iki, rungokno, nanging, nek aku wes cerito, opo sing bakal kedaden nang koen-koen iki, ra isok di cabut, awakmu, kudu nurut yo"

(Saya ceritakan semuanya, dengarkan, tapi, bila aku sudah cerita, apa yang akan terjadi sama kalian, tidak akan bisa di cabut lantas, kalian harus nurut ya)

"Nurut sampe Dela isok selamet, utowo, nyowo koen koen, ra bakal selamet podo karo Dela" 

(Nurut sampai Dela bisa selamat, atau nyawa kalian-kalian tidak akan selamat, sama seperti Dela)

Sri dan Dini, masih diam, mendengarkan.

"Santet Sewu dino iku jenenge, santet gur mateni sak garis keluarga nganggo mateni sukmone tekan anak Ragil, keluarga Atmojo wes nduwe musuh nang ndi ndi, dadi asal muasal kabeh iki tekan lengahe aku, ngawasi keluarga iki, Dela, gak tak songko bakal dadi target santet iki"

(Santet seribu hari itu namanya, santet yang bisa membunuh garis keluarga besar melalui sukma anak terakhir/ keturunan terakhir, keluarga Atmojo sebenarnya sudah memiliki musuh dimana-mana, jadi, asal mula semuanya berasal dari sini, saya sudah lengah mengawasi keluarga ini, saya tidak pernah menduga sebelumnya bila Dela akan menjadi korban Santet model seperti ini, dikarenakan, Santet ini adalah santet untuk para pendosa yang juga akan menghabisi keluarga yang mengirim santet ini)

Suara mbah Tamin terdengar keras, menahan dendam kesumat atas insiden ini.

"Media kanggo santet iki, macem-macem, salah sijine, gawe boneka sing di isi rambut sing kepingin di entekno keluargane, nasib'e Dela, sak iki, di tentuno nang ndi boneka iki sak iki"

(Media yang di gunakan santet ini bermacam-macam, salah satunya, melalui boneka yang diisi rambut keluarga yang ingin di habisi, nasib Dela sekarang, ada di boneka ini)

"Masalahe, aku ra isok nggoleki nang ndi ae boneka iku di tandor"

(Masalahnya, saya tidak tahu, dimana saja boneka itu di tanam)

"Lan ono piro, aku gak eroh" (Dan ada berapa saya tidak tahu)

"Boneka sing mok temoni, iku salah sijine boneka sing tau tak temokno nang omah iki"
"Aku sengojo nandor nang kunu, ben engkok, nek waktune, isok di gawe ngeringano beban lorohe Dela"

(Boneka yang kamu temukan, adalah salah satu dari boneka yang saya temukan di rumah ini, saya sengaja, menanam boneka itu disana, biar nanti, saat waktunya tepat bisa di gunakan untuk meringankan beban sakitnya Dela)

"Iling, ben bengi aku wes ngilingno awakmu, ojok mbukak lawang tapi awakmu jek nambeng" 

(Ingat waktu saya mengingatkan kamu jangan membuka pintu, tapi kamu tidak mendengarkan)

"Asline, keluarga sing ngirim santet iki, jek goleki Dela, soale, sak durunge Banarogo ketemu Sengarturih, Dela gak bakal isok mati"

(Sebenarnya, keluarga yang mengirim santet ini, masih mencari dimana keberadaan Dela, itulah alasan kenapa saya menyembunyikanya disana, karena tempat itu, terlalu ramai untuk mencari keberadaan Dela. 
Karena Dela tidak akan bisah meninggal bila sang Banarogo, belum bertemu dengan Sengarturih, Dela belum bisa mati, secara otomatis, santet ini belum akan menghabisi keluarga Atmojo)

"Sinten sengarturih niku?" (Siapa sengarturih itu?)

"Sing sak iki, tangi, nek Dela gak di cancang tali ireng iku"

(Yang sekarang bisa bangun sewaktu-waktu, bila Dela tidak di ikat tali hitam itu)

"Jadi?" tanya Sri.

"Kari ngenteni waktu, kanggo tekane Banarogo, nggoleki bojone Sengarturih sing onok nang awake Dela"

(Tinggal menunggu waktu, datangnya Banarogo buat mencari isterinya Sengarturih yang ada di tubuh Dela saat ini, bila dia sudah menemukanya, keluarga Atmojo, sudah tamat!!)

Bagi Sri, apa yang baru saja di ucapkan oleh mbah Tamin persis seperti dongeng untuk anak kecil yang serba ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yang tidak dapat ia lihat.. 

Rasa seperti kenapa ada hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini, namun presepsi itu harus ia pertimbangkan lagi.

Terutama saat Sri melihat wajah Dini, ia menampilkan ekspresi ketakutan yang tidak pernah ia saksikan sebelumnya, ibu dari 2 anak.

Satu-satunya yang Sri tuakan, meski usia mereka hanya terpaut 2 tahun, Dini memilih menikah muda, hal itu, yang membawanya ke tempat ini.

Ke tempat dimana, ia harus meninggalkan 2 anaknya, membantu sang suami guna menutup kebutuhan dari buah kecil cinta mereka, Dini lebih memilih diam sembari menutup luka di daun telinganya yang harus ia relakan, di bibir Dela, atau mungkin Senggarturih.

Setelah penjelasan mbah Tamin yang dirasa Sri bahwa ada beberapa kecil bagian yang seakan tidak di ceritakan, membuat Sri merasa, orang tua ini memiliki tujuan tersendiri, tidak dapat ditebak, tidak dapat diterka, namun sorot matanya seakan memberitahu ada rahasia yang ia tutupi.

"Wes mari to ndok penjelasane, nek wes dirasa mari, ibuk pamit, engkok ben Sugik sing ngeterno awakmu karo, nang Dela" 

(Sudah selesaikan penjelasanya nak, kalau sudah ibu mau pamit, nanti biar Sugik yang mengantar kamu ke tempat dimana Dela berada)

Mbah Krasa pergi, mbah Tamin pun ikut undur diri, ia mengatakan bahwa setelah ini, apa yang mereka alami di rumah gubuk alas itu, masih belum ada apa-apanya, dengan apa yang akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung, mbah Tamin, punya rencana lain.

Sugik belum kembali, kabarnya ia akan menjemput sore hari, Sri masih belum tahu dimana Dela sekarang berada, yang jelas Alas itu bukan tempat dimana Dela di sembunyikan lagi, entah tempat seperti apalagi, Sri merasa ia sedang di persiapkan untuk sesuatu, sesuatu yg lebih besar.

Ketika Sri sedang mempersiapkan perbekalan yang akan ia bawa, Sri melihat Dini berdiri di luar pintu kamar, tempat ia beristirahat sebentar sebelum perjalanan berikutnya, entah apa yang dilakukan Dini, membuat Sri akhirnya mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yang ingin ia sampaikan, wajah Dini pun tidak tertebak sama sekali, namun setelah dirasa ia cukup menahan diri, Dini berujar dengan suara gemetar.

"Siji takan kene, sing bakal urip sampe iki mari, Sri sepurane nak aku bakal ngelakoni opo ae ben isok tetap urip"

(Satu dari kita yang akan tetap bertahan hidup sampai semua ini selesai, saya minta maaf, saya akan melakukan apapun untuk tetap bertahan hidup)

Ucapan Dini, membuat Sri kebingungan, apa yang ia ucapkan, darimana ia dengar, setelah Sri mempertanyakan itu, Dini menunjuk telinga cacat.

Ia berujar dengan nada yang lebih percaya diri.

"Sak durunge kupingku pedot, Dela mbisiki aku, siji sing bakal selamet kanggo Kembang klitih"

(Sebelum telingaku putus, Dela membisikkan sesuatu kepadaku, satu dari kita yang akan selamat untuk berbagi sari bunga dari sisa Santet ini)

Sebuah mobil hitam yang Sri kenal barusaja masuk ke kediaman Atomojo, Sugik melangkah keluar..

Sri dan Dini pun melangkah masuk, setelah berpamitan dengan mbah Krasa, Sugik pun mengantar Sri dan Dini, menuju tempat dimana Dela sekarang berada.

"Aku melok berduka ambik kancamu Sri, mbak Din" 

(Aku ikut berduka ya Sri, mbak Din) kata Sugik.

Ia tidak henti-hentinya memandang Sri dan Dini, yang sejak pertama mereka masuk, tidak ada interaksi diantara mereka, seakan memilih untuk diam bersama, hal itu, membuat canggung benar dugaan Sri sebelumnya, jalan yang mereka tempuh bukan jalan menuju alas itu, melainkan jalan menuju ke luar kota, menuju sebuah desa, karena ketika mobil masuk ke sebuah gapura, suasana sepi dari kehidupan Desa ketika malam, langsung menyambut mereka.

Banyak rumah yang masih menggunakan gedek (bambu anyam) di samping kiri kanan, setiap jengkal rumah, saling berjauhan, dari dalam mobil, Sri hanya bisa mengamati bahwa tempat ini tidak berbeda jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan..

Masalahnya, Sri belum melihat satu manusia pun disini, seakan ini adalah sebuah Desa mati.

Mobil masuk ke sebuah gang, dengan pemandangan yang sama, batu kerikil keras di sepanjang jalan, menambah kesan bahwa Desa ini pasti desa pinggiran, jauh darimana-mana, dan ketika mobil berhenti, saat itulah, Sri melihatnya.. mbah Tamin tengah berdiri di sebuah rumah, menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar, rumah dengan kayu jati menjadi corak bahan utama, seakan memberitahu Sri ini adalah tempat yang ia janjikan.

Mbah Tamin berdiri, di teras rumah, disampingnya, ada Dela.

Hal yang membuat Sri dan Dini tidak bisa berhenti melihat hal itu, mereka seakan ngeri dengan pemandangan itu, Dela berdiri persis disamping mbah Tamin, senyumanya menjadi pembuka dari sambutan yang tidak pernah Sri bayangkan.

Sugik melangkah keluar, membuka pintu mobil, Sri dan Dini ikut keluar, meski dengan langkah ragu, mereka mendekati mbah Tamin dan Dela, yang sejak tadi, menatap kedatangan mereka.

"Mbak Sri ya" kata Dela, suaranya layaknya seperti gadis muda lainya.

"Maturnuwun purun nerima kerjaan niki ngih mbak" 

(Terimakasih sudah mau menerima pekerjaan ini)

Sri hanya menyambut tangan Dela, ia masih bisa melihat luka borok, dan perut buncitnya, tidak ada yang berubah dari penampilan fisiknya yang membuat siapapun tidak akan sanggup melihatnya..

Setelah melihat Sri dengan tatapan sumringahnya, Dela beralih pada Dini, ia melakukan hal yang sama, Sri hanya bingung, ia tidak pernah melihat ini sebelumnya..

Apa yang membuat Dela yang ini sangat berbeda dengan Dela yang selama ini, Sri lihat.

Mbah Tamin, hanya mengamati saja.

Setelah berbasa-basi, mbah Tamin mempersilahkan Sri dan Dini masuk ke dalam, Sri langsung bisa merasakan bahwa rumah ini jauh berbeda dari rumah gubuk itu, rumah disini berkali kali lipat lebih besar, tentu dengan nuansa jawanya yang kental, meski begitu, Sri merasa ngeri memasukinya..

Setiap ruangan di rumah besarnya bukan maen, banyak lukisan dengan corak kental adat budaya jawa yang bisa Sri saksikan langsung, namun dari semua itu, ada satu lukisan yang menarik perhatian Sri, sebuah lukisan yang familiar.

Sri menatap lekat-lekat foto itu.

Seorang wanita tengah berpose dengan sanggul, mengenakan kebaya, menatap lurus, ia tengah memegang jabang bayik.

Yang membuat Sri tidak bisa mengalihkan perhatianya adalah, jabang bayik di lukisan itu memiliki 2 kepala.

"Sri, kamarmu nang mburi, ayok tak terno" 

(Sri kamarmu ada di belakang, sini, aku antar) kata mbah Tamin.

Sri baru menyadari, Dini tidak ada di belakangnya, entah kemana ia mengikuti mbah Tamin, menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.

Kamar Sri hanya ruangan kecil, dengan beberapa perabot tua, ia tidak lagi sekamar dengan Dini, hanya ada jendela yang di tutup oleh Gorden, disana, mbah Tamin mengatakanya.

"Nek wes jam 12, lawang kamarmu ojok lali di tutup, ojok sampe mok bukak yo, pesenku iku tok"

(Kalau sudah jam 12, pintu kamarmu jangan di buka, jangan sampai kamu membukanya, ingat pesanku ini) tegas mbah Tamin, lalu ia pergi.

Sri membuka gorden di jendelanya, ia bisa merasakan, bahwa keberadaanya disini, tidak ada bedanya dengan keberadaanya di alas itu, entah kenapa, tempat ini sama saja, seperti memintanya menguak apa yang ada disini.

Sebelum, ia melihat Dela, baru saja melewati kamarnya, menatapnya lalu menghilang, dengan senyuman yang memancing keingintahuan.

Sri sudah mengunci pintu kamar dan jendelanya, kini ia berbaring di atas kasur tua yang setiap ia bergerak mengeluarkan suara tidak mengenakan.

Hanya dengan menatap cahaya lilin di meja, Sri merasa ia aman, selebihnya ia terjaga, tidak bisa tidur dengan pertanyaan dipikiranya.

Waktu terasa begitu lambat, setiap ketukan detik yang Sri bayangkan terasa mengambang dalam sepi di kamar itu, lalu, terdengar suara lirih,

Suara yang membuat Sri merasa tidak sendiri lagi, suara itu, terdengar dari luar kamar.

"Mbaaak Sriii, mbaaak, iki aku Dela"

Mendengar itu, Sri langsung tercekat, entah apa itu, suara itu seakan mengancamnya.

"Mbak sampun tilem, niki aku Dela mbak, di bukak lawange mbak" 

(Mbaknya sudah tidur, ini aku Dela mbak, di buka dulu pntunya mbak)

Sri masih diam, ia mencoba menahan diri, suara itu, menganggunya

"Mbak Srii, aku loh eroh nek sampean jek melek, di bukak dilek nggih mbak, engkok, tak keki'i panuturan" 

(Mbak Sri, saya tau kamu masih terjaga, dibuka dulu pintunya, nanti, saya kasih tahu rahasia)

Kaki Sri, mulai melangkah turun, ia beranjak dari tempatnya, namun ia masih ragu..

Sri belum menjawab, ia masih diam, membiarkanya ditelan sunyi, di obrak-abrik sepi, sampai, keheningan itu menguasai.

Senyap, suasana saat itu sangat senyap, namun, perasaan itu seakan menekan Sri dalam kegilaan dan rasa penasaran yang saling melahap satu sama lain. Sri gila.

Benar saja, keheningan itu membuat sebagian pikiran Sri tertekan, hingga Sri merasa, bahwa Dela telah pergi.

Sri mencoba untuk menenangkan diri, ia terduduk dengan kaki yang sudah lemas, namun, tiba-tiba.

"BRAKK!!" pintu kamar Sri, di hantam oleh sesuatu yang sangat keras, setelah gebrakan itu, suara tertawa yang pernah Sri dengar itu muncul.

"Cah GOBLOK, nyowomu iku sampe sepiro seh, tak kandani, jumat kliwon, pikirno iku yo ndok, PIKIRNO OMONGANKU!!"

(Anak Bodoh, nyawamu itu sampe mana sih, tak kasih tahu, jumat kliwon, pikirkan itu, PIKIRKAN!!)

Sri hanya meringkuk, ia tidak mau menjawab siapapun itu, lalu, "Sri, nek kate tilem, liline di pateni yo" 

(Sri, kalau sudah mau tidur, lilinya, dimatikan dulu ya)

Saat itu juga, lilin itu mati dengan sendirinya. kegelapan itu, menenggelamkan Sri dalam tangisan ketakutan tergila.

"Dela yo marani awakmu mambengi" 

(Dela juga datangin kamu semalam) tanya dini.

Ia tengah sibuk membasuh baju disumur belakang, Sri yang baru tiba, hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya.

"Nek wes bengi, Dela kumat, jare mbah, ngunu"
(Kalau malam tiba, Dela kumat kata si mbah)

"Si mbah sing ndudui awakmu" 
(Si mbah yang kasih tau kamu)

"Iyo" "awakmu gak didudui ngunu" 
(Emangnya kamu gak dikasih tau)

Sri tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya melihat air mengalir, yang ada di hadapanya. "Jumat kliwon" kata Sri tiba-tiba, Dini mengangguk.

Rupanya, ia tahu

Siang itu, si mbah memanggil Sri dan Dini, mereka melihat Dela yang tengah duduk sendirian, ia seperti sibuk dengan dunianya sendiri.

"Dela lahir nang kene, mangkane, gak tak perlakokno koyo nang alas kui, nang kene wes tak pasang payung penduso nang ben sudut omah"

(Dela lahir diisni, makanya, saya tidak perlakukan dia seperti saat tinggal di hutan, setiap sudut rumah ini sudah saya pasang payung untuk orang meninggal, jadi jangan khawatir"

Mbah Tamin, menyesap rokok, menghembuskanya perlahan,
"masalahe sak iki nang kene"

(Masalahnya, sekarang disini)

"Mene, kamis legi, aku arep jalok tolong nang awakmu, Dini, tolong, golekono, nang ndi Pepetane disingitno, isok"

(Besok, kamis legi, saya mau minta tolong, bisa kamu caritahu dimana jimat itu disimpan)

"Jimat sing kanggo nyantet Dela"

Benar. di malam itu, Sri dan Dini, masuk ke kamar si mbah, disana ia bisa melihat banyak tergantung kepala kerbau yang dipasang di tembok, selain itu, kamar mbah Tamin banyak dihiasi kain merah, bau kemenyan tercium sampai menusuk hidung. Mbah Tamin, kemudian melangkah masuk.

Ia menyuruh Dini duduk didepanya, membiarkan Sri berada di samping Dini, "awakmu bakal ndelok kebon tebu, golekono wong sing mok temoni nang kunu, tutno, nang ndi wong iku engkok longgoh"

(Nanti, kamu akan melihat kebun tebu, disana ada orang, cari dan ikuti dia, sampai ia duduk disebuah tempat)

Mbah Tamin kemudian meminta Dini meminum air degan hijau, memijat-mijat kepalanya, sambil mengusap asap kemenyan, ia lalu menghantam kepala Dini dengan telapak tangan.

"Sri, tolong jogo dini, mbah kate metu" 

(Sri tolong jaga Dini, si mbah mau keluar dulu)

Mbah Tamin pergi, sementara Dini tersungkur pingsan, di dahinya, ia terus berkeringat, berkali-kali, ia tampak seperti orang yang meracau, mengatakan sesuatu seperti.

"Peteng" (gelap)

Namun Sri telaten, membersihkan keringat Dini, ia juga membantu Dini agar bisa tidur dengan posisi yang benar. 

Ia terus menjaga Dini sepanjang malam, si mbah, tidak juga kembali, semakin malam, Dini semakin kacau ia menjerit, seperti tengah berlari, nafasnya terengah-engah.

Yang membuat Sri tersentak ketika Dini mengatakan "Pak' e ndelok, pak 'e ndelok!! aku dikejar, aku dikejar!!" 

(Bapaknya melihat saya, bapaknya sudah melihat, saya dikejar, saya dikejar)

Badan Dini, tiba-tiba panas, panas sekali. Sri mulai khawatir, namun ia bingung harus apa..

Tidak beberapa lama, mbah Tamin kembali, ia hanya menepuk bahu Dini, dan ia langsung bangun, wajahnya tampak kaget, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan saat melihat mbah Tamin melotot, seakan menahan bahwa ia tidak boleh mengatakanya disini.

Mbah Tamin dan Dini keluar, Sri tidak mengerti, kenapa si mbah seakan menghindarinya.

Setelah menunggu si mbah memanggil Sri, menyuruhnya agar kembali ke kamar, perjalanan ke kamar Sri, melewati sebuah kamar tanpa pintu, disana, ada Dela melihatnya, ia hanya tersenyum menatap Sri.

Hal terakhir yang Sri ingat saat melihat Dela adalah, ia seakan memberitahu, bahwa akhir dari semuanya, adalah rumah ini.

Rumah yang akan Sri ingat sampai akhir nanti.

Sri menutup pintu, menguncinya, ia terlalu lelah malam ini, apa yang ia lihat, ingin ia lupakan dalam tidurnya.

Saat Sri memejamkan mata.

Seseorang membelai rambutnya. memakasanya untuk melihat sesiapa yang tengah menganggu tidurnya.

"Dela" kata Sri saat melihatnya.

"kok isok" (bagaimana bisa)

"aau, ket mau nang jeroh kamarmu loh Sri, nang nisor bayangmu, wong tuwek iku, gak goleki aku kan"

(Aku dari tadi sebenarnya ada di dalam kamarmu loh Sri, tepatnya di bawah ranjangmu, apa orang tua itu masih mencari saya)

"Aku jalok tolong, sak iki, nyowomu nang tangane wong tuwek iku, nek awakmu nuruti aku, awakmu isok selamet, lan tak duduhi perkara masalahe, awakmu percoyo ambek aku ndok"

(Aku minta tolong, sekarang, nyawamu ada di tangan si mbah, kalau kamu menuruti apa kata saya kamu akan selamat, dan tak kasih tahu sumber masalahnya, kamu percaya sama saya kan)

"Tolong opo" tanya Sri ragu. Ia masih ingat bagaimana ia melakukan kesalahan fatal itu.

"Obongen payung pendusan iku gawe aku" 

(Bakar payung orang meninggal itu, untuk saya)

Dela melangkah pergi, ia memberikan tatapan terakhir kepada Sri, seakan yakin, Sri akan melakukannya.

Malam semakin larut, Sri melihat sebuah mobil datang, Sugik. Ucap Sri mengawasi dari jendela, mbah Tamin dan Dini, melangkah masuk ke dalam mobil, mereka pergi dari kediaman ini.

Sri hanya membatin, kemana mereka pergi, dan kenapa ia tidak diajak pergi, semua ini tiba-tiba mengingatkannya pada pesan Dela, nyawanya ada di tangan, si mbah.

Meski ragu, Sri membuka pintu, ia melihat Dela, tersenyum, berdiri didepan kamar, seakan, sudah menungguinya.

Sri dan Dela menyusuri rumah, ia pergi ke dapur mencari korek dan minyak tanah, kemudian, mulai berjalan ditengah kegelapan malam.

Bulan sedang tidak menampakkan diri, Sri berdiri disudut sebuah pagar, disana ada sebuah payung kecil berwarna hijau, "Payung penduso" ucap Sri

"Bakar kabeh payung iki, onok pitu payung nang lemah iki, percoyo ambek aku" 

(Bakar semua payung ini, ada 7 payung diatas tanah ini, percaya sama saya)

Sri menyiram payung itu, membakarnya, setiap kobaran api yang menyala-nyala, Dela tertawa melihatnya, ia seperti menari-nari.

Sri seperti ikut dalam setiap bisikan Dela ketika ia menunjuk dimana saja, payung itu disembunyikan, dan setiap satu payung terbakar.

Dela menari-nari, merentangkan tangan, tertawa begitu senang, sampai, Sri menatap, payung terakhir.

Payung itu, terletak tepat didepan lukisan itu.

Sri berhenti, ia melihat lagi lukisan itu, memperhatikan setiap detail siapa yang dilukis dalam balutan palet warna yang seakan familiar di mata Sri.

Apa maksud lukisan itu, seakan ia, mengenal siapa yang ada dalam lukisan..

Sampai Sri baru memahami sesuatu, namun Dela tiba-tiba berbisik.

"Kok ragu Sri"

Dela melihat Sri, mengawasinya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, tatapannya, membuat Sri merinding, ia masih tersenyum, memaksa Sri melakukannya.

"Wes sadar yo, sopo aku" 

(Sudah sadar ya, siapa saya)

Sri beringsut mundur, namun, Dela terus mendekatinya.

Sri langsung berlari, sementara Dela hanya melihatnya begitu saja, ia tidak tahu apa-apa, tidak sampai ia yakin sekarang, ia mengerti semuanya kenapa ia bisa sampai ada disini, siapa Sengarturih dan Banarogo yang sebenarnya, dan tempat ini, semua ini adalah?!

Sri tersandung, jatuh..
Sri merangkak, lantas, ia kemudian bersembunyi.

Dela baru saja datang, suara langkah kakinya, bayanganya ketika melewatinya, seakan membuat Sri hampir kehilangan akalnya, Sri terus diam, Dela tidak akan tahu dimana ia berada sebelum, "SRI"

Dela menarik rambut Sri, mencengkramnya..

Sri melawan sebisanya, namun, ia tidak bisa menghadapi bala kekuatan yang entah darimana datangnya, Dela seperti orang kesurupan, caranya menghantam wajah Sri dengan telapak tanganya, membuat wajah Sri babak belur, bahkan ia menginjak wajah Sri dengan kakinya.

Dela terus berteriak meminta Sri menyelesaikan tugasnya, ia harus menyelesaikannya, tidak boleh tidak, disini Sri menyadari sesuatu, lagi.

Sewu dino sudah semakin dekat, artinya, tidak ada kesempatan lagi untuk membuang-buang waktu sampai, terdengar suara mobil datang, Dela dan Sri terdiam, manakala, ada seseorang datang mendekat.

Langkahnya pelan, ia menyusuri ruangan, kemudian, menampakkan dirinya didepan Sri dan Dela.

Mbah Krasa melihat Sri, tatapannya kecewa, lalu ia menlotot melihat Dela, yang entah bagaimana langsung duduk bersimpuh di depan mbah Krasa.

Ia membelai rambut Dela seakan dia adalah binatang peliharaannya.

"Wes ngerti yo nduk awakmu" 

(Rupannya kamu sudah mengerti ya)

"Terno Sri nang kamare" (Antarkan Sri ke kamarnya) kata mbah Krasa, orang yang berdiri dibelakangnya membawa ikut Sri, ia hanya bisa melihat, mbah Krasa yang masih menatapnya, Dela, hanya melirik Sri dengan tatapan penuh ancaman, seakan ia, belum selesai dengan semuanya..

Seseorang mengetuk pintu kamar, lalu membukanya, Sri melihat wanita tua anggun itu tidak ada segan lagi untuknya.

Sri justru merasa kesal setiap melihat tatapan matanya yang terbungkus kaca mata tebal menggerikan itu.

"Sri, bantu mbah nggih" (Sri, tolong, bantu saya)

"Jumat kliwon, guk lahir e Dela ta mbah, tapi weton lahire sing nyantet putune njenengan, opo aku salah mbah"

(Jumat kliwon, bukanlah hari lahir Dela, tetapi hari lahir dari orang yang menyantet cucu anda, apa saya salah mbah)

mbah Krasa mengangguk, ia mengakuinya.

"Njenengan pingin tiange sedo, ngelalon kulo ambek Dini" (anda ingin mengakhiri nyawa dia melalui saya dan Dini)

Mbah Krasa mengangguk lagi.

Sri tidak tahu harus bilang apalagi, namun kemudian, sebelum tangisanya meledak, mbah Krasa membisikkan sesuatu.

"Tolong" lalu pergi.

Pagi itu, mbah Tamin dan Dini sudah kembali.

Seseorang memanggil Sri dari dalam kamar, ia melihat mbah Krasa duduk bersama Dela, ditengah meja, Sri melihat kotak itu, lagi.

Lantas Dini mulai membukanya, dari dalam, Dini mengeluarkannya, "Pasak jagor"

Semua orang menatap Sri.

Pasak Jagor, boneka yang Sri lihat, nyaris sama persis, jadi mbah Tamin dan Dini, semalaman mencari benda ini, di badan boneka, ada lilitan rambut kusut yang sama persis seperti Sri lihat, mengingatkannya pada Erna.

"Engkok bengi, kabeh mari nang kene" (Nanti malam, kita akhiri)

Dela mendekati Sri, ia menatap Sri seakan ingin tahu, tatapanya lebih lembut, ia berucap dengan suara lirih

"Matur nuwun nggih mbak, gak bakal tak lalino jasane sampeyan"  (Terimakasih ya kak, saya gak akan pernah lupa jasa kamu)

Sri hanya mengangguk, ia sudah tidak perduli.

Setelah memotong rambut Sri dan Dini, mbah Tamin, mengikat rambut itu pada boneka, di belakang rumah, ia sudah memutari 3 lubang galian itu, tempat Dela, Sri dan Dini terduduk didalamnya.

Mbah Tamin duduk, menyirami boneka itu dengan air, sementara bau kemenyan semakin menyengat  tangan dan kaki mereka diikat dengan ranting muda daun kelor, sehingga ketiga-tiganya tidak ada yang bisa bergerak, hanya pasrah di dalam setiap lubang yang sudah di gali untuk mereka semuanya, mbah Tamin perlahan, mencabut satu persatu rambut itu.

Terdengar sebuah suara yang tidak asing, sebuah kerbau meraung, Sri yang sudah terjebak dalam lubang, tidak tahu apa yang terjadi, karena setelah suara itu hilang, ia mendengar Dela dan Dini menjerit, lalu, hening..

Hening..

Sesuatu baru saja membasahi tubuh Sri, baunya amis, darah darah kental itu, membuat Sri merasa tidak nyaman, tanpa sadar, ketakutan sudah merasukinya, ia tersenggal, karena di dalam lubang itu, Sri kesulitan untuk bernafas,

Tiba-tiba, Dini berteriak lagi, kali ini, ia meronta dari suaranya, seperti ia tengah disiksa
suara Dini, lalu suara Dela, suara mereka saling bersahutan satu sama lain, Sri yang tidak bisa melihat apa yang terjadi, hanya bisa gemetar menahan ketakutan yang semakin menguasainya..

Mbah Tamin, sedang membalas perbuatan si pengirim santet, lalu Sri merasakan tubuhnya mati rasa.

Rasanya seperti terjebak dalam keadaan tidak sadar, seakan Sri tidak lagi bisa merasakan apapun, namun rupanya itu hanya awalnya saja, sebelum rasa sakit seakan merobek-robek daging di tubuhnya.

Sri berkelakar, itu adalah rasa sakit terhebat yang pernah ia rasakan..

Suara Sri menggelegar, mereka sama-sama berteriak, namun ada suara lain yang ia dengar, suara seorang lelaki ia tidak hanya berteriak, ia mencaci maki dengan suaranya yang gemetaran, suara asing yang tidak di ketahui darimana datangnya..

Suara si pengirim santet.

Kesakitan itu benar, membuat Sri tidak tahu seperti apa ia harus menggambarkanya, karena setelah sentakan itu, nyawanya seperti di tarik, saat itulah, Sri yakin melihatnya..

Dela selama ini, menggendong seorang wanita, ia memiliki perut buncit, hanya saja, sosok itu, tak berkaki selama itu juga, Sri melihatnya lagi, selama Dela dikurung dalam keranda bambu kuning, sosok wanita itu, mendampinginya, 

Menjilati borok dan luka biru Dela dengan lidah panjangnya yang selama ini Sri lihat seperti penyakit menjijikkan, dan sosok itu, melotot melihat Sri..

Lalu Sri melihatnya, sosok yang datang bertamu pada malam itu rupanya, adalah seorang lelaki, Sri tidak mengenal siapa lelaki itu, hanya saja si lelaki mengacak-acak kamar si mbah, namun tampaknya ia tidak mendapatkan benda yang ia cari, lalu ia mengambil kain hitam itu, menukarnya..

Ia hanya meninggalkan sebuah patek "Peti mati" bertuliskan Atmojo, lalu pergi begitu saja.

Lingkaran itu seperti berputar, Sri menyadarinya, kini, mereka terikat satu sama lain, Santet sewu dino sebenarnya adalah Santet yang tersambung satu sama lain nyawa dibayar nyawa.

Lelaki itu, ia memiliki sesuatu yang sama seperti Dela, kembar, hanya saja ia senantiasa berjalan di belakangnya, kakinya panjang nyaris 2 kali tinggi si lelaki, ia terus menerus mengikutinya..

"Banarogo"

Sri terbangun dengan kaki lumpuh, ia melihat mbah Tamin, menatapnya, didepanya Dela berdiri, meski berlumuran darah yang sama seperti Sri, Dela menatapnya, ia membungkuk berterimakasih.

Dini, hanya duduk, matanya kosong, mereka semua sama, berbagi rasa sakit, namun tidak bagi si pengirim santet, mungkin ia sudah tewas saat ini.

Mbah Krasa mendekati Sri, memberinya handuk untuk membersihkan badannya, iya ikut menuntun Sri, membasuhnya dengan air, lalu mengantarkanya ke kamar.

Ia butuh istirahat, sampai tubuhnya pulih kembali.

Sri hanya diam saja, ia terus mendengar mbah Krasa bahwa si pengirim pantas mendapatkanya, atas perbuatanya selama ini terhadap keluarganya, bahkan, mbah Krasa sudah berjanji, Sri akan mendapatkan sesuatu yang pantas, uang, bukan masalah baginya.

Setelah mbah Krasa selesai memandikan Sri, ia mengantarkanya di kamar, untuk terakhir kalinya mereka saling melihat satu sama lain, sebelum akhirnya mbah Krasa bersiap untuk pamit pergi, namun Sri mengatakanya.

"Sing asline jahat, iku dee opo njenengan mbah"

(Yang sebenarnya jahat disini, dia apa anda mbah?) ucapan itu, membuat mbah Krasa menghentikan langkahnya, tanganya yang tengah membuka pintu, kembali menutupnya, senyuman yang tadi terpancar di wajahnya, kini, kian pudar menatap wajah Sri yang penasaran.

Mbah Krasa lantas kembali duduk, ia menatap wajah Sri, mereka saling menantang satu sama lain.

"Tau krungu gak Sri, pribahasa, gak eroh iku ngunu berkah tekan pangeran" (kamu pernah dengar, pribahasa, ketidaktahuan adalah berkah dari tuhan)

Sri yang mendengarnya, menegang.

"Kuncoro, opo iku keluarga sing njenengan babat, sampe meniko wani gawe awake dewe nganggo mbales keluarga njenengan" 

(Kuncoro, apakah itu nama keluarga yang semuaya sudah anda habisi, dan untuk membalasnya, ia sampai rela menggadaikan nyawanya biar keluarga anda menerima balasan)
mbah Krasa menatap Sri, ia tersenyum, sudut bibirnya seakan memuji dan memberi pujian betapa Sri pintar dalam menghubungkan semua ini, hanya dengan, mengikat batin, antara Sri dan Kuncoro, Sri langsung tahu semuanya.

"teros" 

(Lalu?) kata mbah Krasa menunggu, kejutan lain..

"Sengarturih lan Banarogoh iku ngunu ingu-inguan njenengan, sing njenengan gawe mbabat nyowo keluarga Kuncoro, tapi, keturunane sing ragil, nyekel Banarogoh ben Sengarturih isok nyikso Dela, gantine, dee sing nerimo duso iki"

(Sengarturih dan Banarogoh adalah peliharaan anda, yang anda jadikan alat untuk menghabisi semua keluarga Kuncoro, tapi rupanya keturunan terakhirnya bisa menangkap Banarogoh, menggunakanya, agar Sengarturih bisa menyiksa Dela, sebagai gantinya ia yang menerima semua dosanya)

Mbah Krasa tersenyum, lalu tertawa, ia terhibur dengan semua ucapan Sri, lantas ia bertanya.

"Mati nang kene, opo nang omah ndok?"

(Kamu mau mati disini, apa kalau sudah sampai di rumah)

Sri hanya diam, ia tidak mengatakan apapun lagi.

"Koen bakal tetep urip kok nduk, mbah wes yakin, koen iku sing paling bedo ambek liyane, nyowomu gak onok regane gawe aku, nanging, ojok sampe onok sing eroh sak durunge mbah sedo, ngerti ndok"

(Kamu, akan tetap hidup, mbah sudah yakin, sedari awal, kamu yang paling berbeda dibandingkan yang lain, nyawamu tidak ada harganya bagiku, tapi, jangan ceritakan kepada siapapun, sebelum, saya meninggal, mengerti)

"Kabeh menungso iku ra isok di tebak yo nduk, jahat gak jahat, menungso nduwe dalapatur, sing gak isok rumongso mok gerabak sak enake, sak iki awakmu, jek melok aku opo igak?"

(Semua manusia itu sama, tidak tertebak, berkata ia jahat atau tidak, tetap saja manusia punya tujuanya sendiri yang tidak akan bisa kamu jangkau seenaknya saja, sekarang, saya tanya, kamu, masih mau ikut saya atau tidak?) tanya mbah Krasa, ia menunggu jawaban.

"Mboten, kulo pamit mantok mawon mbah"

(Tidak, saya mau pamit pulang saja)

Mbah Krasa tampak mengerti, lantas, ia memanggil Sugik, membopong badan Sri yang masih lemas, membawanya menuju ke mobil, sekilas ia melihat sorot mata mbah Tamin, ia tersenyum, seakan tahu apa yang terjadi..

Sebelum masuk ke mobil, Dela menghentikanya, meminta agar Sri tetap bekerja disini, berapapun bayaranya, namun Sri menolak, ia menatap mbah Krasa tajam, membuat ia mengatakanya.

"Wes ta lah, engkok golek maneh sing luwih pinter"

(Sudahlah, nanti cari lagi, yang lebih pintar)

Sri juga melihat Dini, ia hanya duduk memandangnya, seakan menegaskan bahwa ia akan bertahan disini, Sri tidak punya hak memintanya keluar, terlepas apakah ia juga tahu apa yang sebenarnya terjadi dibalik semua peristiwa ini.

Sugik, menutup pintu mobil, membiarkan Sri beristirahat.

Mobil perlahan meninggalkan kediaman Atmojo, Sugik terus membawa Sri menuju perjalanan pulang, namun, tiba-tiba ia menghentikan mobil, disamping sebuah tebing.

Ia keluar dari mobil, mengeluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya, lantas ia bertanya pada Sri yang kebingungan.

"Sri, awakmu wes ngerti kan sak iki, sopo iku Atmojo"

(Sri, sekarang, kamu mengerti kan siapa keluarga Atmojo)

Sri mengangguk.

"Tapi opo awakmu yo ngerti sopo iku keluarga Kuncoro"

(Tapi apa kamu mengerti siapa itu keluarga Kuncoro)

Sri terdiam memandang Sugik.

"Aku ngerti"

"Aku ngerti"

"Aku biyen kerjo nang keluarga Kuncoro, sak durunge, keluarga iku wani nentang Atmojo, aku eroh kabeh, yo opo, siji gal siji keluarga iku mati, loro kabeh, sampe onok sing bunuh diri, tapi, sing gak di erohi ambek keluarga kuncoro iku"

(Dulu, aku bekerja di keluarga Kuncoro, sebelum keluarga itu berani menentang keluarga Atmojo, saya tahu semuanya, bagaimana keluarga itu di bantai satu persatu dengan penyakit yang aneh, sampai ada yang bunuh diri, tapi ada yang tidak di ketahui oleh keluarga Kuncoro"

Sugik diam.

"Aku sing nandur Pasak jagor nang omahe keluarga Kuncoro, aku sing berkhianat nang keluarga iki, aku wedi Sri, sampe sak iki, nek iling iku, aku kudu nangis"

(Aku yang menanam Pasak Jagor di rumah keluarga Kuncoro, aku yang berkhianat pada keluarga ini, aku takut Sri)

(Bila ingat itu saya ingin menangis rasanya)

"Mbah Tamin sing mekso, nek igak, anak bojoku bakal nerimo kirimane" (mbah Tamin yang memaksaku, bila tidak, anak isteriku yang akan menerima kiriman dari beliau)

Sri tidak habis pikir, sekarang, kepingan puzle itu selesai sudah.

Itu adalah kali terakhir Sri berhubungan dengan keluarga Atmojo, sudah sebulan lebih ia tidak mendapatkan kabar itu lagi, sampai di suatu pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu.

Bapak pergi keluar untuk memeriksa, namun, ia tidak kunjung kembali. Sri pun pergi memeriksanya

Ia mendapati bapak memegang sebuah kresk hitam besar, mata bapak melotot kaget, melihat isi kresek itu, ketika Sri merebutnya, ia langsung tahu apa itu.

Uang,

Uang yang memenuhi kantung kresek itu, barusaja di tinggalkan atau sengaja di tinggalkan di rumah ini..

Melihat itu, Sri lantas membawa uang itu, bapak coba menghentikan Sri namun, Sri keras kepala, ia membuangnya ke pembuangan sampah, mengatakan kepada bapak agar tidak mengambilnya lagi.

Bila tidak ingin, ia terjerat lagi dalam lingkaran keluarga Atmojo.

SEKIAN

Sampai disini, saya akhiri cerita ini, 3 narasumber itu, sebenarnya memang salah satunya adalah Sri, namun, 2 narasumber lain adalah beberapa orang yang mengaku tahu.

Cara kerja ilmu hitam seperti ini, bahkan nama ingon (peliharaan) itu juga saya ganti, karena konon..

Sedikit sulit menggambarkan penggambaran sebenarnya dari ingon (peliharaan) ini.

Yangg paling saya ingat dari ucapan mbak Sri adalah..

"Kabeh wong gede paling yo podo nduwe cekelan, gak usah kaget" (Semua orang besar di negeri ini, pastilah punya pegangan jadi tidak usah kaget)

"Nek ogak, yo gampang gawe matenine" (Kalau tidak, ya mudah buat cara ngebunuhnya)
close