Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU DINO (Part 2)


JEJAKMISTERI - "Aku bakal melok Sugik nang kediamane Krasa, tolong, jogo omah iki, iling omonganku, yo ndok, mbah percoyo ambek awakmu, tetep lakonono tugasmu, iling yo, paling emben si mbah kaet muleh"

(Saya akan pergi sama Sugik ke kediaman Krasa, tolong jaga tempat ini, ingat ucapanku, lusa mungkin saya baru pulang)

Sri mengangguk, lalu memanggil yang lainya, mereka semua menatap satu sama lain, ada keraguan di mata mereka bila mengingat kejadian sebelumnya, namun tidak ada yang memprotes ucapan si mbah, karena takut, beliau akan marah lagi seperti sebelumnya.

Malam itu, ketika mbah Tamin sudah pergi, Sri merasa ia harus memeriksa kamar beliau lagi, ia tahu masih ada yang harus ia cari tahu, termasuk teka teki apa yang sebenarnya terjadi, mungkinkah keluarga Krasa tidak tahu menahu perbuatan orang tua ini, Sri menunggu waktu yang tepat.

Sri menunggu Erna dan Dini terlelap, maka manakala ia sudah yakin, 2 temanya sudah tertidur.. Sri melangkah keluar dari ranjangnya, ia melangkah menuju kamar mbah Tamin yang hanya terpisah sekat antara kamar Dela yang memang tanpa pintu itu.

Sejenak, Sri menguatkan diri, lalu masuk, ia membuka pintu, membiarkanya tetap terbuka, sementara ia mulai mencari dimana ia terakhir kali memeriksa benda keramat itu, anehnya ia tidak menemukanya.

Di cari dimanapun, Sri tidak menemukanya, apakah si mbah membawanya, Sri terdiam, berpikir, sampai sesuatu melintas..

Sesuatu seperti baru saja melintas di belakangnya, melewati kamar mbah Tamin, Sri melangkah memastikanya, ia tidak tahu menahu apa itu, tiba-tiba mata Sri tertuju pada isi dari ranjang mbah Tamin, ia menduga benda itu ada disana, maka Sri mulai perlahan membukanya.

Sri membuka semuanya, namun, ia tidak menemukan benda itu juga disana, manakala Sri masih berusaha mencari, terdengar suara pintu di tutup dari belakang, Sri terhenyak sejenak, sebelum berbalik melihatnya.

Sri terdiam, melihat Dela menatapnya dengan senyuman menyeringai.

"Cah cilik wani men nggolek masalah" 
(Masih anak kecil berani sekali cari masalah) kata Dela seraya tetap berdiri menahan pintu..

Kepalanya menggedek ke kiri dan kanan, seakan menertawakan Sri yang tengah meringkuk ketakutan.

"Kok isok" (kok bisa) kata Sri dengan gemetaran.

"Coba pikirno ndok" 
(Coba pikirkan nak) kata Dela.

"Lapo wong tuwek situk iku, mbukak kerandaku terus gak nyancang aku, rupane, kanggo awakmu toh, menungso iku lucu kadang yo" 

(Kenapa orang tua itu membuka keranda ini, lalu tidak mengikatku dengan benar, rupanya untuk kamu ya)

(Manusia itu terkadang lucu ya)

Sri terdiam, ia tiba-tiba berpikir, apa mbah Tamin sengaja membuka keranda itu, sial, harusnya Sri berpikir bahwa kepergian beliau bukankah sesuatu yang aneh, namun untuk apa ia melepaskan makhluk ini.

Dela merangkak, ia mendekati Sri yang sudah meringkuk, namun aneh, si Dela hanya melihat wajah Sri sembari tetap tersenyum.

"Awakmu gak bakal mati ndok, carane garai aku wegah njupuk nyowomu" 

(Kamu tidak akan mati nak, caranya membuatku malas mengambil nyawamu)

"Tak kandani nek koen kepingin eroh, onok opo nang kene,"

(Saya kasih tau bila kamu ingin tahu sesuatu, ada apa disini)

Sri masih diam, ia tidak dapat berbicara banyak, ketakutan sudah memenuhi seluruh badanya.

"Wet ringin nang etan, tata watu sebelah kidul, bukak'en isine"

(Ada sebuah pohon beringin di timur tempat ini, cari sebuah batu tertata lalu buka isinya)

Dela berdiri, membuka pintu, lalu menutupnya lagi.

Sri yang masih terjebak dalam ketakutanya, perlahan berdiri, melihat Dela yang kembali tidur, tidak lupa ia menutup kerandanya, lalu ke kamar.

Pagi itu, seperti biasanya. Dini dan Erna sudah sibuk dengan kegiatanya sendiri, sementara Sri, ia pamit untuk menghabiskan waktu di kamar.

Sri mengaku badanya tidak enak, namun yang sebenarnya terjadi, Sri melangkah pergi, menuju tempat yang ia dengar dari sosok yang ia temui semalam.

Menelusuri jalan dengan kabut masih tebal, kiri kanan pohon tumbuh tinggi dengan semak belukar di setiap sisinya, setiap langkah kaki Sri terdengar gemerasak dedaunan yang berserakan dengan aroma tanah yang masih tercium sengak..

Sri terus berjalan ke timur, sampai melihat pohon itu.

Dari jauh pohon itu tumbuh sendiri di antara semak belukar disekitarnya ada tanah lapang yang terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri.

Begitu kelam, begitu menenggelamkan, anehnya Sri justru mendekatinya, seakan hatinya menuntun memanggil namanya.

Ia harus melakukanya.

Meski cahaya matahari sudah terang benderang, namun di bawah pohon ini, seakan cahaya itu tidak bisa menyentuhnya..

Kehitaman dari rimbunya dedaunan pohon beringin ini, menciutkan nyali sesiapapun yang ada di sekelilingnya.

Sri menelusuri pohon besar itu, sampai ia menemukanya.

Sri menemukan sebuah kuburan, dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yang familiar..

"Dela Atmojo"

Butuh waktu, untuk memproses informasi itu, namun Sri mencoba menolak pikiran itu..

"Dela sudah meninggal kah" batin Sri terguncang, ia kini tersesat dalam bola pikiranya sendiri..

Entah apa yang Sri pikirkan, ia langsung menggali tanah keras itu dengan jemarinya, manakala tanah itu mulai menyakiti jari jemarinya..

Sri mencari bebatuan untuk terus membongkar kuburan itu, ia merasa ada yang salah dengan kuburan ini, termasuk ukuranya yang tidak terlalu besar.

Benar saja, apa yang Sri lakukan tidak sia-sia, ia sampai di sebuah kotak kayu yang terbuat dari jati.

Sri mengeluarkanya darisana, membongkar penutup kotaknya, disana ia menemukan sebuah boneka pasak Jagor seperti yang pernah Sri lihat, hanya saja, boneka yang ini, dililit rambut hitam.

Sri memeriksanya, rambut hitam itu panjang, melilit boneka, tepat ketika akan membukanya, tiba-tiba, terdengar suara tertawa cekikikan yang membuat Sri terdiam sejenak..

Memperhatikan sekitar, tidak ada siapapun disana. Detik itu juga, Sri meninggalkan tempat itu, membawa benda itu.

Ia menyembunyikan benda itu di almarinya, lalu melanjutkan tugasnya hari itu.

Erna dan Dini tidak ada yang curiga, karena ia melihat Sri keluar dari kamar, mereka membersihkan sekitaran rumah, menyelesaikan tugas mereka sebelum malam datang.

Mbah Tamin belum akan pulang hari ini.

Malam sudah datang, Sri ada di dapur, ia baru saja melihat Dini mengambil air, malam ini, tugasnya membasuh Dela di kamar, sedangkan Sri memasak untuk esok hari.

Erna ada di dalam kamar sendirian, ketika tugas Sri selesai, ia berniat pergi ke kamar, firasatnya tiba-tiba memburuk.

Saat ia menuju ke kamar, Sri berhenti sejenak, melihat Dini yang membilas Dela, ia melihatnya membilas tubuh anak malang itu dengan telaten.

Kemudian, ia lanjut ke kamarnya, disana Sri tercekat, melihat Erna memegang boneka itu, tanganya, tengah melepas rambut hitam itu.

Saat Erna sudah melepaskan rambut yang melilit boneka, tiba-tiba terdengar suara Dini berteriak yang spontan mengejutkan Sri dan Erna, mereka segera melihat apa yang terjadi.

Belum sampai ke kamar Dela, tiba-tiba sesosok merangkak keluar, menatap Sri dengan senyuman menyeringai.

Dela. pekik Sri dan Erna berbarengan.

Sosok Dela melihat mereka sejenak, sebelum memuntahkan sesuatu di depan Sri dan Erna.

"Telinga yang terpotong" kata Sri tidak percaya, ia melihat Dini menangis di kamar, memegang salah satu daun telinganya. sosok Dela kemudian pergi, keluar sebelum Dela pergi keluar rumah, Sri sepintas melihat di salah satu kaki Dela, masih ada satu ikatan tali hitam, apa yang membuat Dela bisa lepas dari ikatan itu.

Dini masih menangis, sementara Erna cuma bisa diam tidak mengerti, kini, mereka menatap hutan gelap itu darisana, mereka harus bertanggung jawab, mencari Dela di tengah hutan ini, atau orang tua itu akan membunuh mereka bertiga saat ia kembali esok hari.

Sri melangkah masuk ke dalam kamar, dimana, ia melihat Dini masih menangis, menutupi salah satu daun telinganya, ia hanya terduduk.

"Din" tanya Sri yang hanya di jawab tangisan penuh ketakutan, Sri mendekat, melihat lebih jelas, apa yang terjadi. disana, ia melihatnya..

Telinganya, telinga Dini, benar-benar tampak robek dengan darah segar masih mengalir, Dini kehilangan satu daun telinganya.

Ketegangan semakin membuncah, manakala Dini tiba-tiba berujar sebuah kalimat yang Sri yakini sebuah pesan.

"Sewu dinone cah ki, kari ngitung areng"
(Sisa waktu seribu hari anak ini hanya tinggal menunggu bara api padam/kiasan hitungan jawa : waktu)

Sri bangkit dari tempatnya, lantas, melihat Erna yang masih tampak shock, "ayok di goleki cah kui, pumpung rung adoh"

(Ayo kita cari anak itu, mumpung belum jauh)

Erna yang mendengar itu lantas langsung sadar dengan lamunanya..

"He, golek cah iku, bengi ndedet ngene, gendeng koen" 
(Apa, cari anak itu, malam petang seperti ini, gila ya kamu)

Sri yang mendengar itu, mendekati Erna, "Awakmu gak paham ta posisine, yo opo nek wong tuwek iku eroh"

(Kamu itu masih belum paham posisi kita ya, gimana kalau orang itu tahu)

Sebelum Erna menjawab pertanyaan itu, ia membanting boneka itu, kemudian bertanya dengan nada keras.

"TEROS IKI OPO, SOPO SING NDUWE BARANG NGENE, AWAKMU KAN"

(LALU INI PUNYA SIAPA, SIAPA YANG PUNYA, INI PUNYAMU KAN)

Sri terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Erna, ia tidak tahu menahu dan bilang memang karena benda itu semua ini terjadi, artinya, memang dia lah penyebab semua ini.

Dengan setengah pasrah Sri berucap. "Jogo Dini, biar tak cari cah iku"

(Tolong jaga Dini, biar aku yang cari anak itu)

Sri mengambil satu lampu petromax yang tergantung dipawon (dapur) lantas ikut keluar, menembus kegelapan hutan yang sudah memanggil sedari tadi.

Baru saja keluar, Sri bisa merasakan hembusan angin dingin yang langsung menusuk tulang, berbekal lampu petromax di tangan, Sri berlari entah kemana, mengikuti jalan setapak, berharap, ia masih bisa mengejar Dela yang bisa dimana saja, ia, tidak tahu, seluk beluk hutan ini.

Sejauh mata memandang hanya bayangan pohon dan kabut tebal yang Sri seringkali temui, sisanya hanya suara gemeresak kakinya menembus semak belukar yang terkadang menggores kulitnya.

Selain itu, hembusan nafas Sri lebih berat, karena ketakutan sudah menemaninya semenjak keluar, sudah tidak terhitung berapa banyak ia melintasi pohon besar, mata Sri awas melihat sekeliling, sementara tangan dan kakinya meraba apapun yang bisa ia pegang hanya agar ia tidak terjerembab pada tanah yang tidak rata, namun,,

Sri masih belum menemukan tanda keberadaan Dela.

Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, mencari Dela di tengah kegelapan hutan seperti ini, berjalan dari satu tempat ke tempat lain rasanya mustahil, mustahil ia bisa menyisir keseluruhan hutan, sampai.. Sri merasa ia tahu dimana keberadaan gadis itu, semoga itu benar..

Sri bisa melihat tempat itu bahkan dari jauh.

Bayangan hitam besar, rimbun itu, seakan tidak kehilangan kengerianya sedikitpun, meski kaki Sri letih, menempuh jarak sejauh itu, ia mendekati pohon beringin itu, tempat dimana ia menemukan boneka itu.

Terdengar suara langkah kaki Sri yang menembus semak, kini, ia berdiri tepat di bawah pohon itu, melihat Dela yang seperti sudah menunggunya.

Ia hanya duduk, menggoyangkan kakinya, seakan tahu, Sri akan menemukanya.

Gerak tubuh Dela, membuat Sri tidak nyaman, terkadang, ia menggedek kepalanya, seakan tulang lehernya tidak dapat menyangga isi kepalanya.

"Wong tuwek iku, rupane gak goblok yo" 

(Orang tua itu, rupanya tidak bodoh ya) kata Dela.

"Percuma, aku ra isok metu tekan alas iki"

(Percuma saja, ternyata, aku tetap tidak dapat keluar dari hutan ini)

Sri hanya diam, ia juga bingung harus melakukan apa.

"Wes cidek waktune, diluk engkas" 
(Sudah dekat waktunya, sebentar lagi)

Kalimat terakhir Dela seperti memberi isyarat tentang sesuatu.

"Jek rong ngerti" (masih belum ngerti) 

"Rambut sing di culi kancamu iku, mbok pikir opo" 
(Rambut yang di lepas temanmu kamu pikir apa)

"Rambut Dela" kata Sri menebak.

Sosok itu mengangguk, 

"Teros"

Mata Sri terbelalak mendengarnya.

"Mbok pikir aku sengojo mbujuk awakmu to" 

(Kamu pikir saya sengaja menipumu kan) 

Jek rong ngerti pisan (masih belum mengerti juga)

"Erna" kata Sri, seketika itu, Dela tertawa ia tidak pernah melihat suara tertawa semengerikan itu.

Sri kembali ke rumah tanpa Dela, langkah kakinya berat memikirkan kemungkinan yang Sri pikirkan dari tadi, dan saat ia masuk ke rumah, ia bisa melihat genangan darah.

Sri mengikuti jejak darah itu yang berakhir di kamar mereka, disana, ia melihat Dini, menutupi wajah Erna dengan kain.

"Erna mati Sri, muntah getih" 

(Erna meninggal Sri, dia muntah darah)

Sri bisa melihat wajah Erna, hidung dan bibirnya, bersimbah darah, sama seperti patung yang Erna banting, dimana di bagian kepala si patung. 

Hancur, sekarang ia tahu penyebab sebenarnya santet ini.

Sri akhirnya menjelaskan semua kepada Dini, apa yang terjadi kepada Erna, apa yang terjadi kepada Dela, apa yang di sembunyikan orang tua itu, apa yang tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.

Semuanya berujung pada pemindahan santet saja, karena mereka yang memiliki garis weton sama.

Sri mengambil boneka itu, menunjukkanya kepada Dini.

"Boneka iki, media kanggo nyantet Dela, dibulet rambute Dela ket awal, sopo sing wani mbukak rambut iki, kudu siap konsekuensi nompo santet'e Dela, masalahe, nek wong biasa seng bukak, mek nekakno nyowo dados"

(Boneka ini, media untuk mencelakai Dela, di ikat rambut Dela sejak awal, siapa yang berani membukanya harus siap menerima konsekuensi santetnya si Dela, masalahnya, bila orang biasa yang melakukanya hanya mendatangkan kematian belaka)

"Bedo maneh nek sing mbukak wetone podo karo Dela, yo iku kene, sisok mateni kene, isok ngeringano santet e Dela, aku yakin, boneka iki, gak mek siji, isok onok telu sampe sepuluh, aku gak eroh Din, tapi Erna wes dadi korban sawijine, kari awakmu karo aku"

(Beda lagi bila yang membuka boneka ini satu garis weton dengan Dela, ya itu kita, bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela, aku yakin, bonekanya gak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh, aku tidak tahu. tapi, Erna sudah menjadi korban salah satu bonekanya, tinggal kita)

"Goblok'ku, aku ra ngerti Erna bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukmane dee, nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane"

(Bodohnya aku, aku tidak mengerti kalau akhirnya Erna malah membanting bonekanya, yang sudah jadi pengganti penerimaan Santet itu, jadi bila boneka itu ikut rusak, dia juga akan menuntut balas akibat perbuatanya)

Dini yang mendengar itu, hanya diam, wajahnya kebingungan.

Malam itu, mereka lalui dengan akhir yabg tragis.

Keesokan harinya, mobil Sugik datang, Sri dan Dini sudah menunggu mereka, mbah Tamin yang pertama keluar, di ikuti Sugik si sopir, ia menggendong Dela di punggungnya, dan tampaknya, mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.

Yang tidak di ketahui mereka adalah, Erna meninggal.

Melihat hal itu, wajah mbah Tamin merah padam, ia tidak berbicara banyak, hanya mengatakan, mereka harus membawa Erna pulang kematian Erna di luar perkiraan mbah Tamin.

Namun, ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini,

Mbah Tamin menatapnya dingin. "Tutupen ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen" 

(Tutup saja mulutmu, dasar bayi, tidak tahu apa-apa, seenaknya sendiri ambil resiko)

Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu.

Tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediamanya mbah Krasa.

Sri dan Dini duduk di luar rumah, di dalam ia bisa melihat mbah Krasa tampak berbicara serius dengan mbah Tamin, entah apa yang mereka bicarakan, namun Sri tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja namun, siapkah dia dengan konsekuensi bila ia memilih pamit.

Seperti halnya dirinya, Dini pun sama, bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yang mau menerimanya.

Setelah menunggu lama, Sri dan Dini di panggil untuk menghadap mbah Krasa.

Sri dan Dini melangkah masuk, ia di persilahkan duduk, memandang wanita yang selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya.

"Aku melok sedih ambek nasih kancamu ndok" 

(Saya ikut sedih mendengar nasib temanmu) 

"Tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane sing pantes diterimo" 

(Tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yang memang pantas dia dapatkan)

"Sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku" 

(Sekarang, katakan, apa yang ingin kamu bicarakan sama saya)

"Kulo bade mundur mbah" (Saya mau mundur)

Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka.

Suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi Sri dan Dini, sebelum, mbah Krasa tersenyum.

"Boleh" (bisa) 

"Tapi, aku ra jamin nyowomu yo ndok" (Tapi aku tidak mau menjamin nyawamu ya)

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close