Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEWU DINO (Part 1)


JEJAKMISTERI - "Yakin, awakmu budal gok ibu kota, kok gak nggolek gok kene ae, idekkan, bekne onok sing butuh" 
(Kamu yakin mau pergi ke ibu kota, kenapa gak nyari sekitaran sini, yang deket aja dulu, kali aja tenaga kamu di butuhkan)

Sri terdiam, butuh waktu untuk mencerna kalimat bapak.

"Kerjo opo pak nang kene, wong Sri ae mek lulusan SD" 
(Kerja apaan pak disini, lha saya itu cuma lulusan SD) kata Sri sembari menghela nafas.

"Terus nek awakmu budal, bapak yo'opo to, sopo sing ngerawat ndok" 
(Kalau kamu berangkat, nasib bapak gimana, siapa yang nanti merawat nak)

"Nggih pak, Sri ngerti, tapi nek Sri gak budal, yo opo, ben Sri isok ngekek'i bapak duit" 
(Iya pak, Sri paham, tapi kalau Sri tidak cari kerja, bagaimana saya ngasih duit)

Sore itu, matahari mulai terbenam, sebelum, seseorang, mengetuk pintu gubuk rumah Sri.

Rupannya, itu adalah bu Menik, tetangga yang paling mampu di kampung itu, ia menyampaikan kedatangannya, mengabarkan bahwa, ada seorang penelpon dari Griya Zainah, salah satu agen penyalur pembantu, yang tempo hari, di titip'i oleh Sri bila ada yang membutuhkan tenagannya.

Sri pun bergegas, di kampung itu memang hanya bu Menik yang punya pesawat telpone, karena itu, banyak warga yang selalu minta tolong kepada beliau.

Termasuk untuk urusan ini.

Sri menjawab telpon, menyampaikan kesiapannya, ia di minta datang esok hari, ke rumah si penyalur.

Untuk sementara, Sri menunda keberangkatannya. Ia berharap, bila memang rejekinnya tidak jauh dari tempatnya tinggal, ia akan menyanggupinnya, mengingat bapak sudah tua, dan mungkin ia tidak mau jauh dari anak semata wayangnya, yang hanya lulusan SD, seperti kebanyakan anak perempuan di kampung itu.

Baginya yang sekarang Sri pikirkan adalah, ia harus mencari uang, untuk menopang kebutuhan yang kian hari semakin melejit, untuk makan sehari-hari saja sudah susah, untuk itu Sri nekat melamar untuk menjadi pembantu di rumah orang yang mampu.

langit masih gelap, namun Sri begitu antusias, meski ia janjian akan datang pukul 08.00 pagi, Sri sudah bergegas keluar rumah, saat fajar pertama sudah menyingsing tinggi.

Ia harus naik angkutan kota, kampungnya ada di pinggiran, butuh waktu 1 setengah jam untuk sampai ke kota.

Tibalah Sri di depan rumah besar itu, meski dalam bentuk rumah, namun si pemilk sudah sangat terkenal sebagai agen penyalur tenaga kerja untuk orang yg mencari jasa PRT.

Sri baru tiba, dan dilihatnya, sudah banyak sekali orang menunggu, tampaknya, Sri bukan satu-satunya yang datang, butuh waktu lama, untuk akhirnya nama Sri yang di panggil, ia masuk ke sebuah ruangan kecil, melihat si pemilik agen penyalur, lalu, ia menjelaskan bahwa kemungkinan ia butuh jasa PRT untuk satu keluarga, namun ia masih harus di seleksi, dan siang ini, si keluarga akan datang.

Namun, sebelum keluarga itu datang, si pemilik jasa bertanya pertanyaan yang membuat Sri sedikit curiga, lebih tepatnya, pertanyaannya, mengundang banyak sekali pertanyaan, salah satunnya.

"Sri, bener awakmu lahir pas dino jum'at kliwon"
(Sri, ini benar kamu lahir jumat kliwon)

Sri yang mendengar pertanyaan itu, awalnya kaget, namun dengan tergagap Sri bisa menjawabnya bila memang benar ia lahir di hari kliwon, namun ia tidak tahu bila itu, hari jumat.

Si pemilk jasa mengangguk, seakan ia menemukan apa yang ia cari, bagi Sri, itu pertanyaan aneh.

"Hayangati ya Sri" 
(Hari lahir kamu istimewa ya Sri) kata si pemilik jasa, lalu kemudian ia membawa Sri keruangan lain yang lebih besar, lebih megah, ia di minta untuk menunggu, sayangnya, sudah ada 2 orang yang sudah duduk disana lebih dahulu. Tampaknya Sri sudah lolos.

Selama berjam-jam Sri menunggu disana, ia sudah mengobrol dengan 2 orang yang duduk, namanya adalah Erna dan Dini, usiannya tidak jauh dari Sri, masih muda dan belum menikah.

Entah sampai mana mereka bicara, tiba-tiba si pemilik jasa memanggil salah satu dari mereka. Erna keluar.

Lama tidak ada kabar, Erna tidak kembali, sekarang, ganti Dini yang dipanggil, kini, tinggal Sri sendirian di ruangan itu, menunggu, entah untuk apa.

Disela kebosanannya Sri melihat-lihat lewat jendela, disana, ia melihat banyak mobil terparkir, Sri tidak melihat mobil itu tadi.

Kini, tiba giliran Sri yang di panggil.

Dengan ragu, ia keluar berjalan menuju ruangan tadi, yang sekarang ada si pemilik jasa, dengan seorang wanita yang memakai pakaian adat, kebaya, lengkap dengan sanggul, ia duduk anggun, menatap Sri dari ujung kepala hingga mata kaki.

Ia tersenyum sangat tulus, membuat Sri merasa sungkan sekali, seakan berhadapan dengan orang berderajat tinggi sekali.

Sri bahkan tidak berani melihat matannya, auranya begitu membuat Sri merasa kecil sekali.

"Ayu ne" (cantik sekali) ucapnya, nada suarannya sangat halus.

Sri di minta untuk duduk, kemudian si pemilik jasa memperkanalkan siapa wanita anggun itu, yang rupannya adalah pemilik rumah makan yang saat itu terkenal sekali seantero jawa timur..

Sebegitu terkenalnya. kekayaannya tidak perlu lagi di pertannyakan. semua itu, membuat terkejut.

Namannya, Kembang Krasa, meski itu hanya semacam gelar, namun Sri tahu arti nama itu, yang berarti Bunga Krasa, bunga yang wanginya dulu sudah melegenda, sebelum di tumpas, untuk menyingkirkan balak di atas gunung I***, saat bangsa lelembut masih mendiami tanah jawa.

Semua orang disini tahu cerita itu, Sri hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu.

"Angkaten sirahmu ndok, ra usah wedi ngunu, mbah ki wes tuwek, ra usah hormat koyok ngunu" (Angkat kepalamu nak, tidak usah takut begitu, mbah ini sudah tua loh, tidak perlu sehormat itu)

Sri hanya mengangguk, ia tidak membuang rasa segannya, seperti yang di perintahkan. Tibalah saat, mbah Krasa, mulai mengajukan beberapa pertanyaan yang sama.

Mulai dari lahir, weton, penanggalan yang bahkan Sri bingung menjawabnya. puncaknya, saat ia menyentuh tangan Sri, ia tersenyum

"Ndok, gelem kerjo ambek mbah" 
(Nak, kamu mau kerja sama saya) Sri mengangguk.

"Jalok piro, bayaranmu sak wulane" (Kamu minta berapa untuk gajimu dalam sebulan?) tanya mbah Krasa.

Sri bingung menjawabnya, kemudian, dengan gugup, ia mengatakannya. "700 ewu mbah, nek saget"
(700 ribu nek, kalau bisa)

Sri sempat melirik wanita itu, ia tetap anggun dengan senyumannya. "700 ewu" (700 ribu) katannya. 

"Yo opo, nek tak kek'i sak wulane, 5 yuto" (Bagaimana bila, setiap bulan, ku kasih kamu 5 juta)

Sri kaget bukan maen, gaji PRT tahun itu cuma 500 ribu.

Sri pun setuju, ia tidak tahu harus mengatakan apa, bahkan ketika si wanita sudah pergi..

Si pemilik jasa tidak akan memungut uang sepersen pun dari Sri, hal ini membuat serentetan kejadian ini menjadi semakin aneh.

Pekerjaan macam apa yang di gaji setinggi itu. Sri mulai ragu.

Ia pulang, menceritakan sama bapak, namun, bapak mengatakan hal yang sedari tadi di pikirkan Sri.

"Firasat bapak kok gak apik yo ndok, opo gak usah budal ae, golek maneh ae" (Firasat bapak kok buruk ya, apa gak usah aja, cari yang lain)

Namun Sri meyakinkan, bahwa ia harus kerja

Kapan lagi, ia mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi itu.

Dalam hati kecil Sri, ia ingin melihat terlebih dahulu, pekerjaan apa yang di berikan kepadanya, keesokan harinnya, ia pergi ke rumah mbah Krasa, disana ia melihat Erna dan Dini, mereka sama-sama terkejut satu sama lain, seperti sebelumnya, mereka di panggil satu persatu, hingga tiba giliran Sri, kali ini ia melihat semua anggota keluarga mbah Krasa.

Ada 7 orang yang kesemuannya duduk memandang Sri, sama seperti sebelumnya, mereka seperti mengamati Sri dari ujung kepala, hingga mata kaki.

"Ngeten mbak, kulo bade tandet, sampean purun, nyambut ten mriki, soale onok pantangane, nak sampeyan purun, pantangane ra isok di cabut maneh" 
(Begini mbak, saya mau tanya dulu, anda setuju bekerja disini, karena ada larangan keras bila anda sudah menerimannya, larangannya tidak akan bisa dicabut) kata seorang wanita yang lebih muda. Umurnya berkisar sekitar 30an.

"Larangan nopo nggih mbak" (larangan seperti apa ya mbak?)

Sri bisa melihat gelagat aneh, karena mereka saling memandang satu sama lain, seakan pertanyaan Sri tidak perlu mereka jawab.

Mbah Krasa berdiri dari tempatnya, ia lalu berbisik pada Sri "Uripmu bakal dijamin, nek awakmu gelem ndok, tapi nek awakmu gak gelem, mbah gak mekso" 

(Hidupmu akan terjamin bila kamu mau, tapi saya tidak mau memaksa kalau kamu tidak mau)

Tidak ada jawaban dari pertanyaan Sri.

Namun, Sri memberi jawaban pada saat itu juga.

"Nggih, kulo purun" (iya, saya mau)

Sri pun melangkah pergi, ia menemui Dini dan Erna, rupannya, mereka semua diterima bekerja disini?

***

Malam itu. ketika mereka semua sudah datang di rumah ini. Tampak mbah Krasa sudah menunggu bersama anggota keluarga lain, disini ia menjelaskan bahwa mereka bertiga akan di tugaskan di sebuah rumah lain, sebuah rumah yang sangat jauh, jauh sekali, rumah di dalam sebuah hutan.

Sri dan yang lain bingung, tidak ada penjelasan ini sebelumnya, namun, mereka sudah berjanji mau menerima pekerjaan ini.

Rumah macam apa yang di maksud, Sri tidak mengerti, ada sebuah mobil yang sudah siap mengantar mereka, disana sopir mereka, akan menjelaskan pekerjaannya.

Mobil sudah bergerak, Sri, Erna dan Dini, masih terlihat kaget, satu sama lain tidak ada yang bicara, bingung..

Sri memberanikan diri bertanya kepada sopir, namun sopir, memberi isyarat bahwa mereka tidak boleh bicara terlebih dulu, seakan-akan mereka di buntuti sesuatu.

Ada kejadian menarik yang membuat Sri semakin curiga, setiap persimpangan si sopir berhenti mengambil sesuatu dari belakang, meletakkannya di tengah jalan, seperti bunga di dalam kotak yang terbuat dari daun pisang.

Hal itu menimbulkan kecurigaan apa yang sebenarnya ia lakukan.

Hal itu terus menerus dilakukan, sampai akhirnya, mobil sudah meninggalkan kota, jauh, dan perlahan mulai memasuki area hutan, jam menunjukkan pukul 12.00 malam, saat kegelapan hutan, mulai menyelimuti mereka tidak terbayangkan, bahwa mereka akan tinggal di dalam hutan segelap ini.

Kiri kanan pepohonan, dengan semak belukar, Mobil terus berjalan, sampai tiba di sebuah jalan setapak, perlahan mobil melesat masuk, diatas jalan setapak yang di tumbuhi rumputan liar, mobil terus menerabas memaksa masuk.

Sri dan yang lain mulai merasa tidak nyaman dengan ini.

"Pak bade ten pundi niki, kulo mboten di pateni kan" (Pak, kita mau kemana, saya tidak akan di bunuh kan?) tanya Dini.

Si sopir hanya tersenyum, tetap memaksa mobil menembus sela pepohonan seakan mencari jalan di tengah gelap hutan yang di penuhi kabut di sepanjang jalan.

Setelah jauh masuk ke dalam hutan, mobil berhenti di sebuah semak dan pohon yang tidak lagi bisa di lalui mobil, ada kejadian aneh dimana ada satu pohon yang tidak terlalu besar tumbang begitu saja, si sopir keluar dari mobil, menyingkirkan pohon tumbang itu dan darisana ada jalan, setelah melewati jalan yang naik turun, mereka sampai di sebuah rumah gubuk, terbuat dari kayu yang di susun serampangan, atapnya tidak terlalu tinggi, terlihat sangat kumuh, bahkan lebih kumuh dari rumah Sri, darisana, muncul seorang pria tua, yang seperti sudah menunggu mereka semua.

Sri dan yang lain turun, kemudian si sopir menjabat tangan si pria tua, mencium tangannya sebelum memperkenalkan Sri dan 2 orang lainnya.

"Mulai tekan kene, bapak iki sing jelasno kabeh" (Mulai dari sini, si bapak yang akan menjelaskan semua)

Tampak dari luar bapak itu sudah tua, bahkan carannya berjalan saja seperti kewalahan menyangga badannya sendiri.

Ia tidak bicara banyak, hanya memperkenalkan namannya, pak Ageng, katannya..

Lalu, ia mengajak Sri dan yang lain masuk ke rumah itu, ia menunntunya masuk ke kamar, disalah satu kamar itu, Sri dan yang lain, kaget bukan maen, karena tepat di atas ranjang, ada sebuah peti mati, keranda mayat, di dalamnya, ada seorang gadis yang mungkin masih SMU, masih muda, ia memejamkan matannya, di badannya, ia melihat nanah busuk dan garis lebam hitam, siapa?

"Nami kulo Tamin, kulo ngertos, akeh sing kepingin njenengan-jenengan takokno, enten opo sing kedaden nang kene" 
(Nama saya Tamin, saya mengerti, pasti banyak yang ingin kalian tanyakan tentang apa yang barusaja kalian lihat disini)

Si pria tua itu membungkuk, sebelum melangkah keluar kamar.

"Onok opo asline nang kene" (Ada apa sih sebenarnya ini) kata Dini, ia tidak bisa mengalihkan pandanganya pada gadis itu.

Matanya terpejam, di kurung oleh bambu kuning yang di bentuk menyerupai keranda mayat..

Sri dan yang lain yakin, ada sebuah rahasia di tempat ini, namun apa itu!
Saat-saat kebingungan itu Sri melangkah mundur, ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yang entah siapa dan kenapa ada disini, ia berniat mencari tahu dan bertanya langsung kepada sopir yang mengantar mereka, sampai, langkahnya terhenti menakala, ia mendengar si sopir berbicara.

"Gik, opo gak onok sing jelasno nang cah iku mau, kerjo opo nang kene, kok koyok'ane kaget ngunu" 
(Gik, apa gak ada yang ngasih tau mereka, pekerjaan apa yang sebenarnya di janjikan disini, kok tampaknya mereka terkejut sekali)

Si sopir mulai bicara. "dereng mbah, ngapunten"
(Belum mbah, maaf)

"Awakmu langsung balik tah, gak mene a?" (loh, kamu mau langsung pulang tah, apa gak besok saja) tanya si mbah.

"Mboten mbah, mbenjeng kulo kudu ngantar ibuk" (Tidak mbah, besok saya harus mengantar ibu)

"Yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku"
(Ya sudah, hati hati, takutnya ada itu)

"Iku" batin Sri, apa maksud kalimat itu, apa yang mengikuti sebenarnya, dan ada apa semua ini, banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri, sebelum si mbah tiba-tiba bicara.

"Metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu" 
(Keluar saja nak, saya tau kamu ada disitu)

Sri melangkah keluar, melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang.

"Celuk'en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo kabeh onok nang kene" 
(Panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada disini)

Sri pun memanggil yang lain.

Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk, sementara Sri dan yang lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.

Suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini.

"Aku isih iling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso" 
(Aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa) 

"Koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!" 
(Seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!) 

Wajah mbah Tamin menegang, kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yang lain begidik ngeri.

"Cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar"
(Anak kecil itu Dela, dia yang di kamar)

"SANTET?" ucap Sri dan yang lain bersamaan.

Wajah Sri dan yang lain semakin menegang

"Iyo, mangkane, cah iku di gowo nang kene, disingitno ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane" 
(Iya, karena itu dia di sembunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya)

"Disingitno tekan sinten mbah" 
(Di sembunyikan dari siapa mbah?) tanya Sri, yang semakin tertarik, seakan semua yang ada disini membuatnya penasaran.

Mbah Tamin menatap Sri, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"Akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae"
(Banyak yabg tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja)

Suasana menjadi hening sesaat, mbah Tamin mengambil sebuah kotak, mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat, asap mengepul dari mulutnya.

"Sak iki, tak uruki tugas'e njenengan kabeh yo" 
(Sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini)

Mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yang lain mengikutinya. 

Ia berjalan disamping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yang di susun, memang rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yang hanya dari lampu petromax, selain itu, kegelapan, ada dimana-mana.

Ia berhenti tepat di belakang rumah, ada sebuah pagar bambu, dimana di dalamnya, ada sebuah sumur, disana tempat untuk mandi, dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini, termasuk untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yang terbaring tak bergerak.

Hanya Sri yang berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu, entah apa dan kenapa, Sri seakan tahu cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa, hal itu membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua.

"Iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo" (iya, cara memandikanya, memang berbeda, ada tata caranya, salah satunya, bunga 7 rupa)

Mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus, dimana, ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempah.

Dengan cekatan, mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur, lalu ia melihat Sri, Dini dan Erna hanya mengamati saja

Ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela, Sri menuruti apa kata mbah Tamin.

Walau sebenarnya ia bingung, kenapa Dela harus diikat, setelah Sri menyelesaikan tugasnya, mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu, ia mulai membasuh badan Dela..

Sri ikut membantu dan disana, Sri menemukan fakta mengejutkan lain, perut Dela, membesar seperti mengandung..

Sri yang membasuhnya, menatap mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget, namun mbah Tamin tampak mengerti apa yang ingin Sri tanyakan, setelah selesai dengan semua itu, Keranda kembali di tutup, dan kain yang mengikat Dela di lepas satu persatu.

Mbah Tamin melangkah pergi.

"Mbah" kata Sri, mengejar mbah Tamin, di belakangnya ada Dini dan Erna yang tidak tahu apa yang baru Sri lihat.

"Engkok, tak ceritani, nek awakmu wes siap" 
(Nanti saya ceritakan kalau kamu sudah siap saja) kata mbah Tamin.

"Tugasmu kabeh, ngurus Dela" 
(Tugas kalian mengurus Dela)

Sudah 3 hari berlalu, Sri, Dini dan Erna, bergantian mengurus Dela, mulai memandikanya, memberinya minuman, gadis itu lebih seperti gadis yang tengah koma di bandingkan gadis yang di santet entah oleh siapa dan bagaimana latar ceritanya, masih terlalu awam untuk tahu, pikir Sri.

Entah sudah keberapa kali, Sri mendengar Erna dan Dini berbicara tentang Dela, berbicara tentang bau busuk yang keluar dari tubuhnya, sampai kalimat tidak menyenangkan lainya saat mereka tinggal di tempat ini, dan betapa misteriusnya lelaki tua bernama Tamin itu, Sri memilih diam, namun di luar semua itu, sebenarnya Sri sama seperti yang lain, aroma busuk itu, benar-benar menganggunya..

Selain itu, hidup disini sangat berat, tidak ada orang lain, kiri kanan hanya pohon liar, seakan mereka tinggal di dunia yang berbeda.

Suatu sore, mbah Tamin pamit, ia akan pergi, ia berpesan kepada Sri dan yang lainya, untuk tetap menjalankan tugasnya, dan tidak melupakan pantangan yang sudah ia ucapkan, salah satunya, untuk tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu.

Tidak lupa, mbah Tamin juga berpesan untuk tidak membukakan pintu, pada malam ini.

Siapapun dan bagaimanapun, jangan membuka pintu, ucap mbah Tamin, sebelum ia pergi, melangkah menembus pepohonan hutan.

Sri yang mendengarnya, merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu.

Hari sudah gelap, Sri menutup pintu dan jendela, lalu pergi ke kamar, disana ia melihat Dini sudah tidur, di sampingnya Erna tengah meringis menahan sakit.

"Koen kenek opo Er?" (kamu kenapa Er) tanya Sri.

"Sri, aku oleh jaluk tulung" (Sri, aku boleh minta tolong tidak)

"jalok tolong opo?" (minta tolong apa?)

"Engkok bengi, wayahku ngadusi Dela, isok mok ganteni, mene, wayahmu tak ganteni" 
(Malam ini giliranku memandikan Dela, bisa kamu gantikan, besok, ganti aku yang gantikan kamu)

Awalnya Sri keberatan, namun melihat kondisi Erna, Sri setuju.

Setelah menerima permintaan Erna, Sri bersiap mengambil air, ia lupa, bahwa air di gentong dapur sudah habis, terpaksa ia membuka pintu, bersiap untuk menimba air dari sumur.

Meski awalnya ragu, Sri mematung di depan pintu, lalu, perlahan membukanya, lalu keluar, entah perasaan tidak enak macam apa yang Sri rasakan, malam ini lebih hening dari biasanya, tidak terdengar suara binatang malam, seakan membawa ketakutan Sri yang selama ini ia tahan menyeruak keluar.

Sri melangkah keluar, ia cepat-cepat pergi ke sumur, menimbanya, lalu kembali, tapi..

Dari sudut mata Sri, jauh di salah satu pohon besar di samping pagar bambu kamar mandi, Sri melihat ada wajah yang mengamati..

Saat Sri menatapnya, wajah itu menghilang, Sri terdiam cukup lama, namun, ia tetap melanjutkan tujuanya..

Ia harus cepat melakukan tugasnya.

Sri segera menimba air dengan cepat, tidak lupa matanya awas menatap sekeliling, seakan ia sedang di kejar sesuatu, setelah semua selesai, Sri berlari dan mengunci pintu, perasaan lega langsung di rasakan oleh Sri. Kini ia melangkah menuju kamar Dela.

Sri meletakkan airnya, taburan kembang sudah ia lakukan, kini Sri membuka keranda Bambu kuning, mulai membasuh tubuh Erna dengan handuk kecil, ia masih tertuju pada perut besarnya, yang kata Erna, di hamili oleh mbah Tamin, namun Sri tidak percaya, ia selalu menyangkal ucapan itu.

Sri terus membasuhnya, hingga sampai ke tanganya yang penuh luka borok, disana, Sri terdiam, ia lupa belum mengikat tangan dan kaki Erna, saat Sri baru menyadarinya, ia menatap Erna, membuka mata, tersenyum menyeringai, melotot menatap Sri.

Dela..

Kaget, Sri beringsut mundur, namun Dela mencekik leher Sri kuat-kuat, ia mengangah, menunjukkan gigi hitamnya yang membusuk.

Terjadi pergulatan hebat antara Sri dan Dela, Sri hanya berusaha melepaskan cekikan Dela yang kuat sekali, membuatnya hampir meregang nyawa.

"Sopo koen ndok?" (siapa kamu nak?) tanya Dela, suaranya berat, nyaris menyerupai suara seorang wanita tua.

"nang ndi iki ndok?" (Dimana ini nak)

Sri masih mencoba melepaskan cengkraman kuat itu, namun Dela, terus menyeringai, air liurnya menetes, matanya putih, ia tersenyum.

"Jawab nek di takoni ndok" (jawab kalau di tanya!!)

"Sinten njenengan" (siapa anda) tanya Sri terbata-bata, nafasnya mulai sesak.

Dela tertawa semakin keras, membuat Sri menangis ketakutan, sebelum Erna masuk ke kamar karena keributan itu, ia bingung, melihat Dela terbangun.

"Onok opo iki Sri, kok Dela kok Dela" 
(Ada apa ini sri, kenapa Dela, kenapa Dela) 

Bingung, Dela menyeringai melihat Erna sebelum akhirnya melepaskan cekikan itu, ia melompat ke atas ranjang, merangkak kemudian seakan tertawa kegirangan, Dela berteriak, "cah kliwon kabeh"

(Ternyata anak kelahiran kliwon semua)

Dela masih tertawa, Sri beringsut mundur, sementara Erna masih bingung dan shock, melihat wajah Dela yang semengerikan itu..

Dela terus melihat Sri dan Erna bergantian. "Percuma, sewu dinone arek iki bakal entek" (percuma, seribu harinya-anak ini akan segera habis)

"Koen kabeh mek dadi tumbal gawe cah iki" 
(kalian hanya jadi tumbal untuk anak ini) 

Dela tertawa terus menerus, sebelum Sri melompat dan mencengkram Dela, ia mengguyur Dela dengan air kembang itu, Dela berteriak kesakitan,

"Koen lapo!! jupukno Tali ireng iku" 
(Kamu ngapain!! ambilkan tali hitam itu) 

Teriak Sri pada Erna, Erna yang sempat kebingungan, bergegas mengambil tali itu, Sri mengikatnya tepat di lehernya.

"Onok opo iki Sri" (Ada apa ini Sri)

Erna ikut menahan tubuh Dela yang meronta sebelum akhirnya Dela menjadi tenang, dan ia kemudian tertidur kembali.

Sri baru mengikat tali itu dengan benar, ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya, menutupnya dengan keranda bambu kuning.

Wajah Erna dan Sri masih tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi.

Erna mulai menangis. "Aku kepingin muleh" 
(Aku ingin pulang)

Sri tidak berkomentar, ia sadar bahwa sekarang, ia juga ingin pulang, hanya saja bila bukan karena sudah terikat dan pasti ada resiko yang sudah menunggu bila mereka pulang, lantas, apa yang di sembunyikan oleh si mbah..

Sri menceritakan semuanya kepada Erna, ia lalai dalam menjalankan tugasnya, karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tanganya terlebih dulu.

Namun gara-gara itu, Sri menyadari, Santet macam apa, yang memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa.

Sri jadi ingat cerita bapak, Santet bukan hal baru disini, namun, untuk melaksanakan santet di butuhkan kebencian yang melebihi akal, bila benar itu, kebencian macam apa yang bisa dan setega ini dilakukan oleh orang, hanya untuk mengambil nyawa dari anak yang tidak tahu apa-apa.

Namun di balik semua itu, santet ini adalah kali pertama Sri lihat, seperti ada teka-teki, seakan ada yang di tutupi, 

Pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya, namun apa, Sri tidak tahu apapun dari keluarga ini, dan kenapa anak ini sebegitu berharganya, sampai, Sri teringat.

"Sewu dinone" 
(Seribu harinya) kata Sri lirih, ia melirik menatap Erna.

"Er, ojok ngomong awakmu lahir jumat kliwon" 
(Er jangn bilang kamu lahir di hari jumat kliwon)

(Erna yang mendengarnya, kaget "awakmu pisan?) (kamu juga)

Sri merasa ngeri, sekarang ia tahu sesuatu, namun, ada satu lagi yang harus ia cari kebenaranya, bila benar, pertanyaanya lengkap, begitupun jawabanya.

Tidak hanya Dela yang hidup di ujung maut, tapi mereka bertiga semua terjerat dalam satu garis weton yang sama.

Sejahat itu keluarga ini, untuk harga nyawa mereka semua lalu, terdengar suara orang mengetuk pintu.

Erna pun sama, ia langsung berdiri.

"Mbah Tamin muleh Sri, ayo takon mbah asu iku, pokoke kudu di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki" 
(Mbah tamin pulang Sri, ayo kita tanya orang tua anj*ng itu, dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak gila ini"

Erna pergi,

Sri baru ingat pesan mbah Tamin, ia langsung bergegas bersiap menghentikan Erna..

Sri lari mengejar Erna, untungnya, ia masih sempat mencengkram lengan Erna, mereka terdiam di depan pintu rumah.

Suara ketukan itu, terdengar lagi, setiap ketukanya, terdiri dari 3 ketukan, semakin lama, ketukanya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.

sampai, tidak ada ketukan lagi.

Erna dan Sri saling berpandangan, bingung, keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu, sebelum sesuatu, menggebrak pintu dengan keras, hingga membuat mereka tersentak, mereka hanya diam berusaha tidak bersuara, lalu dari belakang, seseorang melangkah masuk.

Dini, melihat 2 temanya, terlihat kacau balau, ia bingung, kemudian berujar, "ga krungu mbah Tamin nyelok ta, ndang di bukak lawange" 

(Kalian gak denger mbah tamin manggil, buka pintunya)

"He, ojok ngawor koen" 
(Jangan ngawur kamu) celoteh Erna, namun Dini memaksa, bahkan Sri yang memegang tanganya, Dini pelototi, sampe akhirnya mereka mengalah..

Dini membuka pintu, disana, mbah Tamin berdiri, ia hanya diam, menatap mereka semua, sebelum melangkah masuk ke rumah, anehnya. Malam itu, wajah mbah Tamin tampak merah padam, ia tidak berbicara kepada mereka, tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung di buka padahal ia sudah memanggil-manggil daritadi.

Namun, Sri merasa, mbah Tamin tahu, bahwa ia baru saja lalai terhadap Dela.

Sri dan yang lain, mengikuti mbah Tamin, beliu masuk ke dalam kamar Dela, lalu perlahan ia membuka keranda bambu kuning, ia membukanya, kali ini, tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan ingin mengulang kesalahan Sri.

Hanya Sri dan Erna, yang memandang hal itu dengan ngeri.

Sri mendekat perlahan, seakan ingin melihat lebih dekat apa yang orang tua itu lakukan, lalu, tiba-tiba mata Dela terbuka, ia melihat mbah Tamin, menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.

"Loro ki, loro"
(Sakit ki, sakit sekali)

Dela hanya menangis.

Mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela, berusaha menenangkanya, pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yang saling mengasihi, namun Sri masih belum mengerti, kenapa, seakan Dela yang ini berbeda dengan Dela yang Sri dan Erna temui tadi.

Apa yang terjadi sebenarnya?

"Sing sabar yo nduk, mari iki puncak lorohmu" 
(Sabar ya nak, sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu) ucap mbah Tamin, ia masih mengelus rambut Dela.

Lalu, Dela melirik, Sri dan yang lain yang hanya diam mematung, tatapanya, seakan mengucapkan.

"Terimakasih sudah mau merawat saya"

Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan tali Dela, tergambar wajah sedih disana, ia masuk ke dapur, mengambil sebuah kain putih besar, saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras, ia berulang kali mengatakan.

"Ojok ki, ojok balekno aku nang kono" (jangan ki, jangan kembalikan saya kesana)

Namun, mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu, menutupi sekujur tubuh Dela yang meronta-ronta, terakhir mbah Tamin membakar kemenyan, sebelum memegang, kepala Dela, dan terdengar, suara raungan yang mengguncangkan seisi rumah itu.

Sri dan Erna sampai beringsut mundur, sosok didalam kain itu terus meraung layaknya iblis yang Sri saksikan tadi, kali ini Dini tampak terguncang, bingung, ada apa sebenarnya disini.

Terdengar suara marah dari dalam kain. Ia adalah wujud tadi yang Sri saksikan..

"Menungso bejat" (Manusia berengsek)

Mbah Tamin terus menekan kepalanya, membuat suara itu semakin menjerit marah, setelah kurang lebih 5 menit mbah Tamin melakukan itu, perlahan sosok itu mulai tertidur, dan mbah Tamin membuka kain itu, ia melihat Dela memejamkan matanya.

"Sri, Erna, melok aku" 
(Kalian ikut saya) kata mbah Tamin memanggil mereka, sementara Dini tetap di kamar, hanya dia yang belum mengerti apa yang terjadi disini.

Mbah Tamin duduk di teras rumah, kegelapan hutan benar-benar mencekam kala itu, Sri dan Erna berdiri, menunggu sebelum mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan..

"Awakmu isok ndelok ikuh" 
(Kalian bisa melihatnya)

"Nopo to mbah" 
(Apa ya mbah) kata Sri, bingung.

"Mrene" (Kesini)

Mbah Tamin, menempelkan jemarinya, menekan mata Sri, sengatan ketika mbah Tamin menekan mata Sri, membuat pengelihatanya memudar perlahan, setelan mencoba memfokuskan matanya, Sri melihat lagi apa yang di tunjuk mbah Tamin.

Bagai petir di siang bolong, Sri melihat banyak sekali makhluk yang tidak bisa dia gambarkan kengerianya, mungkin ada ratusan atau ribuan, seakan mengepung rumah, butuh waktu lama sampai Sri akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya sehingga mbah Tamin menutup kembali pengelihatan itu, mencabut sesuatu dari ubun-ubun Sri.

Dengan mata menerawang, ia mengatakan kepada Sri.

"Sedo bengi mangkuk nang rogo iku ngunu undangan gawe lelembut"
(Raga yang di buat mati adalah sebuah undangan bagi makhluk seperti mereka) kata mbah Tamin.

"Awakmu lali, perintahku Sri, iku ngunu bahaya, isok mateni Dela, ojok sampe lali maneh yo Sri" 
(Kamu lupa dengan perintahku, itu sangat berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan ulangi ya)

Erna yang sedari diam saja, ia ikut berbicara. "Mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh Sri" 

(Mbah tolong kasih tahu, apa yang terjadi sama Dela, kok bisa bisanya, dia mau bunuh saya dan Sri)

Mbah Tamin duduk lagi, lalu mengatakan "berarti wes ndelok"
(Berarti kamu sudah lihat)

"Iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok, mergane cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo, Santet sewu dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati"

(Itu adalah Cayajati, yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa karena ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami isteri, santet seribu hari, hanya di miliki oleh orang yang siap menanggung dosa, dan siap mati bersama)

Sri dan Erna masih terlihat bingung, ia tidak mengerti.

Mbah Tamin menerawang jauh, menatap sisi hutan tergelap yang Sri saksikan dengan mata kepala sendiri, mereka tidak sendirian di hutan ini.

Dengan suara berat, mbah Tamin mengatakanya.

"Terlalu awam, kango ngerti iki" 
(Terlalu awal untuk mengerti ini)

"Intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual, kanggo mateni sak keluarga sampe sekabehe keturunan iku entek" 

(Intinya, ilmu santet seribu hari, adalah pembuka ritual, untuk menghabisi satu garis keluarga sampai habis keseluruhanya)

Setelah percakapan itu, mbah Tamin melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya, membiarkan semua kejadian itu, meluap, begitu saja.

Dengan pertanyaan besar, yang masih menggantung di atas pikiran Sri dan Erna?!

Pagi itu, sekitar pondok, kabut tebal menutupi seluk beluk hutan, membuat pandangan mata terbatas, sejak fajar menyingsing..

Sri dan Dini sudah ada di sumur, mencuci pakaian untuk keseharian mereka, sedangkan Erna, tengah membasuh Dela didalam kamar.

Sampai, terdengar langkah kaki..

Sri yang pertama mendengarnya.

ia berdiri untuk melihat, dari jauh, sosok hitam muncul dari balik kabut. perawakanya familiar.

Denah pondok rumah, memang sederhana, dari teras maupun kamar mandi, bisa melihat keseluruhan area sekitar, sehingga, sosok mendekat itu, terlihat jelas..

Semakin dekat sosok itu, Sri semakin yakin, dan benar saja, ia mematung sesaat, sebelum Dini ikut berdiri dan melihat apa yang membuat Sri tampak tercekat dalam ekspresi wajahnya..

Manakala, ia melihat, mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yang letih.

Ketika mbah Tamin berdiri di depan Sri, ia seraya bertanya, apakah petuah beliau sudah di jalankan.

Sri hanya diam, bibirnya gemetar, Dini lah yang berinisiatif mengambil situasi, ia berucap lirih.

"Mbah, sampeyan mambengi mboten mantok ta" 
(Mbah, bukanya semalam, anda pulang)

Mbah Tamin yang mendengar itu, tiba-tiba mengejang, otot wajahnya mengeras, lantas memandang Sri dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapanya.

"Awakmu gak wes tak kandani ta, ojok MBUKAK LAWANG"
(Bukanya, kamu sudah tak kasih tau, jangan BUKA PINTUNYA)

Terjadi ketegangan dalam situasi itu, sampai, tiba-tiba, mbah Tamin mencengkram leher Sri, Dini yang melihat itu panik.

"SOPO SING MOK OLEHI MELBU OMAH, NANG NDI MAKHLUK IKU!!" 
(SIAPA YANG KAMU IJINKAN MASUK, DIMANA SEKARANG DIA BERADA)

Dini, mencoba menahan tangan mbah Tamin..

Sri hanya membuang muka, ia sudah gemetar ketakutan.

"Nang kamar njenengan mbah, tiange mlebet mriku" 
(DI kamar anda mbah, dia masuk kesitu) ucap Dini.

Mbah Tamin sempat melirik Dini dengan wajah marah, sebelum, bergegas masuk ke rumah, setengah berlari seakan ingin melihatnya.

Sri dan Dini ikut mengejar, bahkan, mereka sempat melihat Erna yang terdiam mematung, seakan kaget melihat mbah Tamin muncul dari luar rumah.

Padahal ia tahu betul, si mbah belum keluar dari kamarnya sejak semalam masuk kesana.

Tepat ketika, mereka sampai disana, mereka melihatnya.

Seseorang mengobrak abrik kamar mbah Tamin, semua barang mbah Tamin berantakan, namun yang membuat semua orang tercengang adalah, di atas ranjang tempat tidur beliau, ada patek.

(Nisan dari kayu) yang tertulis nama "Atmojo"

Nama keluarga tempat mereka mengabdikan diri. Krasa Atmojo.

Cukup lama bagi mbah Tamin, memeriksa benda itu tanpa melihat Sri dan Dini, si mbah berucap "opo sing di lakoni nang kene mambengi ndok" 

(Apa yang dia lakukan saat ada disini semalam)

Sri kali ini yang bicara, ia mengatakan semuanya, termasuk Dela, mimik wajahnya berubah, ia diam sebelum, akhirnya berjalan menuju Dela.

Mbah Tamin melihat anak gadis itu, masih terlelap dalam tidurnya, ia membelainya layaknya anak gadisnya sendiri, sama seperti sosok yang ia lihat semalam.

Siapa sosok itu sebenarnya. Sri terlihat berpikir, seakan mencari tahu jawaban itu.

Setelah hari itu mbah Tamin mengatakan, ia akan lebih sering keluar rumah, pesanya sama seperti dulu, jangan bukakan pintu manakala hari sudah petang.

Sri, Erna dan Dini, mengangguk, pertanda mengerti, namun perlahan semua mulai memikirkan itu, kemana si mbah sebenarnya.

Sri, Erna dan Dini masih melakukan tugas mereka, secara bergantian sama seperti biasanya.

Sampai suatu pagi, si mbah belum juga pulang. Ini aneh, Dini dan Erna, ada di sumur, mereka sedang mencuci pakaian, saat itu Sri baru saja melaksanakan tugasnya, membasuh Dela.

Tidak ada yang berubah dari gadis itu, sebenarnya bila saja Dela tidak di jahati seperti ini, dia melihat sosok gadis muda yang cantik jelita, tidak hanya itu perawakanya memang layak menjadi dambaan bagi pria manapun, namun nasib seperti mempermainkanya, Sri merasa bersimpati.

Manakala ia selesai melaksanakan tugasnya, tiba-tiba terpecik pikiran penasaran, selama ini, bila di pikir-pikir ia belum pernah masuk ke kamar mbah Tamin, hanya melihatnya dari luar, kira-kira apa yang orang tua itu simpan di dalam kamarnya.

Setelah melihat dan memastikan tidak ada orang disana, ia membuka pintu itu, yang memang tidak di kunci. 

Sri melangkah masuk, melihat kamar mbah Tamin, tidak ada yang istimewa, selain benda yang sama, yang ia temui di dalam kamarnya, lalu mata Sri tertuju pada sebuah almari tua.

Ia menemukan pakaian mbah Tamin, tidak ada apapun disana, bahkan di antara selipan almari, dari atas hingga bawah. 

Lalu,, mata Sri tertuju pada sebuah meja yang sudah usang, disana, ada sebuah laci kecil, dengan jantung berdegap kencang..

Sri membukanya, kemudian, melihat isinya.

Disana, ia menemukan pasak jagor.
(Boneka isi rumput teki) 

Bentuknya sudah sangat berantakan akibat di cabik dan di tusuk, masalahnya, Sri tahu benda apa itu, itu adalah benda yang sering di gunakan untuk media santet, apa yang sebenarnya orang tua itu lakukan.

Tidak hanya itu saja, ada beberapa benda lain, sebuah cincin akik dengan batu merah, dan terakhir, sebuah foto yang usang, dibelakangnya tertulis 

"keluarga Atmojo" 

Ketika Sri memperhatikan foto itu, ia memekik ngeri, ada mbah Krasa dan seluruh keluarganya yang pernah ia lihat.

Kaget, takut dan merinding, itu yang Sri rasakan, cepat-cepat ia mengembalikan semuanya, menutup laci itu lagi, kemudian melangkah keluar, saat Sri membuka pintu, ia tersentak, melihat Erna dan Dini menatapnya kaget.

"Lapo koen" (Ngapain kamu)

Sri terdiam, ia berusaha tetap diam.

"Gak popo, aku di kongkon si mbah, mberseni kamare mambengi" 
(Semalam, si mbah nyuruh saya bersiin kamarnya)

Meski curiga, Erna dan Dini menerima alasan Sri, ia melewatinya begitu saja, namun perasaan Sri pagi itu, sudah porak poranda dengan pemikiran-pemikiran gilanya.

Sejak hari itu, setiap kali berpapasan dengan si mbah, Sri seperti terguncang, ia tidak bisa menutupi ketakutanya, namun dari cara melihat si mbah, tampaknya beliau tau sesuatu dan itu, membuat Sri tidak tenang.

Ia seringkali merasa, mbah Tamin memperhatikan gerak geriknya.

Tapi malam itu, Sugik, sopir yang mengantar mereka datang, ia berbicara empat mata dengan mbah Tamin, seakan ada sesuatu yang mendesak, wajah mbah Tamin tampak mengeras, Sri begitu penasaran, namun kali ini, ia menahan diri sampai akhirnya, pembicaraan itu selesai, si mbah mendekat.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close