Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH MUKTI (Part 4)


JEJAKMISTERI - Aku hanya mencerna apa yang sebenarnya yai darwan inginkan dari penekanan pertanyaan dari itu..

"Hloo aku pancen ketemu karo warga kono yai, malah aku diwenei wejangan-wejangan urip sing tak pikir iku apik kanggoku karo arek-arek liyane sing sak pantaran karo aku yai, sakjane panjenengan kate takon opo sih nang aku yai?" (Hloo aku memang bertemu dengan warga disana yai, malah aku di beri petuah-petuah kehidupan yang aku pikir itu bagus untukku dan anak-anak lain yang sepantaran denganku yai, sebenarnya jenengan mau tanya apa dariku yai?) Ucapku sembari menggaruk-garuk kepala tanda tak berketombe..

Suno hanya diam seribu bahasa, dan beberapa kali melirik hendro yang masih duduk di tanah itu..

"Ngene le.. sejatine warga dusun kono iku gak jahat, tapi terkenal sakti mondroguno.. sopo ae kepingin ketemu karo dusun iku, tapi gak iso nembus, padahal wargane yo podo karo awak dewe le, duduk lelembut utowo golongane demit.." (Begini nak.. sejatinya warga dusun disana itu tidak jahat, tapi terkenal sakti mandraguna.. siapa saja ingin ketemu dengan dusun itu, tapi tak bisa menembus, padahal warganya ya sama dengan kita ini nak, bukan lelembut atau golongan demit..) Ucap yai darwan...

"Mbiyen wektu aku sik enom, aku yo tau nang dusun iku.. aku ditemoni mbah jago jenenge.. mbah jago iku bapak e buyut sing mbok ceritakno nang aku.. aku karo buyut tau kekancan le, sampek aku dijalok dadi pager urip alas semeru.." (Dulu waktu aku masih muda, aku juga pernah bertamu di dusun itu.. aku bertemu dengan mbah jago namanya.. mbah jago itu bapaknya buyut yang kamu ceritakan ke aku.. aku dan buyut pernah berteman nak, sampai aku di minta jadi pagar hidup alas semeru..)

"...Mung aku gak siap wektu iku pur.. opo awakmu dijalok pisan dadi pager urip neg kono?" (...Cuma aku belum siap waktu itu pur.. apa kamu diminta juga jadi pagar hidup disana?) cerita panjang lebar yai tentan dusun a*** b****** dan mbah buyut yang pernah jadi temannya..

Memang...
Tak kupungkiri waktu itu aku pernah dibisiki suatu perkataan oleh mbah buyut, bukan perintah namun lebih mengarah pada permintaan..

Beliau memintaku tinggal di dusun a*** b****** seraya akan menjadikaku sebagai penyambung lidah dan telinga mereka daripada dunia luar..

Namun...
Aku tak sanggup akan hal itu, aku hanyalah seorang pemuda ingusan yang tak paham akan arti kata dalam sedalamnya makna akan cita dan karsa dari semua yang ada di wilayah alas semeru..

Aku tak mengerti apapun itu tentang peraturan yang membenturkan tata  peraturan mereka dengan yang selama ini diyakini dan digunakan negara gula kelapa kita..

Apakah sekarang banyak para punggawa negara gula kelapa yang haus akan harta...

Sampai mereka sedikit mengeluhkan akan kerusakan alamnya yang...

Yaa...
Yang ternyata para punggawa itulah penyebabnya...

Aku hanya bisa berdoa dan bersajak akan bait kehidupan dari dusun tersembunyi itu..

Aku hanya bisa mengayunkan kata-kata agar mereka yang berkuasa mengerti dan selalu menjaga sumpah baktinya.

Sumpah akan selalu melindungi alas hutan maupun gunung dengan segala kayu dan rotannya, tanpa harus melarang pencuri kelas teri dan melahap habis kekayaan itu sendiri dengan atas nama negara dan seragam sandinya sebagai tameng akan kerakusan..

Semoga saja para punggawa mengerti akan keluh kesah dari mereka yang sangat mengerti dan menghormati alam sebagai penopang kehidupan mereka...

Semoga saja kalian paham wahai punggawa gula kelapa..

***

"Kulo mboten ngertos yai, kulo yo mung diwenehi gaman wedung mojopahitan kanggo alat munggah nang Arcopodo karo nemokno jalur nang ranu pani wektu iku" (Aku tidak tahu yai, aku cuma di berikan pegangan golok majapahitan untuk alat naik ke Arcopodo dan menemukan jalur ke ranu pani waktu itu) Ucapku dengan agak terbata-bata..

Hanya senyuman dari beliau yai darwan yang aku lihat..

Dan...
Dan pasti beliau sudah paham kalaupun itu memang jawabannya..

"Ngene yo le pur putuku.. opo koen ngosak-ngasik negoro demit neg alas kono wektu iku?" (Begini ya nak pur cucuku.. apa kamu mengobrak-abrik negara demit di alas sana waktu itu?) Tanya beliau lagi..

Tanpa komando teman tergantengku membuka suaranya...

"Enggih yai, pur ngamok wektu iku.. mergo aku karo hendro digawe susah yai.. aku digawe lumpuh, hlaa terus si hendro dipedot gulune" (Iya yai, pur ngamuk waktu itu.. sebab aku dan hendro dibuat susah yai.. aku dibuat lumpuh, hlaa terus si hendro di putus lehernya) Ucap si ganteng dengan semangatnya..

Kembali yai darwan tersenyum memandangi wajah manisku yang semanis minuman gula aren dari suguhan dik mayang waktu itu...

"Kabeh iku ono sebab karo akibat.. gak ono geni neg koen gak gawe kukuse neg njero sekem damen.. awakmu ciloko ngono pasti ono alasane cah bagus.." (Semua itu ada sebab dan akibat.. tidak ada api kalau kamu tidak membuat bara di dalam tumpukan jerami.. kamu celaka begitu pasti ada alasannya anak tampan..) Ucap yai pada kami berdua...

Yaa...
Memang kami pemuda yang bisa dikatakan sangat mempesona..

Jadi tak heran kalaupun banyak yang menyebut kami arek ganteng atau pemuda tampan..

"Wahhh.. iki mesti goro-goro awakmu masak ulo iku le.. iku paling yo ulo demit.. hahaha" 

(Wahhh.. ini pasti gara-gara kamu masak ular itu le.. itu paling ya ular demit.. hahaha) Ucap suno mulai menunjukkan kata berani dicerah wajahnya..

"Neg ngono saiki ayo le diparani maneh, awak dewe gowo bumbu sing akeh, pokoke ketok ulo langsung ditongseng ae.. hahah" (Kalau begitu sekarang ayo le kita datangi lagi, kita bawa bumbu yang banyak, pokoknya keliatan ular langsung ditongseng aja.. hahah) Ucap suno mulai dengan nada penantangnya..

"Percuma le sekti tapi neg digawe dulinan ngene nang demit, mending awak dewe perang tanding mbabat getih ngadisari kono le.. hahaha" (Percuma le sakti tapi kalau dibuat mainan begini sama demit, mending kita perang tanding basmi darah ngadisari disana le hahaha..) Ucap suno semakin meyakinkanku..

Seperti kata pepatah negara asing, lebih baik kita pulang nama daripada pulang dengan kata menyerah..

"Ngalah" atau mengalah sudah kami lakukan..

"Ngalih" atau menjauh sudah kita jalankan, tapi tetap mereka seakan mengajak kami bersiteru terus..

Maka...
Ini waktunya kami "Ngamuk" atau marah, dan itu sebenarnya bukan jalan terbaik tapi itu jalan yang paling aku senangi waktu itu..

"Ayo.. engko awak dewe dulinan no, sopo sing paling akeh mateni demit iku sing menang, hlaa teros sing kalah kudu traktir neg warung yoo.. hahaha" (Ayo.. nanti kita bermain no, siapa yang paling banyak membunuh demit itu yang menang, hlaa terus yang kalah harus mentraktir di warung yaa.. hahaha) Ucapku menyanggupi apa yang dipikirkan oleh suno...

Lantas tak akan aku coba lagi berdiam diri akan apa yang aku punyai sekarang ini..

"Haduhh.. wes tha rek, ojok sesumbar ngono iku, sesumbar iku golongane wong sik elek tumindak lan tanduk'e, ayo podo ngasah gaman disek neg mburi, sopo ngerti sak wayah-wayah koen diparani demit alas kono..hahaha" (Haduhh.. sudahlah nak, jangan sesumbar seperti itu, sesumbar itu golongannya orang yang jelek perilaku dan tindakannya, ayo sekarang mengasah pusaka di belakang, siapa tahu sewaktu-waktu kalian didatangi demis alas sana.. hahaha) ucap yai malah membuat kita tertawa bersama..

"Jancok... Aku kok mbok tinggal cok, aku yo kepingin melu perang tanding mbabat demit, aku sik mangkel neg iling guluku dipedot" (Jancok... aku kok ditinggal cok, aku juga mau ikut perang tanding membasmi demit, aku masih tidak terima kalau ingat leherku diputus) Ucap hendro tiba-tiba mengejutkan kami...

Tanpa lagu yang bernada melankolis ataupun punk rock, ketiga dari kami langsung mengarahkan pandangan kepada hendro yang masih duduk di atas tanah itu..

"Sopo awakmu haa??? kok melu njagong koyo ngono!!!" (Siapa kamu haa?? Kok ikut bicara seperti itu!!!) bentak suno pada...

Yaa pada hendrooo...

"Aku si penakluk demit cok! aku wes mbalik iki, aku konco kont** mu cok!" (Aku si penakluk demit cok! Aku sudah kembali ini, aku teman kont** mu cok!) Ucap hendro marah..

Murka hendro yang benar-benar hendro..

"Untung aku digawani ageman nang mbah buyut, neg gak ngono aku wes dipanggang nang golongane demit iku rek! koen malah nggowo awak jasadku lali gak nulung sukmoku! untung aku sekti cok!!!" (Beruntung aku di kasih pegangan oleh mbah buyut, kalau tidak begitu mungkin aku sudah di panggang oleh golongan demit itu rek! Kalian malah bawa badan jasadku lupa menolong sukmaku! Untuk aku sakti cok!!!) Murka hendroo..

Benar..
Ini benar-benar si hendro muka badak..

Dan setelah panjang kali lebar ditanbah beban hidup maka..

Berceritalah si hendro selama dia dibuntungi kepalanya..

Namun...
Aku tak akan pernah menceritakan hal itu, agar kalian tak menganggap kami orang yang tak masuk akal atau terkesan gila dengan cerita yang serba mustahil bagi orang normal di muka bumi ini...

Dann...
Waktunya kami mengasah gaman atau senjata kami..

Apa dan apa itu..

Hanya orang yang berpikiran gila saja yang akan mengerti akan senjata kami...

Hahaha...

Memang lucu, bahkan diriku saja sampai tertawa tak habis-habisnya. Bagaimana tak tertawa kalau yang akan kita asah adalah cangkul, sabit rumput, lengkap dengan caping atau topi petaninya..

"Hlaa mosok ate perang gowo iki yaiii.. gak sangar blas ngene.." (Hlaa masa mau perang bawa ini yaiii.. tidak sangar sama sekali) Suno mengoceh sambil tetap tertawa terbahak-bahak..

Bahkan si hendro yang sekarang sudah benar-benar hendro itu tak mampu menahan air matanya karena sangat jenaka dengan sikap yai yang kami sudah kami anggap tua dan sakti itu..

"Wes talah, iki saiki diasah caluk karo pacule rek. Engko awakmu pasti ngerti opo sing dadi gamanmu yo iki" (Sudahlah, ini sekarang diasah caluk dan cangkulnya. Nanti kalian pasti mengerti apa yang jadi peganganmu ya ini) suara yai darwan yang agak jengkel karena sikap dari kami bertiga..

Beliau mengasah caluk atau sabit rumput itu dengan sebagus dan setajam mungkin, aku pun ikut membantu beliau mengasah mata cangkul dengan beji atau asahan batu sebagai mana yang diperintahkan oleh yai..

Lumayan sedikit lama kami mempersiapkan senjata kami yang lebih tepatnya bisa disebut alat bertani tersebut..

Agar apa dan untuk apa hanya waktu yang dapat menjawabnya dengan pasti..

Kicau burung gunung saling bersautan mengiringi kami dengan setianya. Dercit canda tupai hutan saling beradu indah akan corak cinta akan bulu ekornya..

"Sampun yai.. iki koyoke wes landep pacule, hlaa terus opo maneh sing dicandak?" (Sudah yai.. ini sepertinya dudah tajam cangkulnya, hlaa terus apa lagi yang mau dikerjakan?) ujar suno kepada sang sesepuh kami itu..

Yai pun mengambil dan mengamati setiap asahan masing-masing dari kami..

"Neg wes mari ayo podo sembahyang disek yo, njaluk nang sing gawe urip supoyo awak dewe iki podo dikei selamet seger waras gak onok kelangan siji sijine duwenan" (Kalo sudah selesai ayo pada sembahyang dulu ya, minta kepada sang pencipta supaya segar waras tidak ada kehilangan satu-satunya kepunyaan) Ajak yai kepada kami..

Sore menyuguhkan jingga nan indah dengan torehan senja menuju malamnya dunia..

Kamipun bergegas mengikuti yai dengan membawa senter alumunium bergambar macan dengan baterai berwarna biru putih itu sebagai sumber tenaganya..

Kami menyusuri setapak demi setapak jalanan desa dan pematang dari ladang sayuran disana..

Semerbak wangi bunga koll dan juga brokoli tak terasa. Hingga kami menemukan satu kayu besar disana..

Didataran tinggi kotaku ini ternyata masih menyimpan kayu yang...

Yang wangi akan harum baunya..

"Sik yai, opo iki ambune teko kembang gubis opo teko kayu iki?" (Sebentar yai, apa ini baunya dari bunga kool apa dari kayu ini?) Hendro sudah mulai mendengungkan suaranya.

Hanya senyuman dari kakek tua itu yang menandakan jawab iya darinya..

Beliau mulai memanjatkan doa, atau lebih tepatnya adalah sajak mantera, mantera tutupan atau syair akan dua dunia..

Dunia dimana manusia kasat akan memasuki dunia manusia tak kasat mata..

Dunia dimana ketiga pemuda ini akan masuk dalam jauhnya dunia demit atau para punggawa nya..

"Maringene awak dewe ngelebur dadi siji karo nduyo wong alusan nggerr, tulung ojo polah macem-macem yo. Koen kabeh kudu ngetutno lakuku yo ngger" (Setelah ini kita melebur/berbaur jadi satu dengan dunia orang halus nak, tolong jangan bertingkah macam-macam ya. Kalian semua harus mengikuti intruksiku ya nak) Pinta yai pada kami bertiga..

Indah mulai terselip dalam gemerlapnya loncatan-loncatan cahaya kala itu, setiap sudut dari pandangan kami bagaikan disuguhkan gemerlap bintang disetiap semak belukar didepan kami..

Dari bukit tertinggi sampai sekitaran kami bagaikan hamparan permata dengan segala corak warna cahayanya..

Kerlap-kerlip memang kami saksikan menandakan bahwa ada gesekan energi dari dua dunia..

Perkebunan yang tadinya gelap gulita bagaikan disulap menjadi suatu kota yang sangat megah..

Setiap bangunan disana bagaikan sangat mewah dengan segala lampu warna-warni dan berhiaskan pilar-pilar yang tinggi menjulang..

Hampir aku tak percaya, ditengah pegunungan ada kota semegah ini..

Namun...

Namun memang dunia dimana dimensi demit sangat jauh lebih indah daripada dunia manusia...

"Wes yo ngger, saiki awakmu kabeh ayo melu aku nemoni lurah sing nguasani deso iki, tapi pesenku mung sitok, ojo sampek awakmu gelem dijak nginep neg kene.." (Sudah ya nak, sekarang kalian semua ayo ikut aku menemui lurah yang berkuasa di desa ini, tapi pesanku cuma satu, jangan sampai kalian mau diajak menginap disini)

"Pokoe kudu balik masio ditawani macem-macem" (Pokoknya harus kembali meskipun ditawari macam-macam) Ujar yai agar kami harus pulang setelah urusan kami selesai di daso demit atau bisa dikatakan kota dengan segala kemegahannya itu..

Tak begitu lama kami telah sampai didepan suatu gerbang rumah terbagus diantara rumah lainnya, bahkan suno saja berdecap kagum akan keindahan dengan segala ornamen serta perhiasan dari depan gapura rumah itu, namun...

Namun sayang sekali...

Didepan gapura telah berdiri dua demit kasta raksasa menjaga gerbang rumah tersebut, dua buto itu malah membuat buruk tampilan rumah nan indah tersebut..

Bagaimana tak buruk, muka dan tubuh mereka dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna hitam keabu-abuan, dengan mata merah yang ganas serta mulut menyuguhkan gigi-gigi tak rata dan tajam..

Andaikan didunia nyata, aku tak akan sudi bila mempunyai hewan peliharaan seperti mereka..

Tangan hendro mencengkeram kuat lengan ini tanda takutnya yang tak ketulungan, dia takut dan aku paham tentang perilaku hendro..

Karena selama ini dia hanya bisa kesurupan demi kesurupan, dan dia tak pernah menghadapi langsung makhluk berwajah buto seperti sekarang ini..

"Cokkk.. medeni cok!" (Cokkk.. menakutkan cok!) Suara halus dengan nada lemah keluar dari mulut hendro

Yai berbicara entah menggunakan bahasa apa, aku dan kedua temanku tak mengerti sama sekali apa yang terucap dari percakapan yai dengan kedua demit buto penjaga itu..

Namun aku pastikan bahwa maksudnya adalah meminta ijin agar kami diberikan ijin agar bisa menemui junjungan atau lurah dari desa demit itu...

Mungkin dan sangat mungkin warga dikota kami semua pernah melihat gunung berbentuk kepala semar, disanalah sebenarnya desa atau kota demit berada..

Hanya satu kalimat itu yang bisa aku berikan, agar kelak siapapun tahu akan keberadaan desa atau kota demit.

Apakah kalian akan mencarinya???

Sebaiknya jangan..

Biarkanlah kita sebagai manusia kasat lebih memahami dan menghormati keberadaan mereka..

Dan akupun yakin, mereka selalu menghormati keberadaan kita...

Seketika itu juga, salah satu penjaga melesat cepat menuju rumah kediaman yang aku sebenarnya lebih suka mengatakan istana itu..

Tak terlalu lama dalam hitungan manusia normal, sang penjaga pun kembali dan membukakan pintu gerbang tanda kami dipersilahkan memasuki istana tersebut..

"Ojo sampek kliru omong yo pur, awakmu kudu nyeritakno opo ae sing jujur tanpo ono rumongso bener, jujur ilatmu karo atimu yo ngger" (Jangan sampai keliru bicara ya pur, kamu harus menceritakan semua dengan jujur tanpa ada merasa benar, jujur lidahmu dengan hatimu ya nak) Pinta yai sambil melirikku tajam..

Seperti menekankan agar diri ini berbicara apa adanya, tanpa harus menambah atau mengurangi bahkan membumbui segala yang pernah aku dan kawanku lakukan diatas sana..

Kami melangkahkan kaki di jalan setapak dengan batuan kerikil warna-warni sebagai alasnya..

Kalian akan berfikir bahwa ini dongeng belaka, namun sebagian dari kalian pasti pernah merasakan masuk ke dimensi dimana kami atau kita sebagai manusia harus sedikit mengakui akan kemewahan dari dunia seberang ini..

Kota mereka lebih menyuguhkan kemewahan daripada dunia manusia yang selama ini aku lihat baik secara langsung maupun dari balik layar kaca televisi..

Seberapa megahnya kota itu/desa demit itu? 

"Kiro-kiro nek ditotal entek piro yo mbangun omah koyok ngene iki yo le?" (Kira-kira kalau ditotal habis berapa ya membangun rumah seperti ini ya le?) Ucap suno dengan jiwa perhitungan akan segala kemegahan yang ia lihat..

Kami tetap berjalan tetap dibelakang yai darwan yang entah malam ini memakai pakaian serba hitam itu..

Beliau juga memakai udeng atau ikat kepala hitam bergariskan merah di ujungnya..

Tanpa aku sadari karena sibuk memperhatikan ornamen dari rumah megah itu, kami sudah berada di ruangan yang lumayan luas dan didalamnya tersusun rapi meja dan kursi layaknya rumah dinas seorang menteri..

Mewah dan terkesan sangat elegan menurutku..

Lalu..

Di sudut jauh sana keluarlah pemuda yang sangat rupawan menghampiri kami..

Disuguhkannya senyum yang sangat indah diwajah pemuda itu, sembari mengucap salam lembut kepada kami..

"Nuwun sewu wan.. kok yo suwe awakmu gak sambang nang omahku" (Permisi wan.. kok ya lama kamu tidak berkunjung ke rumahku) Ucap pemuda itu..

Terkejut juga diriku mendengarnya. 

Tak punya rasa hormat sekalipun dia pada yai yang menurutku lebih sepuh atau usianya diatasnya.

Memang bentuk gestur tubuhnya menandakan hormat namun tak selayaknya kita yang lebih muda menggunakan kata "awakmu" atau kamu kepada orang yang lebih tua daripada kita..

Memang pada jaman sekarang, banyak pemuda maupun pemudi yang tak mengerti tata krama bahasa kepada yang lebih tua..

Bahkan kepada orang tuanya saja mereka banyak yang mengucap kata keras, dan...

Apakah itu yang kau pelajari selama ini wahai para pemuda?

Jadilah pemuda yang lemah lembut baik perilaku maupun ucapan, tanpa harus keras walaupun watak dasarmu memang keras, sekeras batu hitam di tengah hutan alas semeru itu..

Sekeras watak diriku dan juga sifat kedua temanku, namun...
Selalu jaga ucapanmu wahai para pemuda..

***

Dengan sangat santun yai menjawab 

"Enjih sinuwun, dalem kulo wanci katah pademelan teng nggriyo dalem" (Iya sinuwun, saya masih banyak pekerjaan dirumah saya)

"Dalem teng ngriki sepindah kepingin sowan dateng njenengan, kaping kalih dalem nyuwun pangestu kalih njenengan" (Saya kesini punya niat ingin berkunjung, kedua saya ingin meminta bantuan kepada anda) tambah yai sambil tetap menundukkan muka rasa hormat..

Kenapa yai sangat patuh dan hormat pada pemuda ini, dan menurutku ucapannya lebih kepada orang yang lebih tua daripada yai sendiri..

Jelas ini pemuda bukan pemuda seperti kami ini, jelas dia dari golongan demit kasta tinggi yang walaupun wajahnya masih kelihatan muda, namun aku yakin usianya sudah ratusan bahkan mendekati ribuan tahun..

"Aku ngerti opo sing mbok karepno karo sing mbok maksud teko tekanmu mrene" (Aku paham apa yang kau inginkan dan apa yang kau maksut sampai kesini) ucap pemuda itu sambil memandang diri ini..

Sedetik pandangan pemuda itu terasa menggetarkan hatiku, namun getaran yang menyejukan dengan rasa keingin tahuan yang teramat dalam..

"Cilokomu mung sitok le, awakmu wani mateni ngadisari sing njelmo dadi ulo wektu iku, mung aku yo nggumun pisan. Kok yo ngadisari sing jare sakti malah iso dipateni karo arek enom koyok awakmu iki.. hahaha" (Kesalahanmu cuma satu le, kamu berani membunuh raja/pangeran demit yang menjelma menjadi ular waktu itu, cuma aku juga heran sekali. Kok ya raja/pangeran demit bisa dibunuh oleh pemuda seperti kamu ini.. hahaha) Ucap dia atau beliau sang pemuda itu..

"Aku sagup mbantu awakmu kabeh, tak jangkepi karo poro punggowoku mengko nek dibutuhno" (Aku siap membantu kalian semua, aku lengkapi dengan para kesatria ku nanti jika dibutuhkan) Ucap pemuda itu juga.

Rasa ingin tau siapa nama dan apa sebenarnya kedudukan beliau disini sangat kuat ada didalam hatiku, namun aku dilarang mengucap apapun itu oleh yai..

Hanya boleh mengucapkan kata iya iya dan iya saja..

"Saiki delehen caluk arit karo pacul iku nek kene wan, kowe karo arek-arek iki mbalik'o saiki, ojo nganti kedisikan moncer srengenge" (Sekarang letakkan sabit dan cangkul itu disini wan, kamu dan anak-anak ini kembali saja sekarang, jangan sampai keduluan sinar matahari) Ucap beliau sang pemuda..

Tanpa basa-basi lagi, yai mengajak kami pamit dan pulang kembali kedunia dimana kita manusia tinggal dan hidup..

*****
Sebelumnya
close