Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 11)


JEJAKMISTERI - "Ada apa, Nak Rahmad? Sepertinya kamu ketakutan?" ucap Pak Kasdi, melihat Rahmad yang baru tiba di Puskesmas dengan wajah pucat, menyiratkan satu ketakutan.

"Ndak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja," jawab Rahmad berusaha menutupi.
"Tidak, Nak. Bapak tau betul dengan kamu. Jadi Bapak yakin, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Apakah... Soal Warni yang di vonis tak bisa lagi mempunyai anak?" tanya Pak Kasdi, mengejar sikap Rahmad yang di rasa tak seperti biasa.

Rahmad terdiam. Matanya menatap lurus ke arah pintu kamar tempat Warni terbaring di temani Mbok Ngah dan salah satu kerabat dekatnya.
Nafasnya masih terlihat menderu pelan, mengiringi keraguan saat ingin menceritakan semua yang baru ia alami.

Pak Kasdi sendiri hanya menatap penuh iba, pada sosok Rahmad, menantu yang ia kenal pendiam dan sangat sabar dalam segala hal. Dadanya ikut bergemuruh, melihat kilatan beban yang begitu besar dan berat dari wajah Rahmad. Setelah beberapa kali mengalami kejadian aneh, sampai akhirnya memuncak dengan kehilangan calon buah hati yang lama ia dambakan.

Satu helaan nafas panjang tedengar dari Rahmad, sebelum wajahnya berpaling dan menatap lekat pada raut penuh kerutan milik mertuannya.

"Jujur saya terpukul dengan keadaan Warni, Pak. Tapi saat ini, bukan hanya itu yang menjadi beban bagi saya," lirih dan berserak suara Rahmad, mencoba mengawali ungkapan beban yang ia tahan.
"Beban apa lagi yang kamu rasakan, Nak. Ceritalah, supaya Bapak tau dan bisa sama-sama mencari solusinya," sahut Pak Kasdi antusias.

"Saya rasa, rumah itu akan saya jual saja, Pak. Saya dan Warni harus pindah dari tempat itu."

Sedikit terkejut Pak Kasdi mendengar ucapan Rahmad. Ia terdiam dan sebentar tertunduk, sebelum kembali menegak, kala mendengar Rahmad mulai bercerita.

Bercampur aduk saat itu pikiran Pak Kasdi yang dengan seksama mendengarkan semua kejadian tengah di ceritakan Rahmad. Perasaannya menjadi tak enak, penuh sesal dan malu setelah Rahmad mengakhiri cerita panjangnya. Cerita petaka buah dari kecongkakan darah dagingnya sendiri, mengakibatkan bertubi-tubi bencana pada suami dan orang lain.

"Nak Rahmad, kamu yang kuat. Maafkanlah Warni, maafkan juga Bapak yang tak bisa mengendalikannya," ucap Pak Kasdi setelah Rahmad merampungkan cerita dan sama-sama terdiam.

"Tidak, Pak. Bapak tidak bersalah. Justru sayalah yang seharusnya bertanggung jawab. Sayalah yang pantas di salahkan, karena saya sendiri gagal untuk menjadi pelindung bagi Warni," sahut Rahmad seraya menggelengkan kepalanya pelan.

"Kita berdoa saja, semoga setelah ini Warni bisa menyadari kesalahan dan kekeliruan serta bisa merubah cara berpikirnya," tukas Pak Kasdi, dengan mendoakan penuh pengharapan yang di Amini Rahmad.

Percakapan dengan bumbu musyawarah antara Rahmad dan Pak Kasdi berlanjut sampai suara Tarhim terdengar dari Masjid besar yang terletak di sebelah kantor kecamatan. Dengan keputusan Rahmad dan Warni, untuk sementar tinggal bersama Pak Kasdi dan Mbok Ngah, sebelum Rumah yang menjadi saksi kelam kehidupan Rahmad, terjual.

Akan tetapi, rupanya hal itu tak mulus berjalan. Kembali, dan lagi, rencana yang sudah membulat antara Rahmad dan Pak Kasdi tertunda dengan sikap Warni. 

Berawal dari kesadaran Warni sore itu, setelah lebih dari 30 jam ia pingsan. Sesaat Warni menangis pilu penuh kesedihan, mendengar kejadian yang sudah merenggut janin dan rahimnya. Ia terlihat teramat trauma dan seperti belum bisa menerima kenyataan. Namun di balik itu semua, satu kilatan amarah dan dendam tampak menggurat tajam dari sorot matanya.

Selama empat hari Warni di rawat dan mulai membaik. Tapi selama itu juga, ia lebih banyak terdiam dan seperti enggan berucap. Perubahan sikapnya itu, sempat di sambut positif oleh Rahmad dan kedua orang tuanya, yang sangat berharap akan perubahan sifat dan cara berpikir Warni, setelah mengalami kejadian itu. Namun, mereka rupanya salah dalam menyikapi diamnya Warni.

Hal itu tercermin tepat di hari kelima. Ketika keadaannya semakin membaik dan di ijinkan pulang dengan menjalani berobat jalan. Saat itulah Rahmad mengutarakan keinginan yang telah di setujui Pak Kasdi dan Mbok Ngah. Bahwa akan sementara pindah ke rumah orang tua Warni, dan berniat menjual rumah mereka sendiri yang telah menorehkan luka dan malapetaka. Namun, seperti sebelumnya, sikap kekeh batunya, kembali menolak untuk tinggal bersama dengan orang tuanya meski hanya sementara. 

"Mas, itu adalah rumah hasil jerih payah kita. Itu impian kita selama ini. Aku tetap tak setuju jika rumah itu di jual!" Bantah Warni dengan memalingkan raut wajahnya ke arah jendela kamar Puskesmas, tempatnya di rawat.

"Dek, aku tak mau lagi berdebat denganmu. Sudah cukup kerasnya prinsipmu telah menghancurkan impian kita. Aku tak mau lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan setiap hari di rumah itu." Tegas kali ini ucapan Rahmad. Tapi, itu belum cukup untuk menggoyahkan pancang prinsip Warni yang masih menancap kuat.

"Mas, ketakutan yang Mas Rahmad rasakan itu terlalu berlebihan. Aku tau dan percaya ini ulah Mbah Sulak. Aku percaya kalau dia wanita Iblis. Tapi, apa hanya karena dia, kita harus keluar dari rumah itu?" sahut Warni masih dengan teguh membela keyakinannya.

"Apa masih belum cukup semua yang kita alami! Apa harus menunggu saya atau kamu menjadi korban selanjutnya setelah calon anak kita yang mereka ambil? Kalau itu maumu, silahkan. Kalau itu yang kamu kehendaki, aku tak bisa lagi memaksamu. Tapi aku juga, tak bisa menemanimu jika tetap di rumah itu." Pelan dan parau suara Rahmad. Wajahnya menunduk, seakan pasrah akan keputusan yang di ambil istrinya.

"Mas! Kamu....?" Sedikit menjerit kali ini Warni, mengetahui maksud dari ucapan Rahmad, yang seolah memberinya satu pilihan dengan tegas.

"Aku sudah capek, Dek. Dengan semua ini. Aku ingin hidup tenang tanpa bersentuhan dengan hal-hal yang tak terlihat namun membahayakan. Ingat! Bukan hanya kali ini kamu, aku, mengalami hal buruk selama tinggal di rumah itu. Dan itu semua atas ulahmu yang tak mau percaya dengan larangan, pantangan apapun. Sekarang lihatlah, buka hatimu, lihat kenyataan sekarang!" Panjang dan lagi tegas, ucapan Rahmad. Membuat Warni seketika diam tertunduk.

Sejenak suasana sunyi dan hening. Ketika Rahmad dan juga Warni, seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai beberapa saat kemudian, derap langkah kaki, membuat keduanya tersadar dari lamunan.

"Sudah siap, kamu Nduk?" 
Satu suara dari Mbok Ngah, yang baru masuk, sedikit mencairkan suasana kaku antara Rahmad dan Warni. 
"Sebentar lagi, Buk." Dengan tersenyum Rahmad menyahut, mencoba menutupi perdebatannya dengan Warni.

"Baiklah, Mas. Saya akan ikut tinggal sementara bersama di rumah Ibu. Tapi aku mohon, jangan buru-buru menjual rumah itu," ucap Warni dengan terpaksa menyerah.

Anggukan pelan dan senyum tipis menghias dari bibir Rahmad serta Mbok Ngah. Mendengar ucapan Warni yang kali ini mau menuruti kemauan Rahmad khususnya.

Namun kejanggalan kembali Rahmad rasakan dari sikap Warni, saat baru satu malam mereka menginap di rumah orang tua Warni sendiri. Mulai dari sikapnya yang semakin tempramen, marah tak jelas, hingga sering keluar sendiri di tengah malam hanya sekedar melamun.

Sikap tak jelas Warni akhirnya memuncak, tepat di hari ketiga sewaktu tinggal bersama orang tuanya. Di mana, sore itu, saat Rahmad baru saja pulang dari bekerja, ia memaksa sang suami untuk mengantarkannya ke rumah mereka yang telah tiga hari di tinggalkan. 

Permintaan itu sempat mendapat penolakan tegas dari Rahmad. Ia yang sudah begitu membulat untuk menjual dan tak ingin lagi mengusik apapun, khususnya Sang Penunggu lain di rumah itu, terpaksa menuruti kemauan Warni, yang merengek dan membumbui dengan berbagai macam alasan.

Setelah berpamitan dengan Mboh Ngah, Rahmad yang masih terlihat lelah, akhirnya mengantar Warni ke rumah yang telah membuatnya merasakan kengerian.
Bayang ketakutan seketika melintas dalam benak Rahmad, ketika baru saja sampai di halaman. Memaksa memori di kepalanya, spontan memutar kembali kelebatan kejadian menakutkan, mengerikan dan memilukan.

Rahmad yang berjalan di belakang Warni, sedikit ragu untuk ikut masuk ke dalam. Rasa takut begitu menggambar jelas pada raut wajahnya, saat Warni membuka pintu, memunculkan bayangan sosok Mbah Sulak, serta sosok wanita berambut panjang, bermata putih rata.

Meski itu hanya bayangan sepintas, namun dalam hati, Rahmad merasa seperti nyata dan seolah menjadi suatu tanda isyarat.

"Mas, kenapa kamu kok seperti takut gitu?" tanya Warni, melihat wajah Rahmad menegang dan seolah enggan untuk ikut masuk.

"Entahlah, Dek. Perasaanku tetiba saja tak enak," sahut Rahmad pelan.
"Ya sudah, kalau begitu biar aku saja yang masuk," ujar Warni.
"Ya, sudah. Kamu cepat ambil pakaian dan kebutuhanmu. Aku tunggu di sini" 
Warni akhirnya melangkah masuk tanpa berkata apapun lagi setelah mendengar jawaban dan perintah Rahmad, yang saat itu memilih duduk di kursi kayu teras depan. Menatapi jalanan sepi depan rumahnya, seperti biasa ia saksikan di kala waktu senja.

Beberapa menit, ratusan detik, telah berlalu. Namun belum ada tanda Warni selesai mengemasi barang-barang miliknya dan keluar. Membuat Rahmad yang menunggu, semakin merasai kegusaran yang sejak awal menghantui perasaannya.

Sebentar Rahmad bangkit, sekedar ingin membuang kegelisahan sambil menunggu, dengan menatapi langit redup dari halaman. Tapi hal itu, tak membuahkan hasil. Justru saat mengetahui langit semakin beranjak kelam, Rahmad semakin di rundung rasa tak nyaman. Apalagi, mengingat akan hal-hal menyeramkan yang ia alami dulu, hampir kesemuanya di waktu tepat seperti saat sekarang, membuat perasaannya tak karuan.

Rahmad akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam, berniat melihat dan membantu Warni. Langkahnya sempat terhenti sejenak, saat tubuhnya baru memasuki ruang tamu. Kala itu, Rahmad merasakan betul hawa dalam rumah yang baru di kosongkan tiga hari, terasa begitu sinung dan sedikit lembab. Namun, Rahmad tetap meneruskan melangkah masuk, menepis pikiran liar serta menekan rasa takutnya.

Gemuruh degup jantung Rahmad seakan terpacu kencang, ketika melihat kamarnya dalam keadaan kosong. Tak ada sosok istrinya, tak ada tas maupun ransel yang di bawa Warni untuk mengemas barang kebutuhanya. Yang ada saat itu hanya bau wangi kembang Kamboja menyengat, serta keredupan dari cahaya lampu kamar. 

Bingung dan panik mulai menghinggapi Rahmad, yang tak Mendapati sosok istrinya. Padahal, dalam hitungan waktu menurut pikirannya, seharusnya Warni sudah selesai mengemasi barang-barang miliknya.

Rahmad akhirnya meninggalkan kamar dan mencoba mencari Warni ke arah belakang. Melangkah penuh rasa khawatir sambil memanggil-manggil pelan. Namun sesampainya di dapur, ruang terakhir dalam rumahnya, sosok Warni juga tak di jumpainya. Bahkan, suara panggilan yang masih terus keluar dari mulutnya, juga tak bersahut meski sudah mengeras dan lantang.

Kekhawatiran serta kecemasan Rahmad semakin mencuat, manakala sampai hari mulai gelap, namun belum juga menemukan sosok istrinya. Lama Rahmad mencari dan memeriksa di dalam rumah. memeriksa tiap-tiap ruangan yang ada, sambil terus memanggil, tapi tetap saja nihil.

Hingga akhirnya, satu bisikan kuat, mendorong dirinya untuk mencari di belakang rumah. Rasa takut yang menyelimuti jiwanya, sebentar ia abaikan, demi mencari keberadaan Warni. Setapak demi setapak kaki  Rahmad menyusur pekarangan belakang rumahnya. Cahaya membulat dari pancaran senter di tangan kanannya, sedikit membantu penglihatannya, dari suasana gelap waktu malam yang baru menyapa alam.

Kelegaan sekilas menyirat di wajah Rahmad, kala cahaya senternya, menangkap punggung satu sosok yang  berdiri membelakangi. Sosok dengan juntaian rambut serta pakaian sama persis dengan milik Warni, membuatnya mempercepat langkahnya.

"Dek, kenapa kamu malah di sini. Ayo kita pulang," ucap Rahmad setelah dirinya tinggal dua meteran, dari sosok yang ia yakini sebagai sosok istrinya.
Tapi, sampai beberapa saat menunggu, Rahmad tak mendengar sahutan, bahkan sosok berpakaian sama persis istrinya, bagaikan patung, diam tak bergerak sama sekali. 
"Dek, kamu kenapa?" Lagi, Rahmad mencoba menyapa, di ulang-ulang, namun hal yang sama di lakukan sosok di depannya. 

Firasat tak enak seketika menyeruak dalam batin Rahmad. Keyakinannya akan sosok di depannya adalah Warni, sedikit demi sedikit luntur. Mendapati gelagat aneh dari sosok itu. Apalagi, tak berselang lama, bau wangi Kamboja tiba-tiba saja hadir menyusup di hidungnya, saat rasa heran masih mendera.

Rahmad akhirnya nekat melangkah kesamping, demi memastikan sosok itu. Tangannya dengan spontan mengarahkan cahaya senter ke arah wajah saat dirinya tepat berada di samping kanan sosok wanita itu. Dan betapa terkejutnya Rahmad, kala matanya dengan jelas melihat raut muka putih pasi, berhias dua cairan merah mengalir dari dua bola matanya.

"Tidak! Kamu bukan Warni!" ucap Rahmad bergetar setelah tersurut mundur dua langkah.
Selintas sosok sama persis Warni, tertunduk. Sebelum kemudian kembali menengadah dan perlahan berpaling ke arah Rahmad, dengan tatapan mata sayu memelas, seolah penuh penyesalan, hingga menggulirkan dua lelehan darah dari dua lubang matanya...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close