Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 12 END)


JEJAKMISTERI - "Kamu bukan Istriku! Kamu bukan Warni!" Seru Rahmad di sela-sela tekanan rasa takutnya. Lutut dan tubuhnya semakin terasa lemah tak bertulang. Kala sosok persis istrinya, memalingkan wajah, menjulurkan tangan serta jari telunjuk yang mengarah ke tempat rerumpunan bambu.

Rahmad yang masih memiliki kesadaran, seolah tertuntun untuk mengikuti arah jari telunjuk sosok itu. Matanya perlahan menatap rerimbunan yang bergerumbul gelap. Tak ada apapun yang tertangkap bola mata Rahmad saat itu. Namun ketika senter di tangan kanannya tergerak mengarahkan cahayanya tepat di tengah rumpunan bambu, seketika itu juga tubuh Rahmad goyah tersurut satu langkah dan jatuh terduduk.

"Warni! Apa yang kamu lakukan?" lirih suara Rahmad. Tertekan rasa takut dan ngeri, melihat sosok asli istrinya tengah tersimpuh memangku seonggok gumpalan lunak berwarna hitam kemerah-merahan yang berdenyut seolah bernyawa.

Tawa melengking sesaat kemudian terdengar dari sosok wanita yang berdiri di depan Rahmad. Mengalihkan kembali mata Rahmad untuk menatap padanya. Lagi-lagi Rahmad terkesiap tanpa expresi, manakala sosok yang awal dirinya lihat berwujud sama persis dengan istrinya, telah berubah menjadi sosok wanita bergaun putih panjang, bermata putih rata.

"Mulih o! Bojomu wes ra iso metu seko kene gowo nyowone. Mergo bojomu wes kebacut! kewanen! arep ngerusak panggonan bocah-bocah iki." (Pulang lah! Istrimu sudah tak bisa keluar dari sini membawa nyawanya. Karena Istrimu sudah terlanjur lancang! terlalu berani! Ingin merusak tempat tinggal anak-anak ini.)

Satu bentakan keras dari arah samping kiri, kembali menghentak jiwa Rahmad, tepat setelah tawa nyaring melengking berhenti.

Bentakan dari sesosok wanita tua berambut putih menjuntai acak-acakkan, sambil menyorotkan tatapan tajam ke arahnya. Tak hanya itu, tak berapa jauh dari sosok yang tak lain adalah Mbah Sulak, puluhan sosok bocah beragam bentuk, berdiri berjejer di belakang dan samping. 

Wajah-wajah mereka menyirat kengerian. Mata mereka yang sebagian juling dengan tanda bulatan hitam serta derai lelehan mengering kemerahan di pipi, menunjukan kemarahan yang tertahan. Membuat diri Rahmad seolah tak lagi merasa, berada di alam dunia nyata.

Wajah Rahmad yang sudah bagai kapas, tertunduk. Matanya mengerjap erat, bibirnya terkatup rapat, tapi tak mampu menutup dan menahan telinganya untuk tak mendengar tawa ngikik dari sosok wanita berambut panjang menyapu tanah, dan riuh gemuruh suara puluhan sosok bocah yang ikut mengiring langkah Mbah Sulak, mendekati sosok tersimpuh Warni.

Ingin rasanya Rahmad segera bisa meninggalkan tempat itu. Namun tubuhnya sudah terasa seperti tak teraliri darah kaku membeku. Jangankan untuk berlari, berdiri pun rasanya Rahmad tak lagi sanggup.  
Akan tetapi hal itu tak berlangsung lebih lama. Sebab, berselang beberapa saat kemudian, satu pemandangan di depan, di tempat di mana sosok istrinya tersimpuh, jiwa Rahmad kembali bergejolak hebat. Tubuhnya seketika memanas, mendapati satu jeritan menyayat istrinya, kala beberapa sosok anak kecil bermata juling putih rata, menyeret dengan paksa tubuh Warni  masuk ke dalam rumpunan bambu.

"Tidak! Jangan bawa Istriku! Hentikan...." Teriak Rahmad, lirih tertahan.

Namun semua itu sia-sia, tubuh Warni terus saja terseret masuk. Meninggalkan suara ratapan memilukan, sebelum tertutup kabut tipis mengepul dari tempat hilangnya tubuh Warni bersama puluhan sosok bocah dan Mbah Sulak. Menyisakan sosok Nyai yang kembali tertawa nyaring melengking, ketika melihat Rahmad tak berdaya. 

Satu senyum sinis dan tatapan menyengit di sela tawa yang mereda, sempat Rahmad lihat dari sosok Nyai. Dan menjadi akhir penglihatannya, saat sosok Nyai menyusul masuk ke dalam rumpunan bambu. Meninggalkan suara gemresek dari rambut panjangnya, yang bersentuhan dengan guguran dedaunan bambu kering.

Harum wangi Kamboja, yang awal menyapu wajah dan menyesak di rongga hidung Rahmad, sebentar ikut menghilang. Membuat Rahmad tak berselang lama memaksa tubuh lemahnya bangkit. 

Cepat dan beriring kepanikan, saat kaki Rahmad yang masih terlihat goyah, mengayun meninggalkan tempat itu. 

Tak terpikir lagi kotor di tubuh dan pakaiannya, yang tertempel debu tanah serta lembaran daun-daun kering bercampur keringat. Tak di hiraukannya lagi, air mata meleleh deras membasahi pipi. Tak di rasakanya lagi, degup jantung ketakutan dan desiran darah mengalir. Yang ia ingin, yang ia kejar saat itu, bisa segera pergi mencari pertolongan, untuk menyelamatkan istrinya.

Kencang, kaki Rahmad mengayun setelah sampai di halaman. Ia terus dan terus berlari seraya berteriak meminta tolong. Mengundang kekagetan dan panik bercampur heran, dari beberapa orang laki-laki pernah menjadi tetangganya, yang sedang berkumpul di sebuah pos ronda.

Tak lama kerumunan puluhan lelaki dan beberapa perempuan, tampak mengerubung, mengelilingi tubuh Rahmad yang kembali tersungkur kelelahan. Wajah pucatnya, sebentar mengitari raut di sekelilingnya. Menatapinya satu persatu Sebelum suara terbata dari tenggorokan, sedikit menjawab rasa penasaran orang-orang di sekitarnya.

Deru nafas Rahmad sedikit melonggar setelah satu gelas air putih yang di sodorkan salah seorang, ia teguk tak bersisa. Tapi tak lama, raung tangisnya pecah, saat teringat kejadian yang menimpa istrinya. Suara memohon, memelas, dari bibir Rahmad, segera di tanggapi beberapa orang yang telah mengerti dari cerita singkat Rahmad, dengan segera berlalu mencari Mbah Sarji dan Ustad Luqman.

Selang lima belas menitan, tampak sosok Mbah Sarji dan Ustad Luqman datang beriringan. Lalu segera beranjak meninggalkan tempat itu, setelah mendengar penjelasan ringkas Rahmad.

Ketegangan terlihat memenuhi wajah-wajah mereka yang mengikuti langkah Mbah Sarji dan Ust Luqman, saat baru memasuki tanah kosong pekarangan yang membentang lumayan luas dari bangunan rumah Rahmad ke belakang.

Sejenak Mbah Sarji yang berjalan paling depan, menghentikan langkahnya saat akan melewati parit kecil berjembatan papan. Urat leher dan wajahnya terlihat tertarik mengencang, kala dua bola matanya melihat ke arah rumpunan bambu yang terlihat terang, terbantu dari paparan cahaya beberapa senter.

Suasana seketika hening. Mereka yang mengikuti seolah ikut terpaku oleh sikap Mbah Sarji. Meski tak melihat apapun, atau mengerti dengan apa yang tengah di rasa oleh Mbah Sarji, tapi dari gelagatnya, mereka yakin bila ada sesuatu dalam pandangan mata lelaki tua, sesepuh mereka.

"Ada apa, Mbah?" tanya Luqman lirih, yang berada di samping kanan Mbah Sarji.
"Berat! Saya rasa Istri Mas Rahmad, tak lagi tertolong," jawab Mbah Sarji tak kalah lirih. Seperti tak ingin terdengar oleh Rahmad, yang berdiri di sisi kiri dengan di apit dua lelaki tetangganya.

Luqman yang mendengar ucapan Rahmad, sejenak terkesiap. Matanya segera beralih ikut menatapi rumpunan bambu, sebelum akhirnya tertunduk dan menggeleng pelan.

"Untuk urusan ini, saya serahkan pada njenengan Mbah," ucap Luqman masih pelan dan lirih.

Tanpa menjawab lagi, Mbah Sarji akhirnya maju mendekat ke arah rumpunan bambu. Lalu tak lama, beberapa lelaki yang di tunjuk Mbah Sarji ikut menyusul termasuk Luqman.

"Tolong ambilkan bunga tiga warna, dan tujuh biji dupa Gunung Kawi, di rumahku." Perintah Mbah Sarji pada salah seorang lelaki setengah baya, yang berada paling dekat darinya.

"Baik, Mbah," jawab sang lelaki, sebelum berlalu.

"Apa masih bisa di ambil jasad itu, Mbah?" tanya Luqman berbisik, seperti telah mengetahui dengan keadaan di tempat itu.
"Saya akan usahakan. Tolong nanti Mas Luqman bantu Doa supaya bisa menurunkan dan mengembalikan jasad itu," jawab Mbah Sarji sembari menunjuk muka ke satu arah, yang kemudian di sambut anggukan kepala Luqman.

Beberapa puluh menit suasana hening penuh ketegangan berlangsung. Sedikit berubah kala lelaki yang mendapat perintah Mbah Sarji tiba dengan menenteng sebuah bungkusan. 

Tak lama Mbah Sarji duduk bersila setelah menaburkan bunga di rumpunan bambu serta membakar tujuh biji dupa yang di bawa lelaki dari rumahnya.
Luqman yang mendapat isyarat Mbah Sarji, segera ikut bersila di belakang, lalu di susul empat lelaki sekaligus yang juga atas perintah Mbah Sarji.

Detik, menit, telah di lalui Rahmad serta orang-orang yang menunggu Mbah Sarji, Ustad Luqman, dan beberapa orang lainya, penuh ketegangan. Hawa anyep sangat di rasakan semua orang di tempat itu. 
Debaran rasa takut, memenuhi raut mereka yang mulai terbasahi bulir-bulir bening, keluar dari pori-pori kulit masing-masing. Apalagi, kepulan asap menebarkan bau wangi khas dari tujuh buah dupa yang terbakar, semakin membuat jantung dan dada mereka berdegup, bergemuruh tak beraturan.

Hanya Rahmad kala itu yang sudah seperti hilang rasa takut di hatinya. Wajahnya terlihat lekat menyirat kecemasan, menanti dan berharap istrinya bisa di selamatkan.
Namun, harapannya bertolak dengan kenyataan yang di terimanya beberapa waktu kemudian.

Berawal dari suara gemerasak keras dalam rumpunan bambu. Lalu tak lama, di sambut satu jeritan dari salah seorang lelaki yang berdiri paling depan, atau tepat di sisi parit kecil. Membuat suasana seketika gaduh hingga membuat Mbah Sarji, Luqman dan empat orang yang tengah duduk bersila, spontan berdiri.

Kegaduhan semakin ramai riuh oleh ucapan Istighfar yang lantang bersahutan dari bibir orang-orang yang mendekat dan ikut melihat ke arah parit, setelah di tunjukan oleh lelaki pertama berteriak. 
"Astaghfirullah... Astaghfirullah...." Ucap Luqman bersahutan dengan yang lain, saat ikut melihat ke dalam parit tak seberapa dalam. Di mana dia, Mbah Sarji dan semua yang ada di tempat itu, dengan bantuan seluruh cahaya senter, begitu jelas, bahkan sangat jelas melihat satu sosok tubuh terlentang berlumur lumpur.

Sesosok tubuh yang tak lain adalah milik Warni, langsung membuat tubuh Rahmad sebentar meronta, sebelum akhirnya roboh dalam papahan dua orang. Ia tak kuat, tak mampu melihat kenyataan istrinya terkapar tanpa nyawa dan dalam keadaan mengenaskan. Matanya membeliak, melotot ke atas. Mulutnya ternganga lebar hingga terangkat sedikit rahangnya. Seperti merasakan ketakutan dan sakit teramat sangat, sebelum ajal datang menghampirinya.

Malam itu juga, suasana kampung geger dengan berita kematian Warni, di tempat yang oleh mereka, warga kampung sekitar, di sebut KEDUNG TEREKAN. Di mana sebutan itu tersemat lekat, sebab cerita masa lalu yang mengerikan. 

Tempat yang sempat kengeriannya mereda beberapa tahun, kini kembali menjadi buah bibir setelah menelan korban atau mengambil nyawa Warni. 
Namun, dari semua itu, dari segala malapetaka yang menimpa Warni sampai pada kematiannya yang tragis, tak banyak rasa simpati di tunjukan warga sekitar. Mereka lebih pada rasa takut akan tempat yang kembali atau bahkan semakin mereka anggap angker setelah kematian Warni malam itu.

Penyesalan, kesedihan, menggurat jelas di wajah Rahmad. Matanya tak lepas tertumpu pada sosok jasad istrinya, di sepanjang jalan hingga tiba di rumah Mbok Ngah dan Pak Kasdi. 
Isak tangis, jerit histeris memilukan, membahana sahut menyahut di dalam rumah tembok bercat kuning milik Pak Kasdi, setelah kedatangan tubuh kasar Warni anaknya, tanpa nyawa. 

Hingga sampai pada prosesi pensucian, pengkafanan, dan pelaksanaan Fardu Kifayyah, Rahmad mengikuti dengan diam. Pikirannya kosong, jiwanya terguncang, melihat kenyataan istrinya, telah terbujur berbalut kain putih berikat tali-tali kecil menguncup di atas kepala. Berhias kapas-kapas putih di beberapa bagian tubuhnya, menebarkan wangi khusus dan khas pada jasad, menandakan satu isyarat lambaian dan salam perpisahan untuk dunia beserta isinya yang selama ini ia kejar, ia banggakan, namun tak lagi memberi arti apapun. 
Apalagi, saat seonggok tubuh yang di rawatnya sewaktu bernafas, tertanam paksa di dalam tanah berukuran sempit tanpa cahaya, tak satu pun barang kebanggaan yang ia dapat, ia beli dari hasil jerih payahnya, menemani tidur panjang di tempat gelap dalam kesendirian....

---===TAMAT===---

Mohon maaf atas segala kekurangan dalam alur maupun penulisan kata serta kalimat. Akhir kata, WASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

*****
Sebelumnya
close