Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAMPUNG LELEMBUT


Yang suda baca di skip saja atau yang mau lanjut cerita lainnya juga boleh.
Dan yang belum perna akan saya persembahkan sebuah kisah nyata Jejak Misteri berikut ini;

''KAMPUNG LELEMBUT''

Kampung Randu kulon, adalah nama sebuah kampung yang kini menjadi salah satu kampung paling padat penduduk setelah melewati tahun 2000an. Namun, dahulu, sebelum masa pendatang berdatangan dan menghuni lahan di kampung ini, kampung ini pernah menyimpan beribu cerita misteri.

Dari hal-hal yang biasa hingga hal-hal di luar nalar manusia, apapun itu, bila menginjakkan kaki di kampung ini, konon, kengerian itu langsung terasa begitu saja.

Setidaknya itu adalah gambaran nama yang tepat untuk menyamarkan nama kampung ini.

---xxx---

Langsung ke cerita;
Kita akan memutar waktu dimana ketika pertama kali kampung ini berdiri dan hanya di huni oleh beberapa kepala keluarga yang bisa di hitung jari, namun, sebelum saya mulai, tak ada salahnya buat saya mengingatkan, bahwa cerita ini di tulis berdasarkan pengalaman.

Dan cerita-cerita yang sudah berkembang langsung di ceritakan oleh warga, tetangga, tetua kampung hingga semua orang yang dulu pernah terlibat secara langsung atau tidak langsung, jadi semua cerita ini bisa di pertanggung jawabkan. dan saya sebagai tidak melebih-lebihkan kejadian atau pengalaman dengan mereka yang juga menghuni alam ini bersama kita.

---"TAMU"---

Malam itu, hujan rintik-rintik, sudah 3 hari berturut-turut hujan turun di kampung ini, pos ronda terlihat sepi, tidak ada orang yang akan mau apalagi repot-repot pergi berjaga di kampung dengan kondisi dingin di sertai hujan seperti ini, hal itulah yang di pikirkan oleh Mbah Gimon.

Saat itu usianya masih terbilang muda berkisar antara umur 30'an.

Kaget bercampur penasaran, karena di pos ronda yang jaraknya hanya sekitar beberapa meter dari rumah mbah Gimon ada seseorang yang tengah duduk disana, sendirian dengan bercahayakan lampu petromax yang menyala-nyala.

“Siapakah gerangan?” kata mbah Gimon dalam hati

Namun rasa penasaran itu di tepis begitu saja, karena yang tersirat dalam pikiran mbah Gimon, hanyalah mungkin anak muda yang sedang mencari angin atau mungkin orang yang berteduh dari rintiknya hujan sembari menikmati suasana.

Anehnya, kejadian ini terjadi berkali-kali, setiap malam, di kala hujan turun dan tidak ada warga satupun yang pergi keluar, selalu saja di temui sosok itu tengah duduk sendiri.

Karena rasa penasaran yang semakin lama semakin menggunung, maka, malam itu, ketika hujan turun kembali, di temuilah sosok itu, dan benar saja, sosok itu seperti sudah menunggunya.

“Assalamualaikum” kata mbah Gimon, menyapa, rupanya yang ada di hadapanya adalah seorang pemuda tanggung, lebih muda dari mbah Gimon saat itu, pemuda itu tidak menjawab, hanya tersenyum tipis, tidak ada hal yang membuat mbah Gimon lebih curiga manakala baru pertama kalinya dia melihat wajah pemuda tersebut di kampung yang hanya di huni oleh beberapa kepala keluarga.

“Sinten nggih? Kok ra tau ketok nok kene sampeyan” (siapa ya? Kok baru pertama kali saya lihat kamu)

Pemuda itu lagi-lagi tidak menjawab, hanya duduk dan melihat mbah Gimon sembari tersenyum tanpa arti, hal itu membuat mbah Gimon tidak nyaman, dinginya malam sudah mulai menusuk ke tulang,

Sembari menunggu jawaban, mbah Gimon merasa semakin curiga dengan pemuda ini.

Tidak beberapa lama, muncul seseorang lain, dengan baju koko dan peci putih, aromanya wangi, berjalan dalam keheningan, yang tau menau orang itu sudah berdiri di hadapan mbah Gimon dan pemuda itu.

“Assalamualaikum” katanya, ramah.

“Waalaikumsallam” jawab mbah Gimon, sembari mencium tangan orang itu yang rupanya adalah Pak Muslimin, guru ngaji sekaligus imam Surah di kampung ini.

Dengan sekali lihat, mata pak Muslim memandang pemuda asing itu, lama ia melihatnya lalu ikut duduk bergabung bersama.

“Onok opo to le, kok onok nang kene?” (ada apa ta nak, kok kamu ada disini?)

Untuk prtama kalinya, pemuda itu menjawab, suaranya kecil dan tampak sopan, “kulo di usir pak kale maha ratu, mboten gadah tempat tinggal” (saya baru saja di usir oleh maharatu, jadi belum punya tempat)

Mbah Gimon tampak tertegun atas apa yang di ucapkan oleh pemuda itu yang terdengar asing di telinganya, apa maksudnya maharatu dan siapa yang mengusir pemuda ini, namun mbah Gimon memilih mendengarkan.

“Ngunu to” (oh begitu) kata pak Muslim “wes ngene a ewes” (sudah begini saja)

“Yo opo nek awakmu tak kek’i enggon gawe panggon ben awakmu gak nganggu warga kene” (bagaimana kalau kamu tak kasih tempat tinggal biar kamu tidak menganggu warga sini) kata pak Muslim.

Mbah Gimon masih terlihat bingung.

“Nggih pak, yen wonten kulo purun” (baik pak, bila ada saya mau)

“Onok-onok” (ada-ada) kata pak Muslim, “jenenge panggon seng tak tawarke jeneng’e SAPI” (nama tempat tinggal yang tak tawarkan itu SAPI)

Mbah Gimon tambah bingung dengan ucapan pak Muslim, sebenarnya apa yang sedang di bicarakan oleh pak Muslim dan pemuda asing ini. Kenapa membahas sapi dan lain sebagainya.

Rupanya, tidak beberapa lama terdengar suara langkah kaki mendekat, mbah Gimon, serta pak Muslim juga pemuda itu memandang kemana suara itu terdengar, rupanya, mbak Pah isterinya pak Muslim yang baru saja datang.

“Aduh pak-pak, niki lo tak pendetno payung, khawatir sampeyan durung muleh” (aduh, pak-pak, ini loh tak bawakan payung, saya khawatir, bapak belum juga pulang dari tadi)

Dan tiba-tiba, pemuda itu berdiri lalu berujar dengan senyuman di wajahnya. “oh, niki to pak seng jeneng’e SAPI kui”

(Oh ini ta pak yang namanya sapi itu)

Pemuda asing itu tiba-tiba lenyap begitu saja, menghilang, mbah Gimon tampak kaget setengah mati, baru pertama dia bisa melihat ada manusia bisa menghilang dari hadapanya, berbeda dengan mbah Gimon, pak Muslim terlihat panik.

“Asu tenan setan sitok iki” (Anj*ng!! bener-bener setan satu ini) katanya sembari mendekati isterinya yang tiba-tiba berdiri dengan mata kosong.

“Ada apa to pak” kata mbah Gimon, wajahnya masih bingung bercampur ngeri bila menyaksikan hal di luar nalar seperti ini.

“Iki loh Mon, setan iki wes enak tak tawari awak’e sapi tambah mlebu gok awak’e bojoku. Bojoku ki di kiro sapi palingan” (Ini loh mon, setan yang satu ini sudah enak tak tawari badan sapi, malah masuk ke badanya isteriku, apa di kira isteriku ini sapi)

“setan nopo to pak?” (setan apa tah pak?)

“Loh, dadi awakmu ra eroh ta sopo arek lanang mau iku?” (loh jadi dari tadi kamu tidak tau anak lelaki yang menemani kamu dari tadi disini??)

Mbah Gimon menggelengkan kepalanya.

“Iku ngunu guk menungso mon, iku POCONG tekan pabrik gula iku” (itu tadi yang menemani kamu bukan manusia, itu pocong dari Pabrik Gula yang ada disana)

Kaget, mbah Gimon tampak pucat. Pak Muslim pun pergi dengan membawa isterinya pulang, entah apa yang akan di lakukan pak Muslim untuk mengeluarkan pocong itu dari tubuh isterinya, karena setelah itu mbah Gimon berlari pulang dan mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.

Ini adalah sekelumit cerita yang saya dengar dari mbah Gimon dulu, setiap kali beliau bercerita ini, saya tak berhenti tertawa karena bagaimanapun ini masih menjadi cerita yang menggelikan, namun, bila saya berpikir kembali, bagaimana bila saya yang di hadapkan dengan pocong secara langsung??????

---"KEMUNING IRENG (BUTO)"---

Pertama kali saya dengar cerita ini dari desa sebelah, masih satu kecamatan dengan desa saya.

Suatu malam, terdengar sebuah suara seseorang tampak tengah mengunyah. semakin lama, suaranya semakin intens, karena rasa penasaran, maka di carilah suara itu yang rupanya berasal dari sawah.

Namun anehnya tidak ada siapapun disana, tapi suaranya masih terdengar, dengan berbekal obor di tangan, pak Salim tetap mencari.

Ia tidak pernah berpikir macam-macam sebelumnya, berjalan di atas rerumputan basah di samping sawah pak Salim masih mencari sumber suara itu.

Sampai ia berhenti di atas tumpukan padi yang sudah di babat, dan menyisahkan akar liarnya, disana pak Salim melihatnya.

Sesosok makhluk yang tingginya hampir setara dengan pohon mengkudu, besarnya kurang lebih 3 lelaki dewasa gemuk, kulitnya hitam legam dengan mata kecil di wajah

Sosok itu menyaruk-nyaruk bekas gabah, memasukkanya ke dalam mulutnya yang besar, seolah-olah makhluk itu sudah lama tidak pernah makan, melihat itu, pak Salim sampai harus menahan nafas, karena pak Salim tau. makhluk apa yang ada di hadapanya.

Menunggu, sendirian, pak Salim masih menunggu makhluk itu pergi, dan benar saja, setelah puas melahap habis sisa gabah di depanya, makhluk itu pergi, langkahnya tersaruk-saruk, yang pak Salim ingat hanya satu, bau tubuhnya seperti bau ubi di panggang dalam api.

Berpikir bahwa pak Salim sudah aman, beliau menceritakan ini pada semua orang, beberapa menanggapi dengan tidak percaya, yang lain menanggapi dengan ngeri, dan yang membuat pak Salim harus menelan ludah adalah ketika pak Salim bercerita pada tetangganya.

Wajahnya pucat mendengar tutur kalimat pak Salim, seolah setiap kalimatnya seperti racun, dengan gagap, tetangga pak Salim memberitahu sebuah mitos tua. tentang makhluk yang suka memakan Gabah. Kemuning ireng. katanya.

Menurut kepercayaan, Kemuning Ireng memang berkeliaran setiap malam, biasanya ia hanya memakan sisa gabah dari sawah yang baru saja panen, dan sesiapa yang melihat Kemuning Ireng untuk menjaga lisanya, dan tidak menceritakanya kepada siapapun,

Karena orang jawa percaya, Kemuning Ireng muncul biasanya di ikuti oleh pertanda bahwa di musim berikutnya, Sawah itu akan panen kembali dengan hasil yang lebih memuaskan, namun, ada satu pantangan yang tidak boleh di lakukan, sesiapa yang melihat Kemuning Ireng, di larang keras menceritakan wujudnya pada siapapun, karena Kemuning Ireng bisa mencium aroma darah manusia, dan bila malam itu pak Salim berpikir bahwa makhluk itu tidak tau bahwa pak Salim memergokinya, sepertinya pak Salim harus berpikir kembali, bisa saja, Kemuning Ireng itu memang sedang mengujinya, dengan cara berpura-pura tidak tau, dan dengan kejadian bahwa pak Salim sudah menceritakan tentang kemunculan makhluk ini, pak Salim mulai di liputi rasa takut. setiap malam, beliau akan berhenti di pintu rumah, melihat keluar dari jendelanya, berharap makhluk itu tidak datang menemuinya.

Malam demi malam di lewati pak Salim dengan rasa khawatir yang bertumbuh menjadi paranoit parah, sampai di malam yang entah keberapa, pak Salim mencium aroma familiar, aroma Ubi yang baru saja di bakar di bara Api.

Pak Salim terdiam melihat sesuatu mendekat.

Di jaman itu tidak ada rumah penduduk yang terbuat dari batu bata dan semen, karena rumah jaman dulu kebanyakan di bangun dari bambu atau kayu, pak Salim hanya duduk bersembunyi di balik pintu, menunggu dan berharap makhluk itu hanya sekedar lewat, namun, aromanya semakin menyengat

Tidak beberapa lama, aroma itu menghilang, lenyap begitu saja. pak Salim kembali mengintip apakah makhluk itu benar-benar pergi, di lihatnya dari sela bambu di dalam rumahnya, dan benar saja, bayangan yang tadi mendekat sudah lenyap.

Berpikir bahwa malam ini pak Salim sudah aman, pak Salim bergegas menuju kamarnya, namun, kaget bercampur kebingungan, pak Salim melihat isterinya sedang tidur dengan dirinya sendiri.

Benar, di atas ranjang, ada sosok yang menyerupai dirinya, sedang tidur bersama isterinya.

Rupanya, itu bukan mimpi. berkali-kali pak Salim mengingatkan dirinya, sampai ia sadar, aroma sosok yang menyerupai dirinya tercium seperti aroma ubi rebus, di situlah pak Salim sadar, makhluk itu entah dengan cara apa dan bagaimana sudah menjelma menjadi dirinya, pertanyaanya sekarang

Apa yang terjadi dengan pak Salim?

Kabarnya, setelah kejadian itu, pak Salim di temukan dalam keadaan gila, isterinya yang pertama kali tahu, namun banyak warga yang mengatakan apa yang terjadi dengan pak Salim karena kelakuanya tempo hari, menceritakan apa yang seharusnya tidak di ceritakan.

Tetangganya sendiri menceritakan semuanya kepada isterinya. apa yang terjadi dengan pak Salim adalah ulah dari Kemuning Ireng, dan memang kebanyakan dari mereka bila berurusan dengan makhluk ini hanya memiliki 2 pilihan.

Mati secara tidak wajar, atau menjadi gila selama-lamanya..

---"NYI PIGIH"---

Tidak ada yang tidak tau bila mendengar nama nyai Pigih, terutama warga rt 05, karena kabarnya, nyai Pigih tinggal di area ini.

Desa ini memiliki 6 rt, dimana rt 5 adalah rt yang paling dekat dengan rawa dan area pemakaman, serta rt 05 merupakan rt yang paling sepi warganya. Bahkan jarak satu rumah ke rumah lain sangat jauh.

Selain itu, rt 05 juga adalah rt yang paling subur, sejuk, dan nyaman, karena masih di tumbuhi banyak pohon, jadi cuaca panas pun tidak pernah terasa di rt 05, namun kenyamanan rt 05 sepertinya tidak bisa du ucapkan manakala matahari sudah tenggelam.

Karena ketika hari petang, rt 05 adalah rt yang paling mengerikan, bukan hanya karena sepi dan gelap gulita, namun karena banyaknya aktifitas dunia lain yang kadangkala bersinggungan dengan warga, termasuk kehadiran nyai Pigih.

Nyai Pigih atau yang lebih di kenal dengan Pigih yang berarti perawan, adalah sosok wanita bergaun putih dengan rambut panjang yang terurai hingga menyentuh tanah, menurut warga yang pernah melihatnya, penampilanya selalu berbeda-beda namun inti kehadiranya sama.

Yaitu bahwa nyai Pigih adalah seorang perempuan yang pernah hidup dan meninggal di hari dimana ia akan menikah sehingga ia bergentayangan dan suka menampakkan diri pada laki-laki.

Namun faktanya, nyai Pigih lebih sering menampakkan dirinya di hadapan anak mbuncit yaitu anak terakhir.

Yudi. Adalah teman saya sewaktu SMP, rumahnya ada di rt 05, dulu, Yudi pernah punya pengalaman dengan nyai Pigih yang menurutnya ia tinggal di pohon Juwet samping kamarnya.

Rumah Yudi sendiri berdiri di tanah paling ujung, berdekatan dengan kebun bambu, tetangga terdekatnya adalah seorang kakek nenek bernama mbah Giso, yang menempati lahan kebun Bambu, setiap petang, rumah Yudi pasti sudah di tutup, dan memang jaman dulu selalu seperti itu.

Kamarnya sendiri berada di belakang, dan di samping kamar Yudi, ada sebuah pohon juwet tua.

Semua orang pasti tau apa itu pohon Juwet, sejak dulu pohon juwet memang menyimpan sejuta misteri, karena menurut kabar, pohon juwet adalah salah satu pohon yang di sukai oleh bangsa lelembut, termasuk pohon juwet samping kamar Yudi.

Setiap malam, Yudi mencium aroma melati yang menyengat dari luar kamarnya.

Aroma melati bukanlah hal asing bagi mereka yang sudah terbiasa menciumnya, karena mitosnya, aroma melati seringkali di kaitkan dengan kehadiran 3 makhluk, Kuntilanak, Sundel bolong, dan nyai Pigih.

Namun kali ini, tidak hanya aroma melati yang tercium, namun, sebuah ketukan di jendela kayu kamar Yudi.

“tok tok tok”

Yudi sendiri tidak berani memeriksanya, apalagi melihatnya. Karena pernah Yudi tanpa sengaja menangkap sosok asing saat ia tidak sengaja mengintip dari celah jendela kayunya.

Yudi melihat sesuatu di sudut lahan luar kamarnya, tepat di bawah pohon juwet, ada seseorang yang sedang berjongkok. Ia mengenakan gaun putih, dengan rambut yang sangat panjang, awalnya Yudi mendengar suara lirih, seperti seseorang sedang bernyanyi, membuyarkan kantuk Yudi.

Berbekal nekat dan penasaran, Yudi mengintipnya.

Ketakutan adalah hal pertama yang Yudi rasakan.

Meski membelakangi, namun Yudi tau, suara itu berasal dari dia yang ada disana. Nadanya hampir menyerupai nada sinden yang biasa terdengar di pergelaran wayang.

Lama Yudi mengamati, sampai, ia membalikkan wajahnya.

Setelah itu. Yudi melesat ke tempat tidur, mencoba melupakan apa yang baru saja dia lihat,

Kabarnya semenjak kejadian itu. Yudi seringkali merasa bahwa dia terkadang mampir dan masuk ke dalam kamar Yudi. Yang paling tidak akan bisa Yudi lupakan adalah, ketika Yudi melihatnya, duduk di almari baju Yudi, menatapnya dengan bibir tersenyumnya.

Meski begitu, Yudi mengatakan bila nyai Pigih tidak pernah sampai membuatnya celaka, hanya menampakkan dirinya sesekali, seolah memberitahu eksistensinya di hadapan Yudi.

Sekian dulu ceritanya, silakan dilanjut ke cerita-cerita lainya.. 😁
close