Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENUNGGU BERINGIN TUA


JEJAKMISTERI - Langit masih terlihat cerah meski pun jam di dinding telah menunjukkan pukul 4 sore, Ryan tengah serius mengerjakan PRnya.

Sampai sebuah suara teriakan dari luar rumah membuyarkan konsentrasinya.

"Ryan, dolan yok!" (main yuk!) ya, itu suara Denis teman sekolahnya, Ryan pun membereskan bukunya lalu beranjak keluar untuk menemui temannya itu.

Denis adalah teman satu sekolah yang juga tinggal satu kampung dengan Ryan.

"Arep dolan nandi?" (mau main kemana) tanya Ryan.

"Ning kali etan kono, karo konco liyane" (di sungai ujung timur, bersama teman yang lain) jawab Denis.

"Sopo ae sing melok, Den?" (siapa saja yang ikut?) tanya Ryan lagi.

"Agus karo Pardi"

Ryan tampak ragu-ragu, "Aku durung gawe PR, piye?" (aku belum mengerjakan PR, bagaimana?)

"Halaah... gampang, mbengi kan iso, aku ae yo durung gawe PR nuw.
Yo wis lah, ayok"
(Gampang, malam kan bisa, aku sendiri belum buat PR loh. Zaudah lah ayok)

Di ujung jalan sudah menunggu Pardi dan Agus, mereka berempat lalu berjalan ke arah timur menuju sebuah sungai yang airnya masih jernih.

Sepanjang jalan mereka saling bergurau, tertawa-tawa, walau tidak sering tapi bermain ke sungai memang menjadi tempat favorit mereka.

***

"Sudah yuk, kita naik ke atas, sebentar lagi mau Maghrib" kata Pardi.

Ketiga temannya tampak setuju dan mereka pun lalu naik melalui tumpuan batu-batu kali ke daratan.

"Yan, delok iku wit Duwet (pohon buah Jamblang)" Pardi menunjuk ke arah sebuah pohon.

Ketiga temannya serentak mengarahkan pandangan pada pohon Duwet di pinggir sungai, seketika mata mereka pun berbinar, karena ternyata pohon itu telah berbuah lebat.

"Asek iso pesta duwet iki" (asik, bisa pesta duwet nih) kata Agus.

Bergegas Ryan dan Denis memanjat pohon Duwet itu dan memetiki buahnya, lalu melemparkan ke bawah.

Sementara Pardi dan Agus sibuk memunguti buah duwet yang di jatuhkan oleh kedua temannya dari atas pohon.

Setelah di rasa cukup mereka berjalan dengan riang membawa banyak sekali buah Duwet.

"Kita makan di sana saja yuk" kata Denis.

"Di pohon Beringin itu?"
"Iya, emang napa?" tanya Denis.

"Katanya pohon itu angker!" jawab Agus

"Cocotmu iku Gus, dasar penakut!" kata Denis yang berjalan duluan ke arah pohon Beringin.

Ryan, Agus dan Pardi yang sebenarnya ragu mengikuti di belakangnya.

Di bawah pohon Beringin itulah keEmpat sahabat menikmati buah Duwet yang mereka bawa.

Usai menikmati buah Duwet tiba-tiba Denis berkata, "Enaknya main ayunan nih, leyeh-leyeh menikmati angin sore dengan perut kenyang"

"Iya asik juga, terus mau ayunan di mana?" tanya Pardi.

"Ini dia!" Denis mengambil 2 akar pohon beringin yang menjuntai di atas kepala mereka lalu mengikatnya, ketiga temannya mengerti maksud Denis dan mereka pun membuat simpul yang sama, sambil berayun mereka tertawa-tawa riang.

Sampai tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu yang jatuh, Ryan sadar bahwa bunyi itu berasal dari arah belakang, yang terjatuh karena terkena kakinya yang menjuntai secara tidak sengaja.

Bergegas Ryan melompat turun dari ayunannya untuk memeriksa sesuatu yang terjatuh itu, di ikuti ketiga lainnya.

"Ono opo Yan?" tanya Pardi, Ryan masih berdiri mematung dengan pandangan terpana, membuat ketiga temannya penasaran dan melihat apa yang sedang di lihat Ryan.

Mereka pun tak kalah kaget, karena yang mereka lihat ternyata adalah sebuah tampah yang isinya sudah berantakan, terjatuh dari atas batu tempatnya semula di letakkan.

"Itu kan Sajen" kata Agus.

"Aneh, tadi aku gak lihat ada Sajen di situ" kata Ryan bingung.

"Hii serem, mana sudah mau Maghrib, pulang yuk" kata Denis.

"Sajennya bagaimana?" tanya Ryan.

"Sudah tinggal saja. Paling juga saripatinya sudah di makan sama..." Denis tak melanjutkan kata-katanya, dan justru memberi kode pada ketiga temannya untuk bergegas meninggalkan tempat itu.

Riyan yang semula berniat membereskan Sajen yang berantakan di tanah segera mengurungkan niatnya, di lihatnya ketiga temannya sudah berjalan meninggalkan pohon Beringin menuju Kampung mereka, dengan berlari kecil Ryan menyusul.

Di persimpangan jalan Desa ke empat sahabat itu pun berpisah.

"Sampai ketemu lagi di Musholla ya!" kata Denis.
"Ya!" kata kawan-kawan lainnya menjawab.

Denis berjalan sendiri ke rumahnya, sementara Agus dan Pardi yang satu arah berjalan berdua, sedangkan Ryan yang berbeda arah terpaksa jalan sendirian juga seperti Denis.

Sepanjang jalan pulang Ryan tampak gelisah, karena ia merasa ada sesuatu yang membuntutinya dari arah belakang, namun setiap kali Ryan memalingkan wajahnya kebelakang, tak terlihat seorang pun ada di belakangnya, bergegas ia berjalan pulang, saat Adzan Maghrib dari Musholla berkumandang ia telah masuk ke dalam rumah.

Ada yang aneh di rasakan oleh Ryan, semenjak meninggalkan pohon beringin tadi ia merasa badannya tidak enak, seperti sedang masuk angin, ia merasa tubuhnya menjadi panas, awalnya Ryan tak menghiraukan apa yang di rasakannya, ia fikir mungkin itu hanyalah efek kecapekan setelah bermain di sungai tadi.

Ia pun bergegas mandi, lalu memakai baju koko dan sarung, berjalan cepat ke Musholla yang lamat-lamat sudah terdengar Iqomah di serukan.

***

"Akhirnya selesai juga" batin Ryan, ia merasa senang karena PRnya sudah selesai ia kerjakan, namun perasaan tidak enak badan dan panas yang merasuki tubuhnya belum juga hilang.

Lagi-lagi Ryan berfikir untuk tidak mengindahkannya.

Ia beranjak ke kamar, merebahkan tubuh ke kasur, berharap esok saat bangun pagi sudah segar kembali.

Baru saja mata Ryan mulai ingin di pejamkan.

"Klotak!"

Terdengar suara sesuatu dari atas genting, tepat di atas kamarnya.

"Suara apa tuh?"

"Klotak... Klotak..."

Lagi-lagi terdengar suara sesuatu membentur genteng rumahnya.

Seperti bunyi lemparan batu kerikil yang di lemparkan ke atas genteng.

Ryan coba kembali memperhatikan, namun lama menunggu suara itu tak muncul lagi.

Ryan menarik nafas lega,

"Mungkin itu suara kalelawar yang menjatuhkan makanan di atap rumah" batin Ryan.

Ia pun memejamkan mata dan segera tertidur pulas.

***

Ryan terbangun mendadak pada tengah malam, saat suara "Klotak" itu kembali terdengar.

Di liriknya jam di dinding kamarnya, pukul 12 tengah malam, Ryan mencoba bangkit.

Alangkah terkejutnya ryan saat menyadari kalau kini tubuhnya sudah kaku, tak bisa di gerakkan.

Sekuat apa pun ia berusaha meronta tetap saja ia terdiam kaku, seakan ada sesuatu yang begitu kuat mengikatnya, sesuatu yang tak kasat mata.

Keringat dingin membasahi kening, perasaan takut pun mulai menjalari fikiran, ia coba berteriak memanggil ibunya, namun tak ada suara yang keluar dari mulut.

Ryan jadi semakin panik, wajahnya memucat, apalagi kini rasa panas yang di rasakan dalam tubuh semakin menjadi-jadi.

Di tengah kekalutan Ryan teringat ayat ayat Al Qur'an yang di hafal, segera saja di baca ayat-ayat tersebut dalam hati seraya memohon pada Allah untuk terlepas dari keganjilan yang di alaminya kini, seketika tubuhnya bisa di gerakkan dan ia bisa bicara kembali.

"Emaaaak!!!"

Bu Parni yang tengah terlelap dalam mimpinya sontak bangun mendengar teriakan anaknya, setengah berlari bu Parni menuju kamar Ryan, mendapati anaknya yang masih terbaring namun dengan wajah pucat dan tubuh bersimbah beringat.

"Ono opo Le?" (ada apa nak?) tanya Bu Parni yang langsung memeluk anaknya.

"Ya Allah, awakmu kok panas ngene? Pak! Pak'e!" terkejut mendapati tubuh anaknya yang terasa panas, Bu Parni berteriak memanggil suaminya dan masuklah Pak Budi, suami Bu Parni.

"Ono opo to Buk, mbengi-mbengi kok mbengok-mbengok, ra penak karo tonggo" (ada apa Bu, malam-malam teriak-teriak, gak enak sama tetangga) kata Pak Budi.

"Iki loh anakmu, awak'e panas tenan, sakit opo to jane?" kata Bu Parni panik.

Pak Budi juga tampak terkejut melihat pucat wajah Ryan dan keringatnya yang mengucur deras.

Pak Budi lantas menyentuh kening Ryan.

"Masya Allah, kok panase koyo ngene?" ia malah jadi bingung sendiri.

"Mak, aku ngimpi serem..." kata Ryan.

"Yo wis, sesuk tak gowo ning Puskesmas, ndang jupuk banyu adem, nggo ngompres sirahe" kata Pak Budi.

Bu Parni lantas ke dapur mengambil air dingin ke dalam baskom, berikut sebuah handuk kecil dari kamarnya.

"Makanya Le, kalau mau tidur jangan lupa berdoa" kata Bu Parni seraya mengompres kepala Ryan.

Malam itu Bu Parni tertidur di sisi ranjang Ryan, sementara Pak Budi tidur di kursi depan kamar Ryan.

Tiga hari telah berlalu, obat yang di berikan Dokter Puskesmas pun sudah mau habis, namun sakit Ryan tak kunjung sembuh.

"Assalaamu 'alaikum!"

Terdengar suara salam serempak, suara anak-anak, Ryan tahu itu suara teman-teman sekolahnya yang datang untuk menjenguknya.

Benar saja, mereka yang datang memang teman-teman sekolah Ryan, mereka membawa bingkisan berupa beberapa bungkus roti tawar dan susu kaleng kental manis.

Kunjungan mereka tidak lama, mereka mengunjungi Ryan sepulang dari sekolah, sedangkan bingkisan yang mereka bawa adalah hasil patungan uang jajan teman-teman sekelasnya.

Mereka berpamitan, kecuali Bagus, karena rumah Bagus memang tepat di sebelah rumah Ryan.

Kini tinggallah Bagus seorang yang menemani Ryan.

Bagus ini memang di kenal sebagai seorang anak yang punya kelebihan khusus, ia bisa merasakan dan melihat kehadiran makhluk yang tak kasat mata.

"Ryan..." kata Bagus.

"Apa?" tanya Ryan.

"Kayaknya sakitmu ini bukan sakit biasa deh"

"Hus... kalau bercanda yang bener dong, jangan nakutin lah"

"Beneran Yan, karena aku melihat di belakang kamu ada..."

"Ada apa? jangan nakutin napa!"
"Ada sesosok perempuan, memakai baju putih, cantik. Sebelahnya aku lihat sosok laki-laki yang pakaiannya..." Bagus terdiam sejenak.

"Pakaiannya mirip orang jaman dulu!"

"Ah kamu ini Gus, bukannya doain biar sembuh malah nakut-nakutin gitu!" kata Ryan kesal.

"Iya deh, aku doain biar cepat sembuh" kata Bagus, namun sorot matanya menatap ke arah belakang tubuh Ryan.

Malam harinya, tepat malam jum'at. Seperti biasa Bu Parni pergi menghadiri pengajian Ibu-ibu yang lokasinya bergantian tiap rumah anggotanya, dan biasanya mengundang Ustadzah dari luar Desa yang akan menerangkan hukum-hukum Fiqih ibadah sehari-hari.

Sedangkan Pak Budi malam ini mendapat giliran kerja shift malam.

Di rumah hanya ada Ryan dan Mbakyunya, Wulan.

Malam itu karena kondisi Ryan masih sakit, ia sudah berada di kamarnya, tidur.

Tinggal Wulan seorang yang duduk di ruang tamu menunggu Ibunya pulang pengajian.

Mungkin karena jenuh, bergegas Wulan beranjak dari kursi menuju kamar Ryan untuk mengambil novelnya yang tertinggal, namun alangkah terkejutnya Wulan saat masuk ke dalam kamarnya, ia tak mendapati Ryan di tempat tidurnya, justru yang ia lihat kini adalah tubuh Ryan yang tengah menempel di tembok kamar.

"Melok aku... Melok aku..."

Suara yang keluar dari mulut Ryan, namun suara itu berbeda, seperti bukan suara Ryan, tiba-tiba Ryan yang sedang menempel memanjat tembok itu, menolehkan kepalanya ke arah Wulan.

Wulan terpekik kaget bercampur ngeri, karena ia melihat wajah Ryan yang tersenyum dengan seringai menakutkan, sementara matanya terlihat hanya warna putihnya saja.

Tanpa berfikir lagi Wulan langsung membalikkan badannya dan berlari sekuatnya keluar rumah, yang ada dalam fikirannya kini hanyalah memanggil Ibunya yang ia tahu tengah menghadiri pengajian bergilir di rumahnya Bu Minah.

Bu Parni yang mendengar penuturan Wulan sangat kaget, juga beberapa jama'ah ibu-ibu yang lain yang mendengarnya.

Wulan dan Ibunya langsung pulang, pengajian di bubarkan karena Bu Ustadzah ikut dengan Bu Parni untuk melihat langsung cerita yang tak masuk akal itu.

Sesampainya di rumah, Bu Ustadzah dan Bu Parni terbelalak matanya melihat keganjilan itu, hal yang mustahil ada manusia bisa memanjat dan menempel di dinding layaknya seperti cicak.

Meski sudah di bacakan ayat-ayat suci Al Qur'an bahkan doa-doa pengusir Setan, sesuatu yang merasuki tubuh Ryan masih belum mau keluar, seakan-akan apa yang di baca itu tak memberikan efek apa-apa kepadanya.

Bu Ustadzah akhirnya mohon pamit dan meminta maaf pada Bu Parni karena tak bisa membantu.

Bu Parni menatap Wulan "Nduk. Koen celukno Mbah Rekso yo, jaluk'o mrene saiki" (Nak, kamu panggilkan Mbah Rekso ya, minta untuk kemari sekarang)

Wulan mengangguk, ia mengerti maksud Ibunya.

Mbah Rekso adalah sosok yang di tuakan di Desa itu, kabarnya Beliau juga orang yang sakti dan bisa melawan makhluk ghaib.

Tak lama Wulan kembali bersama Mbah Rekso, Mbah Rekso mengenakan baju hitam dengan blangkon yang menjadi ciri khasnya.

Melihat kedatangan Mbah Rekso, Ryan yang sedang kerasukan itu melompat turun dari dinding kamarnya, lalu duduk di pinggiran kasur, menatap tajam Mbah Rekso.

"Kalian tunggu saja dulu di luar, saya akan coba bicara dengan sosok yang merasuki putra sampeyan" kata Mbah Rekso.

Bu Parni menuruti kata-kata Mbah Rekso, mereka menuju ruang tamu, dalam hati berharap semoga semua ini segera berakhir.

Mbah Rekso tampak menjura hormat pada Ryan, lalu berbicara dalam bahasa jawa halus, terjadilah dialog yang panjang dan cukup sengit.

Ternyata sosok dalam tubuh Ryan tetap tak mau pergi juga.

Di ruang tengah Mbah Rekso berkata pada pada Bu Parni "Angel iki urusane..."

Bu Parni menangis tak kuat lagi membendung air matanya.

"Wis... wis... Ojo panik sek, ndang kon bali bojomu, sekalian jemput koncoku ning Deso sebelah, jenenge Mbah Darmo, Bojomu ngerti omahe" (sudah.. Sudah.. Jangan panik dulu, buruan suruh pulang suamimu, jemput temanku di Desa sebelah, namanya Mbah Darmo, suamimu tahu rumahnya) kata Mbah Rekso.

Wulan segera menelpon Bapaknya dan menyampaikan pesan yang di katakan Mbah Rekso.

Satu jam kemudian Pak Budi kembali ke rumah bersama seorang lelaki dengan mengenakan sorban berwarna hitam di kepalanya.

Secara singkat Mbah Rekso menjelaskan apa yang terjadi di rumah ini pada Mbah Darmo, Mbah Darmo tampak mengangguk-anggukkan kepala, keningnya berkerut karena serius menyimak penjelasan Mbah Rekso.

Selanjutnya Mbah Darmo meminta segelas air putih, lalu menuju kamar Ryan dengan membawa gelas berisi air putih tadi.

Awalnya terjadi dialog, sama seperti sebelumnya kemudian terdengar teriakan Ryan, dan suara-suara bentakan dari Mbah Darmo.

Bu Parni dan Pak Budi yang hendak masuk ke kamar di cegah oleh Mbah Rekso, setengah jam kemudian Mbah Darmo keluar, tubuhnya berkeringat lalu mereka semua duduk di ruang tamu.

"Kalian tenang saja, makhluk itu sudah pergi, namun ia pasti akan kembali, setelah saya beri minum air yang sudah saya bacakan doa tadi, tubuh anak kalian sudah berangsur-angsur hilang panasnya, di tangannya kupasang sebuah cincin batu akik berwarna hitam, tolong jangan sampai cincin itu di lepas untuk sementara ini, karena kalau terlepas makhluk itu akan kembali lagi masuk, dan bisa lebih berbahaya lagi"

Semalaman Pak Budi, Mbah Darmo dan Mbah Rekso tidak tidur, hanya Bu Parni dan Wulan yang tidur di kamar Ryan untuk menjaga anaknya.

Tiga gelas kopi panas, di hidangkan Wulan pagi itu untuk Bapak dan 2 orang tamunya.

Muncul Ryan dari dalam kamar "Reneo Le. Lungguh kene karo Simbah, ra popo, awakmu bakal mari bar iki" (Kemari Nak. Duduk sini sama Mbah, nggak apa-apa, tubuhmu segera sembuh setelah ini)

"Opo sing koen rasakno mau mbengi, Le?" (apa yang kamu rasakan semalam, nak) tanya Mbah Rekso pada Ryan.

Ryan tampak berfikir sejenak, lalu berkata, "Mau mbengi aku koyok ngimpi, di jak lungo karo Wong Ayu nganggo klambi jaman lawas, aku ra gelem, mung aku di pekso" (semalam aku seperti bermimpi, diajak pergi oleh seorang cantik pakai baju jaman dulu, aku tak mau namun aku di paksa)

Mbah Darmo tampak memejamkan matanya, setelah kedua matanya kembali terbuka ia menatap Mbah Rekso.

"Penunggu Kerajaan ning Kali iki, singgasana'e pas ning wit Beringin" (Penunggu Kerajaan di sungai ini, singgasananya tepat di pohon Beringin)

"Maksudmu sing ngganggu iku Ratune?"

"Iya, So. Kalasawuni. Penguasa kerajaan di sungai yang ada pohon Beringin tua itu"

"Akon ngopo ning sungai iku le?"

"Cuma main sama teman-teman, dan gak sengaja menumpahkan Sesajen di dekat pohon Beringin" jawab Ryan.

Setelah menjawab Ryan pamit mau kembali ke kamarnya.

"Iki bakalan dowo urusane..." kata Mbah Darmo.

"Kalasawuni menginginkan nyawa anak sampeyan"

Mbah Darmo menutup pembicaraan dengan kesimpulannya.

Pak Budi hanya bisa bisa tertunduk lemah.

Malam harinya, Mbah Darmo dan Mbah Rekso kembali datang ke rumah Pak Budi.

"Anakmu ojo olih turu mbengi iki, sedurungi urusane beres"

Bu Parni, Wulan dan Ryan masuk ke dalam kamar.

Sementara Mbah Rekso, Mbah Darmo dan Pak Budi duduk bersila di atas tikar di ruang tamu.

Mbah Rekso memasang pagar ghaib di sekeliling rumah Pak Budi.

Mbah Darmo dan Mbah Rekso menutup matanya, dengan bibir berkomat-kamit, posisinya persis seperti orang yang tengah bertapa.

Sementara itu Pak Budi yang juga berada di situ hanya melantunkan dzikir-dzikir yang ia ingat.

Waktu berlalu, tepat tengah malam terdengar ledakan di atas atap.

Mbah Darmo dan Mbah Rekso terpental, dari mulutnya keluar darah segar.

"Darmo dan sampeyan, jaga kamar anakmu, aku akan menghadapi siluman itu di luar."

Mbah Darmo dan Pak Budi menuju kamar Ryan.

Mbah Rekso keluar ke halaman rumah.

Dari dalam kamar terdengar berkali-kali dentuman seperti ledakan, anehnya tak ada tetangga yang keluar, seakan dentuman itu hanya mereka yang bisa mendengarnya.

Lama suara-suara itu terdengar, sekitar jam 4 pagi suara itu berhenti.

Baru saja suara ledakan-ledakan itu hilang, tiba-tiba muncul sosok perempuan berparas cantik, masuk ke dalam kamar menembus tembok.

Ia seperti mengatakan sesuatu pada Mbah Darmo, selanjutnya sosok itu pun menghilang.

Mereka semua keluar untuk melihat apa yang terjadi,, ternyata tubuh Mbah Rekso terbaring tengkurap di halaman depan, Mbah Darmo membalikkan badannya, masih hidup, Mbah Rekso hanya pingsan.

Sebagai penutup, Ryan akhirnya sembuh total, sosok Kalasawuni hanya meminta tumbal berupa 10 ekor ayam cemani.

Justru putra Mbah Rekso yang mati sebagai gantinya.

Jadi malam itu ternyata terjadi pertempuran hebat, antara pasukan Kalasawuni dengan jin-jin peliharaan Mbah Rekso, yang mana akhirnya Mbah Rekso kalah dan pingsan.

Menurut Mbah Darmo sebenarnya kalasawuni tak ingin mengambil nyawa anak Mbah Rekso, kalau saja malam itu Mbah Rekso tidak membunuh anak Kalasawuni.

Nyawa di bayar nyawa.

Keluarga Ryan merasa bersalah atas kematian putra Mbah Rekso, namun Mbah Rekso sudah ikhlas, karena ia sadar ia telah bersalah membunuh anak Kalasawuni.

Akhirnya, kisah ini saya tutup dengan sebuah pesan.

Tetaplah menjunjung adat istiadat suatu daerah di mana pun Anda berada, serta untuk tidak mengusik keberadaan makhluk lain selama mereka tidak mengganggu.

~SEKIAN~

NB : Sedikit tambahan yang saya lupa cantumkan, bahwa tokoh Ryan dalam cerita ini berdomisili di Surabaya, dan kejadian yang di Kisahkannya ini terjadi pada tahun 2015.

Kalasawuni ini adalah sosok siluman ular penunggu sungai yang Kerajaannya berpusat di Pohon Beringin Tua, kalau dalam cerita KKN di Desa Penarinya Simpleman ia mirip dengan sosok Badarawuhi.
close