Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG DUKUN - TATAPAN NYAI DASIMAH

BILA HATI DIPENUHI RASA BENCI, YANG HARAM DIHALALKAN, YANG PUTIH MENJADI HITAM DAN YANG DILARANG ITULAH PEGANGAN.

Apabila seseorang manusia menatapmu dengan matanya yang penuh dengan kebencian, iri dengki dan dendam. Maka berhati-hatilah engkau, karena sang dukun akan bertindak !


JEJAKMISTERI - Pagi itu jerit histeris Imas mewarnai kediaman Galih.

"Sakiit.. aakh!" erang Imas sambil memegang kepalanya. Ia berguling ke kiri dan kanan, sebab sakit yang tak tertahankan.

Galih yang panik merasakan ada sesuatu yang ganjil. 'Ini bukan sakit kepala biasa. Aku harus bawa dia ke Bilik Ruqyah', gumamnya dalam hati. Galih pun segera mengambil kunci mobil.

"Neng, ayo, kita ke rumah Ustaz Fikri," ajak Galih seraya memegang tangan Imas yang masih mengerang di lantai.

Imas mengangguk lemah. "Iya, A ...."

Dengan hati-hati Galih membopong tubuh Imas yang lemah menuju mobil, dan membaringkannya di jok belakang. Mereka lalu meluncur ke Bilik Ruqyah.

Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba. Ada beberapa pasien ruqyah beserta keluarga yang mendampingi terlihat duduk santai di teras.

"Alhamdulillah nggak terlalu ramai," gumam Galih. "Neng, tunggu sebentar, ya. Aa mau daftar dulu."

Imas hanya mengangguk sambil memijat pelan keningnya. Galih turun dari mobil, dan berlari kecil memasuki Bilik Ruqyah. Di ruang pendaftaran tampak Iis, asisten Ustazah Azizah, sedang sibuk menulis di mejanya.

"Assalamualaikum," sapa Galih.

"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Saya mau daftar ruqyah."

"Siapa yang mau diruqyah?"

"Istri saya, Imas."

Iis mencatat dengan cepat. "Istrinya dibawa, Pak?"

"Ada di mobil."

"Langsung dibawa ke sini saja, Pak, karena yang sedang diruqyah oleh pak ustaz di dalam itu pasien terakhir."

"Oh, begitu..." Galih mengangguk, lalu pergi menuju mobil untuk membawa Imas.

Namun, betapa terkejutnya Galih saat membuka pintu mobil, sang istri tidak berada di dalam.

"Neng? Neng Imas?" Galih celingak-celinguk memanggil Imas. Ia berjalan memutari mobil, tapi Imas tidak ada.

"Ya, Allah... ke mana dia?" bisik Galih sambil bertolak pinggang. Raut wajahnya sangat cemas.

"Aa! A Galih, tolong, A!" teriakan Imas mengejutkan Galih.

Galih mencari sumber suara. "Neng?"

"Aa!"

Galih melongok ke atas. Matanya terbelalak lebar. Imas sedang tergantung di pohon. Ia meronta-ronta dengan tangan mencengkeram leher, seperti mencekik.

"Astagfirullahalazim!" Galih kebingungan. Ia mencoba memanjat, tapi ia urungkan niatnya itu, sebab tidak mungkin ia bisa menyelamatkan Imas seorang diri.

"Tolong!!" teriak Galih sambil berlari menuju Bilik Ruqyah. Membuat orang-orang yang berada di teras terkejut, sekaligus panik.

"Ada apa, Pak?"

"Kenapa, Pak?"

Galih langsung masuk ke ruang praktik ruqyah, tanpa menghiraukan orang-orang yang bertanya-tanya di belakangnya. "Pak Ustaz... tolong saya... tolong, istri saya..." Napasnya terengah-engah.

Ustaz Fikri yang sedang meruqyah otomatis menghentikan aktivitasnya. "Ada apa, Pak? Kenapa istrinya?" tanyanya.

"Istri saya.. ada di atas pohon. Tolong saya, Pak," jawaban Galih membuat Ustaz Fikri tercengang.

"Ayo, Pak... cepat, Pak.. tolongin istri saya," mohon Galih, lalu ia kembali berlari ke luar.

Ustaz Fikri memberi isyarat kepada salah seorang asisten, untuk menggantikannya meruqyah pasien, lalu mengajak asisten yang lain mengekor Galih.

~~~~~~~~~~

"Di mana, Pak, istrinya?" tanya Ustaz Fikri.

Galih menunjuk ke atas. "Itu, Pak Ustaz."

"Toloong!" teriak Imas saat tubuhnya terangkat dengan sendirinya.

"Astagfirullahalaziim!" seru Ustaz Fikri dan asistennya serentak. Lantas mereka mulai membaca ayat Kursi.

Mendadak Imas merosot turun, dengan sigap mereka bertiga menangkap Imas hingga mereka tersungkur di tanah.

"Neng... Neng..." Galih menepuk-nepuk pelan pipi Imas.

"Dia pingsan, Pak. Ayo, cepat kita bawa dia ke rumah!" perintah Ustaz Fikri.

Galih pun menggendong Imas, lalu mereka berjalan cepat kembali menuju Bilik Ruqyah. Baru beberapa langkah, Galih merasakan hawa dingin di tengkuknya, padahal matahari sangat terik.

Galih menengok ke belakang. Manik matanya membulat. Sosok raksasa bertubuh hitam besar, dan mata merah menyala, sedang berdiri tepat di depan pohon.

Galih membuang muka. 'Ya, Allah... apa itu?' tanyanya dalam hati. Tubuhnya mulai gemetar. Ia menengok lagi ke belakang, tapi sosok itu sudah menghilang.

"Pak!" seru Ustaz Fikri, mengejutkan Galih.

"I-iya!" Galih pun mempercepat langkahnya masuk ke dalam rumah.

"Baringkan di sini!" perintah Ustaz Fikri.

Galih menurut, dan membaringkan Imas di atas karpet.

Ustaz Fikri memakai sarung tangan berwarna hitam, lalu menekan ibu jari Imas. Kemudian, ia melafazkan surat Al-Fatihah, dan ayat Kursi, masing-masing sebanyak tiga kali.

Imas mulai bereaksi. Ia mengerang, dan langsung terduduk. "Diam kamu!" bentaknya sambil melotot pada sang Ustaz. Suaranya terdengar berat, dan serak.

Namun, tentu saja Ustaz Fikri tak menggubrisnya. Ia lanjut melantunkan ayat Al-Mu'awwizat/tiga Qul (Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas), juga masing-masing sebanyak tiga kali.

Imas meronta-ronta, kakinya menendang-nendang Ustaz Fikri. Galih yang memegangi istrinya itu pun mulai kewalahan.

"Ayo, kamu keluar. Kasian muslimah kita yang tidak bersalah ini." Ustaz Fikri mencoba komunikasi dengan jin yang bersemayam di tubuh Imas.

"Hahahahahaa! Nggak!"

"Kalau kamu tidak mau keluar, kamu masuk Islam, ya?"

"Apa? Masuk Islam? Hahahaha! Saya jin Muslim, tau!" Jin di tubuh Imas semakin bertingkah. Tak lama kemudian, Imas memejamkan mata, duduk bersila, dan menghela napas. Imas melantunkan ayat-ayat suci AlQuran dengan merdu.

Galih terpana, ia mulai melonggarkan pegangannya pada lengan Imas yang sudah mulai tenang, dan memandang istrinya dengan tatapan tak percaya. Itu karena suara Imas tak semerdu itu saat mengaji.

"Jangan dilepas!" seru Ustaz Fikri saat melihat Galih tidak lagi memegangi Imas.

Tiba-tiba saja Imas berhenti mengaji, lalu mencekik Galih. Dengan sigap asisten dan Ustaz Fikri melepaskan tangan Imas dari leher Galih, lalu membaringkannya.

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imas yang berontak sambil berteriak itu seketika tak sadarkan diri ketika Ustaz Fikri membacakan surat Al-Maidah : 33-34.

***

Boneka santet yang sedang dicekik oleh Dasimah mengepulkan asap hitam. Ia tersentak, lalu menjatuhkan boneka itu.

"Ustadz sialan!" geramnya.

"Mana makananku, Dasimah, aku lapar?"

Dasimah menatap tajam sosok bermata merah di sudut kamarnya. Ia mengambil keresek hitam yang disembunyikannya di kolong kasur, lalu mengeluarkan isinya.

"Ini!" Dasimah melempar janin tanpa tangan dan kaki hasil aborsi yang sudah membusuk.

*

Semalam, Dasimah tak sengaja melihat sepasang kekasih sedang mengendap-ngendap di sebuah kebun, saat dirinya hendak pergi ke makam. Apalagi kalau bukan untuk mencari mayat. Dasimah yang curiga, mengintip sejoli itu dari belakang pohon pisang.

"Neng, kubur di sini aja, ya?" bisik sang lelaki.

"Iya, deh, terserah! Cepetan nanti ada yang liat!" ucap si perempuan sambil menengok kiri kanan, mengawasi keadaan sekitar.

Lelaki itu pun mulai menggali, setelah itu mengubur sebuah kantong keresek. Selesai melancarkan aksinya, kedua pasangan itu lari terbirit-birit entah ke mana.

Dasimah melangkahkan kaki menuju gundukan tanah yang tertutup daun kering itu. Karna penasaran, Dasimah menggalinya dengan tangan kosong. Belum terlalu dalam menggali, keresek hitam tersebut sudah terlihat, dan ditarik keluar oleh Dasimah.

Dasimah membuka ikatan keresek itu. Saat melihat isinya, dia tersenyum lebar, senyum yang mengerikan.

"Janin bayi, makanan yang lezat bagi makhluk peliharaan ku" desis Dasimah, menjilat bibir atasnya.

~~~~~~~

BILA HATI DIPENUHI RASA BENCI, YANG HARAM DIHALALKAN, YANG DILARANG ITULAH PEGANGAN !

*****

Seperti biasa, pagi itu Dasimah hendak pergi ke rumah Rima. Di perjalanannya, ia sengaja menyimpang ke rumah Imas. Dengan mengendap-endap, Dasimah mendekati rerimbunan pohon teh-tehan yang menjadi pagar rumah itu.

Dasimah menengok kiri kanan. "Sepi," gumamnya.

Kemudian, ia mengeluarkan kantong keresek dari dalam tas. Setelah kantong itu dibuka, Dasimah komat-kamit membaca mantra, lalu menaburkan tanah kuburan di sekitar rumah Imas.

Dasimah tersenyum miring. "Rasakan akibatnya kalau kamu berani merebut apa yang seharusnya jadi kebahagiaanku!"

Setelah melakukan aksinya, Dasimah meneruskan berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar di teras rumah.

"Saya juga mau atuh, Kang, punya mobil bagus kayak dia!" seru si istri sambil menunjuk.

Dasimah mengikuti arah telunjuk itu, yang mengarah ke halaman rumah tetangganya yang baru saja membeli mobil baru.

"Pokoknya, kalo Akang nggak beli mobil, kita cerai!" Si istri masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu, meninggalkan suaminya yang mengacak rambut frustrasi.

Dasimah menyeringai. "Ada santapan, nih." Lalu ia terkekeh pelan.

"Serahkan semua padaku."

Tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinga Dasimah. Ia manggut-manggut, kemudian melangkah pasti menghampiri si akang.

"Kang Asep," sapa Dasimah.

Kang Asep mendongakkan kepalanya. "Eh, Nyai."

"Kenapa, atuh, pagi-pagi begini, kok, mukanya udah ditekuk aja?" tanya Dasimah sok ramah.

"Istri saya, Nyai, masa minta mobil? Saya, kan, cuma penjual nasi goreng."

Dasimah mengangguk. "Ooh, begitu..."

"Iya, Nyai. Uang dari mana coba?" Kang Asep membuang napas kasar.

Dasimah tersenyum. "Kang Asep bisa, kok, beli mobil. Akang bisa dapatkan uangnya dengan cara yang mudah."

Kang Asep mengerutkan kening. "Caranya, Nyai?"

"Nanti malam datang ke rumah Nyai, ya! Nanti Nyai kasih tahu caranya."

***

Tepat pukul sembilan malam Kang Asep datang ke rumah Nyai Dasimah.

"Assalamualaikum, Nyai," salam Kang Asep sambil mengetuk pintu.

Dari dalam rumah bilik itu Dasimah menyahut, "Ya, waalaikumsalam."

"Punteun pisan (maaf sekali), Nyai, saya baru datang jam segini," ujar Kang Asep saat pintu dibuka.

"Teu nanaon, Kang. Mangga ka leubeut (Tidak apa-apa. Mari masuk)."

Kang Asep pun masuk setelah dipersilakan. Matanya menyisir seluruh sudut ruangan yang hanya disinari lampu minyak. "Nyai, tidak takut tinggal di sini sendirian?" tanyanya, bergidik ngeri.

Dasimah terkekeh. "Ah, takut apa, atuh? Tidak ada apa-apa di sini, tidak ada yang aneh-aneh. Mun aya jurig oge, jurigna nu sieun ka Nyai (kalaupun ada setan, setannya yang takut sama Nyai)." Dasimah terkikik, persis tertawanya Mak Lampir di sinetron.

Kang Asep tercekat. "Hah? Maksudnya, Nyau?" Ia mengelus tengkuknya, merinding.

"Sudah, sudah. Nyai bercanda. Duduk, Kang."

"I-iya, Nyai." Kang Asep bersila di depan Dasimah. "Jadi, bagaimana caranya, Nyai... supaya saya bisa cepat dapat uang untuk beli mobil?"

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengeluarkan selembar kertas yang telah dia persiapkan. "Nih, ya, caranya mudah. Kang Asep tempelkan saja kertas ini di dalam rumah atau di pintu."

"Apa ini, Nyai?" tanya Kang Asep heran.

"Coba dibuka. Itu kertas isinya Asmaaul Husna," jelas Dasimah.

Kang Asep pun perlahan membuka kertas tersebut, dan membacanya dengan saksama. "Iya, betul, Nyai. Ini memang Asmaaul Husna."

Kemudian Dasimah mengeluarkan selembar kertas lagi. "Nah, kalau yang ini jimat penglaris."

"Jimat penglaris, Nyai?"

"Sumuhun, kasep (Iya, ganteng). Akang, kan, jualan nasi goreng... nah, kertas itu nanti ditempel di tempat jualannya Kang Asep. Nyai yakin, pasti nanti banyak yang beli." Nyai melirik bayangan hitam di belakang Kang Asep. Bayangan yang sedang mencoba membisikkan sesuatu ke dalam pikiran lelaki kurus tersebut, memengaruhi imannya.

Kang Asep mengangguk-angguk. "Ooh, seperti itu, Nyai..."

"Iya. Paham, 'kan? Gampang, 'kan?" Dasimah mengangkat kedua alisnya.

"Iya, Nyai. Mulai besok akan saya coba," ujar Kang Asep mantap. "Kalau begitu saya pamit, Nyai, nanti istri saya nyari. Saya bayar berapa, ya, Nyai?"

Dasimah menggeleng. "Tidak usah bayar pakai uang."

Kening Kang Asep mengerut. "Jadi, saya bayar pakai apa?"

"Nanti saja, Kang, kalau sudah berhasil, baru Nyai kasih tau." Dasimah mengedipkan sebelah matanya.

"Ya sudah, Nyai, hatur nuhun (terima kasih), saya permisi," pamit Kang Asep.

"Eh, tunggu, Kang."

Kang Asep menghentikan langkahnya. "Ada apa, Nyai?"

"Kang Asep lakukan itu harus diam-diam. Jangan ada sampai ada orang lain yang tahu, kecuali istri. Jadi, sebaiknya jimat Asma'ul Husnaa pasang saja di kamar, dan suruh istrinya Kang Asep kunci mulutnya, kalau dia benar-benar mau mobil!"

Kang Asep tampak berpikir sejenak. "Baik, Nyai. Assalamualaikum." Kemudian ia beringsut pergi.

"Waalaikumsalam." Dasimah menutup pintu rumah, lalu mengintip kepergian Kang Asep dari balik gorden.

Setelah Kang Asep sudah tak terlihat, Dasimah terkikik nyaring. Bahkan, menyaingi kikikan kuntilanak yang sedang 'ucang-ucang angge' di dahan pohon nangka di depan rumahnya.

"Diam kamu kunti! Malam ini saya yang sedang senang!" Dasimah terkikik lagi.

"Aseep... Asep... dasar manusia penuh nafsu dunia! Sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Segala cara dihalakalkan! Si Asep itu tidak tahu... kalau di tengah-tengah tulisan Asma'ul Husnaa ada kata 'qitmir' alias anjing," racau Dasimah, kemudian terbahak.

Kemudian, Dasimah memandangi satu per satu jin di sudut ruang itu. "Datang dan bawalah teman-teman kalian ke rumah di Asep, sebanyak-banyaknya, karna dia sudah memanggil kalian dengan sukarela. Ahahahahaaa!"

***

Kediaman Galih dan Imas tampak hening. Galih yang sedang makan malam sendiri samar-samar mendengar bunyi yang tak biasa.

"Suara apa, ya?" Galih menajamkan pendengaran. "Kayak suara gamelan," lanjutnya sambil mengelus tengkuk. Akan tetapi, dia tak menghiraukannya, dan kembali menyuap nasi terkahir.

Selesai mencuci piring, Galih berniat menyusul Imas yang lebih dulu tidur. Namun, saat dia membuka pintu kamar, terlihat Imas sedang menyisir rambut panjangnya di depan kaca rias.

"Neng... kok, belum tidur?" tanya Galih.

Imas tidak menjawab. Ia hanya menoleh sekilas sambil tersenyum.

~~~~~~~~~~~

"Tidur, yuk, aa ngantuk," ajak Galih sembari memeluk Imas dari belakang, lalu mengecup lembut kepala istri tercintanya.

Di usia perkawinan yang ke 24 tahun, mereka belum juga dikaruniai buah hati. Imas sudah tiga kali mengandung, tapi selalu keguguran tanpa sebab pada usia kandungan kelima bulan. Hal tersebut membuat pasutri itu tetap mempertahankan panggilan 'neng-aa' agar selalu romantis seperti saat mereka memadu kasih dulu. Terlebih lagi usia Imas 7 tahun lebih muda dari Galih.

Galih menghirup dalam aroma bunga kenanga pada rambut Imas. 'Aneh... perasaan tadi sore Imas tidak keramas. Dan sejak kapan dia pakai sampo dengan wangi bunga?' batinnya.

Imas melepaskan tangan Galih yang melingkar di pinggangnya, lalu membalikkan badan. "A..."

"Apa, Neng?" tanya Galih yang kini mendaratkan berat tubuhnya di pinggir kasur.

"Neng pengen rasain yang namanya ngelonin bayi, sambil nyanyiin lagu tidur." Imas menatap lekat Galih. Wajahnya tampak dingin, membuat suaminya itu merasa tak nyaman.

"Sabar, Neng. Allah belum kasih kita amanah untuk punya anak."

Imas mengambil boneka teddy bear milik keponakannya yang tertinggal dari atas meja rias. Ia menidurkan boneka itu di tangannya, seperti menidurkan seorang bayi. Kemudian dia mulai bernyanyi,

Lingsir wengii.. (Saat menjelang tengah malam)

Sepi durung biso nendro (Sepi tidak bisa tidur)

Kagodho mring wewayang (Tergoda bayanganmu)

Kang ngreridhu ati (Di dalam hatiku)

Kawitane (Permulaannya)

Mung sembrono njur kulino (Hanya bercanda kemudian biasa)

Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno (Tidak mengira akan jadi cinta)

Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi (Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku)

Nandang bronto (Menderita kasmaran/jatuh cinta)

Kadung loro (Telanjur sakit)

Sambat-sambat sopo (Aku harus mengeluh kepada siapa)

Rino wengi (Siang dan malam)

Sing tak puji ojo lali (Yang kupuja jangan lupakan)

Janjine mugo biso tak ugemi (Janjinya kuharap tak diingkari)

Galih beringsut mundur mendengar suara Imas yang merdu, tapi membuat bulu kuduknya berdiri.

"Sudah, Neng. Apaan, sih, kok nyanyi begituan? Yuk, ah tidur." Dengan cepat Galih melebarkan selimut.

Imas berdiri, dan meletakkan boneka itu ke tempatnya. Ia membuka tali piama yang dikenakan, sehingga tampaklah tubuhnya yang sintal, hanya tertutupi pakaian dalam. Galih menatap sang istri yang tampak begitu menggoda.

Perlahan Imas merangkak mendekati Galih.
"A...," lirihnya.

Galih menelan salivanya. Ia merasa tak biasa dengan tingkah laku Imas. Saat Imas mulai mendekap Galih, dia pun mencium bau anyir dari tubuh Imas.

"Neng, m-maaf, aa capek," ujar Galih beralasan.

Seketika Imas terduduk, mengejutkan Galih. "Aku ingin bayi!"teriaknya. Dan yang terjadi kemudian adalah, wajahnya berubah menyeramkan, mata Imas yang menatap tajam Galih itu memutih, lalu Imas melompat ke dinding di belakangnya.

Galih tercekat, matanya membelalak. Mulutnya ingin merapalkan doa, tapi terkunci.

Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan.

"“Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum..." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar.

"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum..." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan.

"Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.

Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakan ayat Allah tersebut dengan lantang.

Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cicak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik.

Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas.

"Imas, sadar! Istigfar, Neng!"

Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Alfatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.

Galih terduduk lemas. 'Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa setelah diruqyah Imas tetap mengalami gangguan?' batinnya

***

Kang Asep tampak semringah. Wafaq Asmaaul Husna yang diberikan Dasimah kini telah menghiasi dinding kamarnya.

"Kang, beneran kita bisa jadi kaya?" tanya Nining, istrinya.

"Nyai Dasimah bilang begitu. Sudahlah, kita bersabar saja," jawabnya. Nining hanya mengangguk. "Lontongnya sudah siap belum?"

"Sudah, Kang."

"Kalau gitu akang mau bersihkan gerobak dulu." Kang Asep ke luar kamar. Pada pagi hari Kang Asep berjualan lontong sayur sedangkan sore sampai malam berganti berjualan nasi goreng.

Selesai mengelap gerobak dan mencuci roda sampai bersih, Kang Asep mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana pangsi yang setia menemaninya berjualan.

"Apa itu, Kang?" tanya Nining.

"Ini jimat penglaris. Kata Nyai, kalau akang jualan pakai jimat ini, nanti bisa laku dagangan akang."

Mata belok Nining berbinar. "Kalau dagangan Akang laris-manis, kita bisa cepat kaya atuh, Kang?"

Kang Asep mengangguk mantap. "Mudah-mudahan." Kemudian Kang Asep merekatkan jimat itu di bagian dalam gerobak, tempat memasang gas. Tujuannya agar tak ada orang lain yang melihat. Setelah semua siap, Kang Asep pun pergi ke tempat biasa dia menjajakan dagangannya.

Sementara itu, di rumah Galih, Imas baru terbangun dengan keadaan linglung.

"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih.

"Pusing, A," jawab Imas seraya memijat pelan pelipisnya. "Semalam aku kenapa?"

Galih menghela napas. "Neng tidak ingat?" Imas menggeleng. "Kamu kerasukan."

Imas tersentak. "Astagfirullah. Kok, bisa? Kan, aku sudah diruqyah, A."

"Aa juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Lebih baik sekarang Neng cepat mandi, sholat subuh, trus sarapan. Kita pergi lagi ke Bilik Ruqyah."

~~~~~~~~~~~~

Imas mengernyitkan dahinya. Sekilas dia menengok ke arah jendela yang sudah diintip sinar matahari, lalu melihat jam. "Ya Allah... tapi sekarang sudah jam setengah tujuh, A. Memang masih bisa subuhan?"

Galih tersenyum. "Bisa, Neng, kan baru bangun. Pas jam lima aa bangunin Neng, tapi Neng tidak bangun. Ayo, cepat, sana mandi."

Imas mengangguk mengiyakan. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi.

"A, neng mau sarapan lontong sayurnya Kang Asep," pinta Imas sambil melipat mukenanya.

"Kang Asep yang jualan di belokan gang, ya? Yang dekat tukang ojek?"

Imas mengangguk. "Iya. Memang kenapa?"

"Bukannya kurang enak? Aa perhatikan jarang ada yang beli."

"Tapi jam segini mah baru dia yang jualan, A. Lagi pula dekat, kan, dari rumah kita. Daripada harus cari-cari lagi."

"Ya sudah, yuk." Galih dan Imas pun siap-siap pergi.

Dengan mobil putih berplat Z itu pun mereka meluncur ke tempat Kang Asep. Dari jauh tampak kerumunan orang yang sedang mengantri membeli lontong sayur.

"Wah, ramai, Neng. Tumben," ujar Galih saat menghentikan mobilnya.

"Iya, Kang. Yuk, kita turun. Neng jadi penasaran."

Mereka berdua pun turun dari mobil. Terlihat oleh mereka Kang Asep yang tengah sibuk melayani pembeli. Namun, tiba-tiba saja Imas menjerit sambil menutup muka.

"Imas, kamu kenapa?" tanya Galih terkejut.

"A, ayo, cepat kembali ke mobil!"

"Loh, kok? Katanya mau makan lontong?"

"Tidak jadi." Imas menggeleng kuat, lalu menarik lengan suaminya itu.

"Ayo, cepat jalan, A!" seru Imas saat sudah di dalam mobil. Wajahnya tampak begitu ketakutan.

"Ada apa sebenarnya, Neng?"

"Nanti kuceritakan."

Galih pun menancap gas. Beberapa saat hanya hening yang menemani perjalanan mereka ke Bilik Ruqyah. Ketika berada di lampu merah, Imas membuka suara.

"A, di tempat jualan Kang Asep tadi menyeramkan."

"Menyeramkan bagaimana?"

Imas menarik napas dalam. "T-tadi itu aku me-melihat... mm..." Imas menunduk.

"Lihat apa, Neng? Jangan bikin aa penasaran."

Imas mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat Galih. "Di sana... banyak jin yang sedang menjilati piring-piring Kang Asep, A. Ada juga tiga monyet yang sedang lompat-lompat di meja."

Galih terbelalak. "Ah, kamu, Neng. Jangan ngaco."

"Percaya sama aku, A. Aku lihat sendiri. Sepertinya Kang Asep pakai jimat penglaris."

"Hush! Jangan bicara sembarangan, Neng. Kita tidak boleh suudzon."

Imas menghela napas pasrah. "Astagfirullahaladzim..." Sejurus kemudian lampu hijau pun menyala.

***

Seharian Dasimah tidak ke luar rumah. Ia mulai malas bekerja di tempat Rima. Kini, dia sedang menatap pantulan wajahnya di cermin. Memperhatikan tiap garis keriput, seolah menandakan bahwa dia memang sudah tua.

Dasimah mengambil sebuah kotak kecil dari lemari pakaian yang sudah agak rusak dimakan rayap. Perlahan Dasimah membuka kotak itu. Sebuah benda kecil menyerupai jarum kecil terpampang di sana. Ia menyebutnya susuk pesona.

Bayangannya pun melayang ke 26 tahun yang lalu.

Setahun belajar ilmu hitam membuat Dasimah tampil lebih percaya diri. Untuk mengobati luka hatinya karena cinta yang tak terbalaskan kepada Galih, Dasimah mulai menekuni kembali profesi sinden yang sudah 8 tahun ditinggalkannya.

"Ini, untuk kamu." Ki Prana guru Dasimah memberikan sesuatu kepada Dasimah.

"Apa itu, Ki?" tanya Dasimah.

"Ini namanya susuk pesona. Gunanya agar banyak yang terpesona saat kau menyinden nanti. Sini, kupakaikan."

***

Tepat di malam Minggu, hajatan besar berlangsung di Kampung Lampegan. Satu jam sebelum acara berlangsung, Dasimah melakukan ritual nyambat makhluk gaib.

Acara utama dimulai sekitar pukul 22.00. Dasimah yang terlihat anggun dengan balutan kebaya dan sanggul sederhana di kepalanya, sudah siap di atas panggung bersama dengan orkestra gamelan.

Para tamu undangan yang didominasi para pria telah berkumpul di halaman. Menatap wajah cantik jelita sang sinden. Tak sabar ingin berjoged.

Alunan musik menggema. Dasimah mulai berdendang. Tak membutuhkan waktu lama, para penonton pun mulai 
i berjoged, menikmati tiap alunan lagu.

Saat sedang bernyanyi, Dasimah menangkap seorang gadis di sudut panggung. Gadis yang berpakaian sama dengannya. Gadis itu melenggak-lenggok bak penari jaipong saat sinden menyanyikan tembang Bangbung Hideung.

Dasimah tercekat saat gadis itu menoleh ke arahnya. Wajahnya hancur berlumuran darah. Dasimah sempat berhenti menyanyi sepersekian detik. Segera dia memalingkan pandangan, lalu meneruskan bernyanyi.

Penonton semakin bersemangat. Satu per satu dari mereka mulai kesurupan. Ada yang menyerupai gerakan pencak silat, ada juga yang beraksi seperti macan. Kebanyakan dari mereka yang kesurupan adalah yang memiliki ilmu kebatinan.

Dasimah tersenyum lebar. Merasa puas melihat 'arena permainan' yang semakin seru. Ia tak menyadari, bahwa dari kejauhan Galih memperhatikannya. Sejak saat itu Galih mengetahui bahwa Dasimah telah melakukan hal yang sangat dilarang agama. Dalam hati dia amat bersyukur, telah menambatkan cintanya kepada Imas.

Namun, sayang. Galih pula tak mengetahui bahwa Dasimah telah mengumpulkan segenap kekuatan untuk balas dendam terhadap dirinya.

~~~~~

Note:
Lagu Bangbung Hideung (Kumbang Hitam) konon benar-benar menyimpan aura mistis yang sangat kuat, apalagi bila didengarkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu kebatinan, auranya makin terasa sangat kuat.

Orang-orang yang mengalami kerasukan biasanya akan berjoged memakai gerakan pencak silat atau juga pamacan (sebutan makhluk gaib sejenis macan), karena biasanya yang merasuki mereka adalah karuhun dan makhluk ghaib, juga khodam yang ada di diri masing-masing.

~~~~~~~~

"Ain itu benar-benar ada! Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh 'ain itu yang bisa"
(HADITS RIWAYAT. Muslim no. 2188)
SELAMAT MEMBACA

~~~~~~~~~~~~~~~~

Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung.

"Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."

Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.

Saat dia sudah membuka pintu, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri.

"Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? (Permisi, Teh. Siapa, ya? Cari siapa?) Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.

Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tangan menutupi wajah.

"S-siapa kamu? Pergi! Jangan ganggu!" teriak Dasimah.

Wanita itu terkikik. "Aku adalah murid Ki Prana. Aku juga memakai susuk sepertimu saat dulu menjadi sinden." Medit itu mendekati Dasimah.

"Lalu, apa hubungannya denganku?" Dasimah mundur lagi sambil terus menutup wajahnya.

"Kamu tak perlu takut padaku. Aku datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk membantu."

Dasimah memberanikan diri melihat medit itu. "Maksudmu?"

"Lepaskan susukmu itu atau kau akan berakhir mengenaskan sepertiku." Si medit menatap tajam Dasimah dengan bola mata yang hampir keluar. Darah yang mengucur dari wajahnya disertai bau amis membuat Dasimah mual. Sosok itu terkikik memandang Dasimah yang muntah di pojok dinding.

"Maksudmu apa? Kenapa aku harus melepas susukku, haa?"

"Dengarkan aku baik-baik. Setelah kau menjadi sinden kondang, itu artinya dirimu juga mempunyai kekuatan yang besar karena banyaknya energi gaib yang menempel padamu, dan Ki Prana akan mengambil sukmamu untuk menambah kekuatannya. Yang lebih menyakitkan, ragamu tidak akan diterima bumi setelah kaumati."

"Apa kaumati mengenaskan karenanya? Karena sukmamu diambil?"

"Tidak, aku melarikan diri saat Ki Prana mencoba menyekapku. Sayang, aku tertabrak truk."

Dasimah menunduk sejenak. "Tapi ak—" Saat mendongak, sosok tersebut sudah menghilang.

Dasimah membuang napas kasar. "Untuk apa aku percaya demit itu," gumamnya. Ia pun beranjak untuk membersihkan diri.

***

Beberapa bulan berlalu, Dasimah semakin terkenal sebagai sinden di kampungnya. Ilmu hitam yang dimilikinya pun semakin bertambah. Namun, hari naas itu datang. Hari di mana Ki Prana akan mengambil sukmanya.

"Lepaskan, Ki!" Dasimah berontak saat Ki Prana akan mengurung Dasimah di kamar.
Dasimah menendang selangkangan Ki Prana. Ketika sang guru tengah mengaduh kesakitan, Dasimah berlari keluar.

"Awas kau Dasimah! Kali ini aku takkan gagal lagi!" seru Ki Prana geram. Ia pun mengejar Dasimah sampai ke jalan raya.

'BRAAKK!'

Bagaikan sebuah karma, tubuh Ki Prana terpental saat sebuah truk tronton menabraknya.

Dasimah yang melihat langsung kejadian itu terperangah, terkejut bukan main. Ia berlari mendekari jasad Ki Prana yang sudah dikerumuni warga sekitar. Dari sudut matanya ia menangkap sosok sang wanita demit yang pernah mendatanginya tengah mengangguk sambil tersenyum sengit, seakan telah menang atas dendamnya. Sejurus kemudian dia menghilang.

"Terima kasih," desis Dasimah.

Sejak kejadian itu, Dasimah melepaskan susuk dengan caranya sendiri, dan tak pernah memasangnya lagi. Susuk itu pun disimpan hingga kini sebagai kenang-kenangan.

"Hei, Nyai." Suara yang berat menarik Dasimah ke alam nyata.

Ia menyimpan kembali kotak susuk itu ke dalam lemari. Tatapannya lalu beradu pada sosok hitam besar. "Apa?" tanyanya.

"Aku lapar. Beri aku daging muda saat ini juga!" seru sosok itu.

'Ah, sial. Aku lupa memberinya makan', batin Dasimah. "Apa maksudmu daging muda?"

"Daging manusia tak berdosa."

Mata Dasimah terbelalak.

" 'Apa artinya aku harus membunuh anak kecil?' pikirnya. Tangannya gemetar. Ia sama sekali tak pernah melukai anak-anak. Meskipun dia bersekutu dengan makhluk Jin, tapi dia tidak tega bila harus menyakiti apalagi sampai membunuh anak kecil.

"Tidak adakah pilihan lain?" tanya Dasimah hati-hati.

Sosok itu terbahak-bahak. "Bagaimana jika kau saja yang aku makan menjadi tumbal ku, haa?"

Dasimah terperanjat. "Tidak! Aku tidak mau. Dendamku dengan Galih dan Imas belum tuntas!"

"Kalau begitu cepat carikan aku tumbal!"

Dengan ragu Dasimah mengangguk, lalu ke luar rumah.

~~~~~~~~~

Di tempat lain, Galih dan Imas sudah tiba di Bilik Ruqyah. Mereka langsung masuk tanpa terlebih dulu mendaftar karena sudah janji dengan sang Ustaz Fikri.

"Jadi kenapa istri saya, Tadz? Kenapa dia kena gangguan lagi?" tanya Galih saat mereka bertiga sudah duduk di karpet.

"Sepertinya memang jin-jin yang mengganggu Bu Imas tidak semuanya pergi. Waktu diruqyah kemarin itu, bisa jadi jin-jin tersebut mengelabui kita. Pura-pura pergi. Nah ... saat ruqyah selesai, jin-nin itu kembali lagi," jelas Ustaz.

Galih dan Imas hanya manggut-manggut saja.

"Apa beberapa hari ini ada yang dirasakan oleh istrinya, Pak?"

"Istri saya cuma sering melamun, dan menyendiri di kamar. Kadang juga sambil menangis," jawab Galih sambil melirik Imas. Imas hanya menunduk seolah membenarkan.

"Ya itu. Hati-hati... kesedihan yang mendalam juga bisa menjadi pintu untuk jin-jin mengganggu Bu Imas."

"Imas ingin punya anak, Tadz." Makanya dia sedih," sahut Galih. Usta Fikri mengangguk dengan bibir membentuk 'o'.

Tiba-tiba saja Imas tertawa nyaring, mengejutkan Ustaz dan Galih.

"Rek naon aing (saya; Sunda kasar) dibawa ka dieu, haa?" Suara Imas berubah melengking, bahkan lebih mirip nenek-nenek.

"Neng... istigfar...," lirih Galih sambil mengelus punggung Imas.

Dengan tenang Ustaz Fikri membaca ayat-ayat Alquran. Namun, Imas justru 'ngalelewe' (meledek) sang Ustaz.

"Nyingkah sia ti hareupeun aing! Ustad gadungan sia! (Pergi kamu dari hadapan saya! Ustad gadungan kamu!)." Imas cekikan.

Galih hanya mengelus dada. Baru kali ini dia mendengar Imas berbicara kasar. Namun, mengingat Imas sedang kerasukan, ia memakluminya.

~~~~~~~~~~

"Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lil mu’miniin."

Ustaz Fikri menunjuk ke arah Imas sambil membaca surah Al-Israa 17:82 yang artinya, 'Dan Kami turunkan dari AlQuran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.'

Imas seketika merasakan mual. Ustaz Fikri memberi isyarat kepada sang istri, Ustazah Azizah, untuk segera menyiapkan keresek karena Imas akan muntah. Dan benar saja, saat keresek itu disimpan di bawah dagu Imas, dia langsung mengeluarkan isi perutnya. Tak lama kemudian, Imas tak sadarkan diri.

Setelah hampir 10 menit hilang kesadaran, akhirnya Imas siuman.

"Alhamdulillah!" seru Ustaz dan Galih bersamaan.

"Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya Ustaz.

"Sudah agak enakan, Ustaz," jawab Imas.

"Bu... Ibu banyak-banyak istigfar, ya. Jangan banyak melamun dan merasakan sedih yang berlarut-larut, karena akan membuka celah bagi jin untuk masuk ke dalam tubuh Ibu."

Imas manggut-manggut mendengarkan wejangan dari ustaz sedangkan Galih hanya mengusap-usap lembut punggung istrinya agar tenang.

"A, ayo, pulang," ajak Imas. Galih mengangguk.

Setelah berpamitan kepada ustaz dan membayar biaya ruqyah dengan tarif seikhlasnya, Galih dan Imas pun segera meninggalkan Bilik Ruqyah.

Di perjalanan pulang, mereka kembali melewati tempat jualan Kang Asep. Di sana sudah sepi karena Kang Asep sudah pulang.

"Duh, A, kenapa lewat sini, sih?" gerutu Imas sambil menunduk. Tak berani melihat ke arah jalan.

"Ya, kalau tidak lewat sini, mau lewat mana lagi, Neng. Kan, rumah kita memang lewat sini."

"Perasaan Neng tidak nyaman, A, kalau lewat sini. Masa, Kang Asepnya sudah pulang, tapi jin dan monyetnya tidur di tempat jualan."

"Ya, sudah, sudah. Kita sudah melewati tempat jualannya Kang Asep," ujar Galih. Imas mengangkat kepalanya. "Seharusnya Neng juga tidak perlu takut seperti itu. Kalau manusia takut sama jin, nanti jinnya yang senang. Lagi pula, kok, aa baru ngeh, ya, kalau kamu bisa lihat yang aneh-aneh?"

Imas menggeleng pelan. "Imas juga tidak tahu, A, kenapa Imas tiba-tiba bisa melihat penampakan."

"Sejak kapan, sih?" tanya Galih.

"Sejak kita menikah, A."

"Haa? Sudah lama atuh. Kenapa tidak cerita?"

Sudut bibir Imas naik. Ia tersenyum kecut. "Iya, A. Tapi neng sekedar melihat saja, tidak sampai kesurupan seperti sekarang, makanya neng tidak cerita, karena neng rasa tidak penting."

"Tapi sebaiknya kita harus cerita ke Ustaz Fikri. Penglihatanmu itu sepertinya gangguan juga," balas Galih, lalu menghentikan mobil di pekarangan rumah.

***

Langit semakin menggelarkan jingganya. Burung-burung gagak mulai beterbangan mengelilingi area pemakaman seorang anak lelaki yang baru saja meninggal karena tenggelam di sungai.

Dasimah memperhatikan dari kejauhan. Lelah ia mencari mangsa 'daging muda' seharian, dan sekarang keberuntungan berpihak kepadanya.

"Akhirnya... dapat juga," desis Dasimah. "Aku akan kembali nanti malam." Ia pun melangkah pulang dengan semringah.

Ketika melewati rumah pria yang selama ini menjadi idamannya, netra perawan tua itu menatap sendu Galih yang tengah seorang diri menyesap kopi di teras. Tak sadar bibirnya komat-kamit.

"Asihan aing si burung pundung

Maung pundung datang amum

Badak galak datang depa

Oray laki datang numpi

Burung pundung burung cidra ku karunya

Malik welas malik asih ka awaking

Galih Ramdhan, Galih Ramdhan, Galih Ramdhan."

Dasimah benar-benar tak sadar bahwa ia telah merapalkan mantra asihan. Air matanya menetes, ada rasa sedih bercampur perih yang dalam di hatinya. Dasimah lalu melanjutkan langkahnya dengan tangan mengepal erat.

Sementara itu, Galih tiba-tiba tersedak air kopi. Dadanya bersebar hebat. Wajah Dasimah tiba-tiba muncul di benaknya. Ia menggeleng kuat lalu mengusap wajah. "Astagfirullahaladziim..."

***

"Neng, aa ke luar dulu, ya, beli makan."

Imas mengangguk sambil melipat mukena. "Aa mau beli apa?"

"Neng maunya apa?"

Imas tampak berpikir sejenak. "Apa aja, deh, A. Asal bukan makanannya Kang Asep!"

Galih terkekeh. "Iya, iya." Galih pun ke luar rumah dan berjalan menuju jalan besar. Kalau malam hari, biasanya di pinggir jalan besar lebih banyak yang penjaja makanan daripada saat siang.

Tengok kiri kanan mencari santapan yang pas untuk makan malam. Perhatian Galih rupanya teralihkan pada sebuah kios pecel ayam yang ramai pengunjung. Antre sampai ke luar kios. Galih merasa sangat penasaran, lalu mendekati kios itu.

Galih semakin tertarik melihat hidangan yang begitu menggoda. Ia pun langsung memesan makanan. "Kang, pecel ayam dua, ya! Satu makan sini, satu lagi dibungkus."

Penjual pecel ayam itu manggut-manggut, lalu dengan sigap menyiapkan pesanan Galih. Sementara itu, Galih masih sibuk lirik sana-sini mencari tempat duduk yang kosong. Ketika ada salah satu pembeli yang sudah selesai makan dan beranjak dari bangkunya, secepat kilat Galih menduduki bangku itu.

Hidangan telah tersaji di hadapan Galih. Pecel ayam komplit dengan nasi putih hangat, sambal terasi, dan teh tawar panas. Galih menyantap makanannua dengan lahap. Selesai makan, Galih langsung bayar dan membawa pulang sebungkus pecel ayam untuk Imas.

"Wah... Aa beli apa?" tanya Imas saat Galih menyerahkan sekresek makanan yang ia beli.

"Pecel ayam, Neng. Cepat kamu makan, mumpung masih hangat. Rasanya enak."

"Kok, Aa cuma beli satu? Untuk Aa mana?"

"Maaf, Neng. Aa sudah makan tadi di sana."

Imas mengerucutkan bibirnya, membuat Galih gemas, lalu mengelus pucuk kepala istrinya.

"Ya, sudah. Neng makan dulu, ya, A." Galih mengangguk.

Namun, ketika Imas baru sekali menyuap makanannya, dia merasa mual. Imas pun segera berlari ke kamar mandi. Galih yang terkejut langsung mengekor Imas.

"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih khawatir.

"Eneg, A. Makanannya tidak enak."

Kening Galih mengerut. "Masa, sih? Kan, aa juga makan. Rasanya enak, kok!"

"Sok Aa coba kalau tidak percaya."

Galih pun mengambil sedikit potongan ayam, dan memakannya. Galih tersentak, saat bau anyir, busuk, basi, bercampur jadi satu si multnya. Seketika itu juga Galih memuntahkan makanannya.

"Kok, bisa begini, ya? Padahal tadi rasanya enak, lho!"

Imas mengangkat bahu. "Pasti ada yang tidak beres, A."

"Ya, iyalah, Neng. Kalau beres, kan, tidak mungkin rasa ayamnya berubah drastis."

"Bukan soal rasa, A, tapi ada yang lain."

"Maksudnya?"

Dengan cepat Imas menggeleng. "Ah, tidak. Neng tidak mau suudzon dulu."

"Kita harus komplain, Neng. Yuk, ikut aa ke tempat penjual pecel ayamnya." Imas menurut saja saat Galih menggandeng tangannya.

Sesampainya di jalan besar, Galih menunjukkan tempat pecel ayam kepada Imas. "Tuh, Neng, lihat... ramai, 'kan?"

Langkah Imas terhenti seketika. Matanya membulat meliat kios pecel ayam tersebut. "Ayo, A, kita pulang saja."

"Loh... kenapa? Kan, kita belum protes," sahut Galih."

"Tidak usah, A, percuma."

"Kenapa memangnya?"

Imas menoleh lagi ke arah kios. "Di atas kios itu ada ada sesuatu menyerupai payung. Penjualnya sama seperti Kang Asep."

"Maksudnya? Duh, aa tidak paham."

"Dia juga memakai penglaris, A."

~~~~~

Note:
Mantra 'asihan' merupakan salah satu mantra Sunda Pajajaran. Biasanya memiliki tujuan agar seseorang yang diucapkan olehnya memiliki rasa yang sama dengan dirinya. Dalam bahasa Sunda diartikan sebagai ‘pikeun mapatkeun asih ka nu ngucapkeunana'.

Mohon mantra ini jangan diikuti, terlepas dari benar/tidaknya mantra ini bisa bekerja. Anggap sebagai penghias cerita.

~~~~~~

"Aa tidak menyangka, ternyata banyak juga, ya, penjual makanan yang pakai penglaris," ujar Galih setibanya mereka di rumah.

Imas mengangguk. "Begitulah, A. Segala cara dihalalkan agar dagangan mereka laku. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah, ya, A. Aamiin."

"Aamiin. Sekarang kita tidur saja, yuk." Galih mengedipkan sebelah matanya, membuat pipi Imas bersemu. Mereka pun beranjak ke kamar, dan larut dalam kemesraan selayaknya pasangan pengantin baru.

Sementara itu, di luar sana Kang Asep sedang mendorong gerobak nasi gorengnya pulang dengan wajah semringah.

"Ning! Nining!" Tanpa mengucap salam ia mengetuk pintu rumah.

"Enya antosan! (Iya, tunggu)" sahut Nining dari dalam, lalu membuka pintu. "Naon atuh, Kang? Meni gegerewekan! (Apa sih teriak-teriak)"

Kang Asep bergegas masuk. Nining yang kebingungan langsung menutup pintu, lalu mengekor suaminya ke kamar.

"Kang, ada apa?" tanya Nining sambil duduk di pinggir kasur

Kang Asep membuka dompetnya. "Nih, kamu lihat." Ia mengeluarkan lembaran-lembaran uang yang membuat mata Nining bersinar.

"Laku banyak, ya, Kang?" tanya Nining sembari merebut uang dari tangan Kang Asep.

"Bukan laku lagi, Ning, dagangan akang habis! Yang beli antre sampai akang kewalahan."

"Waah... mun unggal poe kieu terus mah atuh urang tereh beunghar, Kang! (Kalau setiap hari begini terus kita bisa cepat kaya)"

Kang Asep tersenyum lebar. "Tapi mulai besok kamu harus bantu akang jualan, ya!"

Nining mengangguk, lalu menciumi uang-uang itu dengan gemas

Malam semakin larut. Sebelum tidur, Nining menyimpan semua uangnya di dalam dompet, lalu diselipkan di antara lipatan-lipatanbaju di dalam lemari. Ia melirik Kang Asep yang sudah mendengkur dengan keras karena kelelahan.

"Maafkan Ning yang memaksa kita untuk kaya, Kang. Ning tidak mau lagi dianggap rendah oleh orang lain, dan Ning lelah hidup susah...," gumamnya lirih.

Saat dirinya baru saja berbaring di sebelah Kang Asep, tercium aroma bunga yang menyengat.

"Bau naon ieu? Siga bau melati." Mata Nining menyisir seisi kamar sambil mengendus, mencoba mencari keberadaan bunga, tapi tidak ditemukan.

Aroma semakin kuat tercium dari bawah kolong ranjangnya. Tanpa beranjak dari kasur, Nining menunduk perlahan melihat ke kolong.

"Aaaa!" Nining berteriak histeris saat melihat pocong di kolong ranjang.

Kang Asep tersentak dari tidurnya. "Naon? Aya naon, Ning?" tanyanya.

Nining menunjuk-nunjuk ke arah bawah. "I-itu... ituu..."

"Apa, sih? Bicara yang betul atuh!"

"P-pp-pocong, Kang! Ada pocong di kolong kasur!"

Kang Asep mencebik. "Akh. Ada-ada saja kamu! Mana coba akang lihat." Kang Asep turun dan melongok ke kolong. "Mana... tidak ada apa-apa. Kamu mah ngelindur (mengigau) pasti. Iya, kan, Ni..." Kalimatnya mengambang. Mata Kang Asep membeliak saat kembali menatap istrinya yang kini berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Kang Asep melompat mundur.

"S-siapa kamu? Pergi!" hardik Kang Asep.

Sosok yang menyerupai nenek dengan rambut putih yang berantakan itu tertawa. "Kamu tidak perlu takut sama saya. Kamu yang sudah panggil saya dan keturunan-keturunan saya ke rumah ini. Eheheheheeheheee." Sosok itu terkekeh, kemudian berubah kembali menjadi Nining yang langsung jatuh pingsan.

Kang Asep segera membaringkan dan menyelimuti Nining. Setelah itu, ia berlari kecil ke dapur, mengambil termos, dan kembali ke dalam kamar.

Kang Asep merapalkan jampi pengusir roh halus yang pernah diajarkan oleh kakeknya.

"Kalaka kaliki 
kala lumpat ka sisi cai 
aing nyaho ngaran sia 
ngaran sia kulit cai 
tawa tawe 
ditawa ku sang indung putih 
tiis ti peuting waras ti beurang 
paripurna hirup waras."

(Jampi Dicoco Kala, dari Panyungsi Sastra, karya Yus Ruyana)
'Byurr'

Setelah jampi terucap, Kang Asep membanjur air termos ke sudut kamar. Harapannya, agar setan yang merasuki Nining kepanasan dan kesakitan karena jampi dan air panas itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 00.30. Dasimah masih terjaga, menatap kosong bilik kamarnya tanpa ada sosok jin yang biasa menemani. Ia baru saja menyuruh makhluk besar hitam itu untuk menyantap sendiri makanannya di kuburan.

"Sepertinya aku harus memperbaiki rumah ini," gumamnya.

Sebenarnya, saat Dasimah masih muda, hidupnya berkecukupan dengan menempati rumah sederhana peninggalan orang tua. Namun, sepuluh tahun lalu rumah itu dijual, dan sebagian uang sudah ia habiskan untuk keperluan maksiat dan membangun gubug yang ia tempati saat ini. Sedangkan sisanya, masih ia simpan, tapi bukan berbentuk uang melainkan emas.

"Kalau aku hidup seperti ini terus, tidak akan ada pria yang tertarik padaku. Dan tidak akan ada korban yang percaya aku bisa membuat mereka kaya, seperti si Asep itu," racaunya lagi.

"Tapi... Galih... akh, kenapa? Kenapa kamu terus saja ada di pikiranku? Aku jadi sulit membuka hatiku untuk yang lain." Untuk sesaat Dasimah tergugu, kemudian lambat laun bibirnya mengembang, lalu ia terbahak-bahak.

Ia beranjak menuju meja rias. Perlahan dibukanya gelungan rambut dan nampaklah rambut panjang hitam bergelombang tanpa ada uban sehelai pun.

"Lihatlah, Galih. Aku masih cantik! Aku akan tunjukkan kepadamu bahwa akan ada banyak pria yang mengagumiku, mengejar diriku, sampai kamu cemburu. Tunggu saja! Ahahahahaa!"

Setelah puas memandangi dirinya di cermin, Dasimah membuka laci dan mengeluarkan selembar foto Imas yang didapatnya diam-diam dari seseorang.

"Untuk kamu, Imas. Aku pastikan hidupmu akan menderita. Aku akan membunuhmu perlahan-lahan."

Dasimah mengambil beberapa dupa dan membakarnya bersama kemenyan. Kemudian, ia duduk bersila dan menaruh foto Imas di depannya. Telunjuk ia tempelkan di foto Imas disertai mata yang melotot murka. Dasimah mulai merapalkan jampi teluh.

"Ratu teluh ti Galunggung, sang Ratu cedacawal, Ratu teluh ti Gunung Agung, sang Ratu murba Sakama, sang Ratu Talaga Bodas, nu kumawasa pusering talaga, sang Ratu Cedacawal, nya aing Sang Ratu Cedacawal, pur geni pur braja, seuseup getihna, cokcrok ototna, sebit atina, bedol tikorona, sayab nyawana, tuh, singsieunan si Imas Cempaka!"

Di kediaman Galih, Imas yang sedang tidur pulas tiba-tiba merasa tercekik. Ia terbangun sambil memegangi lehernya.

"A... Aa..." Tercekat, Imas menggoyang-goyangkan tubuh Galih sampai bangun.

"Neng, k-kamu kenapa?" tanya Galih gelagapan yang melihat kondisi Imas seperti tak bisa bernapas dan terus memegangi lehernya.

Tak berselang lama, Imas batuk-batuk menyemburkan darah.

~~~~~~~~~~~~

"Bu."

"Iya, Pak."

"Ibu merasa tidak, kalau di kampung kita ini sepertinya sudah tidak aman."

"Tidak aman bagaimana? Banyak maling?"

Ustaz Fikri menyesap kopinya, lalu menggeleng. "Bukan... bukan maling, tapi sesuatu yang lebih berbahaya."

"Maksudnya bagaimana, sih, Pak? Ibu tidak mengerti." Ustazah Azizah menatap wajah sang suami dengan dahi yang mengerut dalam.

"Pasien kita semakin hari semakin banyak. Gangguan yang menyerang mereka pun bermacam-macam. Kalau dua tiga tahun ke belakang, kan, pasien yang datang paling hanya kesurupan biasa atau yang sedang menjalani terapi pengobatan herbal saja."

Uztazah Azizah mengangguk pelan. "Iya juga, ya, Pak. Apa jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa, Bu?"

"Mm... jangan-jangan di kampung kita ada orang yang sedang mempraktekkan ilmu hitam, Pak."

"Astagfirullah... jangan suudzon, Bu. Tidak baik."

"T-tapi, Pak"

"Assalamu'alaikum!" Tiba-tiba terdengar seruan salam dari luar rumah.

"Wa'alaikumussalam," jawab Ustaz Ustazah bersamaan.

"Ibu ke depan dulu buka pintu, ya, Pak," ujar Ustazah yang diiiyakan suaminya. Saat Ustazah Azizah membuka pintu, nampaklah Galih sedang membopong Imas.

"Ya Allah... ini Bu Imas kenapa?" tanya ustazah terkejut, melihat Imas yang wajahnya pucat pasi dan terdapat bercak noda darah di jilbab birunya.

"Bu Ustaz, tolong istri saya, Bu," mohon Galih sambil terengah-engah.

"Ayo, cepat masuk."

Setelah Ustazah mempersilakan Galih masuk, Galih langsung membaringkan tubuh Imas di atas karpet sedangkan Ustazah memanggil Ustaz Fikri.

"Pak, ayo cepat ke depan!"

"Ada apa, Bu? Siapa yang datang?"

"Pak Galih dan istrinya." Mereka berdua pun segera ke ruang tamu.

"Pak Galih, kenapa lagi ini istrinya, Pak?" tanya Ustaz Fikri sambil memandangi Imas yang tak berdaya.

"Semalam, saat sedang tidur, tiba-tiba Imas terbangun seperti orang tercekik, setelah itu dia muntah darah, Ustaz."

"Astagfirullahaladziim..." Ustaz dan Ustazah saling tatap sambil mengusap dada.

"Ustaz, sebenarnya apa yang terjadi dengan istri saya? Kenapa setelah beberapa kali diruqyah, dia masih saja diganggu?" tanya Galih dengan mata sendu.

Ustaz Fikri menghela napas panjang. "Apa Bapak dan Ibu punya musuh atau sedang bermasalah dengan orang lain?"

Galih dan Imas saling berpandangan, lalu mereka menggeleng. "Tidak, Ustaz. Kami tidak merasa punya musuh, dan insyaallah kami juga tidak punya masalah dengan orang lain," jawab Galih yang diangguki ustaz dan ustazah.

"Lebih baik sekarang kita mulai ruqyahnya," ujar Ustaz, lalu menatap Ustazah. "Bu, tolong antarkan Bu Imas untuk berwudu."

"Ya, Pak."

Ustazah Azizah pun membantu Imas berdiri, lalu menuntunnya menuju kamar mandi untuk berwudu. Setelah berwudu, wajah Imas terlihat lebih segar. Kini dia sedang duduk kembali dengan mengenakan mukena yang dipinjamkan ustazah.

"Bu, bisa ceritakan kepada saya, apa yang Ibu alami atau rasakan sebelum kejadian tercekik dan muntah darah itu?" tanya Ustaz Fikri.

"Saya hanya bermimpi, Ustaz."

"Mimpi apa, Bu?"

"Sebenarnya... sudah tiga malam berturut-turut saya bermimpi buruk, diserang jin yang mau membunuh saya. Dan setiap sore kepala dan dada saya terasa sakit."

"Kok, Neng tidak bilang-bilang?" tanya Galih tiba-tiba karena memang dia baru tahu.

Imas menunduk. "Maaf, A, neng cuma tidak mau buat Aa merasa khawatir."

Ustaz Fikri mengangguk-angguk. "Oh... ya, saya mengerti."

"Jadi, istri saya terkena gangguan apa lagi, Pak Ustaz?"

Ustaz Fikri menatap dalam mata Galih. "Istri Bapak sepertinya terkena teluh atau guna-guna."

"Allahu akbar!"

"Astagfirullahaladziim!"

Galih dan Imas berseru bersamaan. Kemudian, Imas terisak.

"Ya Allah... siapa yang sudah tega berbuat seperti itu kepada saya, A?"

"Tenang... Imas... istigfar..." Galih memeluk Imas, menenangkannya.

"Iya, Bu, tenang... sabar. Sekarang kita mulai ruqyahnya," ujar Ustaz. Imas pun membetulkan posisi duduknya.

Ustaz Fikri mulai melantunkan surat Al Fatihah, ayat Kursi, dan '3 Qul'. Seketika Imas menjerit sambil memegangi kepalanya, lalu pingsan.

***

Dasimah semringah memandangi rumahnya yang kini sedang diperbaiki. Ia meminta tolong kepada beberapa tetangga yang bekerja sebagai kuli untuk membetulkan rumahnya.

"Nyai, kami mau pamit pulang dulu," izin seorang tukang.

"Kenapa, Kang? Kan, belum selesai kerjanya?"

"Sebentar lagi zuhur, saya mau salat dulu."

"Oh..." Dasimah mengangguk. "Baiklah. Setelah salat cepat kembali lagi, ya, Kang. Makan di sini saja, saya mau beli asakan (masakan)."

"Baik, Nyai." Tukang-tukang itu pun pulang ke rumahnya masing-masing.

Tak lama kemudian azan zuhur berkumandang. Dasimah melenggang menuju jalan besar hendak ke warteg. Saat melewati balong atau kolam ikan, Dasimah melihat seorang pria seperti sedang komat-kamit sambil memegang pancingan. Karena penasaran, Dasimah mendekatinya.

"Nuju naon, Kang? (Sedang apa, Kang?)," tanya Nyai.

"Mau mancing atu, Nyai," jawab pria itu.

"Iya, Nyai tahu. Tapi tadi Nyai lihat, kok, mulutnya seperti komat-kamit begitu. Baca doa sebelum mancing, ya, Kang?"

Pria itu terkekeh, lalu berbisik, "Iya, Nyai, supaya dapat banyak ikannya."

"Ooh... begitu. Coba diulangi lagi, Kang, jampinya. Saya mau dengar."

Dengan sedikit canggung, pria itu mulai membaca jampi 'jangjawokan ngalintar' atau jampi agar banyak ikan saat memancing. Setelah membaca jampi tersebut, Dasimah terkekeh.

"Nyai, kok, tertawa?"

"Hati-hati, Kang...."

"Hati-hati kenapa atuh, Nyai?"

"Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah kembali terkekeh, lalu meninggalkan pria yang sedang terngaga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.

Sesampainya di warteg, Dasimah memesan beberapa menu masakan untuk para tukan, dan satu pesanan untuk dia sendiri.

"Mbak, saya mau nasi, tumis kangkung, sama telor balado. Satu makan di sini, empat dibungkus, ya!" kata Dasimah, lalu duduk di bangku kayu khas warung makan.

Setelah makanan siap, Dasimah pun mulai menyantap makanannya. Baru beberapa suap, Dasimah merasa seperti diperhatikan. Ia lalu melirik ke meja di seberangnya. Nampak seorang wanita bertubuh gempal langsung memalingkan wajahnya.

'Siapa, ya, dia? Ah, aku tidak kenal', batin Dasimah, kemudian kembali makan, tak menghiraukan wanita tersebut.

Sementara si wanita terus saja menyuap makanan sambil menatap kagum Nyai Dasimah.

'Dia sepertinya sudah berumur, tapi masih terlihat cantik. Porsi makannya juga banyak, tapi badannya langsing. Tidak seperti aku', gumam wanita tersebut dalam hati. 'Siapa, ya, dia? Dari gelagatnya, nampaknya dia bukan wanita biasa. Aku jadi ingin kenal'.

Saat pikirannya terus berputar tentang Dasimah, tiba-tiba Dasimah melirik ke arahnya. Netra mereka saling bertemu. Terasa getaran yang aneh pada diri si wanita gemuk itu. Rasa kagum pun kian bertambah. Ada apa gerangan?

~~~~~~~~~~~~~
PROLOG....
Cinta ditolak, dukun bertindak. Sebab cintanya yang bertepuk sebelah tangan dengan Galih, Nyai Dasimah nekat mendalami ilmu hitam demi menghancurkan hubungan Galih dengan istrinya, Imas, karena dianggap telah merenggut kebahagiaannya.

Tak sampai di situ. Warga kampung pun turut menjadi korban kedahsyatan mantra dan rajah, serta penyakit 'ain yang disebarkan Nyai Dasimah dengan bantuan jin. Mampukah ustadz Fikri mengalahkan ilmu hitam Nyai Dasimah.????

~~~~~~~~~~~~

Pasca diruqyah satu minggu yang lalu, kondisi Imas belum juga membaik. Sepertinya jin belum juga bosan untuk mengganggunya. Kadang Imas mendadak tertawa, lalu menangis.

"Bagaimana ini Ustaz Fikri, sebenarnya dia bisa atau tidak meruqyah istriku? Jangan-jangan dia ustaz gadungan," gumam Galih dari balik dinding sambil memandangi Imas yang sedang melamun di sofa. Ia tak sadar, bahwa mengeluh seperti itu merupakan bentuk godaan dari setan agar dirinya menjauhi syariat Islam.

Galih mendekati Imas, lalu perlahan duduk di sebelahnya. "Neng...."

Imas menoleh. "Ya, Kang?"

"Jangan melamun terus. Apa, sih, yang neng lamunkan?"

Imas kembali tercenung. "Neng kesepian, A."

"Kesepian bagaimana? Kan, ada aa."

Manik netra Imas mengilat basah menatap Galih. "Neng ingin punya anak, A. Neng ingin merasakan jadi seorang ibu...."

Galih menarik napas panjang. "Ya, aa mengerti. Neng yang sabar, ya. Kita pasrahkan semuanya sama Allah sambil terus berusaha. Jangan lupa berdoa juga."

Raut muka Imas terlihat sendu. Galih mengusap wajahnya frustrasi. Ia pun berpamitan kepada Imas hendak keluar sebentar mencari angin segar. Itu pun tidak diiyakan bahkan tidak ditanggapi dengan anggukan oleh Imas.

Galih menghirup dalam-dalam udara segar pagi itu, tapi sayang, tak sesegar pikiran dan hatinya. Langkahnya kini mulai menyusuri jalan yang kanan kirinya merupakan pematang sawah yang masih hijau. Ia tak menyadari, bahwa langkah kaki membawa dirinya terus mendekati kediaman Dasimah.

Galih berhenti. Di hadapannya berdiri tegak sebuah rumah sederhana. Dulunya rumah itu berdindingkan bilik bambu, tapi kini sudah direnovasi menjadi dinding kekar meski hanya terbuat dari lapisan triplek.

Galih mengetuk pintu itu, lalu keluarlah Nyai Dasimah.

"Eh, Kang Galih," sapa Dasimah dengan mata berbinar.

Galih tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang. "D-Dasimah?" Ia menengok kiri kanan. "Bagaimana aku bisa ada di sini? Saya mau ngopi di warung Haji Imron," ujarnya heran.

Dasimah tersenyum tipis. "Ayo, masuk, Kang. Ngopi di dalam saja, Imah buatkan." Mata Dasimah tak lepas dari mata Galih yang juga menatapnya.

"T-tapi Imah, sa"

"Sudahlah, ayo..." Dasimah menarik lengan Galih masuk ke dalam rumahnya. Bagai orang yang tersihir, Galih menurut saja.

"Duduk, Kang, Imah buatkan kopi dulu, ya."

"Iya," sahut Galih, lalu duduk di sofa tua yang sudah sobek di beberapa sisi.

Dasimah pun melenggang menuju dapur. Sementara itu, pandangan Galih menyisir setiap sudut rumah. Ada hawa yang ia rasa tak biasa. Sesekali Galih mengusap tengkuknya karena hawa dingin yang berembus di dekatnya.

Dasimah ke luar dari dalam dapur dengan membawa secangkir kopi hitam dan sepiring kecil kue awug.

"Mangga (silahkan), Kang." Dasimah menyimpan nampan itu di meja, lalu duduk di dekat Galih.

Galih mengangguk. "Terima kasih, Mah," katanya kikuk.

"Akang tumben ke sini."

"Aku juga tidak tahu, Imah. Seperti yang aku bilang, aku mau ngopi di warung Haji Imron, tapi kok, malah ke sini."

"Akang sedang ada masalah, ya, sama Imas?"

Pertanyaan Dasimah membuat Galih mengernyitkan dahinya, lalu Galih menggeleng. "Tidak, aku tidak punya masalah apa-apa dengan Imas. Kami baik-baik saja."

~~~~~~~~~~
Dasimah tertawa kecil. "Ya, hubungan kalian memang baik-baik saja. Maksudku, keadaan Imas yang tidak baik."

"Dari mana kamu tahu?"

"Hampir semua warga kampung sudah tahu, lho, Kang, kalau Akang dan Imas beberapa kali bolak-balik ke Bilik Ruqyah miliknya Ustaz Fikri. Iya, 'kan?"

Galih mengangguk.

"Sebenarnya istri Akang kenapa?" tanya Dasimah, memberi perhatian palsu.

"Aku tidak tahu, Imah. Semenjak kami menikah, ada saja gangguan dalam keluarga kami, itu pun hanya Imas yang merasakan, tapi tidak separah sekarang."

Dasimah tersenyum menampakkan kerutan halus di sekitar matanya. "Sebentar, ya, Kang." Dasimah beranjak ke dalam kamar, tak lama kemudian keluar. "Ini." Ia memberikan secarik kertas kepada Galih.

"Apa ini?" Galih membuka lipatan kertas itu. Nampaklah gambar seperti simbol yang bertuliskan huruf Arab. "Ini jimat?" tanya Galih, membelalakkan matanya.

"Bukan, Kang, itu bukan jimat. Apa Akang tidak lihat kalau yang tertulis di sana ayat Alquran?"

Galih mengernyit." Tapi... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu.

"Kang, simpanlah itu untuk menjaga Akang dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.

Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.

Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Kang."

Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik.

"Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya.

"Apa lagi ini?" tanya Galih heran.

"Buka saja dulu."

Galih membuka kertas lainnya, dan mulai membaca.

"Itu yang dinamakan ilmu putih, Kang. Akang baca sendiri, kan, ada kalimat-kalimat Allah yang disematkan di sana?"

Galih mengangguk. "Jadi, tidak apa-apa aku menyimpannya?"

"Tidak apa-apa, Kang. Pikirkanlah Imas, kasihan dia."

"Baiklah, akan aku simpan. Terima kasih banyak, Imah. Ditampi kopina, nya, (diminum kopinya, ya)"

Galih benar-benar tak menyadari bahwa dirinya telah masuk dalam perangkap Dasimah. Sebelum pamit pulang, Galih memberanikan diri bertanya sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Mm... Imah, maaf aku mau tanya, tapi aku harap kamu tidak tersinggung."

"Apa, Kang?"

"Dari mana kamu mendapat uang untuk merenovasi rumah ini?"

Dasimah terkekeh. "Kupikir apa. Aku masih punya sedikit simpanan hasil menjual rumah orang tuaku dulu, Kang. Baru sekarang aku memakainya."

"Ooh... lalu, apa kegiatanmu? Apa kamu masih bekerja di rumah warga, di kampung sebelah?"

"Tidak, Kang. Aku sudah tidak bekerja di sana. Insyaallah aku mau membuka praktek pengobatan herbal sendiri di rumah."

Galih mengangguk-angguk. "Baguslah. Ya sudah, aku pamit dulu, ya. Kasihan Imas menunggu. Sekali lagi terima kasih."

"Ya, Kang. Sama-sama. Salam dariku untuk istrimu." 'Semoga dia cepat mati', batin Dasimah melanjutkan.

Galih mengangguk, lalu beranjak pergi. Di belakangnya Dasimah tersenyum penuh kemenangan. Dalam perjalanan pulang, Galih melangkah ke tujuan awal, warung Haji Imron, untuk membeli gorengan.

"Assalamu'alaikum, Pak Galih. Bagaimana keadaan istrinya, Pak?"

Tak disangka, di warung ada Galih bertemu dengan Ustaz Fikri yang langsung menyapanya.

Tiba-tiba Galih merasa kehilangan selera. Ia langsung meninggalkan warung dengan wajah datar, tanpa menyahut sapaan sang ustaz.

"Astagfirullahaladziim. Kenapa, ya, Pak Galih?" gumam Ustaz.

Setelah membayar kopi dan gorengan, Ustaz Fikri beranjak ke suatu tempat, ke arah yang berbeda dengan Galih. Ustaz Fikri ada suatu kepentingan. Ia dipanggil salah seorang warga yang membutuhkan pertolongannya.

"Assalamu'alaikum," salam Ustaz Fikri sembari mengetuk pintu rumah warga tersebut.

"Wa'alaikumussalam." Seorang pria menyambut Ustaz. "Ustaz Fikri, ya?"

Ustaz mengangguk.

"Silahkan masuk, Ustaz. Terima kasih Ustaz sudah datang."

Ustaz masuk dan duduk di karpet setelah dipersilakan. Setelah disuguhi secangkir teh hangat, mereka mulai berbincang.

"Jadi begini, Ustaz, Ibu saya terkena gangguan," ujar pria itu.

"Gangguan apa, Kang?"

"Justru itu saya kurang paham, Ustaz. Sebentar saya bawa Ibu saya dulu ke sini." Pria tersebut masuk ke dalam salah satu kamar, lalu ke luar bersama seorang wanita yang adalah istrinya, mereka berdua membopong sang Ibu.

Setelah membantu Ibunya duduk, pria dan istrinya itu pun duduk di sebelah si Ibu. Pria bernama Gumilar itu kemudian mulai bercerita, "Ustaz, ini Ibu saya, Ibu Marlinah. Ibu saya umurnya lima puluh dua tahun. Sebelum sakit, Ibu saya badannya gemuk, segar, jarang sakit-sakitan. Tapi, seminggu yang lalu beliau mulai bersikap aneh."

"Aneh bagaimana, Kang?"

"Beliau bilang, melihat wanita cantik di warteg, lalu beliau sepertinya terobsesi dengan wanita itu. Hampir setiap hari Ibu meracau ingin langsing, cantik, seperti wanita yang diceritakan. Tapi, saya perhatikan, dalam hal makan Ibu tetap banyak seperti biasanya. Tidak seperti orang sakit. Tapi kenapa badan Ibu malah jadi kurus kering begini, Ustaz?"

"Siapa wanita yang dimaksud ibumu?"

Gumilar menggeleng. "Saya juga tidak tahu karena Ibu sendiri tidak mengenalinya."

Ustaz Fikri menghela napas berat. "Ibu Akang terkena 'ain."

"'Ain? Penyakit Apa itu, Ustaz?"

"Penyakit berbahaya, Kang. Gangguan dari tatapan mata jin. Harus segera diobati."

"Hahahahahahaaa!" Tiba-tiba Marlinah tertawa nyaring. "Aing hayang geulis kawas si eta! (Aku mau cantik seperti dia!) Hahahahahaaaa!"

"Allahu akbar."

"Astagfirullahaladziim..."

"Bismillahi yubriik, wa min kulli daa-in yasyfiik, wa min syarri haasidin idza hasad, wa syarri kulli dzii 'ainin." (Dengan nama Allah, engkau mendapatkan keberkahan. Allah menyembuhkanmu dari segala penyakit dan dari keburukan orang yang hasad dan keburukan orang yang menyebabkan 'ain) (HR. Muslim no.2185).

Dengan lantang Ustaz Fikri membaca doa ruqyah dengan tangan kanan memegang kepala Marlinah. Marlinah seketika melotot. Angin berembus kencang mengempaskan pintu dan jendela sampai terbuka lebar. Cangkir teh hangat milik ustaz pun pecah.

'Subhanallah, dahsyat sekali ain ini,' gumam Ustaz. Ia lalu membacakan surat Al Fatihah, surat Mu'awwidzat, dan ayat Kursi.

Tubuh Marlinah menggelepar di karpet. Anak dan menantunya menepi sambil berpegangan tangan. Tampak raut ketakutan dan cemas bercampur pada wajah mereka.

Ustaz Fikri berdiri. Tangannya yang dipakaikan sarung tangan hitam menunjuk ke arah wajah Marlinah, lalu membaca,

بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللَّهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ

"Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan setiap jiwa atau mata orang yang dengki. Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu. Dengan menyebut nama Allah, aku mengobatimu dengan meruqyahmu."

Marlinah tak sadarkan diri. Gumilar dan istrinya langsung mendekat.

"Apa Ibu saya sudah sembuh, Ustaz?" tanya Gumilar.

Ustaz Fikri duduk bersila. "Ibu kalian tidak bisa sembuh hanya dengan sekali ruqyah saja."

"Jadi, harus berapa kali ruqyah?"

"Bukan soal berapa kali ruqyah, tapi cara meruqyahnya."

"Maksud Pak Ustaz?" tanya istri Gumilar.

"Ibu Marlinah harus segera dimandikan," jawab Ustaz Fikri.

"Dimandikan bagaimana, Ustaz? Pakai kembang tujuh rupa?" tanya Gumilar.

Ustaz menggeleng. "Tidak. Bu Marlinah harus dimandikan dengan sisa air mandi orang yang telah menyebabkan ain."

Gumilar dan istrinya saling berpandangan. Kemudian Gumilar berkata, "Bagaimana mungkin, Ustaz. Saya saja tidak tahu siapa orangnya yang menyebabkan Ibu saya begini."

Ustaz Fikri menghela napas berat. "Tanyakanlan kalau Ibu kalian sudah siuman."

Gumilar mengangguk-angguk. "Ustaz, saya mau bertanya."

"Silahkan."

"Bagaimana bisa Ibu saya sampai seperti ini hanya karena menatap wanita itu?"

"Kang Gumilar, penyakit ain bisa terjadi kepada siapa saja. Anak kecil maupun orang tua, bahkan orang yang buta sekalipun."

"Mengapa bisa seperti itu?"

"Karena timbulnya tatapan yang diiringi rasa iri dan dengki. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, 'Ain itu benar-benar ada! Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh ain itu yang bisa', dari Hadits Riwayat. Muslim nomor 2188."

~SEKIAN~
close