RINTIHAN AL MARID DI RUMAH YANG DI TINGGAL
JEJAKMISTERI - Atapnya terdiri dari seng yang sudah memerah termakan usia. Beberapa baris besi bergelombang itu juga mengelupas dan meninggalkan lubang-lubang besar. Yakin. Air hujan pasti lolos melewati lubang sebesar itu.
Catnya yang berwarna merah muda mengelupas di sana-sini. Teras juga tak kalah berantakan, lantainya retak. Semen yang menyusun sebagian komposisi rumah juga merekah dimana-mana.
Belum lagi isi di dalam rumah itu, berukuran 10 meter persegi, sebuah rumah yang tidak terlalu besar tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang banyak. Kamarnya dua, satu dapur dan ruang tamu. Ada beberapa bagian dinding tercabut dari tempatnya.
Kalau mengelupas tidak mungkin karena dindingnya semen, tercabut adalah istilah yang tepat, karena salah satu kamar, tepatnya kamar bagian belakang berlubang, sebab dinding yang runtuh. Entah bencana apa yang terjadi sehingga sanggup merobohkan satu bagian utuh tanpa terpecah-pecah seperti ini. Sebuah dinding semen seperti ditabrak tronton. Jatuh begitu saja ke lantai, sepetak besar.
Aku melongo memandangi suamiku. Rasanya tak percaya kalau harus mendiami rumah yang sudah seperti gubuk reot tak layak huni ini. Lingkungannya juga tak kalah seram. Semak belukar ditemani oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi. Bahkan mengalahkan tinggi rumah tersebut. Tetangga sangat jauh, rumah ini terletak di ujung jalan, tepat di perbatasan desa. Lalu, tak jauh darinya ada pemakaman umum. Pepohonan masih berdiri gagah di sekitar. Termasuk satu pohon beringin besar itu. Bulu kudukku meremang.
"Bang, cari rumah lain saja," rengekku pada Alif, suamiku.
"Kemana? Kita sudah diusir. Rumah ini satu-satunya yang abang punya," sahutnya lemah. Kami saling menatap.
Aku menghela napas. Kami baru saja diusir dari kontrakan karena katanya mau dijual. Sedangkan untuk mengontrak rumah lain kami tidak punya uang. Jangankan lima ratus ribu buat menyambung sewa, hanya lima puluh ribu yang terpaku manis di dalam sakuku. Hasil menjual piring dan gelas kami satu-satunya. Untuk makan kami maksimal tiga hari ke depan.
Suamiku, lelaki yang sangat kucintai. Ketidakberdayaan memaksa kami meluncur turun ke titik terendah dalam hidup. Kami masing-masing tidak mempunyai orang tua sebagai tempat mengadu. Saudara? Jangan tanyakan. Aku besar di panti asuhan sedangkan dua saudari Bang Alif sudah seperti orang lain saja. Jangankan menjenguk abang tertua mereka setiap hari, tiap lebaran saja tidak.
Baru pertama kali kutemukan model jalinan keluarga seperti ini. Wajar saja, mereka orang kaya sekarang. Sedangkan abangnya hanya penjual roti keliling. Bukan hanya itu, kurasa alasan terbesar mereka menjauh adalah cacat yang diderita oleh suamiku.
Sebelah kakinya kecil. Sehari-hari ia menggunakan tongkat sebagai penyangga serta memakai sepeda roda tiga yang mirip becak mini khusus untuk dia saat berjualan. Mengayuhnya juga menggunakan tangan. Tangan dan dada Bang Alif berotot. Setiap hari berjualan roti keliling kota membuatnya bugar sekaligus berkulit hitam karena terbakar sinar mentari.
Itu baru satu alasan, mungkin alasan yang satu lagi makin memperkuat keengganan mereka. Bang Alif memilihku menjadi pendamping hidupnya, seorang wanita yang cacat pada sebelah mata. Sebelah mataku buta, sejak kecil sudah begini, tetapi kalau berada di depan cermin, seperti mata pada umunya. Hanya saja, terlihat sedikit lebih kecil dari mata sebelahnya.
Aku tahu, pasti itu alasannya. Karena dulu, mereka semua mati-matian menghinaku. Namun, Bang Alif tetap pada keputusan awalnya. Sampai kutukan itu diucap oleh Sang Ibu, "Kalau kau menikahi gadis ini, Ibu tidak akan menganggap kau anak!"
Bang Alif, apa yang ia lihat dariku. Semula aku mengira ia menikahiku karena kami sama-sama tidak berdaya. Tetapi dengan wajah tampannya, ia bisa menggaet wanita yang lebih cantik dariku. Tidak, lelaki itu memilihku jadi pendampingnya. Satu yang ia ucapkan dan masih membekas, "Kebaikan hati tidak bisa terlihat tapi ia mengeluarkan aura positif untuk pemiliknya dan itu kulihat padamu. Kaulah ibu yang pantas untuk anak-anak soleh kita nanti "
Hati siapa yang tidak berbunga-bunga. Seorang pria kesampingkan saja soal kekurangannya mencintaiku yang hanya sesosok gadis buta. Tidak pernah aku diperlakukan sedemikian berharga, hanya dirinya seorang.
Sejak saat itu, Bang Alif rutin mengunjungiku. Hubungan kami terjalin bak simfoni dalam taman bunga, indah.
Pada akhirnya, dia melamarku setelah berbulan-bulan mencoba meyakinkan diri. Bukan dia, tetapi aku. Aku yang butuh waktu mencari kebenaran dalam hati. Mungkin Bang Alif khilaf atau bagaimana sehingga mau menjadikanku istrinya.
Saat itu, aku tidak tahu bahwa sang ibu dan calon iparku tidak setuju. Lebih tepatnya, mereka berkata 'Ya' di depan Bang Alif, tetapi menatap miring padaku ketika suamiku tidak ada.
Allah, ujian ini begitu berharga untuk dilewatkan. Bukankah segala kezaliman merupakan bekal untuk masa depan akhirat.
Aku tetap bertahan, semua karena Bang Alif tercinta. Bahkan saat kami diusir seperti ini, tiada satu pun keluarga yang mengulurkan bantuannya.
"Ayo kita masuk, Dek. Bismillah."
Kami melangkah, mendahulukan kaki kanan terlebih dahulu. Namun, saat telapakku menjejak lantai, aroma menyengat dan sensasi merinding menyergap tubuhku.
~~~~~~~~~~~~
Kami berdua mengemas rumah perlahan-lahan. Bang Alif membantu menebas rumput di sekeliling rumah. Meski ia punya sebelah kaki yang cacat, tetapi sangat terampil bekerja. Aku melap lantai kamar dan menyapu sedikit. Sebenarnya rumah ini belum boleh ditinggali karena telah lama kosong dan belum di adakan zikir.
Tetapi kalau tidak sekarang, kami harus tidur dimana. Bisa saja menumpang di rumah teman hingga rumah ini bersih tetapi kami tidak mau merepotkan. Rumah tua dan lapuk adalah peninggalan ibu pantiku. Dia menghibahkan rumah ini untukku. Kondisinya memang begitu, reot, jauh dari keramaian dan kesannya angker.
"Dek, abang sudah selesai!" Bang Alif meneguk sebotol air putih di teras. Kulihat rumput di sekitar rumah telah habis. Juga terasnya, beberapa lantai yang berlubang tertambal sempurna.
Kalau orang melihat ini mereka tidak akan percaya bahwa suamiku yang melakukan semua. Dia naik kerumah dan mengangkut beberapa air untuk mandi. Ada kolam kecil di dekat pintu dapur. Setelah dibersihkan dengan saksama, rumah ini terlihat sangat bagus. Hanya beberapa lantai yang berlubang perlu penanganan khusus. Selebihnya ternyata tidak terlalu buruk.
Bahkan di belakang ada dua tempayan untuk menampung air hujan. Semua terisi penuh. Tetapi kami tidak akan memakainya. Rumah ini telah lama ditinggalkan, tidak menutup kemungkinan kalau airnya tidak sehat untuk diminum.
Sebelum senja terbentang, kami sudah selesai. Meskipun baru kusapu, lumayanlah untuk tempat bernaung semalam, esok akan kami lanjutkan. Api masih berkobar di belakang rumah sisa pembakaran seluruh barang tidak terpakai. Sekarang rumah ini bersih dan kosong. Meskipun ada atap yang berlubang, namun tidak banyak.
Tiga buah lampu minyak kunyalakan, tidak ada listrik. Kutaruh di dalam kamar yang telah terbentang tikar dan tilam tipis untuk kami merebahkan diri. Malam mulai mendapatkan pekatnya. Jangkrik serak bernyanyi sementara di kejauhan burung hantu berkoak tiada henti. Sayup-sayup suara azan menggema. Aku dan Bang Alif mengambil wudhu.
Hitungannya ini masih sore, namun kabut telah menyelimuti tempat tinggal kami. Seram, mencekam dan kelam. Lagi-lagi romaku merinding.
Bang Alif mengangkat takbir. Dia sholat dengan cara duduk sedang aku berdiri seperti biasa di barisan belakang. "Allahu akbar!"
Sholat berlangsung khidmat, saat sujud terakhir Bang Alif berlama-lama. Selain berdoa tentunya aku juga mengadukan nasib kepada Sang Khalik. Ujian hidup seperti enggan berakhir. Entah kenapa tetapi Allah tahu sejauh ini kami kuat.
Namun, ada perasaan aneh saat Bang Alif tidak juga mengakhiri sujudnya. Apa yang terjadi, pikiranku gelisah. Ingin melihat keadaan namun posisi sebagai makmum membatasiku. Ah, mungkin sebentar lagi ia selesai. Batinku.
Berselang lama, masih juga tidak berakhir. Syahdan, saat aku hendak bangun dan memeriksa suamiku, saat itu juga ia mengucap takbir.
Lega, kupikir ada sesuatu yg terjadi. Saat bangun dari sujud, aku terperanjat. Jantung berdegup kencang karena mataku menangkap penampakan. Sebuah wajah seram dengan mulut dan kedua lubang mata menghitam berada di hadapanku.
Reflek mulut berucap istighfar. Dada berdebar kacau. Namun saat kulihat kembali, wajah itu tiada. Mata sebelah ini memang kadang sering khilaf dalam memandang, kadang tidak jelas bentuk yang terlihat Dalam hati tak henti kulafalakan ta'awudz. Meminta perlindungan kepada Allah atas gangguan makhluk halus. Sholat berakhir dan semua kembali seperti biasa.
--------------
"Bang, besok kita harus bagaimana?" Mataku menerawang menatap nanar pada langit-langit rumah. Cahaya sewarna senja yang datang dari lampu minyak menerangi kamar kami. Bang Alif menghela napas kemudian merangkulku. Lengan kekarnya hangat, jiwaku ikut tenang.
Kami berbaring di kasur tipis setelah sholat isya dan makan. Untung saja lauk dan nasi tidak basi. Sebelum keluar dari rumah itu aku sempat memasak.
"Abang akan berjualan seperti biasa. Adek lanjutkan mengemas rumah. Insya Allah, besok ada rejeki buat kita."
Tiba-tiba mataku memanas, ada bulir bening jatuh dari sebelah kelopak mata
"Adek bersyukur, Bang. Sungguh. Tetapi sampai kapan kita akan hidup seperti ini. Kadang Adek lelah," tukasku.
Suamiku menangkup pipi ini, mengusap air mata di ekor mata yang hampir jatuh menjejak bantal.
"Tenanglah, Dek. Semua akan baik saja. Pasrahkan kepada Allah. Kita tidak tinggal di kolong jembatan saja sudah cukup beruntung."
Aku mengkeret di dada Bang Alif. Sudah lima tahun kami berumah tangga dan dia selalu bisa menenteramkan. Seolah ujian demi ujian hanya serupa angin sepoi yang membelai kulit. Optimis.
Tak terasa, aku jatuh tertidur di pelukannya. Samar-samar kulihat Bang Alif menatapku dengan sayang. Gelap dan sepi nampak kontras dengan kehangatan yang menyelimuti kami di kamar berukuran 5x3 meter ini. Semoga nasib kami berubah menjadi lebih baik. Sungguh aku tidak inginkan harta yang banyak, hanya saja ujian hidup seolah enggan menjauh. Pun datangnya bertubi-tubi. Subhanallah wa ni'mal wakil. Ni'mal mawla wani'mannatsir.
Klatak! Klatak! Klatak!
Suara apa itu? Mataku membelalak. Hening. Dengan saksama kudengarkan kembali. Tidak ada apapun. Benar-benar senyap. Bahkan binatang malam tidak bersuara. Ah, entahlah. Aku menutup mata mencoba tidur kembali. Bang Alif juga lelap, pelukannya mengendur. Nampaknya ia sangat kelelahan.
Bola mataku kembali terbuka. Suara itu lagi, kali ini hanya sekali.
Klatak!
Seperti suara dua papan dikatupkan. Aku tahu itu bukanlah perbuatan binatang. Rumah ini, sejak awal kami jejakkan kaki di dalamnya sudah mengeluarkan aura negatif, kusam dan kelam. Romaku menegak. Kunaikkan selimut hingga menutup seluruh tubuh. Bang Alif bergerak, ia membelakangiku. Ingin kubangunkan ia, tetapi kasian.
Klatak!
Jantungku berdebar. Kali ini jelas terdengar. Rasanya dekat. Ragaku menggigil, perut terasa mual dan kepala mulai pusing. Sebisa mungkin kubaca ayat Al-Quran yang kuhapal.
Tiba-tiba suara itu makin menjadi. Kali ini tidak dua ketukan tapi beruntun, bagai papan yang dipukulkan ke sebuah benda pipih lain berkali-kali dan bertubi-tubi. Berulang-ulang dan memekakkan telinga. Aku menutup telinga dengan kedua tangan.
"Bang! Bang! Bangun!" Kubangunkan Bang Alif, tetapi raganya bergeming.
Kugoyang tubuh kekar itu dan memanggil namanya berulang kali sementara bunyi misterius kian menghantui pendengaranku.
"Bang! Bangun!"
Dengan putus asa kubalik badan Bang Alif. Namun pemandangan mencengangkan menusuk penglihatanku. Bang Alif terkapar dengan kedua bola mata tercabut dan berceceran di sekitar wajahnya. Aku melolong ketakutan.
"Dek, ada apa?!" Keningku berkeringat. Bunyi itu tidak ada lagi. Aku terhenyak dengan posisi duduk. Bang Alif terlihat baik dan menatapku heran. Tidak ada lubang hitam di wajahnya. Napasku berkejaran.
"Bang?..." Hanya itu yang terucap dari mulut. Suamiku memeluk dan mencium ubun-ubunku.
"Tenanglah, cuma mimpi. Makanya sebelum tidur berdoa dulu." Ia meniup puncak kepalaku dan membacakan beberapa potongan ayat Al-Quran.
"Ini masih tengah malam. Ayo kita sambung tidur." Aku kembali rebah dalam dekapannya. Apa itu tadi? Mimpi? Mengapa benar terasa nyata? Rumah ini membuat ilusi menjadi jelas dan semu terdengar asli.
************
Aku melambaikan tangan saat melepas kepergian Bang Alif untuk berjualan, aku berbalik saat punggungnya hilang di ujung gang. Hari ini akan dilanjutkan acara bersih-bersih. Semua sudut rumah telah resik tanpa barang bekas pemilik dahulu, kecuali kamar berlubang itu. Kemarin kami tidak sempat membersihkannya karena sudah terlanjur sore. Hari ini aku bertekad menyelesaikan semua.
Kumasuki ruang kamar melalui lubang besarnya, kemudian kubuka pintu yang ternyata terkunci dari dalam. Tidak terlalu sulit karena kuncinya sudah berkarat. Berapa lama rumah ini ditinggalkan, sampai besi saja berkarat sempurna. Tinggal diketuk sedikit ia berguguran bak bunga dandelion yang tertiup angin.
Beberapa potong roti tadi lumayan mengisi perut di pagi hari. Sebelum pergi berjualan, suamiku sudah meninggalkan beberapa sayur dan butir telur sebagai lauk kami hari ini. Dia memang suami bertanggung jawab, tidak segan belanja ke warung. Belum punya anak saja ia sudah perhatian begini apalagi saat aku melahirkan zuriatnya. Kuelus perut bagian bawah, satu lagi ujian Allah kepada kami. Penantian yang seakan tiada akhir.
Aku belum lapar, nanti saja sekalian setelah berkemas baru pergi memasak.
Kamar kedua ini nampaknya cocok dijadikan tempat sholat. Ukuranya sama dengan kamar utama. Hanya saja, isi di dalam berantakan sekali. Hancur lebur. Selain tembok yang longsor, juga beberapa lemari keropos termakan rayap hancur berkeping di lantai. Perlahan-lahan kusapu semua dan kukumpulkan di satu sisi.
Remahan kayu dan perca berdebu kubakar seketika. Api menyala nyalang, berkobar memakan apa yang masuk ke dalamnya. Sekilas kulirik ke bagian belakang rumah, seperti biasa, hutannya membuat kuduk berdiri. Pikiran memproyeksikan secara mandiri atas apa yang kutakutkan.
Seketika ada bayangan berkelebat di antara pepohonan. Mataku nanar mengikuti arahnya, tidak dapat tertangkap. Sulit. Sakit. Mata yang tinggal sebelah ini berdenyut. Ah, lebih baik aku masuk. Kurapalkan firman Ilahi yang Bang Alif ajarkan. "Biasanya rumah lama memang begini, jadi jangan heran kalau Adek melihat bayang-bayang. Nanti kalau ada rejeki kita undang warga kampung untuk mendoakan." Terngiang nasihat yang suamiku lontarkan tadi subuh. Astaghfirullah.
Semuanya selesai. Kamar kedua rapi. Dinding semen yang roboh telah kupindahkan perlahan-lahan. Sekarang rasanya rumah ini telah resmi layak untuk didiami. Tetapi kemudian, ujung mataku menagkap sebuah pemandangan di sudut kamar. Sesuatu yang terlihat beda dari biasa.
Kuhampiri sudut itu, nampaknya ada bagian yang sedikit menonjol. Perlahan-lahan tangan meraba sumbulan, seperti sesuatu yang sengaja disatukan dengan dinding. Kususuri alurnya, pelan dan makin jelas bahwa ia adalah sebuah persegi kecil yang menempel di dinding, seperti pintu. Wah, sungguh tak terduga. Rasa penasaran menghantui pikiranku.
Kucongkel celah kecilnya dan semen yang menutupi, semen itu berhamburan bak pasir. Perlahan kuperbesar lubang dan ternyata ada sesuatu di sana. Sebuah peti kecil.
Peti itu cantik sekali, ukirannya menandakan bahwa ia spesial. Terbuat dari kayu paling kuat sedunia, kayu 'Belian'. Untungnya ia tidak terkunci. Kubuka peti itu, ada sebuah bungkusan hitam dengan bros kecil di dalamnya.
Bros itu adalah barang pertama yang kuambil. Cantik sekali, ukirannya sama persis dengan peti tempat ia bertahta. Luar biasa, bros berwarna putih itu tidak terlihat berkarat sama sekali. Aku yakin ia telah berada di tempatnya cukup lama sesuai dengan kondisi rumah.
Bungkusan hitam, terlihat menyeramkan. Ada aura negatif yang kurasakan. Bukankah setan menyukai warna hitam. Aku ragu, ingin kuambil karena terlanjur penasaran. Tetapi...
Mendadak, sebuah tangan menyentuh bahuku. Hampir saja aku terlonjak dan melempar peti kecil itu, setelah berbalik ternyata, Bang Alif. Dia berdiri di belakang dengan senyum terkembang.
"Adek kaget, Bang! Ish kenapa ga ngucap salam,, sih!" Kupukul manja dada bidangnya dan ku cubit manja lengannya yang kekar, dia tidak terlalu tampan tapi cukup membuat ku bahagia. Bang Alif tertawa.
"Abang sudah ucap salam berkali-kali. Adek ga dengar, ya? Apa sih serius amat." Suamiku mengambil peti dari tanganku dan mengeluarkan isinya. Akhirnya dibukalah bungkusan hitam itu dan isinya adalah sebuah kertas dan tulang. Iya, tulang. Tapi aku tak pasti.
"Gigi!" Bang Alif menjawab seolah ia mendengar isi pikiranku.
Dia membuka kertas kuno itu. Aku juga penasaran. Tidak sabar menunggu penjelasannya, aku ikut membaca.
"Anak dare menanam bunge. Bunge layu daan di siram. Biar kubawakan dare suntimu buat kebun pandanku subur dan makmur. Wahai Antu Bela-uu."
Bang Alif terlonjak. Dia melempar semua yang dia pegang. Aku menatapnya heran.
"Antu Belau!" Pekiknya.
"Ada apa, Bang? Hantu apa?"
"Kita harus pergi dari rumah ini, Dek. Secepatnya!"
"Apa?!" Ucapku.
***********
Wajah Bang Alif pucat pasi. Ia menatap nanar pada sobekan kertas lusuh dan bros putih yang tergeletak di lantai. Sementara aku masih bingung dengan kata-katanya. Kami sempat terdiam beberapa saat.
"Kenapa kita harus pergi, Bang?" Akhirnya sebuah tanya dariku memecah sepi.
Bang Alif tersentak, sekejap tadi dia bak tiada di alam ini. Tatapannya kosong. Dia kemudian menelan ludah.
"Tidak..." Ia menggeleng, "sebaiknya kita pergi ke rumah Ustadz Ibrahim."
"Siapa Ustadz Ibrahim, Bang?" Aku tidak kenal nama yang disebutkan oleh suamiku. Dia tidak pernah menyinggung nama itu sepanjang pernikahan kami.
"Nanti adek juga akan tahu. Ayo berkemas!"
***
Kami menempuh jalan panjang menuju rumah sang ustadz. Sekitar satu jam perjalanan menggunakan ojek. Dari Teluk Keramat menuju Sambas kota, jarak yang lumayan ditambah guncangan di sana-sini karena jalan yang berlubang. Ada apa dengan suamiku? Siapa sebenarnya sang Ustadz?
Saat kami tiba, azan zuhur berkumandang. Istri Ustadz Ibrahim menyambut ramah. Ia adalah wanita paruh baya, kutaksir umurnya sama dengan Ibu mertuaku yang saat ini sudah lima puluh tahun. Kami melaksanakan sholat dzuhur di mushalla keluarga mereka setelah makan siang.
"Maaf, Bu. Ustadz kok belum pulang juga?" Bang Alif bertanya kepada Ibu Aisyah setelah menunggu cukup lama.
"Sabar ya, Nak. Mungkin beliau ada ngisi ceramah sebentar. Biasanya juga cepat pulang..." Bu Aisyah celingak-celinguk menatap keluar melalui pintu depan dan seketika beliau melonjak. "Ah, itu Pak Ustadz sudah datang."
Ia menyongsong sang suami di luar dan sesaat kemudian seorang lelaki masuk ke rumah dan melihat ke arah kami. Saat pertama melihatnya, pancaran wibawa menguar dari sosok yang disebut Ustdaz Ibrahim itu. Meskipun seluruh rambutnya memutih, tetapi jejak pengalaman dan ilmu yang patut diperhitungkan terpancar dari wajahnya. Beliau tersenyum dan menghampiri kami.
"Masha Allah, Nak. Kamu sehat?" Ustadz Ibrahim memeluk suamiku layaknya ayah dan anak. Dia juga tersenyum kearahku.
Mereka berdua berbincang lepas. Sesekali suamiku tertawa. Dari perbincangan keduanya aku mengetahui bahwa Bang Alif sudah lama tidak menemui Ustadz, terakhir berjumpa saat dia umur tujuh tahun.
Entah kapan perbincangan mereka mulai serius, mengungkap kenyataan yang tidak kuketahui selama ini.
"Pak, saya khawatir." Bang Alif melihat ke arahku. Binar cemas menggantung di matanya. Namun kata-kata itu jelas ditujukan untuk sang kyai.
"Kemarin Diah menemukan benda ini di rumah kami?" Ia meletakkan peti kuno yang kutemukan. Kapan Bang Alif mengemas semua itu.
Ustadz agak terkejut, terlihat dari sorot matanya. Tetapi sedetik kemudian beliau kembali tenang.
"Apakah rumah kalian di desa teluk keramat?" Dia bertanya.
"Iya, Ustadz. Itu adalah rumah hibah oleh ibu kepala panti asuhan tempat istriku dibesarkan."
Ustdz mengucap ta'awudz berkali-kali.
"Subhanallah, takdir memang mempertemukan yang tidak kita perkirakan. Audzubillah. Audzubillah."
Aku sedikit khawatir, teka-teki menumpuk dalam kepala ini dan tidak ada satu pun jawaban yang kudengar saat ini. Bang Alif menatap nanar pada kotak itu.
"Maaf, Nak Diah. Siapa nama ibu pantimu?"
Aku menyahut gugup.
"Ibu Fatimah, Ustadz," ujarku.
Pak ustadz menyandarkan punggungnya ke tembok, seperti beban berat menghimpit pundaknya.
"Hantu itu kembali, kan, Ustadz?" Bang Alif menimpali.
"Kalian terikat, itu masalahnya..." Ucapan Ustadz menumbuhkan tanda tanya baru.
"Maaf, Ustadz. Saya tidak mengerti satu pun dari pembicaraan ini. Apa dan bagaimana? Tolong jelaskan pada saya, Ustadz," pintaku.
"Sebaiknya biar suamimu yang menjelaskan karena ia punya hak untuk itu."
Aku melarikan tatapan penuh tanya kepada Bang Alif. Dia melihatku ragu sekaligus khawatir.
"Dulu rumah itu milik ibuku, Dek."
~~~~~~~~~~~
"Ibu mendapat warisan dari neneknya, yaitu nenek buyut Abang. Sebulan setelah buyut meninggal, Ibu berniat tinggal di desa atau setidaknya menjadikan rumah itu sebagai tempat persinggahan kalau-kalau dia berniat pulang kampung. Tetapi baru dua hari menginap, Ibu langsung pulang ke Pontianak dan alasan perpindahan itu tidak pernah ibu kemukakan selama ini, bahkan kepada anak-anaknya."
"Setelah itu, Ibu langsung menjual seluruh rumah dan satu hektar kebun di belakangnya dengan harga sangat murah dan yang membelinya adalah Ibu pantimu."
Bang Alif menghentikan cerita, sungguh kebetulan. Hubungan kami sudah terbentuk bahkan sebelum kami dilahirkan.
"Setahun setelah itu Ibu menikah dan tak lama kemudian ia melahirkan Abang. Abang tidak tahu apa pun mengenai cerita rumah itu dan tiba-tiba, suatu hari di tengah derasnya hujan, Pak Ustadz Ibrahim datang ke rumah dengan tergesa-gesa. Abang tidak mengerti karena waktu itu abang masih berumur tujuh tahun. Tetapi, dari nada suara sepertinya Ibu dan pak Ustadz bertengkar hebat."
Suamiku menarik napas berat. Sementara Ustadz Ibrahim menarikan tasbih di jemarinya sambil mengucap dzikir.
"Setelah pertengkaran itu, tidak ada yang berubah dari keseharian kami. Kata Ibu pak ustadz hanyalah orang gila yang menagih hutang. Entahlah, abang masih kecil tentu tidak mengerti. Hingga akhirnya tanpa sengaja Abang bertemu Ustadz di masjid setelah pengajian rutin. Takdir Allah, Dek. Pak Ustadz menjelaskan apa yang terjadi malam itu."
Bang Alif mengurai panjang lebar soal malam terlaknat. Waktu itu Ustadz datang jauh-jauh dari desa Teluk Keramat menuju Pontianak hanya demi menemui ibunya untuk menolong anak perempuan Ibu Sinah yang merupakan ibu pantiku. Sejak mendiami tanah dan rumah itu, Desi terlihat berbeda. Hari ke hari ia hanya melamun dan hampa. Desi yang ceria menghilang dalam sekejap. Aura rumah itu juga menyeramkan.
Bu Sinah seorang janda yang cuma punya Desi anak semata wayang sebagai teman, tentu ia tidak mau sang anak kenapa-napa. Tetapi garis hidup manusia memang telah ditentukan Allah ta'ala. Desi meregang nyawa di ambulans saat menuju Kota Pontianak karena penyakit aneh.
Tidak ada yang tahu sebabnya, tetapi Pak Ustadz Ibrahim yakin itu karena keberadaan Iblis psikopat di dalam rumah Bu Sinah. Malam itu, setelah ritual pengusiran, Desi mengeluarkan darah dari sekujur tubuh. Kata Ustadz, mungkin ia bisa tertolong kalau saja ibu suamiku mau membantu karena Iblis itu adalah warisan dari keturunan mereka.
"Setidaknya Ibu ikut mendoakan saat pengusiran dilangsungkan, tetapi Ibu tidak mau dan malah menghardik ustadz. Setelah itu Desi meninggal dengan tragis. Matanya membelalak seperti melihat sesuatu dengan mulut tak henti mengalirkan darah."
"Kenapa Ibu tidak mau, Bang? Pasti ada sebabnya," usikku. Hati nurani ini diliputi tanya. Bang Alif mengernyitkan dahi.
"Entahlah, Dek. Ibu tidak pernah mau membahas hal itu."
"Mungkin ada hubungannya dengan seratus tulang belulang gadis dewasa yang ditemukan terkubur di belakang rumah itu." Perkataan ustdz bak palu godam yang menghantam kami.
"Apa? Tulang belulang?" Suamiku memekik tertahan.
"Iya. Ibumu pindah dari rumah itu tepat setelah dikeluarkannya berita mengenai penemuan seratus kerangka manusia dibelakang rumah. Alias tepat di kebun pandan belakang." Ustadz memperjelas.
Aku menatap Bang Alif, ekspresi keterkejutan membayangi wajahnya. Berarti ia belum pernah tahu masalah ini.
"Tapi berita itu menghilang secepat penyebarannya. Mungkin ibumu yang melakukan, dulu dia anak orang kaya. Mudah baginya membeli berita di media. Apalagi internet belum pesat seperti sekarang, kalau hanya koran lokal, sebentar saja menghapus jejaknya. Ustadz mengetahui ini dari seorang polisi forensik yang kebetulan merupakan sepupu saya yang waktu itu menangani kasus itu."
"Jadi apa maksudnya, Pak Ustadz? Apa hubungannya dengan kecemasan Bang Alif tentang rumah itu?" Hanya pertanyaan yang muncul dari benakku. Segala kejutan ini berhasil membuat asam lambungku naik.
*************
"Hantu Belau." Bang Alif menjawab pertanyaanku.
"Abang tidak tahu apapun selain itu sebab Abang pernah mendengar ibu membicarakannya dengan nenek."
Pak Ustadz menghentikan zikirnya. Ia menyeruput teh dan menjawab pertanyaanku.
"Hantu bela-u adalah hantu yang suka menyesatkan orang yang berada di hutan. Tetapi dalam beberapa kasus hantu itu terutama yang sudah berumur tua, ribuan tahun misalnya, tidak hanya punya misi menyesatkan orang yang datang ke hutan tetapi lebih dari pada itu, menyesatkan iman manusia. Biasanya hantu tua yang disebut juga 'Bangket Menaon" seperti ini dimanfaatkan manusia untuk pesugihan. Dan sepertinya nenek buyut suamimu punya ikatan pesugihan dengannya. Terbukti dengan penemuan kerangka, sepertinya itu adalah harga yang harus ditebus. Saya tidak tahu apa yang nenek buyutmu inginkan dari mengikat janji dengan si Iblis."
Aku tergamam. Betapa ini di luar dugaanku.
"Lalu bagaimana dengan Desi? Kenapa dia yang terkena efeknya?" tanya Bang Alif.
"Desi hanya anak gadis biasa. Siapa pun bisa terkena efeknya. Kasus Desi adalah salah satu yang sulit. Dia tidak mau keluar bahkan sudah di rukyah total hingga akhirnya anak itu meregang nyawa. Mungkin fisik dan psikisnya tidak kuat menahan gempuran sang Iblis," jawab ustadz.
Aku bergidik. Teringat kesan pertama saat menginjakkan kaki ke rumah itu. Pohon beringin besar di depannya sangat mengintimidasi.Naluri manusia memang tidak bisa diabaikan.
"Lantas kami harus apa, Ustadz. Saya merasa tidak ingin tinggal di sana lagi. Tadi sempat terpikir untuk pergi kemana saja asal bukan di rumah itu. Tetapi setelah dipikir ulang, kami tidak punya apa pun selain rumah." Suamiku menunduk, "saya tidak mau terjadi sesuatu dengan Diah."
Di saat genting pun dia selalu memikirkanku. Sejenak jiwaku menghangat.
"Iblis akan menang jika kita takut. Memang itu yang dia inginkan. Lawan. Allah Maha Besar, tidak ada yang berdaya di hadapan-Nya. Pertebal iman dan keyakinan atas kuasa Allah. Kalian punya takdir, kamu dari keturunan yang terlibat langsung dengan Iblis ini dan istrimu ada kaitan batin dengan seorang ibu yang anaknya mati dibunuh oleh setan itu. Bukan kebetulan, takdir Allah menyatukan kalian dengan kembali menginjakkan kaki ke rumah itu." Ustadz meletakkan tasbihnya di meja persis di sisi peti kecil itu.
"Tapi..." Suamiku tergagap. Tampak keraguan di matanya. Ia menatapku lekat.
"Rumah saya selalu terbuka buat kalian. Kalau kalian tidak sanggup, tinggallah di sini."
"Ah, tidak. Saya tidak mau merepotkan ustadz. In shaa Allah kami sanggup menjalaninya. Tolong doakan saja kami," pinta suamiku.
"Tasbih ini, gunakan saat sholat. Perbanyak dzikir dan hilangkan ketakutan. Iblis akan menggoda kalian dengan segenap kemampuannya. Dan satu lagi, begitu sampai di rumah, kuburkan peti ini di tanah belakang. Kalian belum membukanya kan?"
Kami saling berpandangan.
Ustadz tahu maksud pandangan itu dan beliau lagi-lagi mengucapkan ta'awudz.
"In shaa Allah tidak apa-apa. Berdoa kepada Allah dan yakin. Apa pun isinya, pasti berhubungan langsung dengan mistis. Nanti kalau sempat saya akan datang ke rumah kalian, ya. Umur sudah tidak memungkinkan saya bertindak sigap seperti dulu. Beberapa orang akan saya kirim dalam waktu dekat untuk meninjau, mereka murid saya."
Kami berterima kasih kepada Ustadz yang dengan senang hati menolong. Di saat tiada tempat mengadukan nasib, Ustadz Ibrahim membawa angin segar. Sekejap aku melihat sosok seorang ayah di dalam dirinya.
***
Kami mematung di luar rumah, sore hari terlihat semakin mencekam. Apa lagi kami sudah tahu mengenai sejarah rumah itu. Mau melangkah masuk rasanya berat, seolah kaki ini terikat pada bola besi dengan berat satu ton.
Aku mengkeret di bahu suamiku. Refleks berlindung di belakangnya seolah ada ancaman besar sedang menunggu di dalam. Bang Alif meremas jemari ini.
"Bismillah," Ia tertatih melangkah. Aku mengikutinya dari belakang.
Hentakan tongkat penyangga yang ia pakai menggema lantang di pendengaranku, seperti sengaja menindas jiwa kami. Angin dingin meniup tengkuk dan bunyi gemerisik daun beringin yang bergesekan satu sama lain semakin menambah suram suasana.
Sejenak mataku memindai sekitar rumah, ya memang hanya hutan di sekelilingnya dengan pohon berbagai bentuk, termasuk di belakang. Tidak kusangka itu adalah kuburan massal. Cerita tadi siang membuat tengkuk ini menegak.
Kondisi rumah senyap, ia tetap terlihat sama seperti saat kami tinggalkan. Beduk maghrib berdentum di kejauhan, kami memang tidak langsung pulang tadi, Bang Alif mengajakku makan di luar katanya seluruh roti diborong warung ujung desa makanya ia pulang awal dan membawa jumlah uang yang lumayan besar. Baru kali ini kami ketiban rejeki demikian banyak.
Makanya kami berlama-lama di masjid. Selain memikirkan langkah selanjutnya juga ada sedikit perasaan was-was ketika hendak kembali.
"Ayo cepat masuk, sudah magrib. Kita sholat dulu." Bang Alif meraih tanganku kemudian menutup pintu.
Gelap! Suasana alam yang kian mencekam ditambah tidak adanya listrik membuat nyali ikut surut.
Empat lampu minyak dinyalakan, wajah suamiku memantulkan cahayanya. Tetapi, dia seperti menyeringai sehingga sukses membuat jantungku berlompatan.
Begitu kewajiban selesai, masing-masing dari kami mencoba bersikap sewajarnya. Tetapi tetap saja, lebih baik tidak tahu fakta apa pun karena setelah semua terungkap, suasana rumah kian mencekam.
"Bang, temani Diah ke dapur. Mau siapkan makan."
Bang Alif terdiam, ia menunduk di ruang depan dengan lampu minyak yang masih menyala. Rutinitasnya pasti membaca Al-Qur'an setelah sholat magrib hingga isya menjelang. Tetapi suaranya tidak terdengar. Aku mendekat.
"Bang, temani Diah ke dapur. Sebentar aja, kita makan dulu sebelum sholat isya."
Aku maju perlahan menuju Bang Alif. Saat hendak menyentuh bahunya,
"Ada apa, Dek?" Suamiku keluar dari kamar menenteng dua lampu minyak di tangan. Ia menatapku heran. Jadi siapa yang duduk tertunduk di ruang tamu?
Seketika jantungku berdebar tak karuan. Secepatnya mataku mengerling ke sana. Kosong. Hanya bias cahaya lentera menerangi satu-satunya ruang tamu kami. Aku bergidik. Tetapi sebuah senyum terpaksa kusunggingkan kepada lelaki yang berdiri di depan pintu kamar.
"Tidak apa-apa, Bang. Cuma, kita harus makan dulu sebelum sholat isya."
Aku berlalu meninggalkan ruang tamu dan bergegas menghampiri kekasih. Biarlah ia tidak tahu, biar kusimpan sendiri karena tidak ingin menambah kesan mengerikan lagi. Jendela kaca di depan terlihat membayang tubuh seseorang.
Bang Alif membantu menyiapkan makanan. Tiba-tiba,
"Ya Allah, Dek. Kita lupa mengubur peti itu. Harusnya dilakukan sebelum magrib tadi!" Ia berseru.
Aku menatap mata suamiku, dia balik memandang.
"Jangan bilang abang akan menguburnya sekarang," cecarku. Nasi hampir tumpah ke lantai saat kami berdua terkejut karena mendengar suara burung hantu yang menggema tiba-tiba.
~~~~~~~~~
Rasanya menegangkan. Setiap detik jantung seolah siap melompat dari rongga dada karena bermacam bunyi terdengar berkali-kali. Padahal hanya suara binatang malam, mungkin karena ada getir dalam relung hati sehingga membuat otak tak bisa berpikir positif.
Kubakar tungku perapian dan membiarkannya menyala. Tungku itu ada di pelataran dapur yang terhubung langsung ke alam bebas belakang rumah. Nyala api membara menerangi hutan. Suaranya yang membakar kayu kering menderak malam.
"Kita kubur saja di sembarang tempat asal jangan terlalu jauh dari rumah." Bang Alif berkata-kata seolah tahu isi hatiku, sebab kalau terlalu jauh, sinar dari tungku itu tidak dapat menjangkaunya.
Dia mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kain putih bertuliskan lafadz "Lailahaillallah."
Aku mengambil cangkul dan lentera minyak. Kami turun ke tanah dan merambah rawa serta semak belukar untuk mencari spot yang baik.
Segan rasanya mengingat di bawah sini pernah terkubur seratus nyawa orang tidak berdosa, tidak dapat kubayangkan ada kejahatan semacam itu di zaman dahulu? Sungguh ironi.
Suara tapak kaki kami mengusik kedamaian. Benar-benar senyap, bahkan binatang malam sejenis jangkrik tidak sanggup bersuara. Memang aneh, sejak pertama kali berada di sini suara-suara hewan nokturnal seperti hilang seolah takut akan sesuatu.
"Dek, kita tanam di sini saja. Sudah seratus meter dari rumah." Bang Alif mengagetkanku. Aku hanya mengangguk. Kusipitkan mata melihat ke dalam hutan, entah mata sebelah ini mulai rabun atau memang ada sesuatu di sana, tak jauh dari tempat kami berdiri.
Di hutan pekat. Sesuatu sedang mengawasi. Sesuatu yang hitam segelap malam. Dan ketika fokusku penuh, mata merahnya memandang kami dengan tajam. Tetapi setiap detik ia kian mendekat.
Belum sempat aku menunjuk untuk memperingati Bang Alif, tiba-tiba sesosok makhluk besar berbulu menyeringai dan membawa suamiku masuk ke dalam hutan.
Semua terjadi tiba-tiba, hanya lolongan pedih yang memanggil namaku terdengar memilukan.
Aku tersentak, refleks diri ini tersaruk-saruk menembus hutan nan lebat, dengan air mata dan hati pilu aku memanggil nama suamiku.
"Bang... Bang!!!"
Lentera di tangan bergetar hebat, minyaknya bergelombang karena kubawa berlari. Sedikit tumpah menetes ke tangan.
Napas yang memburu serta keringat sebesar biji jagung menggambarkan kepanikan. Tidak ada tanda keberadaan Bang Alif, aku memindai sekitar. Rasa yang ambigu, terang lampu minyak seolah tidak sanggup menjangkau pekat malam.
Hatiku meringis sedih, suamiku. Sesuatu tadi, apa?
Tiba-tiba seluruh tubuhku meremang, aku melihat ke belakang. Ini sudah terlalu jauh dari rumah dan tidak ada jejak kepergian suamiku. Bulir air mata menetes tanpa ampun, aku harus bagaimana? Bagaimana?
Apa yang terjadi dengan Bang Alif? Siapa yang membawanya? Kelebat hitam tadi tentu bukan manusia. Aku bingung dalam kesendirian. Seperti tiada pegangan. Kakiku lemas dan diri ini jatuh bersimpuh di tanah. Hampa rasanya, aku tidak pasti apakah ini sedih atau takut. Teringat pesan Bang Alif beberapa hari lalu.
"Ingatlah Allah saat hatimu gelisah."
Astaghfirullah. Aku telah lalai dalam mengingat kebesaran Allah. Berkali-kali kulafalkan ta'awudz dan seperti tersadar, benakku kembali ke kenyataan. Sekarang yang harus kulakukan adalah pergi.
Aku menguatkan hati untuk berdiri. Saat kurasakan tungkai kaki mendapat kekuatannya, aku berlari kencang meninggalkan hutan di belakang rumah, menembus semak belukar yang ternyata daun pandan. Wanginya mengingatkanku akan bau pandan yang ditabur saat jenazah dikebumikan. Tidak! Aku harus terus berlari.
Lampu minyak bergetar ke sana-sini mengikuti rentak irama tubuh. Beberapa meter lagi akan jauh dari kebun pandan. Tersaruk kaki ini menggapai langkah, rasanya jauh sekali untuk kembali padahal saat mengejar Bang Alif, aku merasa hanya butuh beberapa menit.
Ditengah deru napas dan lecutan nyali yang kian ciut, sesuatu menahan kakiku. Sebuah tangan menjulur dari dalam tanah kemudian mencengkeram pergelangan-pergelangan kaki.
Aku menyentak tangan itu,
Ctash!
Sesuatu terputus, kulihat jemari menempel di betisku sementara pergelangan tangan dari tanah itu buntung. Aku terkesiap, namun terus berlari mengejar belakang rumah yang kian jauh.
Lailahaillallah. Bismillahi tawakkal 'alallahu.
Mataku memejam, aku pasrahkan diri ini kepadamu ya Rabb. Jika nyawaku sudah sampai pada ajalnya, kumohon ampuni dosa diri ini dan tetapkanlah imanku dalam ketauhidan sejati.
Sembari menggagap pekat malam aku menghambur tak tentu arah, belaian lembut serasa kapas terus menyapa betisku. Apa pun itu yang penting menjauh dari sini.
Tiba-tiba saja aku sudah sampai di dapur, nyala tungku sudah mengecil, oksigen dalam paru-paru seperti habis terkuras. Basah terasa di seluruh tubuh, kontras dengan suasana dingin malam yang menggigit tulang. Aku memandang hutan dalam kejauhan. Kelam. Suamiku masih di sana. Tetapi diri ini harus pergi.
Entah kemasukan apa, aku berlari masuk dan menghambur ke pintu depan. Kuputar kenop dan macet!
Kusentak ke kiri dan kanan tetapi masih macet. Tidak! Aku harus segera bebas dari sini!
Sebuah bayangan putih melayang di sisi rumah, terlihat dari jendela kaca. Suara tawanya yang melengking membuat nyali siapa pun ciut. Sekali lagi, ayat tauhid terlafal dengan sendirinya di bibirku. Lailahaillallah.
Pintu terbuka. Dengan kemaruk aku melangkah keluar. Berlari kencang menembus kabut malam. Penampakan tadi telah menghilang tetapi yang tersisa cuma air mata. Teringat adegan saat Bang Alif diseret paksa oleh makhluk itu. Suamiku, semoga Allah menjagamu.
"Tolong! Tolong saya!"
Aku menggedor pintu rumah warga terdekat. Seorang wanita paruh baya membuka dan kemudian aku jatuh di pangkuannya.
"Tolong saya, suami..."
Setelah itu aku hanyut dalam lelap yang panjang.
~~~~~~~~~~
Bau minyak kayu putih menusuk penciuman. Ada pula suara-suara orang. Lelaki dan perempuan. Saat netra menemukan cahaya, aku mendapati diri ini terbaring di kasur yang asing, juga kamar dan ornamennya. Bingung. Aku ibarat kehilangan daya ingat sementara, sebelum akhirnya ia kembali menyerang isi kepala. Bang Alif, makhluk itu dan pekikan. Pekikan panjang.
Aku bergegas keluar kemudian mendapati beberapa lelaki telah berkumpul di ruang tamu. Matahari bersinar terang di seperempat luas langit menjadi bukti bahwa aku tak sadarkan diri cukup lama. Mereka terdiam saat melihatku dan tiba-tiba seorang wanita gemuk paruh baya mengiringiku ke dalam. Ia merangkul dan tersenyum.
"Anong ndaan pe ope?" Ia menanyakan kondisiku dengan logat kental Melayu Sambas. Aku hanya mengangguk lemah. Kami duduk di lorong rumah, penghubung antara dapur dan ruang tamu. Di sana juga ada beberapa ibu-ibu asyik berkumpul dan menanyai kondisiku. Karena aku berasal dari Pontianak, agak sulit mencerna percakapan mereka.
"Semalam, Aki dan Uwan* nemukan Anong* terbaring di depan rumah dengan kondisi lelah dan pingsan. Ade ape sebenarnye? Anong daan* paham bahase Teluk Keramat kan? Dari tadi Anong bingung." Ibu paruh baya yang membopongku tadi akhirnya mengerti bahwa aku bukan berasal dari daerah ini. Teringat kejadian kemarin malam sukses mendatangkan air di pelupuk mata.
"Suami saya, Wan. Dia diambil hantu." Aku mengadu bak anak kecil. Kehilangan Bang Alif bagai mengoyak seluruh keberanian.
Suara istighfar menggema di seantero rumah. Selain Ibu yang membahasakan dirinya Uwan itu, ada juga ibu-ibu lain yang berkumpul berkeliling.
"Gimane ceritanya, Nong? Sabar. Ceritakan dengan Uwan."
Akhirnya keseluruhan teror menyeramkan mengalir begitu saja dari mulutku. Entah mereka mengerti maupun tidak tetapi semua mendengar dengan saksama. Bahkan para lelaki di ruang depan juga terdiam. Masing-masing dari mereka menyebutkan asma Allah kala mendengarkan penjelasan demi keterangan. Seperti memang ada sesuatu yang besar tersembunyi dalam kemisteriusan rumah itu.
"Nong, Aki minta maaf sebelumnya..." Seorang lelaki yang menggelar dirinya Aki duduk bersimpuh di samping Uwan. Sepertinya mereka suami istri, "Rumah yang Anong maksudkan? Rumah yang ada di jalan menuju kuburan itu?"
Aku mengangguk. Lelaki yang kutaksir seusia Ustadz Ibrahim itu mengangguk masygul. Ia berdehem kecil kemudian matanya berlarian seperti mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
"Rumah angker itu jauh di pedalaman semak belukar. Jauh pula dari jalan utama desa. Kenapa memilih tinggal di sana? Itu rumah Anong kah?" tanyanya.
"Itu rumah Ibu Sinah, Ki. Ibu panti saya. Ketika beliau meninggal, ia mewariskan rumah semi permanen itu kepada saya. Kami berdua pindah karena terpaksa, diusir dari kontrakan karena menunggak. Terpaksa merantau ke sini, jauh dari keluarga. Itu pun menumpang mobil barang. Sebab tidak ada uang."
"Suami Kakak itu yang berjualan roti kemarin ya?" Seseorang bertanya dari ruang tamu. Lelaki yang sebaya denganku dan Bang Alif. Aku mengangguk.
"Iya, saya kemarin ada beli semua roti beliau. Pantas saja tidak pernah kenal. Rupanya orang baru," timpalnya.
"Nong, kami sebenarnya heran. Kenapa kalian tidak memberi tahu kepala kampung atas kepindahan kalian?" tanya Aki.
"Maafkan kami, Ki. Kami hendak memberitahu tetapi belum sempat kami lakukan. Padahal baru saja beberapa hari pindah, sudah ada kejadian seperti ini," jawabku.
"Yang lebih mengherankan, saat kami datang, tidak menjumpai satu pun warga yang berada di luar rumah. Kami berhenti persis di depan jalan sana dan sepanjang jalan ini tidak ada yang dapat kami temui untuk berkabar," sambungku. Aki tampak terkejut.
"Iya, memang seperti itulah tipu daya setan. Nong jangan kaget, ya. Sebenarnya dulu sekali pernah ada pemuda yang hilang di sekitar hutan itu bersama kedua rekannya. Naas, saat ditemukan ia berubah gila dan tidak membaik hingga sekarang. Sedangkan dua temannya, tiada kabar sama sekali. Bak ditelan bumi.
"Kejadiannya persis di hutan dekat rumahmu," sambungnya.
Aku miris memikirkan nasib Bang Alif.
"Jadi suamiku bagaimana, Ki? Dia harus ditemukan. Hantu itu..." Aku tidak sanggup melanjutkannya.
"Hantu Belau. Hantu yang menyesatkan orang saat berada di hutan. Tetapi sosok yang mendiami rumah itu adalah yang terkuat dari jenis mereka."
"Sejak dulu memang hantu itu suka menumbalkan manusia. Ada saja anak yang hilang. Saat ditemukan seperti linglung dan tak lama kemudian mereka sakit dan meninggal. Makanya warga kampung sini tidak berani mengusik rumah itu. Melewatinya saja takut apalagi mendiaminya." Pemuda tadi menyambung cerita Aki.
Mataku kembali buram oleh air mata. Siapa yang bisa menolong? Aku harus bagaimana? Tiba-tiba sebuah nama terpikirkan begitu saja.
"Ustadz Ibrahim bisa menolongku. Dia di sambas kota. Tolong hubungi beliau. Dia mengenal suamiku. Tolonglah. Saya tidak tahu harus apa lagi?" Aku terisak memikirkan nasib Bang Alif. Sedang apa dia dan dimana? Semua bagai misteri yang tidak bisa dipecahkan.
"Saya kenal Ustadz Ibrahim. Sebentar ya, saya akan menelepon beliau."
Seorang tamu kemudian sibuk berbicara di telepon menjelaskan kejadian yang kualami. Setelah cukup lama ia kemudian menyerahkan gawai padaku.
"Halo, Diah? Nak, kamu gak apa-apa?"
Ditanya seperti itu mengingatkanku akan rasa sakit kehilangan. Kembali, hanya isak tangis sebagai jawaban.
"Bapak akan ke sana bersama beberapa murid. Tunggu ya, Nak. Assalamualaikum." Ustadz Ibrahim memutuskan sambungan begitu aku menjawab salamnya.
Semua orang di ruang tamu dan para wanita di dapur terdiam. Mereka tampak menghela napas.
"Persiapkan diri kalian. Nanti kita akan berburu." Aki berkata sambil memandang para lelaki. Rupanya ada juga beberapa pemuda menunggu di halaman. Sebersit, optimisme menghangatkan jiwaku. Suamiku harus ketemu, tanpa dia hidupku pasti terasa sangat hampa. Hanya dia satu-satunya yang kupunya.
~~~~~~~~
Kosakata Bahasa Daerah
▪︎Uwan = Nenek
▪︎Aki = Kakek
▪︎Anong = Pannggilan sayang (biasanya kepada anak atau dianggap anak oleh orang tua kepada yang muda (perempuan))
▪︎Daan = Tidak
Pukul dua siang Ustadz Ibrahim datang bersama para rombongan, mereka berjumlah sepuluh orang. Sementara itu para warga bersiap dengan perlengkapan mereka. Ada yang membawa obor dan penerangan lain. Aku menatap cemas di teras rumah Uwan saat Ustadz Ibrahim datang menghampiri.
"Doakan supaya suamimu cepat ketemu ya, Nak. In shaa Allah dengan pertolongan Dzat Yang Esa kita bisa melalui semua ini."
Aku mengangguk.
"Pak, rombongan telah siap. Kita bisa pergi sekarang sebelum petang," ujar salah seorang pemuda yang tadi ikut di barisan Ustadz Ibrahim.
"Ini kali ketiga Ustadz datang ke kampung demi mencari seseorang." Uwan berbisik di sampingku.
"Iye, dulu waktu Desi kemasukan. Kedua saat nyari pemuda yang hilang di hutan Paloh tapi ditemukan persis di belakang rumah itu dan ini yang ketiga demi mencari suamimu. Ustadz Ibrahim itu ulama besar. Beliau terkenal bisa berurusan dengan hal gaib seperti ini." Ibu paruh baya yang lain, belakangan kuketahui bernama Wan Sidrah-adik Uwan-menimpali.
Rombongan mulai berarak dipimpin oleh Ustdaz. Ia berjalan tegap meski umur sudah memasuki usia lanjut. Seharusnya beliau beristirahat di rumah saja ketimbang mengurus pekerjaan berat seperti ini. Kembali diriku diliputi kekahwatiran, bagaiamana jika pak ustadz kenapa-napa? Demi Allah aku tidak menginginkan itu. Tetapi saat mengingat pengalaman spiritual kelam kemarin malam membuatku sadar bahwa jin itu bisa melakukan apa pun. Sayangnya, diriku tidak diizinkan ikut. Aku sadar, jika terjadi sesuatu wanitalah yang mudah tergoda. Aku memilih berdiam di rumah Uwan sambil berdoa semoga Bang Alif ditemukan dan dalam keadaan baik-baik saja.
"Nak Diah, makan dulu. Sejak semalam Uwan tahu Nak Diah belum menyentuh makanan. Ayo dimakan."
Sepiring nasi dan lauk-pauk terhidang di meja teras persis di samping tempatku duduk yang disajikan oleh Wan Sidrah. Mereka menyemangati dan menenangkan diriku saat merasa gelisah. Meski selera makan pergi entah kemana, akhirnya mau tidak mau kupaksakan mulut ini mengunyah nasi sebab para Ibu-ibu di rumah Uwan sangat mencemaskan kondisiku. Kata mereka wajahku pucat dan tampak kurus. Demi melihat mereka senang, aku menghabiskan isi piring.
Sekian jam menunggu, iringan rombongan pencari tidak juga kembali. Berkali-kali aku mondar-mandir dari teras ke jalan demi melongo sebentar menengok keberadaan mereka ke arah ujung kemudian balik lagi ke teras rumah. Tidak hanya diriku, beberapa Ibu masih berkumpul menantikan putra dan suami mereka pulang dan membawa kabar baik.
Disela-sela sesi penantian, beberapa cerita seram mengalir dari mulut para ibu. Katanya, selain tiga kejadian itu ada juga mayat yang mulanya terlentang tetapi saat lewat di depan rumah tiba-tiba berubah posisi menghadap ke arah rumah. Selain itu juga mata mayat yang terpejam mendadak terbelalak seperti melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.
Kemudian beberapa tahun lalu sebelum seorang pemuda Pontianak dinyatakan hilang, ada anak gadis keturunan Tionghoa, putri Tauke kampung sebelah kesurupan tujuh hari tujuh malam karena mengadu kasih dengan pacarnya di rumah kosong itu.
Lalu, seorang ibu menceritakan pula bagaimana ia dan sang suami disesatkan dalam hitungan beberapa jam di belakang rumah itu karena nekad mencari kayu bakar meski mereka sudah tahu larangan untuk tidak mendekat ke sana.
Seorang gadis menimpali bahwa dia pernah melihat ada sosok yang mengintip di jendela rumah itu saat prosesi pengantaran jenazah. Bahkan kabut di sekitarnya tidak pernah hilang, entah datang dari mana. Aura suram dan kelam selalu membayang di sana. Apa yang digambarkan gadis itu sama persis seperti yang kami rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah, waktu itu hatiku menolak namun keadaan memaksa batas kemampuan kami hingga kejadian seperti ini pun terjadi.
Seluruh cerita itu tampak ganjil, tetapi begitu benar adanya. Tidak mungkin warga desa yang kelihatan polos begini sanggup mengarang cerita hanya untuk menakuti pendatang baru. Mereka hanya memperjelas bahwa rumah tersebut harus dijauhi. Tidak layak tinggal serta menyeramkan.
"Rumah itu pernah dikuburkan seratus jenazah wanita kan?" Aku bertanya, tidak pasti kepada siapa. Mereka terdiam sekejap, kemudian salah satu ibu mengiyakan.
"Iya, tapi kemudian berita itu dianggap cuma khayalan saja, Nong," katanya.
"Itu benar, Bu. Ustadz Ibrahim yang cerita. Mungkin kejadian ini ada hubungannya dengan keluarga suami saya, karena Ibunya adalah orang yang menemukan kerangka itu untuk pertama kali." Kata-kataku meluncur begitu saja dan disambut ucapan Astaghfirullah oleh orang yang hadir.
"Mungkin ada kaitannya kenapa suamimu diculik, Nong. Katamu yang menemukan adalah Ibunya, namanya..." Dahi Uwan berkerut tanda dia sedang berpikir, "Asfia?" serunya kemudian. Aku mengangguk.
"Lailahailallah, Nenek Bu Fia itu dulunya adalah pemasok daun pandan untuk usaha pengekstrak pandan wangi di desa kita. Saat itu, ramai warga desa yang bekerja di pabrik. Tetapi saat nenek Bu Fia meninggal, tiba-tiba pabriknya ikut berhenti. Bos pabrik dikabarkan gila dan masuk rumah sakit jiwa di Jakarta karena kehilangan tiga putri kembar mereka." Uwan bercerita dengan lancar. Fakta baru terungkap lagi.
"Aki dulu kerja di situ, Nak. Bahkan semua suami Ibu-ibu yang hadir di sini mantan pegawai pabrik. Menurut desas desus, di antara seratus tulang wanita yang ditemukan, tiga di antaranya cocok dengan DNA pak bos. Yang berarti bahwa, tiga putri kembar bos diculik Nenek Fia dan dikuburkan di sana. Mengerikan sekali." Tubuh Uwan menggelinjang, aku ikut bergidik.
"Setelah Fia meninggalkan rumah Neneknya secara tiba-tiba, sejak saat itu keanehan demi keanehan mulai terjadi di sana. Fia juga tidak pernah kembali ke sini, akhirnya terbiar begitu saja. Lalu beberapa tahun kemudian, Bu Sinah datang bersama anak gadisnya dan terjadilah kejadian mengerikan itu. Anaknya meninggal karena setan tidak mau keluar dari tubuhnya." Wan Sidrah menimpali cerita Uwan.
"Mungkin, ada hubungannya dengan suamiku, ya, Wan?" Dengan polos aku bertanya. Tentu saja ada hubungannya, Neneknya Ibu suamiku telah melakukan hal jahat dengan menimbun seratus gadis di belakang rumahnya, apa lagi kalau bukan pesugihan, pasti suamiku dituntut untuk melanjutkan warisan perjanjian dengan si setan. Menjadi pertanyaan besar buatku, apakah ibu Bang Alif juga melakukannya? Entahlah. Tapi beliau sudah meninggal tiga tahun lalu. Tidak ada yang bisa menjawab. Kalaupun tidak dilakukan, pasti ada cara untuk menangkal kutukan turunan itu. Pasti ada cara.
~~~~~~~~~~~~
Dua waktu sholat telah berlalu, iringan manusia yang tadi izin untuk mencari belum juga kembali sementara beduk tanda akan dikumandangkannya sholat Isya dari kejauhan telah berdentum tiga kali. Aku semakin cemas saja, begitupun dengan para Ibu lainnya. Mereka pasti berdoa dalam hati untuk keselamatan keluarga mereka, seperti yang kulakukan seharian ini.
Aku berdiri kalut di depan pintu sembari mengintip keluar. Akhirnya, di ujung jalan sana ada seberkas cahaya obor terlihat oleh mata sebelah milikku. Dengan suka cita aku memberitahu orang yang ada di rumah.
"Mereka kembali. Mereka kembali!" pekikku. Uwan dan keluarganya menghambur ke teras, begitupun aku. Iringan obor itu makin ramai dan makin mendekat, namun menunggunya sampai ke rumah terasa lebih lama dari pada menunggu mereka sejak berangkat sejak siang tadi. Aku ingin tahu kabar suamiku, secepatnya.
Tak lama kemudian, rombongan yang dipimpin Ustadz Ibrahim sampai di rumah Uwan. Mataku nanar mencari dimana lelaki yang selama ini telah menemaniku? Tidak tampak batang hidungnya.
"Mana Bang Alif, Ustadz?" Tidak sabar aku menodong Ustadz Ibrahim. Beliau tersenyum kemudian menunjuk ke tengah barisan. Di sana, dengan tampilan semrawut, penuh tanah dan acak-acakan, suamiku menyunggingkan senyum termanisnya selama ini. Aku ternganga, otomatis kaki ini berlari menyongasongnya, kupeluk erat dia begitu tubuhku menghantam sosoknya. Air mata mengalir lemah.
"Abang..." Hanya itu yang mampu kukatakan. Dalam hati ini sangat bersyukur suamiku kembali dalam keadaan baik tidak kurang satu apa pun. Dia masih lelakiku yang dulu, senyumnya masih sama dengan seringai nakal yang familier buatku.
Aku membopong tubuhnya dan membawa ia masuk ke rumah Uwan. Betapa gembiranya hatiku saat ini tidak dapat kuutarakan dengan kata-kata. Hanya air mata sebagai pelepas rindu yang mengungkap segala.
***
"Alif kami temukan sekitar satu kilometer jauhnya ke pedalaman hutan dari rumah. Untung saja tidak lebih jauh dari itu. Bisa-bisa kami kembali dengan tqngan hampa. Dia meringkuk di bawah akar beringin dan seperti bingung. Mungkin karena lelah dan lapar." Ustadz Ibrahim menyesap kopi yang disajikan Uwan. Sementara itu suamiku yang sudah bersih dan segar duduk diam di sampingnya.
"Yang membuat lama itu mencari jalan kembali. Tanya sama para lelaki yang ikut, sekitar dua jam kami berputar-putar di tempat yang sama. Padahal sudah ditandai dengan coretan arang di kayu, balik lagi ke situ dan seterusnya. Gangguan itu berhenti setelah kami bacakan ayat-ayat rukyah, barulah menemukan jalan yang tepat."
"Tambah lagi ada beberapa anak muda yang kesurupan di hutan. Demi menyadarkan mereka satu per satu, akhirnya kepulangan lagi-lagi ditunda. Itu baru dua gangguan." Ustadz Ibrahim memandang Aki, belakangan kuketahui ia bernama Zainudin.
"Aki Zainudin juga sempat pingsan berkali-kali tadi. Mungkin kelelahan ya, Ki. Sama. Usia mempengaruhi. Sudah tua begini, gerak pun jadi lambat." Ustadz Ibrahim berseloroh dan disambut tawa oleh hadirin yang mendengarkan. Rasanya tidak cuma diriku yang merasakan kelegaan beruntun, para pencari juga Ibu yang cemas menunggu putra mereka ikutan lega. Seperti awan hitam yang mengantar petir untuk nasib kami menghilang begitu saja dari benak. Sangat menyenangkan.
"Semoga Alif dan Diah sehat selalu. Setelah ini kalian akan hidup normal tanpa gangguan apa pun. Rumah itu sudah tidak bisa ditolong. Iblisnya terlalu kuat dan bandel sekali. Hanya Allah yang mampu menghanguskan wujudnya, sudah keluar dan mendapatkan Alif dengan sehat seperti sedia kala saja sudah sangat bersyukur ya. Setelah ini kalian tinggal saja bersama saya, kebetulan Ibu di rumah sebentar lagi kesepian karena ditinggal nikah putri bungsu kami. Nak Diah bisa kan menemani beliau?"
Kali ini kami tidak menolak permintaan Pak Ustadz. Lagi pula kami tidak punya apa pun, seluruh barang yang tertinggal ada di rumah itu dan jangankan ke sana untuk mengambil semua, memikirkannya saja otakku langsung merinding. Efek ketakutan yang ia timbulkan begitu besar membekas dalam pikiran.
Kami berbincang hingga lewat pukul sembilan malam. Setelah itu Ustadz Ibrahim izin pulang. Uwan menawarkan menginap tapi beliau bersikeras menolak, katanya perjalanan pulang ke kota hanya setengah jam saja. Akhirnya kamilah yang harus menggantikan penawaran Uwan untuk menginap dahulu satu malam sebelum pergi ke rumah Ustadz esok hari.
Bang Alif berbaring di ranjang yang sama denganku sekarang. Seperti mimpi. Sejak memikirkan akan kemungkinan kehilangan dia kemarin membuat nyawaku ikut tercabut dari badan. Apa artinya Diah tanpa seorang Alif. Harusnya perjanjian sehidup semati manjadi kenyataan, itu kehendak napsuku.
Ia belum tidur setelah hari yang berat sementara mataku hampir saja menutup saat ia tiba-tiba mengatakan sesuatu.
"Dek, saat bersama makhluk itu, Abang dibisikan sesuatu." Sebutan makhluk itu sukses membuat romaku bergidik apalagi ini sudah sangat larut dan tidak ada manusia yang terdengar masih bangun selain kami berdua.
"Abang, sudahlah lupakan saja. Untuk apa diingat kejadian mengerikan semacam itu," ketusku karena ia mulai mengungkit hal yang sangat traumatis.
"Benar, katanya kalau ingin kaya maka harus menumbalkan orang tua yang rajin ibadahnya."
Mataku mendelik. Bang Alif memandang langit-langit.
"Apa yang Abang katakan, sih. Sudahlah," ketusku.
"Abang serius, Dek. Kapan kita bisa kaya kalau keadaan ekonomi seperti ini."
"Abang sudah dibutakan oleh bisikan setan. Baiknya Abang istighfar, Bang."
Bang Alif seperti orang lain. Dia menyudahi ocehannya mengenai mahluk itu dan membelakangiku. Aku juga membelakanginya karena agak kesal dengan perkataannya tadi. Tetapi hati seorang wanita tidaklah dapat marah kepada kekasih hatinya untuk waktu yang lama. Sepuluh menit kemudian aku mereda dan menganggap itu semua hanya ocehan tidak masuk akal dari suamiku.
Aku mengalah dan memilih membujuknya, namun saat berbalik menghadap ke arah tempat tidur suamiku, ia tengah menatapku dengan tajam dan sekilas ada seringai jahat yang mampu kutangkap di sudut bibirnya. Kudukku meremang.
***
Kami berdiri di depan nisan yang basah tertimpa rintik gerimis. Berpayung hitam gerombolan orang mengiringi pemakaman dua manusia baik. Dialah Ustadz Ibrahim dan Istrinya. Ustadz meninggal karena jatuh dari tangga sedangkan istrinya jatuh di kamar mandi. Anak-anak beliau semuanya berduka. Begitu pun dengan kami. Setelah sebulan tinggal di rumah itu ada-ada saja kejadian aneh, bahkan beberapa gangguan terasa familier di diriku.
Bunyi klatak di malam hari.
Penampakan sosok putih yang mengintip di balik jendela.
Juga kadang aku seperti melihat sesosok mahkluk berjalan merayap di dinding seperti cicak. Saat kutanyakan itu kepada Bang Alif, dia biasa saja. Tidak melihat, jawabnya.
Mungkin gangguan itu datang padaku karena aku tengah mengandung tiga bulan. Ya, dua bulan setelah pindah ke rumah Ustadz, ternyata aku tengah hamil satu bulan saat itu. Betapa senangnya diri ini mengetahui tidak lama lagi akan ada buah hati penyemarak hidup. Istri pak ustadz juga senang karena akan mendapatkan cucu dariku, katanya. Sayang, sebelum itu menjadi kenyataan, beliau telah berpulang. Hanya kenangan dan nasihat baik yang tertinggal.
"Ayo, Bang. Pulang!" Aku menepuk pundak suamiku dan mengajaknya pulang karena para pelayat telah sepi. Dia masih berdiri di samping makam yang masih merah itu.
"Ayolah, Bang. Relakan pak ustadz, in shaa Allah beliau tenang di sana bersama Allah. Kita pulang dulu," ajakku lagi. Dia masih bergeming.
Akhirnya karena tidak sabar, aku berjalan ke hadapan Bang Alif dan saat itu, entah halusinasi atau bukan, kulihat ia tersenyum menyeringai pada makam Ustadz dan istrinya. Lagi-lagi, romaku bergidik ngeri.
~~~SEKIAN~~~