SANG PENGEMBARA JIWA - DATU SANGKASENA
JEJAKMISTERI - Andre perlahan memejamkan kedua matanya. Suara ketukan pelan di pintu belakang rumahnya masih saja terdengar.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 00.00. Siapa gerangan di tengah malam begini mengetuk-ngetuk pintu?
Bukan kali ini saja ia mendengar ketukan di tengah malam. Di malam-malam sebelumnya pun acap kali terdengar suara ketukan tersebut.
Itu sering terdengar sejak ia menempati rumah bekas tempat tinggal bibinya tersebut.
Pada malam pertama Andre menempati rumah tersebut, ia pernah memeriksa ke luar rumah tepatnya ke arah sumber suara ketukan tersebut.
Tidak ada apa-apa yang dijumpainya di sana. Hanyalah kosongnya malam serta semilir angin aneh yang membuat bulu kuduknya merinding yang ia jumpai
Teringat masa-masa yang susah dilupakan itu. Hari di mana sang bibi ditemukan meninggal di dapur dalam kondisi seluruh tubuh dipenuhi luka bekas penganiayaan.
Andre teringat akan pamannya yang kini menghilang entah ke mana. Diduga pamannya lah tersangkanya.
Namun ia tidak yakin jika pamannya lah pelakunya. Sebab, selama ini rumah tangga paman dan bibi baik-baik saja. Tidak ada masalah.
Lalu kenapa dia kabur? Hal itulah yang membuat kecurigaan semua orang menguat kepadanya.
"Brug, brug, brug.."
Suara ketukan pelan mendadak berubah menjadi suara gebrakan yang nyaring, membuat Andre tersadar dari lamunannya.
"Siapa itu?" serunya seraya beranjak dari tempat tidur.
Andre tanpa mempertimbangkan kemungkinan hal buruk yang akan terjadi, langsung menuju dapur, sumber suara gebrakkan berasal.
Cahaya temaram dari bohlam lampu menerangi dapur yang sebagian dinding dan langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba. Ia memang belum sempat membersihkan dapur karena beberapa hari ini lebih banyak sibuk di luar. Pergi shubuh pulang maghrib, membuatnya tidak sempat bersih-bersih rumah.
Andre mendekat pintu dapur yang langsung mengarah ke alam bebas tersebut. Suara gebrakkan sudah tidak terdengar lagi. Namun tiba-tiba.....
"Andre....."
Suara serak sedikit bergema terdengar seperti mengalun melalui angin malam di luar sana.
"Brakkkk"
Mendadak pintu dapur terbuka diikuti hembusan angin yang sangat kencang.
Andre yang mendadak panik berusaha menutup kembali pintu, namun nihil.
Andre merasakan kuatnya dorongan angin yang membuatnya kesulitan menutup pintu. Sayup-sayup suara serak mirip suara nenek-nenek terdengar kembali.
"Andre...."
"Siapa kamu?" teriak Andre dengan panik berusaha menutup pintu.
Meski sedang panik, Andre menyempatkan diri melihat keluar melalui pintu yang terbuka. Remang-remang Andre melihat sesosok bungkuk di tengah gelapnya malam dan kencangnya angin ribut.
"Si... si... siapa itu?" Andre benar-benar panik saat melihat sosok tersebut.
Tanpa menunggu jawaban dari sosok tersebut, Andre menutup pintu sekuat tenaga. Ia kemudian mengunci pintu rapat-rapat.
"Sial! Apa itu barusan? Mana aku sendirian lagi di sini..." rutuk Andre dengan nafas terengah-engah.
Saat itu posisi Andre tengah menghadap pintu pasca menutup pintu tersebut dan menguncinya.
Kini ia berbalik hendak kembali ke kamar. Namun tiba-tiba sesuatu yang menyeramkan berdiri di hadapannya.
Sosok bertubuh tinggi besar berbulu lebat berwarna hitam tengah menghadangnya. Sosok apa itu sebenarnya?
Yang jelas Andre di situ tidak dapat berbuat apa-apa selain mematung dengan ekspresi wajah yang tidak terperikan ketakutannya.
Andre dalam keadaan panik tanpa pikir panjang membuka pintu yang baru saja ditutupnya. Setelah pintu dibukanya, secepat kilat ia keluar dari rumah kemudian lari tunggang-langgang tak tentu arah.
Ia terus berlari hingga mencapai kampung sebelah yang lokasinya berdekatan.
Keesokan harinya kampung tersebut gempar. Seisi kampung membicarakan tentang apa yang dialami Andre di rumah yang baru tiga hari ini ditempatinya.
"Tampaknya arwah Bu Rodiah penasaran," ujar salah seorang pemuda kampung itu.
"Jangan bicara sembarangan. Bu Rodiah sudah tenang di alam sana. Tidak mungkin dia balik lagi bergentayangan. Lagipula penampakkan-penampakkan itu biasanya karena ulah jin yang iseng," tukas seorang bapak berkopiah hijau.
"Saya sering mendengar, pak. Jika seseorang mati dengan cara tidak wajar, arwahnya akan bergentayangan."
"Kamu percaya sekali pada takhayul itu. Yang namanya hantu itu pasti ulah jin. Jin itu kerjaannya isengin manusia. Mereka tahu manusia gampang sekali ditakut-takuti. Kalau tidak kuat-kuat iman, kita bisa masuk dalam perangkap mereka."
Tak lama muncul seorang sesepuh desa diantar beberapa orang warga menuju rumah di mana Andre berada.
Saat itu Andre sedang ditenangkan oleh beberapa orang warga yang kebetulan sebelumnya yang menemukannya pingsan di depan gang.
"Rumah itu atau tepatnya tanah tempat rumahmu berdiri sedang diawasi," ujar sesepuh desa ketika tiba di hadapan Andre.
"Diawasi siapa, Pak Somad?" tanya Andre penasaran.
"Sesuatu yang jahat, yang datang dari hati yang jahat," ucap sesepuh desa bernama Pak Somad itu.
"Maksud Pak Somad?"
"Terkadang sesuatu yang tidak terlihat namun berbahaya datangnya dari hati manusia yang telah dikotori segala sifat jahat yang ada di dirinya. Kemunculan mereka (para demit) tidak lepas dari jahatnya hati manusia yang dengki."
"Saya masih tidak mengerti, Pak Somad."
"Tanah tempat berdirinya rumah itu adalah tanah sengketa. Sengketa itu dimenangkan pamanmu, namun pihak seberang tidak terima. Entah apa yang telah mereka lakukan sehingga tanah itu menjadi tidak aman untuk ditempati siapapun."
Andre tercenung setelah mendengar perkataan Pak Somad. Ia mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan Pak Somad.
Tanah sengketa? Ia memang pernah mendengar desas-desus soal status kepemilikan tanah yang di atasnya kini berdiri rumah yang ditempatinya.
"Ya sudah, saya pamit dulu. Ada pengajian di desa sebelah. Saya harus tiba tepat waktu. Tidak enak sama Pak Kades," ucap Pak Somad undur diri.
"Silahkan, pak. Saya nanti akan menghubungi bapak jika ada apa-apa lagi di rumah itu," tukas Andre seraya turut berdiri.
Pak Somad mengangguk. Ia kemudian melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.
Namun tiba-tiba ia berhenti ketika hendak mencapai pintu keluar. Selanjutnya ia menoleh ke arah Andre.
"Nak Andre, sebaiknya kamu tidak usah menempati rumah itu dulu. Pulanglah ke rumah orangtuamu."
"Saya mengerti, pak. Pasti karena kejadian semalam akan terulang lagi. Bukan begitu, pak?" tukas Andre.
Pak Somad tersenyum pahit. Ia menggeleng, membuat Andre penasaran.
"Mengenai hal tersebut, kamu sebaiknya meningkatkan keberanianmu, nak Andre. Jangan takut terhadap mereka. Mereka adalah makhluk yang suka iseng. Satu hal yang saya pesan, jangan menyerupai mereka (suka berbuat iseng/jahil). Kita adalah manusia, memiliki akal pikiran, tidak seperti mereka."
Andre mengangguk setuju dengan perkataan Pak Somad.
"Saya akan selalu mengingat wejangan Pak Somad."
"Baiklah, kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucap Pak Somad seraya melangkah keluar.
"Wa'alaikumsalaam wa rohmatullah."
"Jadi sekarang bagaimana, nak Andre?" ujar warga yang sebelumnya berada di luar. Dia adalah warga yang mengenakan kopiah berwarna hijau terang.
"Saya masih bingung, Pak Dadang. Bagi saya pulang kemudian tinggal di rumah kedua orang tua sama dengan berhenti kerja. Sedangkan di
sini belum ada mantri pengganti. Jika saya pergi, bagaimana nasib para warga yang sakit yang membutuhkan pertolongan saya?" ucap Andre tampak gamang.
Pak Dadang terlihat mengurut kening. Ia tampaknya sedang berpikir. Lalu ia pun berbicara setelah beberapa detik mengurut kening.
"Saya mempunyai keponakan yang setiap malam meronda bersama teman-temannya. Bagaimana kalau nanti saya menyuruhnya untuk tinggal bersama nak Andre. Ya biar nak Andre ada temannya."
"Saya merasa itu ide yang bagus, pak. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati saya."
Sudahi saja umpatan Pak Dadang menanggapi pertanyaan Andre. Kini kita kembali ke Andre yang telah berada di rumah.
Ia rupanya sedang membersihkan ruangan yang banyak dipenuhi sarang laba-laba. Maklum saja ia selama ini terlalu sibuk untuk mengurus rumah sendirian.
Saat bersih-bersih itu, Andre menemukan lembaran sertifikat tanah yang warnanya sudah buram. Sertifikat tersebut tampaknya bukan sertifikat tanah yang saat ini di atasnya berdiri rumah yang ditempati Andre.
Saat bersih-bersih itu, Andre menemukan lembaran sertifikat tanah yang warnanya sudah buram. Sertifikat tersebut tampaknya bukan sertifikat tanah yang saat ini di atasnya berdiri rumah yang ditempati Andre.
"Apa paman lupa menyimpan sertifikat ini, ya? Aku menemukannya di kolong
lemari," gumam Andre seraya mengerutkan kening.
"Permisi."
Mendadak dari teras rumah terdengar suara seseorang sembari mengetuk pintu. Lantas Andre bergegas menuju teras.
Dijumpainya seorang remaja lelaki bertampang tengil seperti seorang baragajulan (berandalan).
"Kenalkan gue Thomas, ponakan Pak Dadang," ucap remaja tengil itu seraya menyodorkan tangan mengajak salaman Andre.
"Oh, kamu yang namanya Thomas. Kamu siap berjaga di sini?"
"Siap banget, kakak. Segala jenis demit akan gue lawan sampe lari."
"Demitnya?"
"Bukan, tapi guenya yang lari. Bahahaha."
Thomas tertawa lepas. Sementara Andre hanya mengernyitkan kening merasa aneh dengan kelakuan bocah itu.
Astaga jelaga, ini bocah serampangan ya ngomongnya, begitu pikir Andre.
"Sekarang kamu masuk. Mandi sana, jangan lupa berdandan ala JOKER agar kamu bisa melihat setidaknya satu di antara mereka," kata Andre sekenanya.
"Jiaah, si kakak ini suka bercanda juga rupanya. Ide bagus," tukas Thomas seraya masuk ke dalam rumah sembari bersiul.
"Pak Dadang bilang keponakannya normal. Nggak tahunya seperti ini. Salahku tidak jelas menanyakan soal normal yang seperti apa," gumam Andre.
Malam menjelang. Suara binatang-binatang malam bersahutan mengiringi syahdunya malam.
Remang-remang cahaya lampu bohlam di rumah-rumah warga menambah suasana syahdu di malam itu.
Malam terus berlalu, semakin malam semakin sunyi. Kegelapan terus mengiringi seolah tiada henti.
Sayup-sayup di kejauhan terlihat siluet sosok seorang lelaki sedang berjalan dengan langkah kaki tak tentu arah.
Sepasang kakinya yang tidak beralas seolah tidak menapak di atas tanah. Naik ke arah badan, terlihat kurusnya badan laki-laki berpakaian serba hitam itu.
Ketika mencapai wajah..
Bammm......
Seraut wajah kurus dihiasi urat-urat biru yang menonjol tampak jelas di wajahnya. Kedua kelopak matanya menghitam. Kedua bola matanya tampak seolah hendak keluar dari kelopaknya.
Bibirnya yang tebal agak keriput melelehkan cairan amis.
Di puskesmas, Andre malam itu bertugas seorang diri di sana. Ia tidak memiliki rekan pekerjaan di sana.
Ada beberapa hal yang membuat para mantri dan dokter enggan bekerja di desa tersebut. Apapun itu penyebabnya, Andre tidak dapat menerimanya.
Sementara Thomas, ia tinggal berjaga sendirian di rumah. Tentu saja ia sudah berpesan ke anak itu agar tidak melakukan hal yang aneh-aneh selama ia bertugas.
Andre menghela nafas ketika penciumannya menangkap bau familiar saat ia tengah berada di teras puskesmas.
Andre melihat dengan seksama ke arah siluet seseorang yang sedang berjalan di kegelapan.
Andre mencoba menajamkan penglihatannya. Sosok tersebut rupanya berjalan ke arah puskesmas. Semakin dekat semakin kentara saja wujudnya.
"Paman?" Andre langsung mengenali siapa sosok tersebut.
Namun, sosok tersebut tiba-tiba berbalik arah ketika Andre menghampirinya.
"Paman, tunggu..." Andre berusaha mengejar sosok pamannya itu, namun sosok tersebut sudah tidak terkejar lagi.
Andre hanya dapat menghela nafas ketika gagal mengejar pamannya. Sejenak ia tersadar jika dirinya sudah terlalu jauh mengejar pamannya. Posisinya kini sudah cukup jauh dari puskesmas.
"Celaka. Aku terlalu jauh pergi. Aku harus kembali."
Andre pun mempercepat langkah kembali ke puskesmas.
Namun baru beberapa langkah berjalan, Andre mendengar suara rintihan dari sisi jalan tepatnya semak-semak di pinggir jalan.
Dengan ragu-ragu Andre melirik ke arah sumber suara tersebut dan...
WAAAAOOOO.......HIHIHIHIHI......
Andre lari tunggang-langgang setelah mendapat kejutan dari sesosok perempuan berwajah menyeramkan. Tampaknya apa yang barusan dilihatnya adalah sosok kuntilanak, hantu yang telah menjadi legend dalam cerita di Indonesia.
Sesampainya di salah satu sudut jalan yang agak menanjak, ia melihat ke arah kejauhan. Suatu kobaran api tampak terlihat dengan kepulan asap di kejauhan.
"Kebakaran? Di mana itu? Oh, tidak, jangan-jangan!"
Andre menyeruak di antara orang-orang yang sedang berusaha memadamkan api yang membakar rumahnya.
"Thomas...." Andre memanggil-manggil remaja itu.
"Di mana Thomas?" Andre sembari terengah bertanya ke salah seorang warga yang sedang memadamkan api.
Warga tersebut hanya menggeleng. Berarti ia tidak mengetahui keberadaan Thomas.
Tak lama muncul Pak Dadang dengan raut wajahnya yang tegang. Sesekali ia bertanya kepada warga yang ditemuinya.
Ia pun akhirnya bertemu Andre.
"Saya tidak tahu apa-apa soal ini, pak. Saya malam ini berjaga di puskesmas karena akan mengobati istri Pak Mahmud yang sedang sakit," tukas Andre setelah diberondong pertanyaan oleh Pak Dadang. "Saya pun pulang setelah melihat sumber kebakaran yang ternyata adalah rumah saya."
"Celaka, apa yang harus saya katakan pada kak Hendi? Ini kecerobohan saya," sesal Pak Dadang seraya mengurut kening frustrasi.
Andre hanya terdiam. Ia tidak tau harus berbicara apa mengenai peristiwa yang baru saja menimpa Thomas dan juga rumahnya.
Sejam setengah kemudian api berhasil dipadamkan. Andre buru-buru memeriksa seisi rumahnya yang sebagian besar telah hangus terbakar. Ia hanya dapat mengambil beberapa barang yang dapat diselamatkan.
Selanjutnya ia bersama warga memeriksa salah satu kamar yang diduga adalah dimana terakhir kali Thomas berada. Tidak ditemukan apapun selain tas Thomas yang sebagian telah hangus.
Thomas tidak ada di rumah ketika terjadi kebakaran? Lalu ke mana gerangan anak itu?
"Ini sedikit melegakan karena Thomas tidak sedang di rumah saat terjadi kebakaran," ucap
Pak Dadang setelah selesai menelusuri reruntuhan rumah Andre.
"Padahal saya berpesan agar dia tidak ke mana-mana, dan ia mengiyakan," tukas Andre seraya melihat ke arah sebuah panci masak berisi mi instan yang telah gosong. "Bencananya dari sini."
Sebuah tabung gas melon 3 kg dan kompor gas serta panci masak berisi mi instan menjadi bukti kuat penyebab kebakaran.
"Jangan-jangan dia lari sesaat setelah gas mengalami kebocoran?" gumam Andre.
"Dia akan melapor jika ada kejadian, nak Andre. Saya tahu betul Thomas anaknya selalu jujur," tukas Pak Dadang.
Andre memang tidak sepenuhnya percaya pada perkataan Pak Dadang. Terlebih ia ingat betul Thomas adalah sosok remaja yang urakan. Tampang berandalan tampaknya melekat betul pada sosok remaja kurus berambut kriting itu.
Akhirnya malam itu terpaksa Andre tidur di salah satu rumah warga. Meski ia merasa tidak enak karena rata-rata rumah warga di sana tidak memiliki kamar alias satu ruangan dipakai beramai-ramai.
Barangkali hanya rumahnya yang sedikit lebih modern daripada rumah-rumah warga. Itulah kenapa Andre lebih suka menolak untuk tinggal di rumah warga. Karena privasi di kampung ini sangat buruk mengingat ruangan di dalam rumah-rumah penduduk dibiarkan terbuka tanpa kamar sama sekali.
Itu merupakan kehidupan yang tidak biasa ia jalani. Namun kali ini ia terpaksa menginap di salah satu rumah warga.
Sampai shubuh tiba, Andre terperanjat menyaksikan putri warga yang rumahnya menjadi tempat ia menginap, sedang berganti pakaian.
Gadis itu tampak canggung meski tidak tahu kalau tamunya sudah terbangun.
Sedangkan Andre terpaksa pura-pura tidur meski kadang matanya memicing untuk memastikan jika gadis tersebut sudah selesai berganti pakaiannya.
Setelah gadis tersebut beranjak pergi ke dapur, Andre pun bangkit dari posisinya kemudian menuju dapur ke arah tempat air atau tempayan untuk berwudhu.
Siang hari itu, Andre seperti biasa bertugas di puskesmas.
Sedangkan untuk pencarian Thomas, Pak Dadang telah mengerahkan para warga di sekitar lingkungannya. Ia tampaknya yakin jika Thomas masih hidup karena mayatnya tidak ditemukan di reruntuhan rumah Andre.
Waktu beranjak cepat. Siang telah berlalu,
dan malam kembali menjelang.
Waktu beranjak cepat. Siang telah berlalu, dan malam kembali menjelang.
Andre masih berada di puskesmas setelah melayani para pasien yang rata-rata adalah warga kampung sini, di mana puskesmas berada.
Menjelang jam 9, saat ia hendak mengunci pintu depan, bersiap untuk pulang, dari kejauhan mendadak muncul seorang nenek sedang berjalan terburu-buru ke arah puskesmas sembari batuk-batuk.
Dengan menggunakan tongkat, nenek itu berjalan hingga mencapai pintu gerbang puskesmas.
"Ada yang bisa dibantu, nek?" ujar Andre.
"Nenek sedang sakit batuk, nak. Beruntung sekali puskesmasnya masih buka," kata nenek itu dengan suara agak serak.
"Sebaiknya nenek masuk dulu biar saya periksa," ucap Andre mempersilahkan nenek berpakaian serba hijau itu masuk ke ruang periksa.
Setelah nenek itu di ruang periksa, Andre kemudian bertanya kepadanya.
"Sudah berapa lama batuknya, nek?" tanya Andre seraya menatap nenek itu.
"Sudah sejam yang lalu, nak. Batuknya membuat nenek susah bernafas," tukas nenek tak berkerudung itu.
"Barangkali nenek habis melewati jalanan berdebu atau tanaman berbulu halus?" ucap Andre. "Ngomong-ngomong saya baru melihat nenek di sini. Apa nenek baru pindah?"
"Iya, nak. Nenek baru pindah kemari," jawab nenek itu.
"Nenek pindahan dari mana?" tanya Andre.
"Pindahan dari alam kubur. Muehehehehe."
Sontak Andre terperanjat mendengar jawaban si nenek yang di luar dugaan. Kekagetannya semakin menjadi tatkala menyaksikan nenek itu tertawa mengikik diikuti perubahan wujudnya menjadi menyeramkan.
Seluruh tubuh nenek tersebut menciut, mengering menjadi jerangkong terbungkus kulit kering berwarna hitam.
Dalam kikikkannya yang tidak berhenti, kepala nenek tersebut terlepas dari leher kemudian menggelinding ke arah Andre.
"Aaaahhh" Andre berteriak ketakutan seraya menghindar.
Brakkkk,
Pintu diterjangnya hingga terbuka. Andre berlari kencang keluar dari puskesmas. Ia terbirit-birit kemudian mendadak menghentikan larinya ketika melihat seseorang berdiri menghadang jalannya.
Seorang remaja bertubuh kurus berambut keriting. Siapa lagi kalau bukan?
"Thomas?" Andre mendekat ke arah sosok Thomas yang dilihatnya sedang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tolongin gue, kak," Thomas berucap pelan dengan suara lemas.
Andre tercekat setelah mendengar ucapan Thomas.
"Apa yang terjadi, Thomas? Kamu meminta tolong kenapa?" Andre terus mendekat ke arah Thomas.
"Dia akan datang, kak. Tolongin gue." Suara Thomas masih terdengar lemas seperti ucapan seseorang yang sedang sakit parah.
"Dia siapa?" tanya Andre penasaran.
Langkah Andre terhenti. Ia tercekat menyaksikan sesosok negatif di belakang Thomas. Sosok tersebut tinggi besar mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya sangat menyeramkan dengan sepasang taring panjang di antara gigi-giginya yang besar.
Sepasang matanya yang besar melotot ke arah Andre. Rambutnya panjang berumbai berantakan.
"Kak Andre, tolong gue...." Dalam sekejap suara Thomas melenyap seiring terkaman makhluk berbaju merah tersebut.
Makhluk itu menerkam kepala Thomas dan memisahkannya dari tubuhnya.
"Thomaaaaaaaassss......." Andre berteriak histeris saat menyaksikan kejadian horror persis di hadapannya.
Darah membuncah setelah terputusnya leher dengan badan. Pemandangan mengerikan itu benar-benar membuat Andre mengalami trauma berat.
Empat tahun kemudian di desa itu.
Kejadian itu telah lama berlalu. Namun bayangan-bayangan yang berseliweran setiap malam di desa itu masih sering muncul.
Bayangan-bayangan yang disebut sebagai Pejalan Malam seolah ingin menyampaikan pesan kepada semua orang di desa.
'Tinggalkan desa ini' begitu barangkali pesan yang hendak disampaikan mereka.
Namun siapa yang tahu mengenai pesan itu, termasuk Andre yang pada hari itu tengah bersiap pulang ke tanah kelahiran. Ia akhirnya menyerah dengan segala tetek bengek yang terjadi di desa tempat ia mengabdi.
Padahal ia sudah cukup lama mengabdi di desa itu, meski hampir setiap malam diganggu makhluk-makhluk iseng yang salah satunya adalah hantu si nenek.
Sedangkan mengenai Thomas, pihak keluarga tampaknya sudah merelakan kepergiannya untuk selamanya. Namun,
Andre merasa peristiwa yang terjadi tepat di depan matanya bukan peristiwa yang sebenarnya, melainkan hanya ilusi.
Ia masih menyimpan kepenasaranan terhadap sosok pamannya yang hampir tiap malam ia lihat. Namun sosok itu tidak pernah berhadapan langsung dengannya.
Sedangkan makhluk tinggi besar berpakaian serba merah tiada lain adalah sosok seseorang yang menginginkannya pergi jauh dari desa itu.
Hal itu disadarinya ketika mengingat tentang sebuah foto yang terpajang di rumah Pak Dadang, di mana saat itu Pak Dadang pernah bercerita bahwa itu adalah foto pemilik tanah di mana rumah yang ditempati Andre berdiri.
Orang tersebut kalah dalam sengketa melawan paman Andre. Setelah kekalahan tersebut disinyalir ia meminta bantuan dukun ilmu hitam untuk mendapatkan kembali tanahnya yang direbut paman Andre.
Saatnya bagi Andre untuk kembali ke tanah kelahirannya pun tiba. Ia pun berpamitan kepada Pak Dadang maupun kepada sesepuh desa.
"Sayang sekali, nak Andre pulang. Padahal besok akan datang anak-anak dari kota yang hendak KKN di sini," ucap Pak Dadang.
"Saya berharap mereka dapat membantu desa ini menjadi lebih baik, pak. Oh, iya, mas Mukhtar seminggu lagi akan mulai bertugas di sini. Ia tidak sendirian. Ia akan bertugas bersama mas Rendi," tukas Andre seraya menjabat tangan Pak Dadang. "Saya memohon maaf karena tidak bisa menjaga Thomas. Sekarang ia...." Andre berkata demikian sembari menggelengkan kepala.
"Sudahlah, nak Andre. Kami sekeluarga telah mengikhlaskannya. Semoga ia tenang di alam sana," tukas Pak Dadang.
"Kalau begitu saya undur diri, pak. Sampai jumpa," ucap Andre tatkala pengojek yang menjemputnya tiba.
Kepergian Andre diikuti dengan pandangan Pak Dadang maupun warga yang turut melepas kepergian Andre.
Seminggu kemudian di kampung, Andre terlihat sedang berjalan-jalan di pematang sawah milik kedua orang tuanya. Ia tampaknya sedang memeriksa padi yang baru dua hari ini ditanamnya.
"Bebek-bebek itu memang bandel ya. Padinya sudah pada rusak saja," gumam Andre saat menemukan beberapa batang padi rusak karena disosorin bebek milik tetangga.
"Hmm, tetanggaku bisa langsung jatuh miskin kalau RUU itu jadi disahkan." Andre kemudian meluruskan batang-batang padi yang rubuh itu.
"Mas Andre, ada seseorang ingin bertemu," ujar seseorang dari arah belakang.
"Dodi?" gumam Andre ketika tahu siapa yang ingin bertemu dengannya.
"Mau apa kau ke sini?" ucap Andre sinis ketika tiba di hadapan Dodi.
"Hanya ingin mengunjungi keluarga. Bagaimana kabar uda dan uni?" tukas Dodi tanpa mempedulikan sikap sinis Andre.
"Paman menghilang, bibi telah tiada. Kau tidak bersedih sama sekali?" Andre menatap tajam ke arah Dodi.
"Siapa yang bilang begitu? Justru atas dasar kesedihan itu aku datang kemari. Hanya kalian keluarga yang kupunya saat ini. Ayah menghilang dan ibu meninggal dengan tragis," kata Dodi dengan wajah tegang.
"Mungkin kau masih menganggap kami keluarga tapi kami, baik uda dan uni tidak lagi menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini. Kau telah melakukan perbuatan bejat dan hina itu!" kata Andre dengan nada tajam.
"Aku tahu itu, dre. Aku sangat menyesal karenanya. Terkadang aku menyesali kenapa aku tidak dihukum mati saja. Aku telah memperkosa dan membunuhnya." Dodi terlihat frustrasi.
"Semoga penyesalanmu bukan omong kosong, Dodi!" Andre menghela nafas.
"Sekarang ini, bertemu uda dan uni bukan saat yang tepat. Jika kau tetap memaksa, aku tidak mau bertanggungjawab jika mereka mengusirmu," kata Andre lagi.
"Aku akan menerima apapun resikonya, termasuk tidak diterima lagi di keluarga ini. Aku akan menemui mereka, dan meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat terhadap gadis itu." Dodi beranjak meninggalkan Andre.
Andre hanya berdiri mematung di pematang sawah, tanpa menoleh ke arah Dodi.
"Pergi kamu dari sini!!! Jangan kembali lagi dasar pembunuh!"
Begitulah ucapan kasar yang diterima Dodi setelah ia menemui uda dan uni Andre yang juga uwaknya. Meski ia telah menangis meminta maaf, hati keduanya tetap tidak luluh.
Dodi pun akhirnya pergi dengan membawa kesedihan dan penyesalan setinggi langit. Ia pergi tak tentu arah.
_________________________________
(Di sini tokoh utama akan berganti ke si Dodi)
Siapkah dengan petualangan baru yang kini melalui perspektif Dodi?
Motor jenis Astrea Prima itu melaju melewati jalanan sempit berbatu. Terkadang motor harus melewati bagian sungai yang dangkal karena tiadanya jembatan menuju desa itu.
Dodi yang mengendarai motor tersebut tampak begitu letih. Maklum saja seharian ini ia berkendara cukup jauh.
Menjelang sore, Dodi pun tiba di desa terpencil itu.
Tiba di depan sebuah rumah warga, Dodi menitipkan sepeda motornya untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju tanah milik kedua orang tuanya yang terletak agak menurun melewati turunan curam berupa tanah dikelilingi pohon-pohon rimbun dan juga semak belukar.
Dodi sejenak termangu menyaksikan rumahnya tinggal puing.
Benar kata Andre, rumahnya sudah hancur. Hancur karena kebakaran yang diduga karena kelalaian seorang remaja yang baru semalam tinggal di rumah itu menemani Andre.
Dodi menelusuri puing-puing rumahnya. Menguak-nguak tumpukan. Entah apa yang ia cari.
Kedua matanya tampak berbinar ketika menemukan sesuatu dari balik tumpukan reruntuhan rumahnya.
"Kalung ini rupanya masih ada. Aku akan mengembalikannya," gumam Dodi seraya beranjak hendak meninggalkan tempat itu.
Namun, sayup-sayup ia mendengar suara rintihan seorang wanita dari arah sungai tidak jauh dari reruntuhan rumahnya.
"Dodi, kemari, nak." Dodi terhenyak saat suara tersebut menyebut namanya.
Dodi tercengang saat menyaksikan seorang wanita sedang bermain air sungai. Wanita tersebut sangat ia kenali.
"Ibu? Tidak mungkin ibu masih..." Dodi ternganga menyaksikan sosok ibunya di depan mata.
Itu tidak mungkin ibunya, karena ibunya telah lama meninggal dan ia sempat menyaksikan pemakamannya.
Saat itu Dodi sedang menjalani hukuman penjara karena telah memperkosa dan membunuh seorang gadis di kota S tempat ia kuliah.
Meski sedang menjalani hukuman, ia dapat izin pulang untuk menemui ibunya untuk terakhir kali.
"Ibu masih di sini, nak. Menunggu kamu keluar dari penjara." Begitu kata-kata yang diucapkan sosok ibunya Dodi.
Dodi masih termangu di tempat. Sejenak kemudian ia tersadar jika hari sudah beranjak malam.
Gelapnya malam mulai menyelimuti area sekitarnya. Suara-suara binatang malam bersahutan lirih seolah tahu seperti apa yang dirasakan Dodi saat ini.
"Jika engkau memang ibuku, pulanglah. Karena aku tahu ibuku telah tiada. Sedangkan kau pasti sesuatu yang lain yang tidak seharusnya ada di sini." Selesai berbicara begitu, Dodi menyaksikan sosok ibunya bergolek-golek di atas air kemudian wujudnya berubah menjadi makhluk bersirip seperti ikan dengan penampilannya yang menyeramkan.
Dodi sontak lari meninggalkan makhluk yang sedang bertransformasiitu. Ia terus berlari hingga menaiki tanjakan kemudian ke arah perkampungan.
"Ke sini," ujar seseorang yang melihat kedatangan Dodi.
Orang tersebut mempersilahkan Dodi masuk ke dalam rumahnya. Setelah Dodi masuk ke dalam rumah, warga tersebut segera masuk kemudian menutup pintu erat-erat.
Dari luar terdengar suara gemuruh dan suara riuh yang membahana.
Di dalam rumah, Dodi menyaksikan sekelompok orang yang usianya terpaut tidak jauh dengannya. Wajah mereka tampak memancarkan ketakutan saat suara gemuruh dan riuh-riuh di luar terdengar begitu keras.
"Sebenarnya itu apa?" tanya Dodi kepada warga pemilik rumah.
"Ssstt." Warga tersebut malah memberi isyarat agar Dodi diam.
"Mereka sedang bergerak," bisik warga itu membuat Dodi penasaran.
"Maksudnya?" tanya Dodi.
"Sangkasena," bisik warga itu lagi.
Brakkkkk
Mendadak pintu terbuka dan terbanting hingga menimbulkan suara menggebrak yang keras.
Warga pemilik rumah itu pun menutup pintu kembali namun ia tampaknya kesulitan. Dodi pun berinisiatif membantunya.
Ia pun merasakan kesulitan yang sama dengan warga pemilik rumah itu
Melihat Dodi dan pemilik rumah kesulitan menutup pintu karena kuatnya dorongan dari luar. Para anak muda yang ternyata adalah
mahasiswa yang sedang KKN turut membantu mendorong pintu.
Mereka pun merasakan jika pintu sedang didorong dari luar oleh sesuatu yng mereka tidak ketahui
Dari celah-celah pintu, Dodi melihat sosok tinggi besar berpakaian serba merah berambut gondrong serta wajahnya tidak terlihat karena gelap.
Sosok tersebut sedang merentangkan kedua tangannya yang panjang dan berjari seperti ranting.
"Jangan dilihat. Itu Datu Sangkasena!" bisik pemilik rumah seraya mendorong wajah Dodi agar tidak mengintip melalui celah pintu.
Namun terlambat, makhluk tersebut keburu menyadari sedang diintip oleh seseorang yang berada di dalam rumah.
BRUAGGGG.........
Mendadak rumah tempat Dodi yang lain bersembunyi tercerabut dari atas tanah. Rumah tersebut hancur berhamburan melontarkan material-material ke udara dan sekitarnya.
Sementara Dodi dan yang lain terbanting keras ke atas tanah.
Rumah tersebut karena terbuat dari material kayu dan bambu, jadi sangat mudah tercerabut dari atas tanah jika ada angin topan raksasa.
Namun yang mencerabut rumah ini adalah kekuatan luar biasa dari sesosok makhluk mistis berpakaian serba merah yang disebut sebagai DATU SANGKASENA.
Dalam kondisi gawat, Dodi dan yang lain berlari pontang-panting ke arah puskesmas, berharap di sana dapat menjadi tempat perlindungan yang aman.
"Ayo, cepat," ujar Dodi seraya membantu salah seorang mahasiswa memasuki gerbang puskesmas yang dihadang palang bambu.
Namun tiba-tiba sebuah benda yang sangat besar melayang menghantam puskesmas hingga rubuh dan menghamburkan material ke udara.
Astaga, benda tersebut rupanya sebuah rumah yang diterbangkan kemudian ditabrakkan ke bangunan puskesmas hingga rata dengan tanah.
Otomatis Dodi dan yang lainnya panik bukan kepalang setelah gagal melarikan diri dari kejaran Datu Sangkasena.
Kini mereka sedang berupaya mencari tempat untuk berlindungan dari serangan brutal sosok mistis itu.
Malam itu jelas menjadi malam yang sangat panjang bagi mereka. Namun, yang membuat bingung tidak ada warga lain yang terlibat dalam kejadian gila yang sedang mereka alami itu.
Ke mana gerangan para warga yang lain?
tempat perlindungan, oyy. salah ketik
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, pak?" tanya Dodi ke warga yang bersamanya.
"Kita tidak mungkin melarikan diri ke desa seberang sana. Jaraknya terlalu jauh. Juga desa itu dipisahkan hutan lebat yang sangat luas dari desa ini. Kita hanya dapat berlindung untuk sementara waktu di rumah Pak Somad. Beliau pasti akan membantu kita," ujar warga yang bernama Pak Halim itu.
"Di mana rumah Pak Somad, pak? Apa tidak jauh dari sini?" tanya Dodi.
Pak Halim sejenak tercenung. Ia terlihat gamang untuk menjawab.
"Ada apa, pak? Rumah Pak Somad jauh, kah?" tanya Dodi tampak penasaran.
"Bukan soal jauh atau dekat. Rumah Pak Somad kemungkinan besar tidak akan kita temukan dalam keadaan begini. Pagar gaib yang mengelilingi rumah Pak Somad akan membuatnya menjadi tidak terlihat jika ...
Sangkasena muncul. Selain itu posisi rumah Pak Somad akan sangat sukar ditemukan mengingat kita tidak mungkin fokus mencari jika Sangkasena masih mengejar kita," tutur Pak Halim membuat Dodi tercengang.
"Bukan soal jauh atau dekat. Rumah Pak Somad kemungkinan besar tidak akan kita temukan dalam keadaan begini. Pagar gaib yang mengelilingi rumah Pak Somad akan membuatnya menjadi tidak terlihat jika ...
Sangkasena muncul. Selain itu posisi rumah Pak Somad akan sangat sukar ditemukan mengingat kita tidak mungkin fokus mencari jika Sangkasena masih mengejar kita," tutur Pak Halim membuat Dodi tercengang.
Dodi kemudian menoleh ke arah para mahasiswa yang tampak sedang berbisik-satu sama lain. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan.
Wajah mereka jelas memancarkan ketakutan dan kekhawatiran. Mereka saat ini merasa bingung dengan peristiwa yang sedang menimpa mereka.
"Bagaimana dengan temen-temen cewek ya? Apa mereka baik-baik saja?" Begitu apa yang didengar Dodi dari para mahasiswa itu.
Selanjutnya ia memutarkan pandangan ke sekeliling. Tampaklah sekelilingnya adalah pepohohan besar diselingi bongkahan batu besar berdiri di sana.
Saat itu gelap, namun Dodi dan yang lain masih dapat melihat sekeliling meski terbatas.
Pandangan Dodi sejenak berhenti pada salah satu bongkah batu besar yang tampaknya adalah penutup pintu goa. Ia pun berpikir jika di balik batu tersebut terdapat goa.
"Kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Warga desa belum pernah ada yang mencoba menggeser batu itu," ujar Pak Halim seolah mengetahui apa yang dipikirkan Dodi. "Lagipula meski kita dapat memasuki goa, Sangkasena tetap akan menemukan kita. Dia adalah iblis."
Selesai Pak Halim berbicara, mendadak suara riuh kembali terdengar. Tampaknya iblis yang dipanggil Datu Sangkasena tersebut sedang mendatangi tempat di mana Dodi dan yang lain berada.
"Hari belum juga beranjak pagi. Datu Sangkasena akan segera tiba," ucap Pak Halim seraya memberi ....
isyarat ke Dodi dan yang lain agar mengikutinya.
Pak Halim berjalan menyeruak gelapnya malam diikuti Dodi dan para mahasiswa. Tampaknya ia menemukan cara menghindari kejaran Sangkasena. Entah apa yang akan ia lakukan masih menjadi pertanyaan.
Suara riuh itu semakin mendekat saja meski Dodi bersama yang lain telah berjalan cukup jauh dari sumber suara tersebut.
"Ini salah saya yang tidak mengindahkan peringatan bapak," ucap Dodi merasa menyesal karena terlambat merespon larangan Pak Halim waktu sedang menahan pintu.
"Tidak apa-apa, anak muda. Lagipula itu sudah terjadi, dan juga Sangkasena tetap akan menghancurkan rumah itu meski kamu tidak mengintipnya," tukas Pak Halim membuat Dodi mengernyitkan kening. "Dia mengincarmu, Dodi. Karena kamu anaknya Pak Mahfud. Sangkasena mengincar semua ..
orang terkait Pak Mahfud. Apakah itu anaknya, istrinya, maupun saudara-saudaranya," tambah Pak Halim membuat Dodi terkejut.
"Jadi, kejadian ini ada hubungannya dengan hilangnya ayah saya?" tanya Dodi.
"Tanah tempat rumahmu berdiri adalah tanah larangan. Selain tanah itu dipersengketakan, juga dari sisi historis, tanah itu menyimpan sejarah kelam. Siapapun yang terkait Pak Mahfud jika menginjakkan kaki di sana akan mengalami nasib buruk." Pak Halim terus berjalan menembus gelap
"Lalu bagaimana dengan ayah saya, pak? Apa ia menghilang karena hal itu? Dan juga meninggalnya ibu?" Dodi mempercepat langkah agar dapat menyusul Pak Halim.
"Bisa jadi, nak. Kedua orang tuamu mendapat bencana karena tanah larangan itu. Bukan tidak mungkin mereka berdua menjadi korban keganasan Datu Sangkasena. Sekarang ia sedang mengincarmu. Hal yang harus aku lakukan adalah membawamu jauh-jauh dari makhluk itu. Akan sangat berbahaya jika kau juga menjadi korban iblis itu," tutur Pak Halim.
Pak Halim tiba-tiba menghentikan langkahnya sesaat sebelum kaki kanannya menjejak tanah di hadapannya.
"Ada apa, pak?" tanya Dodi seraya melihat ke arah tanah yang tidak jadi dijejak Pak Halim.
"Ini bukan tanah, tapi rawa. Namanya Rawa Gaib. Meski terlihat seperti tanah lapang biasa, namun jika kamu menginjaknya akan terperosok ke dunia lain. Rawa ini sudah pernah memakan korban. Tampaknya bukan hanya satu atau dua orang melainkan lebih dari sepuluh orang. Rawa ini hanya muncul ketika Datu Sangkasena keluar dari sarangnya," tutur Pak Halim seraya melihat ke arah Dodi dan para mahasiswa yang bersamanya.
"Kita tidak bisa ke mana-mana lagi. Kita terkepung," kata Pak Halim lagi membuat Dodi dan yang lain semakin panik.
Dodi tiba-tiba terperanjat saat menyaksikan sesosok laki-laki berpakaian serba hitam muncul dari permukaan tanah yang disebut sebagai Rawa Gaib itu.
"Ayah?" seru Dodi ketika mengenali sosok itu.
"Pak Mahfud? Apa itu anda, pak?" kata Pak Halim ketika melihat sosok ayahnya Dodi. "Oh, tidak. Apa yang terjadi denganmu?" gumamnya.
Sosok ayahnya Dodi adalah sosok pria kurus berpakaian serba hitam dengan wajah dipenuhi guratan urat berwarna biru. Wajahnya begitu kurus dan keriput seperti kakek-kakek.
Kedua bola matanya yang menonjol menatap sayu ke arah Dodi seolah ingin menyampaikan pesan.
Suara riuh kepakan burung-burung iblis terdengar semakin mendekat pertanda Sangkasena telah mencapai tempat tersebut.
Dodi dan yang lain hanya dapat celingukan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri.
Sementara sosok Pak Mahfud hanya berdiri terdiam di atas Rawa Gaib. Sepertinya ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong anaknya yang sedang oleh Sangkasena.
Termangu dan terus termangu hingga sosok besar berpakaian serba merah muncul di hadapan Dodi dan yang lain.
Atas Rawa Gaib. Sepertinya ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong anaknya yang sedang terancam Sangkasena.
Termangu dan terus termangu hingga sosok besar berpakaian serba merah muncul di hadapan Dodi dan yang lain.
Suara gemuruh dan riuhnya suara burung-burung mistis mengiringi kemunculan Sangkasena di hadapan Dodi dan yang lain.
Makhluk mistis tersebut tampak melangkah pelan ke arah Dodi yang posisinya menghalangi Pak Halim dan para mahasiswa yang berkumpul di belakangnya.
"Kalau memang saya harus mati hari ini, saya akan mati. Tapi Pak Halim segera bawa teman-teman mahasiswa pergi. Saya akan mencoba mengulur waktu," ujar Dodi tanpa menoleh ke arah Pak Halim dan yang lain.
"Tidak, nak Dodi. Saya bersama kamu bukan karena kebetulan, tapi saya... memang berada di sini untuk membantu kamu, nak Dodi. Jika saya tidak membantu nak Dodi, seluruh desa ini akan binasa. Kekuatan jahat yang awalnya menyelimuti tanah ayahmu telah menyebar hingga ke seluruh desa. Tugas saya adalah menyelamatkan desa," tukas Pak Halim tidak bergeming
"Selamatkan desa kalau begitu, Pak Halim. Biar saya ulur waktu agar Pak Halim dan teman-teman bisa pergi dari sini." Dodi sejenak mundur ketika jarak Sangkasena tinggal 2 meter lagi darinya.
"Desa akan selamat jika kamu selamat, nak Dodi. Segala kepedihan, dan kehilanganmu tidak lain adalah ulah orang yang berada di balik munculnya iblis ini. Jika kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang kost-kostan itu, inilah saatnya," kata Pak Halim membuat Dodi terkejut.
Ia tidak dapat berkata-kata setelah mendengar perkataan Pak Halim barusan.
Kejadian itu tentu saja adalah yang paling mengerikan sekaligus membuatnya merasa menyesal seumur hidup karena ia telah melakukan perbuatan keji terhadap seorang perempuan yang semestinya ia lindungi.
Namun, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Pak Halim mengenai kejadian itu?
Apakah ia ingin menghakiminya?
Dodi terdiam. Perasaan bersalah itu kembali menggelayutinya. Ia merasa seperti sudah tidak pantas hidup.
Pemikiran itu juga sempat muncul ketika sang iblis berhasil mengejarnya hingga ke Rawa Gaib.
"Singkirkan pemikiran buruk itu, nak. Iblis telah mencapai kita. Yang harus kita lakukan adalah tetap tenang. Saya baru sadar jika Rawa Gaib adalah satu-satunya cara melawan Sangkasena. Meski itu adalah tempatnya berasal, namun itu bisa kita gunakan untuk melawannya. Dan oh, iya, kejadian yang menimpa gadis itu bukan salahmu."
Kata-kata Pak Halim membuat Dodi merasa bingung. Seingatnya ia secara sadar telah memperkosa dan membunuh gadis itu.
""Simpan dulu kepenasarananmu, nak Dodi. Pak Mahfud rupanya bereaksi dengan kedatangan Sangkasena," ujar Pak Halim sontak membuat Dodi menoleh ke belakang tepat ke arah wujud ayahnya yang kini sedang melangkah ke arahnya dan yang lain.
"Ayah?" ucap Dodi.
"Tetap melihat ke depan, nak Dodi. Dia semakin dekat," kata Pak Halim seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku bajunya.
'Srinnggg'
Mendadak Pak Halim menyayat tangan kanan Dodi menggunakan benda yang baru dikeluarkan dari saku bajunya. Benda itu rupanya adalah sebilah kujang berukuran kecil.
"Apa-apaan ini, pak!" pekik Dodi seraya melompat terus melihat ke arah Pak Halim.
"Maaf, nak Dodi. Saya membutuhkan darahmu. Pak Mahfud, kemarilah. Ini darah anakmu. Semoga ini dapat membawamu kembali," tukas Pak Halim seraya menyambut kedatangan sosok Pak Mahfud.
Dodi hanya bisa meringis menahan perih lukanya yang masih merembeskan darah. Ia kemudian melihat ke arah Sangkasena yang berdiri tidak jauh darinya.
Makhluk itu berhenti melangkah setelah Pak Halim mendapatkan darah Dodi melalui kujang mini yang dibawanya.
Sedangkan Pak Halim tampak berbicara sepatah dua patah kata dengan sosok Pak Mahfud.
_____________________________________
Mendadak suara gemuruh semakin keras dibarengi tiupan angin yang sangat kencang. Material-material berhamburan ke arah Dodi dan yang lain.
Mereka merunduk untuk menghindari terjangan material yang mengarah ke mereka. Terdengar suara hela nafas berat dari sosok Sangkasena yang mulai berjalan kembali ke arah Dodi. Namun kali ini sosok Pak Mahfud muncul menghadang gerak laju makhluk tersebut
Pak Halim turut mendampingi Pak Mahfud menghadang Sangkasena.
Melihat itu sontak Dodi berteriak.
"Pak Halim, jangan lakukan itu. Bapak bisa terbunuh!"
"Saya sudah lama mati, nak Dodi. Apapun yang saya lakukan adalah demi kelangsungan desa ini dan juga trah keluarga Pak Mahfud. Tidak apa saya berkorban jiwa demi desa ini," tukas Pak Halim membuat Dodi tercengan.
Ia tidak dapat mencegah Pak Halim mendampingi sosok Pak Mahfud.. menghadapi Sangkasena.
"Pak Dadang telah tiada karena kau, iblis! Begitupun keponakannya. Kau sudah saatnya dihentikan! Katakan siapa yang membangkitkanmu!!" ujar Pak Halim dengan suara bergetar.
Tiba-tiba.....
Sretttt................
Tangan sebelah kiri Sangkasena yang seperti ranting melesat kemudian menancap di dada Pak Halim.
Pak Halim pun berteriak kesakitan seraya memegangi dadanya dan berusaha mencabut tangan Sangkasena yang menembus dadanya.
"Pak Haliiiiim....." jerit Dodi bersama para mahasiswa yang bersamanya.
Tubuh Pak Halim melorot kemudian jatuh berdebum ke atas tanah. Sementara sosok Pak Mahfud tidak bergeming. Ia tidak menoleh ke arah Pak Halim. Wajahnya masih tanpa ekspresi.
Dodi dan yang lain saat ini.. hanya bisa pasrah. bersiap menghadapi yang terburuk yang mungkin akan terjadi kepada mereka.
Kini Dodi berada paling depan, tepat di belakang sosok ayahnya yang masih berdiri tidak bergeming.
Mendadak Dodi teringat sesuatu. Barangkali itu harus ia ambil dan ia gunakan.
Kujang mini itu rupanya tergeletak tepat di samping jasad Pak Halim. Kujang tersebut masih berlumuran darah.
Ketika hendak mengambil kujang tersebut, mendadak tubuh Dodi terangkat ke udara kemudian terbanting dengan keras ke atas tanah.
"Ugghhh.." Dodi mengaduh kesakitan seraya berupaya bangun.
Ia terus mencoba menggapai kujang tersebut namun hasilnya selalu gagal. Bahkan ia hampir sekarat karena seringnya terbanting oleh kekuatan yang menghalanginya.
Melihat Dodi kepayahan, para mahasiswa yang berjumlah empat orang itu mencoba membantunya.
Mereka berempat pun tidak sanggup mengambil kujang yang tergeletak di samping jasad Pak Halim itu.
Mereka hanya bisa meringis kesakitan setelah terlempar oleh kekuatan gaib yang melindungi kujang tersebut.
Apa yang harus Dodi lakukan untuk melawan Sangkasena yang kini sedang.. dialihkan perhatiannya oleh sosok Pak Mahfud. Makhluk itu tampaknya tidak dapat berpaling dari sosok Pak Mahfud. Terbukti ketika Dodi berusaha mengambil kujang, ia tetap berdiri menghadang Pak Mahfud.
Dodi sejenak terpekur kemudian merogoh kalung yang selama ini disimpannya di saku celananya. Selanjutnya ia membelitkan kalung tersebut di pergelangan tangannya yang sebelah kanan.
Berbekal tekad dan keyakinan, Dodi merangsek ke arah kujang mini. Orang-orang yang bersamanya pun membantunya dengan cara mendorong Dodi pelan-pelan dari belakang.
Rupanya itu berhasil Dodi lakukan. Ia berhasil menggapai kujang tersebut tanpa terkena serangan gaib lagi.
Namun hal itu membuat Sangkasena mengalihkan perhatiannya dari sosok Pak Mahfud.
Kedua mata Sangkasena yang besar dan menyala berwarna merah namun tidak menyamarkan tampilan kedua matanya, melotot ke arah Dodi dan orang-orang yang membantunya.
"Mas Dodi, gawat! Dia melihat ke arah kita. Dia akan membunuh kita," ujar salah seorang mahasiswa dengan nada... ketakutan. Sementara teman-temannya yang lain hanya menatap dengan khawatir ke arah Dodi.
"Sebentar lagi tanganku mencapai Senjata kujang. Hkkkhkk," ucap Dodi dengan suara tercekat karena kuatnya dorongan kekuatan Datu Sangkasena. Sementara ujung jarinya tinggal
beberapa senti lagi mencapai senjata
kujang tersebut.
***********
Nafasnya kini terasa sangat berat karena kuatnya tekanan kekuatan Sangkasena yang telah dinetralkannya. Jika tidak dinetralkan menggunakan kalung misterius itu, maka kekuatan Sangkasena bisa kembali melontarkannya bersama yang lain. Apalagi kini posisi mereka begitu dekat dengan Rawa Gaib.
Jika mereka terlontar lagi, dipastikan akan terlempar ke Rawa Gaib dan tidak akan bisa kembali lagi dari sana.
Kali ini Dodi berhati-hati menggapai gagang kujang mini yang bilahnya berwarna merah karena darahnya.
Mendadak!!!
Tangan keriting Sangkasena melesat tepat ke arah Dodi. Di saat itu juga Dodi berhasil menggapai kujang. Ia juga sempat meraihnya.
Namun serangan mendadak dari Sangkasena membuat Dodi terjengkang, dan kujang yang berhasil diraihnya terlempar ke belakang tepat ke area Rawa Gaib.
Tiba-tiba Sangkasena tertegun. Kemudian wujudnya seperti tersedot ke arah Rawa Gaib di mana kujang terlempar ke sana. Kedua tangan dan kakinya meronta-ronta. Wujudnya bagian bawah menciut tertarik hingga Rawa Gaib.
Wujud Sangkasena meronta-ronta hingga hilang di balik gelapnya Rawa Gaib.
Suara gemuruh dan cicitan burung-burung misterius mengiringi hilangnya wujud Sangkasena di tengah Rawa Gaib.
Suara gemuruh semakin keras terdengar kemudian terjadilah ledakan keras yang membuat Dodi kehilangan kesadaran.
Blaarrrrrrrrr
Penglihatan Dodi memutih kemudian memasuki alam bawah sadar, di mana ia tiba-tiba mendapati dirinya sedang berada di suatu jalan setapak berbatako (paved road).
Dodi tampak mengenakan setelan kasual dengan sebuah tas punggung berwarna biru di punggungnya.
Rambutnya panjang tidak seperti sebelumnya yang mana rambutnya dicukur pendek.
Dodi antara merasa sadar dan tidak sadar saat berada di jalan kecil tersebut. Namun ia terkejut ketika dirinya berjalan di jalan tersebut. Ia kemudian melihat-lihat sekujur tubuhnya yang kini berjalan sendiri meski ia tidak menggerakkannya.
Saat itu hari menjelang sore. Di sekeliling jalan kecil itu terdapat rumpun-rumpun bambu yang sangat rimbun.
Sayup-sayup terdengar suara gemerisik dari balik salah satu rumpun bambu tersebut.
Mendadak dua orang berpakaian preman muncul menyergapnya kemudian membekapnya menggunakan sapu tangan yang telah diberi obat bius. Saat itu Dodi kehilangan kesadaran namun anehnya ia dapat melihat dirinya dibawa kedua orang berwajah sangar itu ke sebuah van yang terparkir di belakang gedung kampus tempat Dodi kuliah.
Van tersebut melaju menuju sebuah rumah terpencil yang berada di tengah perkebunan kelapa sawit.
Dua orang tersebut membawa tubuh Dodi keluar dari van kemudian memasuki rumah besar bercat putih itu.
Di dalam rumah, mereka disambut oleh seseorang yang membuat Dodi mengernyitkan kening.
"Pak Dadang?" gumam Dodi dengan suara yang tentu tidak terdengar oleh mereka semua.
Pak Dadang berdiri menyambut kedua orang preman yang membawa Dodi.
"Kerja bagus. Sekarang kita tinggal menunggu malam tiba. Ki Rawuk sedang menunggu di tempat pertapaannya," kata ...
Pak Dadang.
Singkat cerita, malam pun tiba. Pak Dadang bersama dua preman itu berada di dalam ruangan bawah berdiri mengelilingi tubuh Dodi yang terbaring di atas tanah.
"Keluarga Mahfud akan hancur sehancur-hancurnya. Dia telah berani merebut tanah pengurbanan! Inilah saatnya"
Pak Dadang memberi isyarat kepada dua orang suruhannya untuk membawa tubuh Dodi ke dalam suatu lorong panjang yang entah mengarah ke mana.
Pak Dadang menjadi pemandu sembari menyorotkan senternya ke depan. Cahaya senter menampakkan lorong yang dindingnya berupa batu terjal itu.
Tak lama kemudian mereka mencapai ujung lorong bawah tanah itu. Ujung lorong tersebut rupanya adalah mulut gua yang menganga.
Keluar dari gua, Pak Dadang bersama dua preman yang membawa tubuh Dodi terus berjalan menuju suatu area yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi menjulang.
Tak lama mereka sampai di depan sebuah gua di tengah hutan belantara. Segera mereka membawa Dodi memasuki gua.
Di dalam gua, mereka mendapati sesosok kakek tua brewok putih berpakaian putih kusam dengan bagian dadanya telanjang.
"Sampurasun Ki Rawuk," ucap Pak Dadang seraya berlutut di hadapan begawan tersebut diikuti dua anak buahnya.
Ki Rawuk menatap tajam ke arah Pak Dadang. Dengan suara serak ia berkata.
"Dina hiji wanci nu geus ditangtukeun, nonoman ieu bakal nyieun karuksakan pikeun kulawargana."
(Di suatu saat yang sudah ditentukan, pemuda ini akan membuat kerusakan bagi keluarganya.)
Ki Rawuk kemudian meminta agar tubuh Dodi ditaruh di atas batu datar mirip meja di hadapannya.
Setelah tubuh Dodi ditaruh di atas meja batu tersebut, Ki Rawuk meminta salah seorang preman agar berbaring di samping tubuh Dodi.
Setelah preman tersebut berbaring di samping Dodi, Ki Rawuk mengambil beberapa tetes darah Pak Dadang, preman itu, dan menyatukannya dengan darah Dodi yang telah diambilnya.
Darah dari ketiganya ia taruh di dalam cawan tembikar. Setelah itu ia merapal mantra kemudian meludahi cawan berisi darah tersebut.
'Srinngggggg'
Ki Rawuk menyayat dada si preman kemudian menumpahkan darah di cawan ke luka di dada preman itu. Selanjutnya ia kembali merapal mantra.
Ajaib, wujud si preman berubah menjadi sosok Dodi. Kini ada dua Dodi berbaring di atas meja batu yang sama. Hanya pakaian yang membedakan.
"Apa-apaan ini!" Gigi Dodi gemeretak menyaksikan adegan tersebut.
Misteri yang tidak terpikirkan olehnya pun kini terkuak. Ditambah lagi ia menyaksikan sendiri adegan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan orang yang wajahnya serupa dengannya.
Pak Dadang rupanya di balik semua ini. Namun, Pak Dadang tidak akan melakukan hal laknat itu jika sosok seperti Ki Rawuk tidak ada.
Kini semuanya jelas, apa yang dikatakan Pak Halim tentang Dodi benar adanya.
"Ratih? Kenapa harus dirimu yang menjadi korban kebiadaban para durjana ini? Semua sudah terlambat. Tapi aku yakin, segala kejahatan yang dilakukan Pak Dadang akan berakhir."
Dodi membatin. Tubuhnya tetap belum bergerak dari atas meja batu tersebut. Ingin rasanya ia menggerakkan tubuhnya sendiri, namun itu sulit mengingat ia kini sedang berada dalam wujud halus. Ia juga tidak dapat mencegah kejahatan yang dilakukan Pak Dadang bersama orang-orang suruhannya.
Namun, sejenak Dodi teringat dengan kalung yang didapatkannya dari TKP pembunuhan Ratih.
Kalungnya Ratih. Apakah itu masih bersamanya?
Dodi menatap ke arah dua tangannya yang transparan karena sedang berada dalam wujud halus. Ia menatap ke arah pergelangan tangan kanannya di mana kalung Ratih melilit.
Ia sejenak melihat ke arah Ki Rawuk yang masih dalam kondisi duduk bertapa di belakang meja batu. Sedangkan Pak Dadang tampak duduk bersila bersama anak buahnya.
Dodi dalam wujud halus berupaya menggapai tubuh asli Dodi yang masih berada di sana. Sedangkan Dodi palsu tampaknya telah kembali ke wujud aslinya setelah menyelesaikan tugasnya.
Apa sebenarnya yang ingin dilakukan Dodi? Membangunkan Dodi yang asli tidak mungkin. Jika pun berhasil apakah mungkin ia bisa kabur dari tempat antah berantah itu.
Terdengar suara Ki Rawuk bergumam.
"Aya nu nenjokeun urang!" (Ada yang melihat kita!)
Mendadak penglihatan Dodi memburam kemudian memutih. Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil-manggil namanya.
"Dodi, bangun. Ini Andre..." panggil seseorang yang membuat Dodi terbangun.
Dodi tersentak bangun dengan nafasnya yang memburu naik turun.
"Hhhhahhh....." Dodi celingukan mendapati dirinya sedang di atas tempat tidur dikelilingi orang-orang yang sebagian ia kenali.
"Andre? Uda, uni?" Dodi melihat ke arah Andre, uda, dan uni secara bergantian.
"Kami meminta maaf, Dodi. Selama ini sudah menuduhmu sebagai pemerkosa dan pembunuh. Sekarang semuanya sudah jelas siapa pembunuh Ratih. Polisi telah menangkap pelaku yang sebenarnya, termasuk otak di baliknya," ujar uda seraya mendekat ke arah Dodi.
Dodi masih belum berucap.
Tampaknya ia masih syok dengan apa yang baru saja ia alami. Sekarang tahu-tahu ia sedang berada di dalam rumah dikelilingi banyak orang.
"Paman sudah kembali, Dodi. Ia sudah ditemukan. Ternyata ia selama ini disesatkan oleh seseorang berilmu hitam," kata Andre.
"Pak Dadang selama ini menghilang ternyata bersembunyi di rumah kebun sawit. Setelah menangkap pembunuh Ratih, polisi berhasil menangkap Pak Dadang dan anak buahnya yang tersisa. Sayangnya polisi belum mampu mengungkap siapa dukun ilmu hitam yang membantu Pak Dadang," jelas Uda.
Dodi hanya dapat menghela nafas.
Ia tahu siapa dukun ilmu hitam yang disebut-sebut Uda. Namun ia belum siap memberitahu siapapun.
~SEKIAN~