Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEGENGGAM TANAH KUBURAN

JEJAKMISTERI - Kalimantan tidak seindah dulu dengan hutan merimbun. Lubang galian batubara memporakporandakan alasnya. Perkebunan sawit membongkar tanahnya.

Terkabar, kalau makam itu menyimpan tulang belulang seorang raja. Raja dengan dua isterinya. Raja itu kabarnya hidup dan memerintah ratusan tahun yang lalu. Ada beberapa keturunannya di desa. Waktu perusahaan kelapa sawit masuk ke desa belasan tahun lalu, beberapa warga desa yang mengaku sebagai keturunan raja menolak ekspansi perkebunan masuk ke ujung desa. Mereka tidak ingin hutan kecil tempat tanah kuburan moyang mereka beristirahat diusik.

****************

"Nyotoooooo...! Sudahkah kau panen sawit di Blok 21...?!" Musa beteriak lantang. Misainya bergoyang-goyang. Dia marah besar. Ini kesekian kalinya Nyoto abai dengan penugasannya.

Tergopoh Nyoto datang menghadap. Sepatu boot plastiknya berlumur tanah liat. Dia lari dari warung di sebuah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotabaru, pedalaman Kalimantan. Mulutnya masih menguyah makanan, badannya kurus kering seperti kurang gizi.

"Maaf saya lupa. Siap nanti dipanen, habis makan," terbata menjawab setelah berhadapan dengan Musa.

"Oke! Aku tidak mau tahu! Hari ini harus semua dipanen. Ini sudah jam kerja. Areal blok sekitarnya sudah hampir semua dipanen, tinggal blok 21 itu saja"

"Siaaap Bos..!"

Tergopoh Nyoto kembali ke warung. Dia makan buru-buru. "Sudahlah To. Makan santai saja. Dia kan bisanya suruh-suruh saja. Baru juga mandor, lagaknya sudah kayak bos besar," dumel Bibi warung.

"Eng... ndak bisa Bi. Bos Musa benar. Tinggal itu belum dipanen. Kasihan truk angkut, kalau semua areal habis tinggal Blok 21 saja, rugi solar truk. Soalnya paling ujung bloknya," jawab Nyoto terburu dan kurang jelas, mulutnya penuh makanan.

"Iya aku tahu. Tapi sudah lima tahun kamu kerja, tidak ada berani panen blok itu. Cuma kamu aja. Ya harusnya Musa bisa mengerti"

Nyoto hanya tersenyum pendek. Melanjutkan mengunyah makanannya.

********

Ingatan Nyoto tiba-tiba kembali ke lima tahun lalu. Perkebunan kelapa sawit saat itu gempar. Belasan pekerja kesurupan massal. Mandor Musa yang memasukkannya kerja di kebun saat itu gelisah telepon sana-sini. Katanya menelepon dukun, cuma tidak ada yang aktif nomornya.

"Eh kamu anak baru? Tahu kesurupan? Coba bagaimana ini?" tanya Musa padanya gusar, seolah kehabisan akal saat itu.

Nyoto tergagap. Dia kaget. Dari mana pikirnya mandor tahu kalau dia pernah belajar soal gaib. Dengan ragu Nyoto kemudian menghampiri para pekerja yang kesurupan, dipegangnya ubun-ubun mereka satu-persatu. Mulut Nyoto komat-kamit merapal mantra. Tiba-tiba saja pekerja kesurupan itu waras kembali, hanya wajah mereka terlihat lelah.

"Tidak apa-apa. Cuma kesurupan biasa. Penunggu di sana sepertinya tidak suka, makanya marah dan merasuki kalian," jelas Nyoto.

Sejak saat itu Nyoto tiba-tiba menjadi sosok yang populer. Hanya dia yang bisa memanen sawit di blok 21, tanpa kesurupan.

Mandor Musa pun mengusulkan ke perusahaan tambahan gaji Nyoto setiap kali usai panen di blok keramat itu. "Aku profesional Nyoto. Kamu ada kelebihan, makanya kita bayar dengan uang. Jadi ya kamu profesional juga. Blok 21 adalah tugasmu," ucap Musa saat itu, tidak lupa menggerak-gerakkan misainya.

Begitulah. Nyoto pun kemudian menganggap Blok 21 adalah harta karunnya. Bahkan diam-diam dia berharap blok-blok lainnya juga sekeramat itu. Lumayan nambah penghasilan hanya dengan rapal-merapal.

Usai habiskan makan di warung Bibi, dengan roda dua ban rimba lebar Nyoto pergi ke Blok 21. Dia satu-satunya buruh lapangan yang bisa kredit motor balap besar. Suaranya garang, ngebas. Burung puyuh jauh-jauh sudah terbang. Ikan berloncatan liar jika Nyoto lewat, debu jalanan terbang ke atas hinggap di pucuk-pucuk daun sawit.

Sampai Blok 21 Nyoto masuk ke salah satu sudut kebun. Di bawah pohon sawit yang tanahnya bersih dari gulma, Nyoto memarkir motornya, mengunci lehernya, dan menutup tangki minyak dengan sebuah kotak kardus lebar.

Dilepasnya ikatan alat dodos pada punggungnya yang lebar, digenggamnya pegangan dodos dari ulin itu, melangkah tegap ke tengah blok. Tepat di tengah-tengah terlihat tiga buah makam. Sudah tua, karena nisan terbuat dari ulin yang beberapa sisinya keropos dimakan binatang pengerat kayu. Di nisan masih jelas tulisan huruf menyerupai aksara Arab. Ke sana Nyoto melangkah.

Di depan makam yang paling besar, makam tengah, dia bersila. Dengan jari-jemarinya yang besar hitam, Nyoto mengumpulkan beberapa gulma dan ranting kering menjadi tumpukan kecil. Diambilnya korek kayu dari saku kemeja tak berkancingnya. Api kecil menyala. Kemudian Nyoto mengambil bungkusan plastik kemenyan kecil yang rupanya sudah ada diletakkan sebelumnya di areal makam. Harum mistis merebak siang itu di tengah blok dua satu.

"Wahai penguasa Blok 21. Terima kasih selama ini izinkan saya panen di sini. Mengenai permintaanmu membersihkan areal kebun kembali seperti dulu, penuh-pohon besar dan binatang, saya minta tunda dulu, tunggu sampai pohon sawit ini cukup umur, pasti akan ditebang semua," rapal Nyoto.

Tiba-tiba Nyoto melihat seolah-olah bagian atas nisan bergerak pelan, seperti kepala orang mengangguk. Tanah di bawah pantat Nyoto terasa bergerak. Dengan senyum simpul Nyoto mengatupkan dua tangannya. "Terima kasih, sekarang saya mau memanennya," ucap Nyoto formal seraya berdiri. Api kecil membakar dupa dia biarkan, biasanya akan mati sendiri ketika ranting sudah habis.

Dengan tenang Nyoto memanen sawit-sawit bonggol besar. Penuh tenaga dia menusukkan dodok ke pangkal bonggol. Jleb, kemudian bonggol jatuh berdebam di tanah.

Jelang sore Nyoto selesai memanen, dengan radio tangan dia mengabari mandornya. Tidak lama kemudian datang dua buah truk, bersama buruh angkut buah, Nyoto kembali bekerja.

Nyoto tersenyum puas menatap truk-truk itu berjalan pelan mengangkut buah sawit ke pabrik pengolahan. Kembali ditatapnya makam di tengah kebun, kemudian mengangguk penuh hormat. Nyoto pulang, tugasnya sudah habis hari itu.

Di perjalanan pulang ke desa, pikiran Nyoto kembali ke makam. Konon makam itu menyimpan tulang belulang seorang raja. Raja dengan dua selirnya. Raja itu kabarnya hidup dan memerintah ratusan tahun yang lalu. Ada beberapa keturunannya di desa. Waktu perusahaan kelapa sawit masuk ke desa belasan tahun lalu, beberapa warga desa yang mengaku sebagai keturunan raja menolak ekspansi perkebunan masuk ke ujung desa. Mereka tidak ingin hutan kecil tempat moyang mereka beristirahat diusik.

Namun perusahaan tidak kehabisan akal. Mereka mendekati satu-persatu warga yang mengaku keturunan raja. Hingga akhirnya mayoritas menerima tawaran ganti rugi dengan catatan makam jangan dibongkar untuk dipindahkan.

Tapi lima tahun ke belakang, tepat saat Nyoto bekerja di perusahaan, Jamaluddin datang ke desa, memprotes perusahaan dan meminta kebun sawit di sekitar makam dibersihkan. "Ganti rugi lahan itu cacat hukum. Peraturan daerah kita melarang jelas perkebunan sawit dekat dengan pemakaman," ujar Jamal saat itu.

Belakangan Nyoto baru tahu dari Mandor Musa, kalau Jamal adalah salah satu keturunan raja juga. Dia memang jarang ke desa, karena sekolah di kota.

Sampai di rumah Nyoto termenung. Dia masih memikirkan Blok 21. Rencananya perusahaan akan menebang semua pohon di sana pada akhir tahun nanti, namun kembali menanam dengan pohon sawit yang lebih muda. Tentu saja sama saja akhirnya, Blok 21 tetap jadi kebun sawit, bukan hutan seperti dulu.

Di satu sisi Nyoto senang, karena Blok 21 tetap akan jadi kekuasaan panennya. Namun dia juga resah, bagaimana kalau penunggu makam marah dan tidak bisa lagi diajak kerja sama. Meski Nyoto yakin kalau ilmu yang dia miliki bisa meladeni kemarahan makhluk gaib. Cuma yang ini kan bekas raja, tentu pikirnya dia tidak mudah mengendalikan jika penunggu makam itu nanti marah.

Akhir tahun pun tiba. Pepohonan kelapa sawit di Bok 21 dicabut menggunakan bulldozer. Lahan dibersihkan.

Dari jauh Nyoto mengamati dengan perasaan penuh. Berkali-kali matanya menatap makam. Di jarak demikian dia tidak mampu menggapai energi gaib makam untuk melakukan dialog dengan penunggunya. Proses bulldozer membersihkan lahan tidak berlangsung lama.

Dua minggu kemudian, para pekerja kembali masuk ke Blok 21, mereka ditugaskan menanam bibit sawit. Belum selesai penanaman, peristiwa menggemparkan terjadi. Para penanam semua kesurupan. Mereka menangis, meraung sembari mencabuti semua bibit yang sudah mereka tanam sendiri. Setelah semua bibit tercabut, pekerja yang kesurupan kembali sadar. Sementara itu terlihat Mandor Musa berkali-kali menelepon Nyoto namun nomor tidak aktif. Tidak punya pengalaman apa pun soal kesurupan, Musa akhirnya meminta semua pekerja pulang.

Di kamp pekerja Musa melihat Nyoto asik minum kopi di warung. "Kenapa hapemu tidak aktif?! Tadi semua pekerja kesurupan di blok dua satu," sungut Musa.

"Maaf, hape dices, tidak aktif supaya cepat penuh," jawab Nyoto. Hari itu terakhir cutinya. Seperti tahun lalu, dia cuti hanya nongkrong di kamp. Jalan-jalan ke luar daerah pikirnya hanya hambur-hambur gaji saja.

"Kenapa jadi bisa kesurupan Bos," tanya Nyoto.

"Mana aku tahu. Makanya aku mau tanya sama kamu. Itu nanti bagaimana? Aman saja kah nanam lagi besok? Aku buta sama sekali soal ginian"

"Eng....sebaiknya biarkan saja Bos Blok 21 kosong, itu lebih aman kayaknya"

"Nyoto mana bisa. Hasil panen Blok 21 bisa gaji kamu dan beberapa karyawan setiap bulan"

"Tapi untuk ini saya juga ragu bisa nangani. Penunggu makam kayaknya tidak mau kompromi lagi"

"Cobalah dulu"

Esoka harinya penanam kembali. Nyoto turut serta. "Ayo tanam lagi. Tidak usah takut ada Nyoto di sini. Semua akan baik-baik saja," perintah Musa. Nyoto hanya tersenyum dipaksakan, matanya tidak lepas dari makam, wajahnya pucat.

Para pekerja menanam dengan gerakan kaku, waspada. Tidak ada canda terdengar seperti biasa. Mereka menanam bergerombol, enggan jauh dari rekan di sampingnya. Satu-satu sawit yang kemarin dicabut dimasukkan lagi ke dalam lubang. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Musa menghisap rokoknya dengan gelisah. Nyoto juga gelisah, mulutnya terus komat-kamit, entah kenapa dia merasa ada yang salah.

Tiba-tiba di luar dugaan, saat bibit sawit sudah hampir habis masuk lubang, para penanam berteriak nyaring. Mereka berlari garang ke arah Nyoto. Mata beringas, hendak menerkam. Nyoto kaget, mulutnya semakin keras merapal mantra. "Wahai penguasa blok dua satu, izinkan kami sekali ini saja, kami akan buatkan kubah di makammu," teriaknya di sela rapalan mantra.

Tapi sepertinya kemarahan penunggu sepertinya sudah sampai puncaknya. Penanam kerasukan terus saja merangsek maju. Menerkam Nyoto yang mencoba berlari. Namun pekerja sudah mengepungnya. Hampir berbarengan mereka memukul Nyoto, memitingnya, memeluknya brutal. Nyoto hanya bisa berteriak kesakitan, semakin melawan semakin besar rasa sakit dia terima. Nyoto akhirnya kehabisan tenaga, dia jatuh hampir tidak sadarkan diri.

Sambil terbaring lemah, Nyoto melihat para penanam berlarian berserabutan. Mencabuti bibit sawit dari lubangnya. Setelah itu semua gelap.
~~~SEKIAN~~~

close