Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 2) - Pengabdi Lawean

"Bangunlah Laswati, sudah cukup posoweningmu menggetarkan peraduanku." satu suara lirih masuk kedalam telinga Laswati.

"Ini adalah kuburan orang tua dan kedua kakakku, mereka meninggal di malam yang sama karena ulah biadab Suyono dengan ROGOH NYOWO-nya." ucap Satrio dengan wajah merah padam.

Satu alunan tembang macapat kembali keluar dari bibir Ratu Jebar yang menandai sebuah awal salah satu kejadian besar di ALAS PURWO.


Bagian 2
PENGABDI LAWEAN

"Bangunlah Laswati, sudah cukup posoweningmu menggetarkan peraduanku." satu suara lirih masuk kedalam telinga Laswati.

Tak cukup satu kali suara itu meyakinkan Laswati. Sampai ketiga kalinya suara yang disertai tiupan lembut di wajah, membuat Laswati memberanikan diri membuka matanya perlahan.

Kilatan menyilaukan yang pertama Laswati lihat setelah kesadaranya pulih, berasal dari sebuah permata nan indah terpasang pada mahkota di atas kepala sesosok wanita yang sangat cantik,-

semerbak harum kasturi menyebar dari tubuhnya yang putih bersih, sorot matanya meneduhkan, senyum tipis yang mengembang di bibirnya membuat Laswati seketika menjatuhkan diri bersimpuh.

"Nyai Ratu." ucap Laswati.

"Tekadmu menjadi pengabdi Laweyan Lenggan kuterima, Laswati." sahut sosok yang di panggil Nyai Ratu.

"Terima kasih Nyai Ratu." sahut Laswati pelan.

"Persiapkan dirimu Laswati, akan ada kekuatan-kekuatan besar yang saling bertemu di jagad ireng. Tapi kamu harus ingat! jangan terlalu dalam kamu memasukinya." terang Nyai ratu.

Laswati tertunduk mendengar ucapan Nyai Ratu, pikiranya langsung melesat pada sosok anaknya yang jadi pusat akar ROGOH NYOWO.

"Akan banyak korban tak terlihat mata menggenangi yang bersumber dari keserakahan golonganmu. Aku harap kamu tak terpancing untuk ikut mengotorinya."

kata-kata Nyai Ratu seperti sebuah nasehat untuk Laswati. Seakan ia tau dan membaca pikiran serta batin Laswati.

"Maaf Nyai Ratu, apakah aku tak bisa ikut menyelamatkan putriku? Sebab alasan utamaku menjadi Laweyan Lenggan adalah putriku Nyai Ratu." sahut Laswati sekilas memohon.

Senyum berwibawa menghiasi bibir Nyai Ratu sembari melangkah mendekati Laswati yang masih menunduk.

"Putrimu akan sanggup menghadapi ini. Tuntaskan urusanmu tanpa melibatkan siapapun, sebab aku tak akan terlibat terlalu jauh seandainya kamu sampai harus berurusan dengan-

dua pilar jagad ireng. Karena kami punya aturan yang tak bisa di langgar oleh apapun!" pesan Nyai Ratu kembali sedikit membuat bingung Laswati.

"Kamu adalah keturunan ketiga dari Ki Rengko yang menjadi Laweyan Lenggan, dan kelak, Putrimu lah yang akan meneruskanya.-

Sinom dan Lengi yang akan mengajarkanmu menjadi seorang Laweyan Lenggan sepenuhnya, tugasku kini selesai menyambung tali trah Laweyan yang seharusnya belum tiba waktunya. Tapi karena tekadmu yang begitu kuat, aku kabulkan menjadi abdi sambungku mulai saat ini."

Penjelasan terakhir dari Nyai Ratu sebelum sosoknya menghilang meninggalkan harum kasturi yang menentramkan, membuat Laswati mulai sedikit mengerti akan hubungan keluarganya dengan Nyai Ratu, dan juga tentang alasan Mbah Sinom yang tak pernah mau menikah. LAWEYAN LENGGAN.

Laswati yang tak tau entah berapa hari berada di dalam kamar khusus, merasakan tubuhnya begitu ringan ketika melangkah keluar. Dua senyum simpul menyambutnya saat ia baru tiba di ruang tengah, matanya sayu memandang mbah Sinom dan Mayang.

"Kamu berhasil nduk. Kini kamulah Laweyan penerus tradisi keluarga Rengko." ucap mbah Sinom sembari tangannya mengeluarkan bungkusan putih pipih yang di ikat dengan tali berwarna hijau. Kemudian Mbah Sinom menyerahkan bungkusan itu kepada Laswati yang tampak masih bingung.

"Ini adalah simbol diri seorang Laweyan." ucap mbah Sinom kembali sembari menganggukan kepala melihat keraguan tampak dari wajah pucat Laswati untuk menerima bungkusan itu.

Pelan Laswati membuka tiga tali kecil yang mengikat bungkusan kain putih, tampak sebilah keris berkepala naga tanpa rangka mengeluarkan bau wangi cendana,-

sedikit terkejut Laswati merasakan hawa panas dari tangan saat menyentuh gagang keris bermata batu hijau, yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Mayang dan mbah Sinom tersenyum melihat kekagetan Laswati.

"Itu artinya ABILOWO berjodoh denganmu Laswati, sama ketika ia mengikuti eyangmu." ucap Mayang memberi penjelasan.

"Batu hijau pada mata gagang keris itulah dulu yang pernah melukai RANGGI. Sayang, ketika Romo hampir menancapkan keris itu ke jantung Ranggi, ia di selamatkan Ratu Jebar." ucap Mbah Sinom mengenang kejadian waktu silam.

"Dan kali ini, aku yang akan menancapkan kejantung RANGGI! " sahut Laswati dengan wajah merah penuh amarah.

"Laswati, jangan kamu jadikan semua ini semata untuk membalas dendam, itu menjadikan dirimu tak ubahnya sama seperti mereka, manusia-manusia serakah yang merusak tatanan."

Kata-kata Mbah Sinom membuat Laswati mengendorkan amarahnya, ia tertunduk, perasaanya bercampur aduk.

"Jika memang kamu ingin berhadapan dengan Ranggi, ada waktunya ketika dia tak bersentuhan dengan Ratu Jebar. Sebab, jika tidak! Maka Nyi Wuning tak akan membiarkanmu memusnahkan Ranggi."

Kembali mbah Sinom memberi penjelasan yang kali ini membuat wajah pucat Laswati tampak semringah.

"Laswati, persiapkan dirimu, besok kita bertiga akan kemakam eyangmu. Sekarang istirahatlah."

Laswati segera mengangguk dan bangkit menuju kamarnya. Ia yang selama 3 hari berada di kamar khusus merasa tubuhnya sangat letih dengan segera mengistirahatkan raganya, sebab besok perjalanan barunya sebagai seorang Laweyan Lenggan akan di mulai dari makam eyangnya Rengko sasmito.

***

Dingin... Mungkin di rasakan sebagian orang di malam yang sudah beranjak larut. Tapi tidak bagi tiga orang yang berada di dalam sebuah rumah joglo berjarak 10 km dari sebuah alas jagad peteng.

Aroma kemenyaan yang menyesakkan dada, tercium pekat di dalam, tepatnya pada sebuah ruangan yang tak begitu lebar. Dimana sebuah tampir besar berisi bunga dan berbagai macam pelengkap sesajen,-

kepulan asap kemenyan bersumber dari tungku kecil terletak persis di tengah-tengah tampir yang di hadap seorang perempuan tua.

Wajah perempuan tua itu di penuhi buliran-buliran keringat, rambutnya yang putih dengan ikat kepala hitam sesekali terhentak mengikuti gerakan tubuhnya yang bergetar. Matanya terpejam, mulutnya bergerak-gerak bersama gumaman lirih, dengan satu nama sering ia sebut berulang-ulang.

Satu laki-laki yang ikut duduk menyaksikan semua yang di lakukan perempuan tua berjubah hitam tampak wajahnya ikut menegang, ia lebih sering tertunduk seolah ada yang di hindari oleh matanya.

Sedang di satu ruangan sebelahnya, dimana terdapat satu lubang sedalam 2 meteran, tampak satu sosok tengah duduk bersila tanpa mengenakan selembar baju membungkus tubuhnya.

Empat buah nampan tergeletak di tiap sudut atas lobang persegi empat, berisi pincuk daun pisang berisi bunga dan satu buah lilin yang menyala, dengan aroma kemenyan sama halnya tercium pekat dalam ruangan itu.

Ruangan yang awalnya terlihat tenang, tiba-tiba berubah. Tiupan angin yang entah dari mana datangnya, merubah suasana seketika mencekam. Ruangan yang hanya di terangi empat buah lilin dengan nyala yang bergoyang kencang, ramai di penuhi klebatan puluhan bayangan hitam.

Bau anyir dan busuk mendadak memenuhi ruangan tempat Sudiro tengah melakukan ritual, dengan di barengi suara tawa dari bayangan-bayangan hitam menambah suasana semakin angker. Tak pelak, tubuh Sudiro bergetar menahan bau anyir busuk seolah memenuhi penciumanya.

Sampai beberapa detik kemudian, beberapa sosok jangkung hitam tanpa mata dan berambut panjang mengerubungi lobang petak dengan Sudiro di dalamnya. Bau anyir semakin merebak berasal dari lidah yang menjulur sejengkal kedepan, meneteskan air liur ketubuh Sudiro yang berada didalam lubang.

Hampir seluruh tubuh Sudiro terbasahi oleh air liur sosok-sosok bermata bolong, sebelum datangnya sapuan angin kencang di iringi suara ringikkan kuda membuat sosok-sosok itu berhenti meneteskan air liur mereka dan menjauh dari lubang.

Suara ringikan kuda tiba-tiba berhenti bersamaan munculnya sesosok perempuan memakai kain batik bercorak, bertubuh jangkung selaras dengan rambutnya yang panjang sebatas mata kaki.

"Sudahi posopatimu cah bagus." ucapnya pelan namun jelas di telinga Sudiro.

Sudiro masih diam, ia seperti masih ragu untuk membuka matanya, hingga sebuah sentakan ia rasakan melemparkan tubuhnya keluar dari lubang.

Jantungnya berdebar kencang ketika matanya terbuka dan menyadari jika di sekelilingnya banyak sosok makhluk yang mengerikan, ia lebih tercekat ketika menatap sosok perempuan tengah mengusap rambutnya yang tersampir kedepan.

Wajahnya cantik dengan bunga mawar terselip di telinga kanannya. Aroma wangi tubuhnya mengalahkan bau anyir dan kemenyan yang sebelumnya tercium pekat.

"Ratu pambayun." ucap Sudiro lirih membuat sosok di depanya tersenyum.

"Benar cah bagus. Posopatimu sudah membangunkanku! Dan aku juga sudah tau keinginanmu dari Nyi Anggar. Apa kamu sudah benar-benar siap menjadi pengabdiku?" sahut sosok Ratu pambayun dengan jari-jarinya masih memainkan rambutnya.

"Saya siap Ratu." jawab Diro menundukan kepala menjura hormat.

Sosok Ratu pambayun mendongakkan kepalanya dan tertawa keras sebelum menatap tajam pada Sudiro.

"Aku akan membantumu! Tapi ingat! Nyawamu akan menjadi penebusnya jika kamu berani ingkar!" terang sosok Ratu Pambayun tegas.

Sudiro sedikit bergetar melihat wajah bengis dari sosok Ratu Pambayun. Ia tak menyangka di balik kecantikanya ada kengerian yang menakutkan.

"Bulan Anggoro ketiga, aku mau kamu menyiapkan geteh pangkep sebagai bukti pengabdianmu. Jika gagal, kepalamu gantinya!" ucapnya kembali.

Diro masih terdiam setelah mendengar semua ucapan dari Ratu Pambayun yang kini tengah tertawa keras menggetarkan seisi ruangan.

"Bersihkan tubuhmu, malam ini menjadi malam pertamamu menjadi ABDI SONGKO." perintah Ratu Pambayun yang segara di laksanakan Sudiro.

Setelah melewati semua ritual berat. Sudiro kini bisa bernafas lega setelah berhasil bersekutu dengan sosok Ratu Pambayun untuk memenuhi ambisinya. Meski ia sendiri telah memelihara LIRENG sebagai ingon kekayaannya, namun rasa dendam dan iri pada adiknya, Suntoro, seakan tak pernah padam.

Pagi itu, sebelum meninggalkan rumah joglo milik Nyi Anggar yang membantunya bersekutu dengan Ratu Pambayun, Sudiro yang masih bingung dengan syarat syarat yang wajib di penuhinya mendapat penjelasan panjang dari Nyai Anggar.

"Bulan Anggoro ketiga sama dengan empat belas hari lagi, itu artinya tak banyak waktumu untuk mendapatkan GETEH PANGKEP." ucap Nyai Anggar mengingatkan Sudiro akan satu persembahan yang harus ia serahkan pada Ratu pambayun sebagai bukti pengapdianya.

Meskipun kini ia sudah bersekutu dan bisa kapanpun meminta bantuanya, namun, persembahan bayi laki-laki anak pertama bukan hal mudah, dan itu satu syarat wajib awal yang harus dilakukan Sudiro sebagai ABDI SONGKO RATU PAMBAYUN.

***

"Ada apa Bulek? Sepertinya ada yang di risaukan?" Satu pertanyaaan sedikit mengagetkan Mayang, saat dirinya tengah menatap lurus ke halaman depan Rumah.

Raut wajahnya yang mulai di sisipi keriput, sebentar melega, saat di lihatnya, Laswati, sudah berdiri di sampingnya.

"Nggak apa-apa Laswati." Sahut Mayang.

"Kelihatanya ada beban mengganjal yang Bulek rasakan?" Kembali Laswati menyahut dengan expresi masih terliputi tanda tanya.

Mayang terdiam, tarikan nafasnya terdengar berat dengan wajah sedikit berubah. Langkahnya mengayun medekati jendela kayu tanpa kaca. Membuat Laswati semakin bertanya-tanya.

"Sebenarnya aku khawatir jika Wuri, tetap berada disini bersama Sanjaya.-

Sebab, beberapa hari ini, semakin banyak makhluk-makhluk alam sebelah yang datang dan mereka semakin berani." Ucap Mayang menjelaskan.

Bukan tidak mengerti bagi Laswati, namun, untuk urusan yang baru saja di kemukakan Mayang, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Dirinya tau jika Sanjaya (Anak Wuri) bukan Bayi biasa pada umumnya, seperti yang telah di jelaskan Nyi Lengi.

"Lalu, apa yang Bulek ingin lakukan untuk Wuri dan Sanjaya?" Tanya Laswati penuh harap.

Sejenak, Mayang menatap Laswati, datar. Tanganya menyibak kain putih yang hanya menutup separuh jendela. Memandang alam sore yang hampir masuk petang, sebelum menjawab ucapan Laswati.

"Aku ingin membawa Wuri dan Sanjaya ke tempat asal leluhurnya. Disana, aku yakin! Sebab Romo, dulu sudah menanam Jangkar Semeti." Jelas Mayang pelan.

"Tapi, bagaimana dengan Rumah dan Wasiat Mbah Sinom? Apakah harus...."

"Bbrraakkk... Bbbrraakkk...."

Mendadak Laswati menghentikan ucapanya. Ketika tiba-tiba satu suara layaknya benda terjatuh dengan keras, yang di susul pekikkan suara perempuan, mengejutkan dirinya dan Mayang.

Kepanikan seketika menyelimuti Mayang dan Laswati. Keduanya bersamaan melangkah dengan buru-buru, menuju sumber suara.

Sesaat mata keduanya terbelalak! Setelah sampai di ruang belakang, tepatnya di kamar khusus peninggalan Mbah Sinom. Dimana Pancer Sanjaya, yang terbungkus kain putih, tersimpan dan tergantung di ruangan itu.

Lebih terkejut lagi Mayang, saat ia melihat satu sosok wanita bergaun putih dombor dan berambut panjang acak-acakan, tengah menyeringai buas. Matanya hitam menyorot tajam!

Namun, bukan itu yang membuat Mayang terkesiap panik, tapi bungkusan kain putih yang tengah di pegang tangan kanan sosok tersebut.

"Celaka...! Kalau sampai Pancer Sanjaya dia makan!" Gumam Mayang kalut.

"Hi...hii...hiikk...hhiikkk..." Tawa ngikik dari sosok berbau wangi kamboja, seolah tau ketakutan Mayang, dengan bungkusan yang tengah di genggamnya.

"Letakkan bungkusan itu! Atau kubakar wujudmu!" Seru Mayang keras.

Sosok itu terdiam. Sorot matanya semakin nyalang mendengar ancaman dari Mayang. Tapi, sebentar kemudian, sosok itu kembali tertawa semakin nyaring, memperlihatkan deretan giginya yang putih, kontras dengan bibirnya yang hitam.

"Laswati! Bawa Mbok Par keluar dari sini!" Perintah Mayang pada Laswati, yang sedari awal hanya tertegun bingung.

Dengan perasaan gugup, Laswati segera menyeret tubuh sepuh Mbok Par yang pingsan di lantai. Sebelum geraman-geraman mulai terdengar ramai di dalam ruangan.

Baru saja Mayang, berniat ingin menghampiri dan merebut bungkusan kain putih berisi Pancer Sanjaya, terpaksa ia urungkan. Terlebih, Mayang sedikit beringsut mudur, ketika beberapa sosok pocong berwajah hitam berbau busuk menyengat,-

tiba-tiba muncul dan mengelilingi sosok wanita bergaun putih.

Wajah Mayang mempias, tubuhnya mulai berkeringat melihat situasi yang menjadi sulit baginya. Beberapa kali Mayang tampak berjibaku menerobos sosok pocong-pocong hitam, yang seperti sengaja melindungi sosok wanita bermata hitam.

Namun, setiap kali Mayang memaksa, seketika itu juga tubuhnya terjungkal. Mayang meringis menahan sakit, saat kembali jatuh terduduk untuk kesekian kalinya. Dari sudut bibirnya, kini tampak mengalir darah segar.

Matanya nanar menatap sosok pocong-pocong berwajah hitam, yang masih tegak berdiri, dengan kilatan pandangan tajam menusuk. Dirinya tambah geram, saat mendengar tawa melengking sosok wanita bergaun putih, sembari memamerkan bungkusan putih padanya.

Seakan menantang kembali, untuk Mayang merebutnya.

Tawa ngikik sosok wanita seperti Sibyan, tiba-tiba saja terhenti. Dan sekejap itu juga, berganti dengan lengkingan panjang menyayat, saat satu sosok wanita bertapi jarik, dengan kebaya putih,-

melemparkan sebuah batu hijau ke tubuh sosok wanita bermata hitam.

Tak hanya itu, kilatan dari sebuah pusaka, keris bergagang kepala naga, menghantam dan menembus sosok pocong-pocong berwajah hitam.

Jeritan-jeritan dan erangan dari sosok-sosok pocong, menandai sebelum roboh dan menghilang, membuat suasana sejenak hening.

Nampak kelegaan terpancar dari wajah Sosok wanita yang masih memegang erat keris kecil dan bungkusan kain putih,-

yang ia pungut setelah terlempar dari tangan sosok wanita bergaun putih dombor. Matanya sayu memandang Mayang, yang sudah di papah Laswati untuk berdiri. Ringisan kecil sekilas terlihat dari bibirnya,-

sebelum tubuhnya limbung dan terduduk di kursi dingklik menyandar ke dinding, membuat Laswati, buru-buru menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa Nduk?" Tanya Laswati penuh kekhawatiran pada sosok yang tak lain adalah Wuri.

"Tidak, Buk. Hanya nyeri sedikit." Jawab Wuri, sembari meremas perutnya pelan.

"Mungkin rahimnya tergonjang saat tadi, Wuri. Menggunakan Keris Laweyan Lenggan." Sahut Mayang, yang sudah mampu berdiri tegak kembali.

"Itulah kenapa saya ingin kita semua pindah ke Prabon leluhur. Dan sekarang! Mau tidak mau kita harus tetap pindah. Saya tak mau kejadian ini terulang kembali." Sambung Mayang dengan tegas.

Wuri dan Laswati saling pandang, mereka berdua tak bisa membantah, meski dalam hati dan benak keduanya masih terngiang akan pesan Mbah Sinom, tapi, disisi lain, keselamatan Sanjaya, kini menjadi satu hal teramat penting bagi mereka.

Dinginya udara malam yang sudah larut tampaknya tak hiraukan oleh lima orang tengah dalam perjalanan. Waktu yang mayoritas di gunakan untuk istirahat, namun tidak malam itu untuk mereka. Jalanan yang lengang membuat sang pengemudi leluasa memacu mobil mewahnya,-

hingga tiba di suatu persimpangan, sang pengemudi membelokan mobilnya kearah kanan, melintasi jalanan kecil dengan lubang-lubang kecil bekas aspal yang sudah mengelupas.

Hanya satu dua rumah dengan jarak masih lumayan berjauhan mereka jumpai, sampai gemerlap lampu terang beberapa puluh meter terlihat di depan mereka.

Seorang lelaki setengah baya keluar dengan tergopoh-gopoh mendekati kedatang mobil yang sepertinya sangat ia kenal pemiliknya, menyapa ramah dengan kain sarung tersampir di pundak menyambut kedatangan dua laki-laki dan tiga perempua turun dari mobil.

"Monggo silahkan pak, buk." ucapnya mempersilahkan setelah bertegur sapa dan bersalaman.

Satu lelaki yang berperut buncit mengangguk dan langsung melangkah ke dalam sebuah bangunan joglo lumayan luas berlantaikan marmer.

Beberapa pilar kayu penyangga yang di penuhi ukiran serta beberapa lampu yang terang, menunjukan jika pemilik tempat itu bukan orang sembarangan masa itu.

Namun, ada satu hal yang sedikit membuat tempat itu menyeramkan. Di ujung tempat itu terlihat empat makam berjejer dengan sebuah lukisan di tiap-tiap nisanya.

Lelaki berperut buncit atau Satrio mengambil beberapa bungkus kantong di satu lemari kecil sebelah pilar yang berisi kembang dan dupa, raut wajahnya terlihat sedih ketika ia menaburkan kembang yang di ambilnya, pada tiap-tiap kuburan.

Asap dupa tampak mengepul di belakang salah satu nisan berukuran paling panjang serta paling tinggi. di tambah satu lukisan sosok laki-laki tua memakai blangkon dan kebet hitam menempel pada nisan dengan satu nama tertulis di bawahnya SAPTO PRAWAIRO.

Tiga orang perempuan, Mbah Sinom, Mayang dan Laswati tertegun melihat empat makam keluarga Satrio, ada satu hal sedikit mengherankan mereka bertiga ketika membaca tanggal kematian ke empat nisan itu yang sama, Artinya kematian mereka bersamaan.

"Ini adalah kuburan orang tua dan kedua kakakku, mereka meninggal di malam yang sama karena ulah biadab Suyono dengan ROGOH NYOWO-nya." ucap Satrio dengan wajah merah padam.

"Sebelumnya, orang tua dan seluruh keluargaku berhubungan baik dengan Suyono, bahkan, waktu itu aku yang masih remaja menganggap Suyono adalah orang tua keduaku. Tapi, keserakahanya membuat ia dan keluargaku berselisih, sampai akhirnya memuncak hari itu.

Hari dimana malamnya menjadi malam terkutuk ketika ia membunuh kedua orang tua beserta kedua kakakku." kembali Satrio meneruskan ceritanya dengan amarah bergulung-gulung di dada.

Mbah Sinom, Mayang dan Laswati sesaat ikut larut dalam alur cerita Satrio, mereka membayangkan betapa ngeri dan sadisnya ROGOH NYOWO yang di miliki Suyono waktu itu.

Tiba-tiba Laswati terperanjat melihat satu orang laki-laki yang pernah di lihatnya saat pernikahan Wuri dan Suntoro, lelaki itu muncul dari belakang mereka dengan menenteng sebuah bungkusan kain merah.

Ia tersenyum melihat Laswati tampak bingung dengan kemunculanya, hanya anggukan kepala sebagai salam sapanya kepada semua yang tengah menatapnya.

"Bertahun-tahun aku mencari cara untuk bisa melenyapkan Suyono, tapi, selalu gagal dengan nyawaku sendiri hampir melayang." ucap Satrio setelah menerima bungkusan kain merah dari seorang laki-laki tegap. Lukman.

"Lalu, Kanjeng Dewi Prameswari?" tanya Mbah Sinom.

Satrio tersenyum mendengar pertanyaan mbah Sinom sembari meletakkan bungkusan kain merah di atas nisan Sapto Prawairo.

"Mungkin mbah Sinom lupa akan batasan-batasan yang sudah di tentukan meski kita menjalin satu tetalen." jawab Satrio pelan. Ia kemudian menatap satu persatu tiga sosok perempuan berkebaya hitam yang berdiri di depanya.

"Sampean pasti bingung dengan keberadaan Lukman di sini? Dia adalah abdi setia keluargaku sejak orang tuanya dulu. Dan untuk apa Lukman bekerja pada Suyono? Tak perlu kujawab kalian pasti tau jawabanya." ucapan Satrio kali ini di tujukan pada Laswati.

"Lukman, katakan, berita apa yang kamu bawa selain membawa lemah Jalasuto?" kali suara mbah Mungin yang memberi perintah Lukman.

Lukman yang menunduk seketika mengangkat kepalanya, di tatapnya satu persatu wajah semua yang ada di tempat itu,-

seperti ada keraguan pada dirinya untuk bercerita, namun, setelah Satrio menganggukan kepala, Lukman mulai menceritakan semua yang di ketahuinya selama berada di tempat Suntoro.

"Maafkan saya buk Laswati." ucap Lukman meminta maaf pada Laswati setelah selesai bercerita.

Gemuruh amarah Laswati mendadak memenuhi rongga dadanya mendengar cerita Lukman. Matanya tajam mendongak keatas, seolah membayangkan sesuatu.

"Tak kan kubiarkan dia melukai putriku secuilpun!" tegas Laswati penuh emosi.
Satrio mendekati Laswati yang tengah menahan amarah.

"Pilihanya hanya dua! Nyawa Suntoro atau Putrimu!" bisik Satrio dengan tersenyum.

Sejenak suasana hening ketika satu lelaki yang menyambut mereka di depan matur kepada Satrio. Setelahnya mempersilahkan semua yang ada di tempat itu untuk berpindah,-

dimana terdapat satu ruangan seperti memang di sediakan untuk acara jamuan tetamu yang datang berkunjung. Sebuah meja panjang bulat berisi banyak hidangan serta minuman sudah tersaji, dengan dua belas kursi yang berjejer mengitarinya.

Sebelum menyantap hidangan yang sudah di persilahkan, mbah Sinom menatap Satrio dengan penuh selidik, sebab di antara mereka, mbah Mungin tak terlihat setelah membawa bungkusan kain merah Lemah Jalasuto.

"Aku tau hidanganmu ini aman kami santap, tapi, aku ingin tau untuk apa Lemah Kutukan itu?" tanya mbah Sinom yang masih berdiri.

Satrio yang sekenanya ingin mengambil hidangan tetiba mengurungkan, di tatapnya mbah Sinom dengan sorot mata tajam.

"Itu bukan urusan kalian! Satu hal yang perlu kalian tau! Nyawa Wuri ada di tangan kalian!" jawabnya ketus.

"Lebih baik kita nikmati hidangan ini dan segera berangkat. Karena sebentar lagi hari akan terang." sambungnya kembali.

Mbah Sinom akhirnya duduk meski masih terlihat ragu, ada satu kejanggalan yang ia rasakan dengan tak ikutnya mbah Mungin duduk bersama. Tapi setelah mendengar ucapan Satrio terpaksa ia bungkam, sebab ia dan kedua saudarinya merasa sebagai tamu yang wajib menghormati tuan rumah.

Mbah sinom yang baru saja duduk, melihat beberapa sosok perempuan kurus bertapi jarit berdiri di belakang Satrio, wajah mereka sayu dengan tatapan tanpa expresi.

Mbah Sinom menarik nafas berat sebelum tanganya meraih piring, ia tau siapa mereka dan untuk apa sosok-sosok perempuan kurus itu berdiri di belakang Satrio, untuk mengawasinya.

***

Suara adzan subuh terdengar merdu mengalun dari beberapa masjid dan mushola, menunjukan jika waktu mulai menjemput pagi. Waktu dan sebuah isyarat, yang sebagian besar orang tunggu untuk menunaikan kewajiban mereka kepada SANG PENCIPTA, sebelum memulai aktivitas dunianya.

Tapi tidak pada penghuni rumah tembok bercak putih kusam berpagar catur mengelilinginya. Cahaya lampu terlihat remang di dalam, seolah sang empunya masih terlelap dalam buaian mimpi.

Namun, beberapa saat kemudian lampu-lampu di dalam rumah menjadi terang sebelum terdengar suara jeritan perempuan dari sebuah kamar.

Sesosok laki-laki terlihat mengejang kuat dengan mata melotot, kedua tangannya mencengkram kuat kasur kapuk berlapis kain sepray halus.

Dari bibirnya keluar darah merah bercampur tanah hitam. Suara eranganya menyiratkan rasa sakit yang sepertinya luar biasa.

Di sebelahnya, seorang perempuan dalam keadaan panik hanya menangis dan menjerit menyaksikan suaminya mengalami hal mengerikan tanpa bisa berbuat apapun.

"Ada apa buk?" satu suara dari seorang remaja putra yang langsung ikut panik melihat pemandangan di kamar orang tuanya.

"Bapakmu le... Bapakmu kenapa ini, Le!" ucap sang perempuan histeris mengguncang-guncang tangan anaknya yang berdiri di sampingnya.

Sang anak hanya terdiam, bingung, matanya ngeri melihat bapaknya yang melotot serta darah keluar masih bercampur tanah hitam,

"Le cepet kamu kerumah mbakmu, beri tau dia! Cepet le!" perintahnya di sela-sela isak tangisnya.

Si anak segera keluar berlari menembus kabut pagi dengan perasaan tak menentu. Membayangkan satu kejadian tengah menimpa bapaknya, yang belum pernah ia lihat kengerianya seumur hidupnya.

Sekitar sepuluh menit ia berlari, sampailah ia pada sebuah rumah tak begitu besar dan mewah, lampu dalam yang sudah tampak terang mengisaratkan jika penghuninya sudah terbangun, bocah remaja itu menggedor-gedor pintu depan dengan keras,-

sampai beberapa tetangga kanan kiri rumah kakaknya kaget mendengar gedoran dan teriakan paniknya.

"Apa? Bapak!" ucap sang kakak terkejut setelah membuka pintu dan mendengar penuturan adiknya. Ia segera berlari ke kamar dan sebentar kemudian bergegas bersama sang adik menuju rumah bapaknya.

"Ono opo lho nduk kok adik ro bojomu buru-buru ngono?" (Ada apa lho nduk kok adik dan suamimu terlihat buru-buru begitu?)" tanya salah satu tetangga melihat kepanikan pada keluarga perempuan yang berdiri di ambang pintu melihat kepergian suami dan adik iparnya.

"Mertuoku mbah, mertuoku jare mutah-mutah geteh mbah."(Mertuaku mbah, mertuaku katanya muntah-muntah darah mbah)" jawabnya dengan wajah cemas.

"Lho... kenang opo Pak Munaji? Wingi jek katok waras ngono." (lho... kenapa pak Munaji? kemarin masih terlihat sehat gitu.) sahut sang tetangga heran.

Namun sang wanita hanya terdiam dengan pikiran yang berkecamuk tak menentu.

"Dari sinilah semua akan di mulai." ucap seorang laki-laki berperut buncit, Satrio, kepada empat orang di belakangnya.

Dari arah depannya, dua orang laki-laki dengan pakaian layaknya petani berjalan mendekat.

"Sudah beres semunya, Pak. Apa masih ada yang perlu kami kerjakan?" ucap salah satunya pada Satrio.

"Untuk sementara cukup ini dulu, terima kasih." jawab Satrio tanpa expresi.

Dua lelaki itu segera berlalu dengan membungkukkan badan setelah sebelumnya menerima sebuah amplop yang di berikan mbah Mungin. Tak ada rasa heran dari keduanya melihat lima orang dengan gaya ningrat berada di tepian hutan.

Mereka berdua sudah sering melakukan pekerjaan itu di bulan-bulan tertentu. Karena upah yang besar mereka dapatkan hanya untuk membuatkan satu atau dua buah pondok kecil.

"Garba lor akan terbuka dua hari lagi, itu artinya malam ini Wuri dan Suntoro bakal datang ke banyuwangi." ucap mbah Sinom tiba-tiba.

"Tepat sekali." sahut Satrio dengan tersenyum yang mengerti ucapan mbah Sinom.

Berbeda dengan Laswati yang terlihat bingung, perasaanya bercampur aduk, membayangkan akan apa yang bakal terjadi dua malam di dalam hutan jagad ireng ini. Karena jelas semua ini bersinggungan langsung dengan putri tunggalnya.

"Mbah Mungin, apakah semuanya sudah di siapkan?" tanya Satrio yang masih berdiri membelakangi.

"Sudah." jawab mbah Mungin singkat.

Sesudah mendengar jawaban mbah Mungin, Satrio melangkah pelan dengan di ikuti lainya melewati jalan setapak.

Membutuhkan waktu 10 menitan untuk mereka sampai di tempat lumayan luas dan bersih, namun terlihat menyeramkan dengan pohon-pohon tua tinggi menjulang mengelilingi. Hawa lembab sangat terasa hanya sedikit sinar matahari bisa menembus rimbunnya dedauan yang memayungi tempat itu.

"Rupanya kamu telah mempersiapkan semuanya dengan matang Satrio." ucap mbah Sinom mendekat kearah salah satu pondok panggung yang berada di ujung kanan.

Satrio terseyum, kemudian ia menatap mbah Mungin dan menganggukan kepalanya memberi isyarat.

Mayang dan Laswati semakin di buat penasaran dengan apa yang di lakukan mbah Mungin. Beberapa janur kuning ia ikat mengelilingi dua pondok panggung. Kain merah yang pernah mereka lihat di berikan Lukman berisi lemah ireng, tapi kini tampak merah menggumpal.

Delapan kantong kain hitam kosong, yang kemudian mbah Mungin isi dengan tanah dan bunga serta di ikat dengan sobekan janur kuning.

Kantong-kantong kain hitam yang sudah terisi, kemudian mbah Mungin ikat pada tiap-tiap pilar kayu sudut-sudut pondok dengan benang tiga warna yang di satukan.

"JENTRE JEJEK JALMO PAPAT." ucap mbah Sinom sedikit keras.

Mbah mungin hanya melirik sinis mendengar mbah sinom berucap dengan rasa kaget. Sedang Satrio terperanjat tak menyangka jika mbah Sinom tau dengan yang di lakukan mbah Mungin.

"Lukman... pasti darah lukman yang menjadi perantara ritual gila ini!" kembali mbah sinom bergumam.

Setelah mbah Mungin rampung dengan segala calon ritualnya, mereka berjalan keluar meninggalkan dua gubuk dan tempat yang kini bertambah angker.

Ada kecemasan yang Laswati rasakan, ketika ia merasa ada beberapa pasang mata yang mengawasi mereka. Sampai mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat itu, mata itu seolah mengikutinya.

Laswati baru merasakan lepas dari untaian mata itu setelah mobil Satrio bergerak meninggalakan tepian ALAS PATI JIWO.

***

"Kamu sudah siap?" tanya Suntoro pada Wuri siang itu sebelum keberangakatan mereka.

Satu tarikan nafas berat sebelum anggukan kepala menjawabnya. Wuri, dengan setelan kebaya putih tampak anggun dengan rambut di sanggul, duduk di jok belakang.

Sedang Suntoro mengemudikan mobil bersebelahan dengan mbah Lugito. Wuri yang menyandarkan kepalanya tampak begitu tegang, puluhan bayangan akan apa yang bakal terjadi sebentar lagi, membuatnya berdebar-debar.

Tanganya mengusap pelan perutnya yang telah berisi janin, Janin yang akan merubah segalanya kelak.

Tak ada percakapan berarti dalam perjalanan, Ketiganya larut dalam pikiran masing-masing.

Hingga saat mobil mewah Suntoro memasuki wilayah dimana akan mereka tinggali selama dua atau tiga hari, rasa was-was seketika menyelimuti perasaan mereka.

Cuaca semakin meredup ketika mereka memasuki sebuah jalanan berkelok seperti mengelilingi lereng hutan,-

melewati perkampungan dengan rumah-rumah yang masih jarang. Tiba di satu pertigaan, Suntoro membelokan mobilnya kekiri dan berhenti tepat di halaman sebuah rumah tua.

Rumah berdinding papan tebal bersusun rapi tanpa celah, dengan ukiran corak budaya khas terlihat di tiap-tiap sudut bubungan atap.

Wuri yang turun paling belakang merasa kagum dengan dinding depan rumah yang di penuhi lukisan tangan bergambar penari-penari wanita.

Tak hanya lukisan, patung-patung penari sebesar manusia dewasa juga Wuri lihat pada tiap-tiap sudut rumah. Sampai satu tarikan kuat membawa Wuri untuk mendekati salah patung di sudut kanan.

Bulu kuduk Wuri meremang ketika ia menatap sebuah patung wanita yang terlihat menari dengan gemulai, kedua tanganya merentang serta jari mengapit sebuah selendang.

Wuri merasa jika patung wanita tersebut seolah hidup, kepalanya yang meleng dengan mata melirik seakan tengah tersenyum pada Wuri.

"Seneng ta nduk?" satu suara lirih membuat Wuri terjingkat.

Suara dari seorang perempuan 60an berbaju biru panjang dengan tiga konde berjejer menancap di gelungan rambut yang sudah beruban. Dari bibirnya satu senyum berkharisma mengembang, membuat Wuri gugup.

"Ayo nduk mrene mlebu." (ayo nduk kesini masuk) ajaknya dengan ramah. Wuri yang masih terlihat gugup, hanya mengangguk pelan lalu mengikuti dari belakang wanita tua berpostur tubuh tinggi dengan langkah gemulai.

Wuri duduk di samping Toro yang sudah masuk lebih dulu bersama mbah Lugito, tak ada percakapan apapun, mereka hanya diam membisu membuat suasana begitu hening.

Sampai kemudian wanita tua bergaun biru yang sempat mengagetkan Wuri di depan, muncul dengan membawa nampan berisi empat gelas minuman.

"Monggo." sapa wanita berkonde tiga menawarkan setelah meletakkan nampan.

"Sudah siap ya, nduk?" ucap wanita itu beberapa saat setelah ikut duduk dengan menatap Wuri.

Wuri terlihat gugup dan bingung mendengar ucapan dari wanita yang kini duduk di hadapanya. Apalagi, mata wanita tua itu berkali-kali menatap ke perutnya.

"Toro, nanti malam garba lor akan terbuka, apa kamu sudah menyiapkan segalanya?" kali ini wanita tua itu ganti bertanya pada Suntoro yang sedikit kaget.

"Sudah ibu Dewi." jawab Toro singkat kemudian menunduk.

"Maaf Nyai Tanjung, saya merasa beberapa kekuatan yang ingin menggagalkan ritual ini sudah mulai berdatangan. Apa tidak sebaiknya kita meminta bantuan?" ucap mbah Lugito yang sedari tadi diam, mencoba memberi saran.

Wanita tua bergaun biru yang di panggil Nyai Tanjung seketika berdiri, ia menatap keluar dari jendela yang berada di samping duduknya.

"Itu yang sebenarnya aku resahkan, keadaanya berbeda dengan dulu ketika pertama Suyono datang bersama istrinya untuk menanam pancer Toro." sahut Nyai Tanjung menimpali ucapan mbah Lugito.

"Aku tau kali ini akan banyak campur tangan ajungan dan abdi dari beberapa penguasa yang ingin menggagalkan ritual ini. Tapi aku yakin jika Nyai Ratu Jebar tak akan membiarkan campur tangan dari pihak lain, meskipun itu dari keluarga Wuri sendiri!"

Kembali Nyai Tanjung menyambung ucapanya membuat Wuri yang nama dan keluarganya di sebut menjadi tegang.

"Sudahlah, kalian tenang saja, sekarang beristirahatlah, sebab nanti malam kita akan memulainya." ucap Nyai Tanjung seraya melangkah meninggalkan ruang tamu rumahnya sendiri.

Rintihan dan erangan yang memilukan dari dalam sebuah kamar terdengar menyayat, tubuh Munaji semakin kurus kering, matanya kini tampak celong kedalam, wajahnya menciut seoalah tak ada lagi daging yang menempel, seperti tengkorak terbalut kulit.

Tapi satu yang semakin membuat miris dan ngeri, perut Munaji semakin membusung buncit dengan kulit menghitam.

Tak banyak yang bisa dilakukan Sudiro dan mbah Lenggono untuk menolong, berkali-kali mereka mencoba tapi, tak ada satupun usaha mereka yang bisa meringankan penderitaan Munaji.

"Berkemaslah, malam nanti pindahkan bapakmu kerumahmu." ucap mbah Lenggono memberi perintah pada Mardani.

Mardani tampak bingung dengan ucapan mbah Lenggono, Namun, setelah mendengar penuturan panjang lebar dari mbah Lenggono, pucatlah wajah Mardani.

"Apa masih ada harapan untuk kang Munaji, mbah?" tanya Diro dingin.
Mbah Lenggono hanya menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, tak perlu kita membuang waktu di sini." ucap Diro kembali.

"Setidaknya dengan cara ini bisa sedikit memperpanjang nafas mereka, terutama keluarganya. Setelah memindahkan Munaji, kita langsung berangkat ke tempat nyi Anggar." sahut mbah Lenggono pelan.

Diro menarik nafas panjang, matanya menatap nanar kelangit yang mulai gelap. Bagaimanapun, Munaji sudah banyak berjasa padanya. Meski di sisi lain, Diro merasa jika apa yang di lakukan Toro pada Munaji tak bisa di salahkan sepenuhnya, sebab itu adalah bentuk dari balas dendam seorang anak.

Selepas maghrib, Mardani dengan di bantu beberapa kerabat dan tetangga melaksanakan apa yang di perintahkan mbah Lenggono. Satu keanehan yang di rasa mereka saat memindahkan Munaji, tubuh kurus dengan perut yang mengembung di rasa sangat berat luar biasa.

Bukan hanya itu saja, setelah di angkat hingga sepuluhan orang, ratusan bayang-bayang seolah mengikuti kemanapun Munaji di bawa. Bahkan ketika tubuh Munaji sampai dan di baringkan di rumah Mardani, seketika rumah itu berubah panas.

Sedangkan malam itu juga, setelah selesai pemindahan Munaji, Sudiro dan mbah Lenggono meninggalkan kediaman Munaji. Dengan wajah tegang Munaji mengemudikan mobil mewahnya menembus jalanan yang masih ramai, tak perduli dengan beberapa kendaraan yang harus mengalah ketika-

berpapasan dengan mobilnya. Dalam pikiranya hanya fokus untuk bisa sampai di suatu tempat, dimana di tempat itu, bakal terjadi satu tragedi dari sekian tragedi besar pada tahun-tahun itu.

***

Detik demi detik malam itu, seolah menghitung langkah kaki beberapa orang memasuki lereng hutan yang gelap. Dua obor yang menjadi penerang bagi empat sosok laki-laki dan perempuan, sedikit membantu perjalanan dengan medan jalan cukup membuat merinding.

Belum lagi rimbunya semak belukar di kanan kiri yang dalam naungan pohon-pohon tua besar bersama akar-akar panjang menggantung, memberi kesan ANGKER.

Tak ada percakapan apapun dari ke empatnya, disamping sibuk dengan keadaan jalan, mereka larut dalam pikiran masing-masing.

Wajah begitu tegang terlihat dari satu sosok perempuan muda yang hanya berkemben, ia berjalan di belakang satu sosok wanita jangkung bergaun biru panjang dengan satu obor di tangannya.

Rambutnya yang panjang di biarkan tergerai, sesekali beriap terhembus angin memperlihatkan kulit putih di lehernya yang merinding.

Sepanjang jalan wajahnya yang ayu tertunduk, perasaanya diliputi kecemasan yang luar biasa manakala puluhan,-

bahkan ratusan pasang mata seakan mengintai setiap jengkal langkah kakinya. Suasana mencekam sangat ia rasakan saat langkah mereka berhenti tepat di depan dua pohon besar tinggi menjulang. Di depanya ia merasa ada sesuatu yang tertutup sebuah pintu gerbang kokoh. Dan benar saja,-

beberapa menit setelah sosok wanita bergaun biru atau Nyi Tanjung melakukan ritual singkat, mata sosok perempuan muda atau Wuri terbelalak!

Di depanya, kini tak nampak lagi pohon-pohon tinggi, belukar dan gelap, yang ada matanya melihat sebuah jalan yang terang dengan begitu-

ramai sosok-sosok berjalan hilir mudik, sosok-sosok yang seolah tengah sibuk bekerja dengan keadaan tubuh sangat mengenaskan.
Tubuh-tubuh mereka di penuhi luka cambukan menganga di sertai darah yang mengalir, wajah mereka pucat dengan badan teramat kurus.

Satu pemandangan awal bagi Wuri sudah begitu mengerikan, membuatnya tertunduk, matanya tak kuasa menatap penderitaan dari sosok-sosok yang hanya bisa mengerang menahan sakit.

"Monggo nduk, jangan kamu lihat yang tak kamu suka, sebab akan mempengaruhi mentalmu." ucap Nyi Tanjung sembari menuntun Wuri memasuki gerbang yang sudah terbuka di ikuti Suntoro dan mbah Lugito di belakang.

Wuri tak menjawab, ia hanya mengikuti langkah Nyi Tanjung melewati sosok-sosok yang kini menyingkir dengan berbaris menatapnya penuh rasa iba.

Perasaan Wuri semakin tak menentu ketika ia akan memasuki gerbang kecil tak berpintu. Wuri melihat dua sosok meringis menahan sakit pada pundak keduanya yang tertindih batu-batu besar dengan darah mengalir.

Wajah dan mata kedua sosok yang membungkuk di kanan kiri pilar gerbang, mengiba pada Wuri, mereka seakan mengenal dan ingin mengucapkan sesuatu pada Wuri namun, sepertinya mulut mereka berdua ada yang mengunci, sehingga hanya terdengar sebuah rintihan.

Tercekat Wuri setelah melewati gerbang dengan dua sosok yang masih menyisakan tanda tanya di benaknya, ia merasa tak asing dengan tempat setelah gerbang itu, suasananya, alunan suara gamelanya, dan sosok-sosok yang berada di tempat itu.

Semuanya seolah sangat Wuri hafal saat mengembalikan memori ingatanya awal menikah dengan Suntoro.

Mereka terus melangkah ke depan tanpa menghiraukan apapun yang mereka lihat, kecuali Wuri. Hingga tiba di satu bangunan megah dengan kilauan-kilauan cahaya memantul,-

berhawa sejuk serta wangi bunga melati berpadu kasturi, begitu menentramkan siapapun yang berada di tempat mirip sebuah keraton.

Wajah Wuri merah padam ketika matanya melihat satu sosok berdiri di depan pintu pendek bertangga mengkilap,-

sosok wanita tua berkebaya compang camping dengan wajah hitam gosong memegang sebuah parang panjang.

"Ranggi" gumam Wuri lirih menahan marah.

Namun sekejab kemudian, Wuri terkesiap ketika puluhan selendang-selendang merah,-

tiba-tiba melayang dengan di iringi lantunan tembang macapat merdu namun terdengar mengerikan. Satu sosok wanita cantik berkemben dan berjari lentik yang mengapit selendang-selendang merah muncul dengan masih menyuarakan sebuah tembang.

Membuat semua yang ada di tempat itu menunduk serta menjura hormat, termasuk Wuri.

"Geteh Pengarep Jati Anom seng wes tak enteni, gawanen mrene cah ayu."

(darah pembuka Anak Penerus yang sudah saya tunggu, bawakan kesini anak cantik). ucap sosok yang tak lain Ratu jebar atau Nyi Wuning dengan lembut dan berwibawa kepada Wuri.

Dengan ragu dan takut, Wuri yang melihat anggukan kepala Nyi Tanjung sebagai isyarat, melangkah mendekat ke arah Nyi Wuning yang di atas kursi bertilam kain sutera kuning emas.

Satu dua langkah Wuri merasakan jantungnya berdegup kencang, Wajahnya menyiratkan satu kecemasan saat ia berdiri menunduk di hadapan sosok Ratu Jebar.

"Tenang saja cah ayu, setelah ini kamu akan tenang dan betah tinggal disini bersama para abdiku yang akan melayanimu sampai bocah pancer ini lahir." ucap Nyi Wuning yang langsung membuat tubuh Wuri dingin.

Wuri benar-benar ketakutan setelah mencerna ucapan Nyi Wuning, ia tak menyangka jika dirinya di jadikan wadal dan harus tinggal di tempat asing itu sampai kelahiran anaknya dan Suntoro.

Batinya seketika memberontak, ingin segera berlari meninggalkan tempat indah namun sangat menakutkan baginya. Tapi, satu bisikan halus yang biasa hadir di telinganya melarang. "Belum waktunya" membuatnya urung.

"Toro, bawalah Wuri masuk kedalam SEMOLO SUCI," perintah Nyi Wuning pada Toro.

Ia langsung bergegas menuntun Wuri memasuki satu ruangan di belakang Nyi Wuning duduk. Ruangan yang sangat bersih berkilau dan harum.

Sebuah ranjang berkelambu kain sutera putih terletak di sebelah kolam kecil dengan air yang sangat jernih, menambah satu pemandangan sebuah kamar yang sangat indah, SEMOLO SUCI.

"Ranggi, bawa Nyai Tanjung bersama abdi Toro ke Garba lor, jaga pintu itu setelah ku buka, jangan sampai Ajungan-Ajungan itu menggagalkan ritualku!" perintah Nyi Wuning pada sosok Ranggi, Nyai Tanjung dan mbah Lugito yang lantas segera berlalu.

Satu alunan tembang macapat kembali keluar dari bibir Ratu Jebar yang menandai sebuah awal salah satu kejadian besar di ALAS JAGAD IRENG.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close