Mendadak Dewi Yuna berucap, "Agaknya kau lupakan sesuatu."
"Melupakan apa..?" Tanya Jaka Indi.
"Bukankah pagi ini kita seharusnya berkeliling negeri ini, untuk memperkenalkan keadaan negeri Suralaya ini, tapi sudah siang hari begini.. malah masih duduk disini."
"Ehm... kita bisa menundanya esok hari. Hari ini aku hanya ingin bersamamu.." Ujar Jaka Indi dengan senyum menggoda.
"Sekarang dapatlah kupahami sesuatu urusan."
"Urusan apa?" Tanya Jaka indi.
"Betapapun bagusnya sesuatu makanan, bila di dalamnya tidak diberi garam, makanan itu pasti akan terasa hambar dan ada yang kurang."
"Ya, pasti hambar," tukas Jaka Indi dengan tersenyum.
"Dan wanita juga begitu," sambung Dewi Yuna.
"Mengapa bisa kau persamakan dengan wanita?" Jaka Indi merasa tidak paham.
Dengan tersenyum Dewi Yuna menjawab, "Betapa cantiknya seorang wanita, kalau tidak ada lelaki yang mencintainya dengan tulus. Hidupnya tentu akan terasa hambar."
Wajahnya yang bersemu merah itu sungguh sangat menggiurkan hati Jaka Indi.
Tiba-tiba,, terdengar suara pintu kamar diketuk seseorang. Kemudian Jaka indi berdiri dan membukakan pintu..
Tampak seorang prajurit dalam keadaan masih tergopoh, berkata..
"Maaf tuan raden.., tapi Dewi Yuna dipanggil Bunda Ratu."
Dewi Yuna bergegas mengenakan mantel hitamnya dan berkata mari Raden, temani aku," kata Dewi Yuna.
"Sebaiknya kamu pergi sendiri, mungkin ada hal yang bersifat pribadi yang akan disampaikan ibumu, kalau ibumu memintaku untuk datang. Tentu sudah disampaikannya apa yang menjadi maksudnya pada prajurit ini."
Dewi Yuna termenung sesaat,, lalu dikeluarkannya seikat buntalan kain kecil dan diletakkannya di genggaman tangan Jaka Indi.
"Ini sejumlah uang, gunakanlah kalau mas Jaka Indi mau jalan-jalan,, sambil menanti aku kembali."
Berikutnya Dewi Yuna juga memberi sebuah plakat emas yang ukurannya sedikit lebih besar dari kartu nama, yang terdapat gambar tiga kuntum bunga wijaya kusuma. "Tunjukkanlah plakat emas ini bila diperlukan, maka para pengawal dan prajurit Suralaya akan membantu Raden. plakat emas ini menunjukkan bahwa Raden adalah keluarga kerajaan." Dewi Yuna lantas mencium pipi Jaka indi dan kemudian ikut bersama prajurit pergi berlalu.
Setelah Dewi Yuna pergi berlalu, dibukanya buntalan kain yang ada di tangannya, yang ternyata berisi banyak kepingan koin logam emas dan perak.
"Ternyata di alam astral Suralaya alat pembayaran menggunakan emas dan perak." Batin Jaka indi.
Jaka Indi teringat saat masih anak-anak, ia pernah diceritakan temannya, kalau uang dikalangan makhluk astral itu berupa daun. Wkwkwk.... aya...aya...wae euy...
Kemudian Jaka Indi memperhatikan plakat emas berlambang bunga wijaya kusuma, yang ternyata ada rantai kalungnya, yang bisa dibongkar pasang. Oleh Jaka Indi plakat emas itu lalu disimpan dalam tas pinggang hitamnya.
Beberapa saat kemudian datang dayang istana yang membawakan pakaian Jaka indi yang telah dicuci bersih dan telah rapih disetrika. Setelah menjamak sholat dhuhur dan asharnya Jaka Indi lantas mengganti piyamanya dengan celana Jeans dan T-Shirt putih miliknya, hanya saja kali ini ia mengambil mantel hitam panjang dari lemari pakaian untuk dikenakan menutupi kaos t-shirtnya.
"Ada baiknya aku cari Resi Baba.." Ketika Jaka Indi telah berada diluar kamar, di tanyakanlah keberadaan Resi Baba pada para pengawal dan juga dayang-dayang yang ditemuinya, tapi tak satupun dari mereka yang tahu keberadaan Resi Baba, hanya menurut petugas yang berjaga di pintu gerbang Pavilliun Kaputran, kemungkinan Resi Baba sudah meninggalkan kerajaan Suralaya.
Jaka Indi kemudian mengarahkan langkah kakinya menuju satu-satunya taman yang ada disitu, tidak satupun peri yang berada di sana, memang peri disini hanya suka berkumpul di pagi hari dan sore hari. Kemudian dicarinya tempat terbuka yang cukup lapang, lalu Jaka indi mulai meditasi. Sebenarnya Jaka indi memang lebih suka meditasi di alam terbuka, selain udaranya lebih segar juga dapat menyerap energi alam dan energi sinar matahari lebih banyak.
Saat itu hari telah mulai senja. Jaka indi telah menyelesaikan meditasinya dan kembali ke kamarnya, tapi Dewi Yuna masih belum kembali juga. Kemudian di tanyakanlah pada prajurit yang melintas didepannya.
"Pengawal, Apakah acara pertunjukan di danau asmoro malam ini masih ada?"
"Masih ada tuan Raden.. Setiap bulan purnama pertunjukan berlangsung selama tiga hari, dan ini merupakan malam terakhir."
"Apa raden mau kami hantar kesana..?" Ucap pengawal itu.
"Ah... tidak perlu, tolong pinjamkan aku kuda unicorn yang ada saja, biar aku jalan kesana sendiri."
"Siap Raden." Berikutnya kuda unicorn putih sudah siap didepan Jaka indi. "Oh..iya... bagaimana cara mengendarainya." Tanya Jaka Indi.. teringat kalau dirinya belum pernah mengendarai kuda Unicorn.
"Bila ingin terbang perintahkan saja terbang, bila ingin jalan pelan katakan saja agar jalan pelan, ia mengerti pembicaraan tuan Raden.." Jelas pengawal tersebut.
Kemudian Jaka indi lompat keatas kuda unicorn dan duduk di atas punggungnya, lalu membisikan ke telinga kuda unicorn, bawa aku ke Danau Asmoro, jalanlah secepatnya. Kuda unicorn langsung melesat cepat terbang di udara, membawa Jaka Indi.
Jaka indi jadi teringat khodam macan putihnya Paman Hamzah, kalau Jaka Indi memerlukan sesuatu cukup dengan cara berkominikasi biasa, dan khodamnya juga bisa menjawabnya.
Namun kalau dengan kuda unicorn ini, komunikasinya hanya bisa satu arah, karena sekalipun kuda unicorn ini mengerti pembicaraan, tapi tidak bisa menjawab dan menyampaikan pembicaraan.
Tatkala tiba di Danau Asmoro, kaget dan heran Jaka indi melihat suasana ditempat itu, bukan karena keindahan danaunya, bukan pula karena ramainya pengunjung dan meriahnya suasana, ataupun banyaknya lampion dan pelita yang menerangi hampir setiap tepi danau. Melainkan karena mereka yang hadir ternyata tidak hanya dari kalangan peri, tapi banyak pula mahluk astral lain termasuk ada pula manusia seperti dirinya.
Beberapa kedai dan pedagang terlihat memenuhi hampir setiap sudut tepi danau Asmoro, ada kedai yang menjual minyak wangi, persenjataan, pakaian, alat rumah tangga , bahkan juga ada yang menjual barang antik dan rongsok.
Jaka Indi merasa suasana ini seperti suasana pasar malam. Ada sekitar delapan panggung terbuka yang cukup besar yang berdiri megah di sekitar tepi danau Asmoro dan ada delapan kedai makan dan minum yang masing-masing berada dekat dengan kedelapan panggung terbuka tersebut..
Jaka Indi memilih menghampiri kedai minum yang menghadap Panggung terbuka yang diisi oleh atraksi ketrampilan beladiri, Panggung atraksi pertunjukan beladiri merupakan panggung yang paling ramai ditonton pengunjung. Kedai minumnya juga kedai yang paling banyak diisi para tamu yang datang., kedai yang dikunjungi Jakai indi mempunya dua bagian ruang, yaitu bagian, bawah untuk umum yang sudah penuh terisi, dan loteng atas untuk mereka yang berkocek tebal dengan biaya masuk serta tarif makan dan minum yang lebih mahal. bisa duduk di atas loteng yang terbuka, dan dapat menyaksikan susana di atas panggung pertunjukan dengan lebih jelas.
Dilihatnya di kedai tersebut ada sepuluh meja dan setiap meja tersedia empat bangku, hanya tiga meja yang bangku nya terisi penuh pengunjung,, yang diisi oleh pria dari kalangan peri, sedang tujuh meja lainnya, setiap mejanya hanya diisi dengan satu orang.
Bagian terdepan duduk seorang pria yang berbadan tegap berusia tiga puluh tahunan, posturnya tinggi sekitar 190 sentimeter, mengenakan jubah panjang warna ungu, tampangnya kereng, sikapnya serius, duduk dengan tegak dan membusungkan dada, kedua tangan ditaruh di atas paha, sejak mula tidak buka suara, matanya menatap ke atas panggung, saat melihatnya Jaka Indi merasa pria ini sehirip dengan pangeran Corwin, Jaka Indi mencoba duduk di sampingnya juga seperti tidak dilihatnya sama sekali. Jaka indi mencoba tersenyum padanya, orang itu tidak mengacuhkannya, dia juga tidak ambil peduli, saat bokongnya mulai diletakkan dibangku. mendadak pria jubah ungu itu membentak dengan suara bernada dingin, "Carilah tempat lain Jangan duduk semeja denganku!"
Jaka Indi melenggong, lalu tersenyum, katanya, "Baiklah," Ia batal duduk, dan berpindah ke meja lain.
Yang duduk di meja kedua adalah seorang pemuda tampan dari kalangan peri, berpakaian sutra halus warna putih, sebilah pedang panjang diletakkan di atas meja. sebelum Jaka indi duduk di depannya, segera dia berkata dengan ketus, "Kau tak sepadan duduk denganku."
"Ooo..," Jaka Indi tanpa banyak bicara, langsung menuju ke meja ketiga.
Meja ketiga berduduk seorang peri jelita bermata sipit dari busananya yang serupa kimono jepang, sepertinya gadis itu bukan dari negeri Suralaya, berpakaian serba merah dengan motif kembang-kembang, dengan tatapan tajam dan dingin dia awasi kedatangan Jaka Indi, ia berkerut kening dengan muka ditekuk dan mulut cemberut,
Jaka Indi cukup tahu diri, segera dia menuju meja keempat.
Seorang pria berwajah seperti kera yang tampilannya sehirip dengan golongan Pangeran Abhinaya,, berbusana layaknya perwira tinggi, mendadak berucap,
"Jangan coba-coba duduk disini," katanya dengan nada mengancam.
Dengan tersenyum Jaka Indi mengurungkan niatnya duduk bersama manusia yang tubuhnya dipenuhi bulu lebat menyerupai kera.Ia melangkah menuju meja kelima.
Yang duduk di meja kelima adalah seorang pemuda berkulit coklat gelap yang cukup tampan, wajahnya dipenuhi bulu-bulu halus dan memiliki jenggot lebat yang indah, hanya saja pada kepalanya memiliki dua tanduk melingkar yang besar, layaknya tanduk domba gunung, matanya kecil tapi memiliki sorot yang tajam, Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana warna hitam sampai betisnya, tapi sorot matanya terlihat ramah dan tak acuh atas keadaan sekitar,
Saat Jaka Indi akan duduk semeja dengan pemuda bertanduk seperti domba gunung itu..
Tiba-tiba dari meja sebelah, seorang tertawa dan berkata,
"Kisanak... eh...kang mas yang bermantel hitam, silakan duduk di sini!"
[BERSAMBUNG]