Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 3) - Perang Ilmu Alas Purwo

Semantara, malam sudah meratakan wajah gelapnya ke seluruh penjuru bumi jawa timur, juga tak terlihat adanya tanda-tanda penerangan dari kerlipan bintang maupun rembulan yang biasa menghiasi,-

seakan membebaskan mendung-mendung tipis yang mulai berkumpul menambah pekatnya malam.

Namun cuaca gelap gulita, tidak menyurutkan laju kendaraan tak terlalu mewah yang membawa tiga penumpang perempuan, dengan salah satu di antaranya terlihat hanya terbaring lemah serta mata terpejam,-

dalam dekapan dan pangkuan sesosok wanita muda ayu. Sesekali wanita muda berkebaya putih mengusap dan membelai wajah pucat di atas pangkuanya, rasa nyeri dalam dadanya di tekan kuat-kuat agar air matanya tak menetes.

Semakin lama jalanan yang mereka lalui, semakin sunyi. Tanjakan yang berkelok dan memutar dengan sisi kanan kiri jurang, menunjukan jika tempat yang mereka tuju bukanlah sebuah tempat biasa.

Debur ombak laut terdengar bergemuruh ketika mobil kijang yang membawa mereka berhenti tepat di ujung jalan buntu, sedikit bersusah payah mereka membawa tubuh Laswati melewati terjalnya jalan bebatuan menanjak menuju puncak.

Hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mencapai puncak. Ya... sebuah puncak, namun bukan puncak sebuah gunung, melainkan sebuah gundukan lumayan lebar membentuk sebuah bukit di pesisir laut.


Bagian 3
PERANG ILMU ALAS PURWO

Kegelapan seketika menyelimuti langit di atas sebuah hutan, malam itu. Kawasan hutan yang terkenal angker dengan ribuan penghuni tak kasat mata. Menjadi tanda dari sebuah kejadian besar yang di awali dari awan-awan hitam,-

seakan hanya berputar mengelilingi kawasan hutan angker atau alas PURWO yang mulai ramai.

Ya... ramai oleh sesuatu yang hanya bisa di rasakan dan di lihat oleh orang-orang tertentu,-

seperti halnya oleh tiga perempuan dan dua laki-laki yang baru saja tiba di sebuah tempat dengan dua buah pondok berdiri.

Empat buah obor yang mereka ikat miring di tiang-tiang kayu penyangga pondok membuat tempat berhawa lembab sedikit terang.

Terlihat lelaki tua berblangkon dan berkebet hitam tengah menata sesuatu di tampah besar, satu cawan berisi darah merah yang mulai menggumpal, ikut melengkapi dan menjadi bagian dari sebuah ritual pembawa maut.

"Silahkan, Nyai memilih tempat." ucap seorang lelaki yang sedari datang hanya berdiri dengan perut buncitnya kepada sosok perempuan tinggi dengan kebaya batik putih berenda. Mbah Sinom.

Suasana begitu mencekam takkala lelaki tua berblangkon, mbah Mungin, membakar beberapa dupa yang di tancapkan di bawah dua pondok panggung. Sedangkan beberapa kemenyan juga ia bakar dengan alas genteng terbuat dari tanah yang berdampingan dengan setampah sajen.

Mbah Sinom yang sudah duduk di dalam pondok panggung sebelah kiri, mulai menunjukan ketegangan, matanya terpejam, keringat mulai membasahi wajahnya. Sama halnya dengan Satrio yang duduk bersila di dalam pondok panggung sebelahnya.

Tempat yang tadinya sunyi tiba-tiba berubah riuh, angin kencang datang bergulung-gulung, suara tanpa wujud mulai mendekat kearah dua pondok dengan iringan langkah ramai kaki-kaki seperti menginjak ranting ataupun daun-daun kering yang datang dari segala penjuru semak belukar di sekitar.

"Bbbllllaaarrr...." satu suara seperti benturan keras terjadi dari arah sudut tempat mbah Mungin duduk bersila.

Tampah berisikan sajen dan kemenyan arang berserakan, Mbah Mungin sendiri terpental berguling kebelakang.

"Lindungi mereka berdua!" teriak mbah Mungin pada Laswati dan Mayang untuk melindungi Mbah Sinom dan Satrio.

Laswati dan Mayang langsung mendekat dan berdiri di depan pondok panggung, sedang mbah Mungin kembali duduk bersila.

Di hadapan mereka kini puluhan pasang mata merah menyala mengintip dari celah-celah daun dari sosok-sosok berwajah hitam pekat dengan bau gosong menyengat.

Di tambah sosok-sosok bergaun putih panjang yang melayang-sembari tertawa nyaring dengan perut robek dan bolong, menimbulkan bau amis darah yang menyengat berasal dari usus mereka yang memburai.

Mbah Mungin yang masih duduk bersila tiba-tiba bangkit dan mengambil gumpalan-gumpalan darah yang kemudian di lemparkanya ke segala penjuru arah. Seketika itu juga, suara jeritan-jeritan melengking menyayat bersahutan ramai di tempat itu.

Sampai beberapa menit, suasana kembali hening bersamaan hilangnya puluhan makhluk-makhluk mengerikan yang mewujudkan diri, membuat mbah Mungin sedikit mengendurkan urat wajahnya yang menegang.

"Masuk sekarang!" ucap mbah Mungin dengan keras memberi perintah pada Satrio dan mbah Sinom.

"Jombor pati! Kewanen!" tetiba saja satu suara lantang menggema membuat mbah Mungin terkejut dan beringsut mundur.

Laswati yang masih berdiri mendadak berlari mendekat ke arah satu sosok yang baru saja muncul.

"Sanira!" bentak Laswati pada sosok perempuan berkebaya compang-camping.

Mayang dan Mbah Mungin tertegun melihat kemarahan Laswati, berbeda dengan sosok perempuan berwajah gosong yang di bentak Laswati, ia meradang mendengar nama "Sanira" di sebut keras.

"Jombor Pati bakal jadi penghantarmu malam ini Sanira! Menyempurnakan kematian suamiku!" kembali suara Laswati menggema seantero hutan, sosok yang di panggil Sanira terkejut ketika melihat Laswati memegang keris kecil berkepala naga.

"Laweyan Lenggan!" gumamnya sembari mundur.

Namun, baru saja dua langkah ia mundur, pekikan keras keluar dari mulutnya.

Sosok Sanira jatuh terduduk setelah untuk kedua kalinya ia memekik keras melolong, dari mulutnya keluar darah hitam kental.

Matanya belong menatap keatas dengan tangan meremas perutnya kuat, setelah terkena lemparan batu hijau dari mata keris milik Laswati.

"Jombor Pati! Getehmu bakal tak go raup Ranggi!" ucapnya dengan keras dan di sambut pekikan panjang melengking dari sosok ranggi, ketika Laswati menghujamkan keris kecil tepat di jantungnya.

Darah hitam dari tubuh Ranggi masih terus mengalir meski tubuhnya sudah tak bergerak dalam posisi terduduk berselonjor. Mulutnya menganga dengan mata melotot keatas, parang panjang yang biasa ia tenteng tergeletak di samping kananya.

Laswati yang masih berdiri menatap tajam pada sosok Ranggi, terpental tersambar klebatan bayangan merah yang tiba-tiba muncul, sekejap kemudian bayangan merah itu kembali menghilang bersama lenyapnya sosok Ranggi.

"Laswati!" seru Mayang terkejut melihat Laswati terpental beberapa meter kebelakang.

Dari mulut dan hidungnya keluar darah segar, meski matanya terpejam, namun jantungnya masih berdegup kencang.

***

Di sisi lain, Wuri yang terbaring di ranjang halus nan lembut mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam perutnya. Sesuatu hingga membuatnya merasakan sakit begitu mendera, sampai tubuhnya mengejang kuat dengan keringat mengucur deras.

"Tahan nduk, sebentar lagi semuanya akan berakhir." satu bisikan lembut kembali terdengar menguatkanya.

Wuri yang masih mengejang menahan sakit, tiba-tiba di kejutkan dengan suara-suara dentuman keras di luaran.

Ia sempat melirik ke arah Suntoro yang duduk dengan mata terpejam di dalam sungai kecil di samping ranjang. Telinga Wuri kali ini bukan hanya mendengar suara dentuman, tapi pekikkan dan jeritan yang ramai bersahutan memekakkan telinga membuat Wuri penuh tanda tanya.

"Sekarang bangun nduk! Ikat kuat perutmu dengan kain kendit! Segera keluar dari tempat ini!" lagi-lagi suara bisikan itu memberi perintah pada Wuri.
Wuri yang masih tampak ragu, mengeluarkan sebuah kain kendit yang ia selipkan pada kain kembenya.

Begitu melihat kain sutera, Wuri teringat suara bisikan yang kini ia tau siapa pemiliknya. Segera ia mengenakan kain kendit pemberian dari sesosok yang telah ia anggap ibunya sendiri, Nyi Ageng Lengi.

"Cepat keluar nduk!" satu suara yang kini bukan lagi bisikan, namun satu perintah tegas membuat Wuri seperti tersengat listrik.

Wuri segera berlari keluar dari kamar tanpa menghiraukan Suntoro yang masih duduk berendam dengan mata terpejam. Namun beberapa langkah kemudian, Wuri menghentikan langkahnya,-

matanya terbelalak melihat ke depan, di tanah lapang depan bangunan seperti keraton, banyak tubuh-tubuh berlumuran darah, bahkan terpotong tergeletak berserakan.

Beberapa sosok masih terlihat berdiri berhadapan dengan penuh amarah. Sosok-sosok yang kesemuanya Wuri kenal atau sekedar tau saling menatap sinis.

Wuri terlihat bingung, wajahnya pucat dengan tubuh kaku mematung. Sampai satu klebatan yang membuatnya terkejut, tiba-tiba berdiri di hadapanya. Sosok anggun berwibawa seolah-olah baru saja keluar dari dalam perutnya,-

sosok yang membuat wuri senang namun juga bergidik ngeri dengan bawaan di tangan kanannya, sebuah kepala berambut panjang serta mata hitam melotot.

"Kanjeng Ibu" gumam Wuri pada sosok di hadapanya.

"Pergilah Cah Ayu, bawa ini dan kuburkan baik-baik." sahut sosok Nyi Ageng Lengi seraya mengulurkan sebuah kantong kain merah dengan tangan kirinya, sedang tangan kananya masih mencengkram kepala tanpa badan.

Dengan gugup dan gemetar, Wuri menerima serta mengenggam kantong merah yang entah apa isinya. Sejenak di tatapnya satu persatu wajah-wajah sosok yang masih berdiri penuh ketegangan, sebelum satu suara mengagetkanya.

"Sekarang pergilah nduk, larilah sekuatmu, jangan sekali-kali kamu menoleh kebelakang sebelum keluar dari gerbang. Cepat!" ucap tegas Nyi Lengi memberi perintah pada Wuri.

Seperti ada satu dorongan kuat membuat kaki Wuri terasa ringan berlari, ia menembus klebatan bayangan yang mengerumuni sepanjang jalan di depanya, seakan ingin mencekalnya. Semakin membuatnya ngeri dengan suara syair tembang macapat jawa nyaring mengiringi lalu di susul jeritan-

jeritan memekik membuat air mata Wuri mengalir. Ingin rasanya ia menoleh kebelakang, memastikan sosok sosok yang membelanya tengah berhadapan dengan maut, namun, pesan dari Nyi Lengi yang sudah ia anggap ibunya sendiri membuatnya harus menekan kuat-kuat keinginan itu.

Satu gerbang kecil telah ia lalui, masih terpampang jalan panjang terhampar menuju gerbang utama. Ratusan bahkan ribuan bayangan Wuri rasakan seolah mengikutinya berlari,-

di tambah suara-suara memanggil namanya bersahutan seperti terus memintanya untuk berhenti, namun kaki Wuri seakan enggan untuk memperlambat atau berhenti.

Gapura tinggi dan lebar bertuliskan huruf aksara jawa sebagai gerbang utama keraton utara, sudah tampak di depan Wuri. Tinggal beberapa meter lagi Wuri keluar, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.

Wuri terdiam dengan wajah pucat di penuhi keringat, saat ia di hadang beberapa sosok, dua diantaranya sosok orang yang ia sayangi.

"Bapak, ibuk." gumamnya.

"Kembalilah nduk... kembali. Kamu mau meninggalkan bapak sama ibu? apa kamu tak mau lagi hidup bersama bapak sama ibu? Kembalilah nduk, ini sudah jadi takdir kita." ucap satu sosok perempuan mirip dengan Laswati.

Tak serta merta Wuri menuruti semua ucapan dan perintah sosok mirip ibunya, ada keraguan menyeruak ketika Wuri melihat satu senyum tepatnya seringaian yang tak pernah ia lihat pada diri ibunya. Apalagi sosok Wardoyo, bapaknya, hanya terdiam dengan tatapan kosong seperti raga tanpa sukma.

"Jangan kamu hiraukan Nduk, cepat keluar!" bisikan keras ditelinganya membuat Wuri tersadar.

Dengan tekad kuat kembali ia berlari menerobos sosok-sosok yang seketika berubah menjadi makhluk mengerikan.

Hampa, saat Wuri menabrak wujud sosok wanita tua dengan wajah hancur dan beberapa sosok laki-laki bertelanjang dada tak bermata, seakan ia menabrak angin.

Tawa keras dari sosok tua renta berwajah hancur berlendir membuat Wuri merinding ngeri,-

ia melayang mengikuti Wuri yang seolah kini merasa berat untuk berlari. Padahal, gerbang utama tinggal beberapa meter, tapi Wuri merasa sangat jauh dan sulit untuk bisa sampai.

Keringat Wuri masih terus mengalir, ketakutan akan sosok yang masih tertawa dan melayang di atas kepala membuat tulang-tulang di tubuhnya terasa lemah. Hampir saja Wuri menyerah dan roboh, sebelum ia melihat satu kerlipan cahaya kemilau hijau dari luar gapura gerbang.

Cahaya yang semakin membesar membentuk gulungan kain seperti menarik tubuh Wuri.

Suara tawa kikikan nyaring seketika berubah menjadi lengkingan jerit menyayat. Dan suara itu yang terakhir Wuri dengar ketika ia tersadar sudah berada di luar gerbang.

Wuri tercekat ketika matanya melihat sekeliling, tak ada lagi tumpukan batu-batu, tak ada lagi taman, tak ada lagi bangunan indah. Yang ada dihadapanya kini semak belukar di bawah naungan pohon-pohon tua tinggi dan rimbun dengan akar-akar bergelantungan.

Sunyi, hanya suara binatang-binatang malam terdengar di telinga, membuatnya seperti linglung dan bingung.

Di saat ia kebingungan mencari-cari jalan untuk keluar dari tempat itu, Wuri di kejutkan dengan suara ringikan kuda.

Wuri tertegun, di tajamkanya pendengaran yang kemudian membuatnya terhenyak. Saat telinganya mendengar suara ringikan kuda semakin jelas dari arah samping kanan mendekat ke arahnya.

Wajah Wuri menegang dan pucat, sesosok wanita cantik berambut panjang berbalut kain sebatas dada tersenyum sinis. Tercekam hati Wuri bukan karena mendengar suara tawa dari sosok itu,-

melainkan dari satu tatapan Wuri ke tubuh sosok dengan wajah yang kini tertutup separu oleh rambut panjangnya. Tubuh berbulu hitam memanjang kebelakang dengan empat kaki serta ekor panjang di belakangnya.

Gemetar tubuh Wuri saat sosok itu mendekat, kakinya berat untuk ia ayunkan meski sekedar selangkah mundur, membuatnya berpasrah diri.

Tinggal beberapa langkah lagi untuk sosok perempuan bertubuh kuda itu sampai pada Wuri, tiba-tiba saja ia berhenti, seperti ada sesuatu menghalanginya. Terlihat dari tatapan matanya yang menajam di barengi dengusan kuat dari hidungnya, menandakan satu kemarahan.

Wuri yang sudah dalam keadaan ketakutan luar biasa, merasakan tubuhnya hangat memanas, sampai beberapa detik kemudian, ia merasa tubuhnya seperti diseret sesuatu, tepatnya lengan tangan bawahnya seperti di cengkram kuat.

Wuri tak bisa lagi berpikir, ia hanya menuruti satu tarikan begitu kuat untuk menjauh dari sosok bertubuh kuda yang mengejar di belakang dengan suara ringikan-ringikan persis sebuah jerit kemarahan.

"Glebbuukk"

Satu sentakan melemparkan tubuh Wuri, ia tersungkur dengan posisi kedua kaki dan tangan menumpu ketanah, membuanya meringis menahan ngilu di kedua lututnya.

"Wuri!" suara keras menyebut namanya membuat Wuri terperanjat.

"Mbah Mayang!" sahut Wuri sedikit tak percaya ketika di lihatnya Mayang berjalan mendekatinya. Empat buah obor yang masih menyala terang membuat penglihatanya cukup jelas.

Mayang memeluk tubuh Wuri begitu erat, Wuri menangis sejadi-jadinya, ia benar-benar menumpahkan semua beban dan ketakutanya dalam dekapan Mayang. Sampai beberapa saat kemudian raungan tangis Wuri berganti isakan, perlahan Mayang melepas pelukan Wuri sembari mengusap air matanya.

"Sudah nduk, yang penting kamu sudah selamat." ucap Mayang menenangkan.

Baru saja Mayang selesai bicara, mereka di kejutkan dengan suara gemeratak yang di akhiri dentuman keras tiga kali. Seketika itu juga terlihat mbah Mungin yang tengah duduk bersila berguling-guling dengan mengerang.

Tak jauh berbeda keadaanya dengan mbah Sinom juga Satrio, mereka berdua terpental dan jatuh dari dalam pondok. Dari mulut ketiganya keluar darah segar, bahkan mbah Mungin dan mbah Sinom lebih parah, tubuh keduanya membiru kehitaman.

Wuri segera menyusul Mayang yang lebih dulu mendekati mbah Sinom, ngilu rasanya hati Wuri melihat kondisi mbah Sinom. Terbayang dimatanya saat sosok mbah Sinom ada dalam deretan sosok-sosok berwajah tegang, dalam keadaan menantang maut di halaman keraton Ratu Jebar.

Kesedihan Wuri terhenti sejenak, ketika tiupan angin dingin sedikit kencang sesaat mengejutkan mereka, lalu setelahnya terdengar suara gemerincing dari sebuah kereta kencana yang di tarik empat ekor kuda dengan satu sosok duduk di dalamnya.

Sosok perempuan cantik bergaun hijau, harum wangi kasturi bercampur melati merebak seketika, saat sosok bermahkota dengan berlian di tengahnya turun melangkah penuh wibawa.

"Ratu Agung." gumam Satrio saat melihat sosok yang baru datang, dari tempat ia berdiri dan tengah memeriksa keadaan mbah Mungin.

Mayang dan Wuri segera menjura hormat ketika tau siapa sosok yang tengah melangkah pelan ke arah mereka.

"Biarkan sukma Sinom bersamaku, raganya kelak kuburkan di samping romonya. Sedangkan Laswati bawa ke Puncak Suroloyo. Aku akan menunggu di sana." ucap sosok itu setelah melihat keadaan mbah Sinom.

"Baik kanjeng Ratu." sahut Mayang lirih menahan kesedihan mendengar Mbah Sinom sudah meninggal.

"Nduk, apa yang di wasiatkan Lengi padamu, harus kamu lakukan juga di puncak bersama ibumu." Wuri yang mendengar ucapan sosok kanjeng ratu mengangguk,-

ia baru ingat sesuatu yang di berikan Nyi Lengi padanya, sebuah kantong kain merah.

"Kalian semua keluarlah melalui pintu selatan, sebab Dewi Pambayun bersama ewang jaran betorokolo menunggu kalian di pintu utara." ucap kembali sosok kanjeng Ratu memberi pesan.

"Aku tau Dewi Prameswari tak akan menjemput abdinya di tempat ini. Segeralah kalian keluar sebelum tempat ini ramai kembali." kali ini ucapan sosok kanjeng Ratu di tujukan pada Satrio yang menunduk dan menganggukan kepala.

Setelah kepergian sosok Kanjeng Ratu, Wuri, Mayang dan Satrio tampak sibuk membawa tiga tubuh tak berdaya milik Laswati, Mbah Sinom dan Mbah Mungin.

Satrio mengemudikan mobilnya kencang menembus malam yang hampir subuh dengan memutar sesuai pesan dari sosok Kanjeng Ratu. Nampak guratan rasa lelah di wajahnya setelah dua hari dua malam mempertaruhkan nyawa demi satu kata, balas dendam!

Sementara Wuri kembali terisak melihat keadaan ibunya yang terluka tak sadarkan diri. Di tambah ia juga harus kehilangan satu orang pelindungnya, yaitu Mbah Sinom. Setelah menjadi salah satu dari sekian banyak korban yang kasap maupun tak kasap mata demi menyelamatkanya.

***

"Bawalah anak ini keluar dari sini, dia akan menjadi pengganti Ranggi untukku." ucap satu sosok berkemben dan berselendang merah dengan wajah geram.

"Baik Gusti Ratu." jawab satu sosok perempuan jangkung bergaun biru panjang.

"Urusan mayat ini aku sendiri yang akan menghaturkan. Sekarang pergilah sebelum hari terang." sambungnya kembali dengan melihat satu sosok tua yang terbujur dengan tubuh membiru, dari mulut, hidung dan telinganya mengeluarkan darah yang sudah mengental hitam.

Sosok wanita jangkung bergaun biru kemudian membopong tubuh seorang laki-laki muda bertelanjang dada. Aneh, ia membopong dengan begitu ringan, seakan apa yang ada di pundaknya tak berbeban.

Ia melangkah cepat menyusuri sebuah jalan dengan pemandangan kanan kiri bangunan hancur berantakan, layaknya sebuah tempat seperti bekas atau baru tertimpa bencana alam, tak ada lagi keindahan, keramaian, yang terlihat seperti awal ia masuk.

Sesampainya ia di luar gerbang, yang juga separuh bangunanya hancur, ia menghentikan langkahnya sejenak, matanya terpejam dengan mulut berkomat kamit sampai beberapa detik.

Kemudian ia menoleh sebentar, dan secara tiba-tiba ia berlari kencang menembus rerimbunan. Seakan berkejaran dengan suara gemuruh bergulung menggelegar di belakangnya, membuat tubuhnya merinding ngeri, sebab ia tau bahwa itu adalah wujud kemarahan dari junjunganya RATU JEBAR.

"Kurang ajar! Rupanya ada campur tangan penguasa selatan!" ucap satu sosok wanita tua bergaun hitam dombor, Nyi Anggar.

"Maksud Nyai?" tanya Sudiro pada Nyi Anggar yang sedang mendengus menahan amarah.

"Betorokolo tak bisa mengambil pancer bocah Rogoh Nyowo. Rahimnya di lindungi abdi dalem penguasa selatan." sahutnya geram.

"Dan satu lagi! Rupanya mereka bersekutu dengan Dewi Ayu Prameswari penguasa daratan timur." sambungnya lagi.

Sudiro begitu gusar mendengar semua ucapan Nyi Anggar. Berbeda dengan sosok lelaki tua di dekatnya, keningnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Kalau seperti itu kejadianya, berarti Suntoro gagal mendapatkan 'RogohNyowo'. Kemudian dia akan menjadi abdi atau Serco Ranggi Ratu jebar selamanya." terang mbah Lenggono dengan menatap Sudiro.

"Maksudmu mbah?" tanya Diro tak mengerti.

"Itu artinya mas Diro adalah trah terakhir dari keluarga Suyono." sahut mbah Lenggono memperjelas perkataan awalnya.

Sudiro yang awal sempat bingung, kini tersenyum sembari menganggukan kepala tanda ia sudah mengerti dengan semua ucapan mbah Lenggono.

"Maaf Nyi Anggar, saya yang kini sebagai trah terakhir keluarga Suyono pemilik dari Rogoh Nyowo, apakah bisa menggantikan adikku yang sudah gagal?" tanya Diro antusias.

Namun Nyi Anggar terlihat ragu, ia menatap langit-langit rumah pondoknya sebelum menjawab pertanyaan Diro.

"Hanya pancer yang sudah tertanam di keraton utara bisa menjadi penerus 'RogohNyowo'. Untuk urusan pengganti belum pernah kudengar." jawab Nyi Anggar yang seketika membuat wajah Diro berubah.

Sudiro menarik nafas panjang, ia merasa harapan untuk mendapatkan satu ilmu yang ia inginkan sedari dulu pupus.

Tapi Diro sedikit menyeringai takkala ia ingat, bahwa semua yang di miliki keluarga besar Suyono kini jelas menjadi miliknya, sebab ia kini adalah sang pewaris tunggal.

"Lalu bagaimana untuk langkah saya selanjutnya Nyai?" tanya Diro.

"Lakukan upacara persembahan pertamamu secepatnya. Baru kamu bisa menyatukan serco betorokolo." jawab Nyi Anggar tegas.

Diro terhenyak sesaat, ia harus berpikir keras untuk mendapatkan GETEH PANGKEP yang menjadi syarat utama untuk tujuannya. Sedangkan orang yang biasa menjadi andalannya, sudah tak mungkin lagi bisa membantunya.

"Satu lagi, apa kamu sudah punya calon abdi untuk sang Ratu?" sambung Nyi Anggar bertanya dan di jawab gelengan kepala oleh Diro.

"Jangan sampai semua gagal! Lekaslah kamu laksanakan semua persyaratan yang telah kamu sanggupi." Nyi Anggar dengan tegas memperingatkan Sudiro.

"Baik Nyai. Secepat mungkin aku akan menikah." jawab Diro meyakinkan.

Menikah, mungkin kata itu sangat riskan bagi Sudiro yang hampir tak pernah ada dalam pikiran dan benaknya.

Meskipun umur, wajah dan harta yang ia miliki lebih dari cukup, namun ia seperti enggan dengan satu hal itu. Tapi kini ia terpaksa harus menjalaninya, sebab itu menjadi satu syarat utama perjanjianya dengan Ratu Pambayun, agar ia bisa menumbalkan istrinya untuk mnjadi abdi sang Ratu.

***

Suasana dirumah Mardani.

"Aaaakkkhhhh...." Suara jeritan dari dapur rumah Mardani mengejutkan beberapa orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu.

Lagi-lagi Tini, istri dari Mardani tergeletak pingsan di luar pintu dapur. Mardani dengan di bantu beberapa orang yang akan mengangkat tubuh Tini, tiba-tiba beringsut mundur ketika melihat satu sosok berdiri membelakangi mereka.

Sosok laki-laki yang hanya mengenakan sarung kotak-kotak tanpa baju, dengan kulit tubuh keriput menampakkan guratan tulang dan otot seakan tak ada lagi daging yang menempel.

Mardani dan beberapa orang terbelalak kaget ketika sosok itu membalikan badan, wajah mereka pucat, melihat sosok yang beberapa hari terbaring sekarat, kini berdiri dihadapan mereka.

"Bapak" gumam Mardani pada sosok di depanya.

Sosok yang ternyata Munaji, menyeringai mendengar gumaman Mardani. Tak ada sahutan, hanya matanya yang berubah hitam menatap tajam.

Mardani yang mulai di liputi ketakutan menarik tubuh istrinya menjauh dari sosok Bapaknya,-

membuat sosok Munaji mengerang marah dan melompat sampai beberapa orang berlarian menjauh.

"Pak tolong, jangan pak. Saya Mardani pak." ucap Mardani memohon ketika Sosok Munaji begitu cepat mencengkram lehernya dengan kuat.

Namun usahanya sia-sia, Sosok Munaji bertambah beringas mencekik leher Mardani sampai membuat nafasnya mulai tersengal-sengal.

"Bbuugg" satu hantaman keras di samping perut Munaji yang buncit dan hitam, membuatnya terjungkal ke samping dan melepas cekikan di leher Mardani.

Pukulan dari sepotong bambu kuning yang di hantamkan oleh seorang laki-laki tua, berambut dan berjenggot putih dengan kopiah hitam lusuh.

"Bawa masuk Tini cepat!" ucap lelaki tua dengan mata menatap tubuh Munaji yang tengah berusaha bangkit.

Dengan panik Mardani segera membopong tubuh istrinya lalu membaringkan di kamar.

"Ada apa ini Mar?" tanya seorang wanita yang baru masuk merasa heran melihat Mardani membopong Tini.

"Bapak buk... bapak di belakang buk lagi ngamuk kayak kesurupan." jawab Mardani sedikit gugup pada sosok wanita yang baru masuk, ibunya.

Ibu mardani terkejut seperti tak percaya, ia segera melangkah terburu ke belakang rumah.
Tubuhnya mendadak bergetar ketika baru sampai, saat matanya melihat sosok Munaji, suaminya berhadap-hadapan dengan lelaki tua yang memegang bambu kuning runcing sepanjang satu meteran.

"Jangan di dekati! Dia bukan Munaji. Dia iblis yang menguasai raganya!" larang lelaki tua pada istri Munaji yang ingin menghampiri tempat dimana Munaji berdiri dengan sorot mata hitam tajam.

"Kang Munaji......." Belum sempat istri Munaji meneruskan kata-katanya, ia menarik mundur tubuhnya, saat secara tiba-tiba Munaji melompat hendak menghantam lelaki tua di hadapanya.

Sang lelaki tua yang sudah siap, berkali-kali menghantamkan bambu kuning di tangan kanannya membuat tubuh Munaji roboh berguling-guling seraya menjerit. Dari mulutnya mengalir darah hitam,-

tubuh kurus dengan perut membuncit tak wajar terlihat memar merah bergaris, bekas hantaman bambu kuning dari lelaki tua berkopiah hitam.

"Pergilah iblis laknat! Pulanglah pada tuanmu, jangan ganggu mereka." bentak lelaki tua pada sosok munaji.

Namun bukan jawaban atau ucapan yang di dapatkan si lelaki tua, tapi tawa keras menggema dari sosok Munaji yang sudah berdiri kembali.

Semua yang melihat kejadian malam itu dirumah Munaji mulai di liputi kengerian. Rasa takut tampak begitu jelas dari wajah-wajah yang mulai pucat, tak terkecuali istri Munaji sendiri.

"Heemmggg... Jangan mencampuri urusanku tua bangka! Jika tidak ingin kehilangan nyawamu yang hanya selembar." gertak Sosok Munaji yang di dahului geraman amarah.

Sang lelaki tua hanya sinis menanggapi ancaman sosok Munaji, tanganya memegang erat pangkal bambu kuning, dengan mata tak berkedip mengawasi sosok Munaji yang terlihat seperti tengah membaca sesuatu.

Sesuatu yang tiba-tiba merubah suasana dirumah Mardani, Sesuatu yang membuat semua orang dirumah itu ketakutan luar biasa.

Bagaimana tidak, setelah sosok Munaji selesai membaca sesuatu, mendadak tempat itu berubah gerah, layaknya berada di ruangan tertutup.

Tak hanya itu, seketika juga muncul sosok-sosok pocong bermata bolong dengan wajah hitam gosong. Sosok pocong-pocong itu melayang mengitari rumah Mardani, dibarengi bau anyir menyeruak pekat bersumber dari lendir-lendir yang menetes dari mulut pocong-pocong itu.

Wajah lelaki tua tampak begitu menegang, bibirnya terkatup rapat, keringat mulai keluar dari lubang pori-pori kulitnya yang sudah keriput. Kakinya mundur beberapa langkah, bukan karena takut dengan sosok pocong-pocong yang masih melayang, tapi pada satu sosok yang baru saja muncul.

Sosok bertubuh dan bermata merah nyalang, dengan kuku-kuku di jari tanganya yang panjang, terlihat mengkilap berwarna putih, selaras kengerianya bersama dua taring dari dua sudut bibir memanjang kebawah.

"SENCOKOLO." gumam lelaki tua itu gemetar.

Beberapa orang termasuk Mardani dan ibunya, yang juga melihat dan menyaksikan kemunculan sosok Sencokolo terdiam kaku, tubuh mereka dingin seperti tak teraliri darah.

Belum hilang ketakutan dan kengerian yang di rasakan oleh seluruh orang di rumah Mardani, kini mereka kembali di kejutkan dengan bola-bola api yang beterbangan dan jatuh di halaman belakang rumah Mardani. Bola-bola api yang jumlahnya puluhan itu, saat terjatuh pecah membuyar,-

membentuk wujud makhluk-makhluk yang mirip dengan sosok Sencokolo.

Malam kelam penuh kengerian, belum sedikitpun terlewati oleh Mardani dan beberapa orang yang ada dirumahnya. Bahkan kini keadaan semakin bertambah menakutkan dengan kemunculan puluhan makhluk Jurig yang datang dari bola-bola api.

Meskipun satu sosok lelaki tua dengan bambu kuning di tangan kanannya masih berdiri tegak, tapi keberaniannya mulai menciut saat tau jika ia tengah berhadapan dengan satu sosok yang ganas, SENCOKOLO.

Sang lelaki tua tampak tetap nekat dengan sisa keberaniannya, tapi itu tak cukup untuk melawan Sencokolo meski ia bersenjatakan sebuah bambu bertuah.

Berkali-kali ia mundur sambil memukulkan bambu kuning pada tubuh Sencokolo yang mendekatinya, namun hantamanya tak berpengaruh apa-apa, bambu kuning yang ia pukulkan seakan menghantam angin hampa.

Bahkan, satu lenguhan kaget keluar dari mulutnya saat ia merasakan hawa panas dari tanganya, sampai bambu kuning yang ia pegang kuat di tangan kananya terlepas disertai jeritan kecil.

Lelaki tua itu memandangi telapak tanganya yang menghitam melepuh dengan meringis menahan pedih, ketegangan yang memucat di wajahnya menunjukan pengakuan jika dirinya tak mampu melawan sosok iblis, Sencokolo.

Selagi ia terfokus pada sosok Sencokolo yang telah membuat tanganya terbakar, satu jeritan mengagetkanya. Lolongan jerit menyayat sekali lagi melengking keluar dari istri Munaji,-

wajahnya pucat terbasahi keringat, nafasnya tersengal-sengal dengan kedua tangan mendekap perutnya yang robek terbelah.

Mardani cuma bisa melihat dan berteriak, ia tak berani membantu ibunya ketika tangan bapaknya sendiri yang merobek-robek perut ibunya. Apalagi ia tau jika di dalam raga bapaknya, bukan lagi asli sukma bapaknya yang bersemayam, melainkan sosok iblis mengerikan.

Belum lagi puluhan sosok Jurig yang mengitari sosok bapaknya, seperti sengaja menjadi pelindung saat sosok bapaknya mencelakai ibunya.

Belum hilang kengerian saat melihat ibunya mati dalam keadaan mengenaskan dengan usus terburai keluar, kini Mardani kembali melihat satu kejadian yang sama mengerikanya. Sosok bapaknya tiba-tiba saja beringsut mundur tiga langkahan dari mayat ibunya,-

tangannya melemparkan usus milik ibunya yang di tarik keluar sampai putus. Tak hanya itu, sekejap mata kemudian tanganya yang masih berlumuran darah, merobek perutnya sendiri. Teriakan keras membahana saat perut buncit hitamnya terbelah mengeluarkan darah hitam berbau busuk menyengat.

Mardani benar-benar tercekat, begitu juga dengan yang lainya. Tak ada yang mampu mencegah tangan Munaji ketika merobek-robek perutnya sendiri dan mengeluarkan isinya, sampai akhirnya raungan keras menyayat dengan bola mata melotot menjadi pemandangan terakhir Mardani sebelum tubuh kurus Munaji roboh dengan kondisi sama persis dengan istrinya.

Sesaat suasana menjadi hening, tak ada lagi sosok pocong, jurig maupun sosok Sencokolo. Hanya suara isakan Mardani yang bersimpuh tertunduk, seakan tak percaya setelah menyaksikan kejadian mengerikan yang mengakibatkan Bapak Ibunya terkapar tak bernyawa dengan kondisi yang sama.

Sedangkan kerabat dan tetangga yang ikut menyaksikan masih begitu syok, mereka masih terdiam membisu dengan perasaan trauma dan ketakutan yang mendalam.

Sampai malam yang terus merangkak bersama kegelapan masih menyelimuti, suasana di rumah Mardani semakin ramai. Bukan hanya rasa ngeri dan takut saat membantu mengurus mayat Munaji dan istrinya,-

para tetangga dan keluarga yang baru datang juga begitu miris dengan kondisi Tini, istri Mardani, yang tiba-tiba saja bangun dari pingsanya dalam keadaan kewarasan atau jiwanya terganggu.

Tak jauh beda dengan Mardani sendiri yang begitu syok, ia nampak seperti orang linglung, terduduk diam dan sesekali menangis.

"Mbah Zakaria, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya seorang kerabat Munaji pada lelaki tua yang meringis memegangi tanganya.

"Sencokolo.. Sencokolo iblis dari gunung kawi." sahut lelaki tua yang di panggil mbah Zakaria dengan gemetar. Wajahnya pucat pasi, ia terus memandangi tangan kananya yang hitam melepuh.

"Sencokolo!" ujar kerabat Munaji terkejut mendengar nama Sencokolo yang di sebut mbah Zakaria, seakan ia tau akan keganasan salah satu pilar Gunung Kawi.

Setelah melewati waktu subuh, puluhan masyarakat mengurus jenazah Munaji beserta istrinya, sementara Mardani dan Tini yang terlihat seperti orang tak waras, terpaksa oleh kerabat mereka di ikat di dalam kamar.

Mbah Zakaria sendiri hanya pasrah dalam ketakutan, melihat tanganya yang melepuh semakin parah. Bahkan ia rela dan berniat untuk memotong tangan kanannya, karena ia tau jika luka itu akan terus menjalar keseluruh tubuh dan tak bisa di sembuhkan.

***

Tak jauh beda dengan suasana di tempat Mardani, kesedihan juga menyelimuti sebuah tempat dimana sesosok mayat terbujur dengan balutan kain kafan putih.

Tak banyak pelayat yang hadir seperti pada umumnya, hanya beberapa perumpuan dan laki-laki terlihat yang tengah memasukan sesosok mayat perempuan kedalam peti yang terbuat dari kayu pilihan.

Isak tangis dari dua sosok perempuan mewarnai proses memasukan peti kedalam lubang kubur, menghantarkan raga mbah Sinom beristirahat selamanya.

"Beristirahatlah dengan tenang mbah Simom, kini mbah bisa bertemu dengan eyang Rengko, terima kasih telah berkorban untukku" gumam Wuri lirih di hadapan kuburan Mbah Sinom,-

yang terletak persis di samping kuburan lebih tinggi milik mbah Rengko, sesuai perintah Kanjeng Ratu, junjungan waris keluarga Rengko.

Cahaya panas matahari mulai terasa menyengat takkala Wuri dan Mayang, serta beberapa orang yang ikut membantu pemakaman mbah Sinom, meninggalkan tanah kubur pribadi milik keluarga Rengko.

"Malam nanti, kita bawa ibumu ke puncak Suroloyo. Persiapkan semua bekalmu, Nduk." ucap Mayang pada Wuri seraya melangkah menuju rumah tua warisan yang di tempati Mayang.

"Baik, mbah." sahut Wuri singkat.

Sesampainya Wuri di dalam, ia langsung menuju kesatu kamar dimana tubuh lemah Laswati terbaring.

Di tatapnya dalam-dalam wajah pucat ibunya, ada rasa sesak dan nyeri merambah, saat mengingat semua pengorbanan ibunya yang sudah dua kali ini sekarat karena membelanya.

Wuri menarik nafas dalam-dalam, pikiranya menerawang jauh mengingat kembali kejadian mengerikan yang terjadi waktu lalu, sampai banyak merenggut nyawa. Meski kini ia bisa bernafas lega setelah terbebas dari pewadalan dirinya, namun ia merasa ini belum berakhir.

"Toro." gumamnya tiba-tiba, ingatanya memaksa ia membayangkan sosok suaminya yang entah bagaimana keadaanya. Terakhir ia melihat sosoknya tengah duduk bersemedi di dalam kolam kecil di kedaton Nyi Wuning. Hingga setelah Wuri selamat dan keluar, ia belum mendengar kabarnya.

Namun Wuri sedikit mengerti, tentang bagaimana nasib Toro setelah gagal menjalani ritual penerus 'ROGOHNYOWO'.

Ada raut kesedihan, saat Wuri perlahan mengusap perutnya yang telah terisi janin Suntoro, meskipun awalnya Wuri tak menghendaki, tapi kini ia bertekad untuk merawat dan membesarkanya sendiri kelak SANG GETEH PENGAREP.

***

Sementara itu, di sebuah rumah joglo lawas dengan dinding depan di penuhi lukisan-lukisan tangan gerakan para penari, tampak satu sosok perempuan jangkung sibuk sendiri. Terlihat ia sedang mempersiapkan sesuatu di samping satu sosok laki-laki muda bertelanjang dada.

Tubuh sang laki-laki muda begitu pucat seperti kapas, dadanya naik turun menandakan jika masih ada nafas dalam dirinya meskipun matanya tertutup rapat.

"Sabaro ngger. Jamasan wengi iki bakal njujugno siro marang pengayoman abadi jantrek abdi Nyi Ratu Jebar." (Sabar Nak. Jamasan malam ini akan memberimu perlindungan abadi dari hamba-Ku Nyi Ratu Jebar) ucap sosok bergaun biru, nyai Dewi Tanjung pada tubuh lemah Suntoro.

Sebuah mobil sedan hitam melaju lambat dan berbelok ke sebuah rumah mewah berlantai dua, berpagar tembok tinggi mengelilingi, dengan gerbang tak terkunci seperti sengaja terbuka.

Di sisi kiri dalam gerbang, terdapat sebuah bangunan kecil yang biasa di tempati seorang penjaga, tapi kini tampak kosong.

Sama halnya dengan suasana rumah, begitu lengang, sunyi, sampai tak satupun kegiatan atau penghuni terlihat di rumah yang berdiri di atas tanah 2 hektaran.

Seorang lelaki muda yang baru turun dari mobil, mengedarkan pandangannya di sekitaran halaman depan. Cukup lama ia mengamati sampai seorang lelaki tua yang juga menumpang di mobilnya, menepuk bahunya pelan.

"Belum ada yang berubah mbah, semua masih seperti yang dulu." gumam lelaki muda tanpa menoleh.

"Ada yang berubah mas Diro, aura dan penghuninya." jawab lelaki tua membuat Diro mengenyritkan keningnya.

"Maksudmu mbah?" tanya Diro sedikit bingung.

"Nanti kita akan lihat sendiri." sahut lelaki tua, Mbah Lenggono sambil mengangguk memberi isyarat untuk masuk.

Sama halnya dengan suasana di luar, di dalam rumah besar dengan lantai dari marmer juga terlihat sepi. Tak ada pembantu satupun yang terlihat di ruangan-ruangan besar nan mewah, hingga mereka berdua meneruskan langkah dan baru sampai di depan pintu belakang,-

mereka berdua dikagetkan dengan kemunculan seorang lelaki 40-50an. Lelaki bertubuh gempal dengan tangan terlihat membawa sebuah tampah berisi bunga-bunga dan beberapa pelengkap sesaji yang sudah mengering.

Lelaki yang juga ikut terkejut dengan kehadiran Sudiro dan mbah Lenggono nampak mundur dengan tatapan tajam menyelidik.

"Siapa kalian! Bagaimana kalian bisa masuk!" tanyanya tegas.

Diro dan mbah Lenggono sama menatap dengan senyum sinis, bahkan Diro memandangi lelaki di depanya dari kaki sampai ujung rambut, membuat si lelaki semakin bertanya-tanya.

"Berapa lama kamu jadi jongos Toro sampai tak mengenaliku!" ucap Diro sengit membalas ucapan tegas sang lelaki di depanya.

Si lelaki tampak kecut mendengar balasan ucapan sengit Diro yang dirasa seolah balik menghakiminya.

"Saya Suyuti, saya bekerja disini baru beberapa minggu. Kang Lukman yang mengajak saya." jawabnya melunak.

"Ohh pantas, saya Sudiro dan ini mbah Lenggono." jawab Diro menjelaskan yang juga memelankan nada ucapanya.

Mendengar nama Sudiro, Suyuti tertegun, otaknya langsung bekerja mengingat, sampai akhirnya kulit wajahnya menegang manakala ia ingat cerita Lukman tentang siapa Sudiro.

"Maaf Pak Sudiro, saya tidak tau kalau tengah berhadapan dengan Pak Sudiro." ucap Suyuti pelan dengan membungkukkan sedikit badannya.

"Gak apa-apa kang Suyuti. Oh ya... Untuk apa sampean bawa sajen bekas kedalam?" tanya Diro yang membuat gugup Suyuti.

"Eeeemm... ini... mau saya ganti pak." jawab Suyuti terbata-bata.

Suyuti tampak ragu untuk menjelaskan, sebab ia sedikit banyak tau tentang pergolakan antara Sudiro dan Suntoro dari Lukman.

"Jangan gugup atau takut kang, tuanmu Suntoro sudah mati. Jadi sekarang sampean pasti tau siapa yang berkuasa di sini." terang Diro seraya menepuk pelan pundak Suyuti yang terperanjat mendengar ucapan Diro.

Suyuti hanya tertunduk, ia masih belum begitu percaya dengan kabar yang dikatakan Diro tentang Toro yang sudah meninggal.

"Toro tak akan pernah kembali lagi kerumah ini kang Suyuti. Sampeyan tinggal pilih, tetap disini atau mau berhenti." kembali Diro berkata tegas sambil berlalu menuju halaman belakang, meninggalkan Suyuti yang terpaku dengan seribu tanda tanya bersliweran di benaknya.

Diro yang di ikuti mbah Lenggono menghentikan langkahnya di depan sebuah gundukan tanah, dengan sebuah nisan dari batu yang di lapisi marmer bertuliskan huruf jawa kuno.

Kepulan asap dari tiga dupa yang tampaknya baru di bakar di belakang nisan panjang sejengkal, membuat suasana tempat itu sedikit seram, apa lagi langit mulai remang memasuki waktu surup, memberi kesan Angker dengan asap bau dupa menyengat.

Mbah Lenggono yang berdiri di belakang Sudiro menajamkan matanya saat satu bayangan tertangkap pandangan matanya. Bayangan sesosok hitam kemerahan dari ujung tembok pembatas, tengah berdiri menatap ke arah Sudiro berdiri.

Ada yang aneh dari sisi penglihatan Mbah Lenggono saat sosok itu berjalan menuju sudut ujung kiri dengan menyeret sesuatu. Bunyi kemrincing seperti besi yang berbenturan dan terseret jelas terdengar ketika sosok itu melangkah, membuat rasa penasaran mbah Lenggono memuncak.

Tanpa pamit pada Sudiro yang tengah terpekur di atas makam bapaknya, mbah Lenggono melangkah mengejar sosok yang masih terlihat dari bayang remang langit dan beberapa lampu redup yang telah di nyalakan.

Setelah ia begitu dekat dengan tempat terakhir sosok itu berhenti, mbah Lenggono terdiam, sinar matanya meredup serta bibir terkatup rapat.

"Udari taliku kang... Udari taliku kang." ucap sosok didepan mbah Lenggono memelas.

Mbah Lenggono benar-benar tercekat mendengar suara dari satu sosok yang sejak kecil ia kenal. Dan kini sosok kecil dalam ingatanya berubah menjadi sosok bertubuh hitam kemerahan dengan mata celong kosong. Dari bibir, hidung dan telinganya mengeluarkan darah hitam pekat berbau sangat busuk.

Mbah Lenggono yang belum bicara apapun, tiba-tiba melihat sosok itu berjalan menyeret satu kakinya menjauh dari mbah Lenggono, sambil terus bergumam lirih sampai seketika hilang di belakang tembok sebuah bangunan kecil di ujung sudut kiri rumah Suyono.

"Ada apa mbah? Dan ini bangunan apa?" tanya diro tiba-tiba dari arah belakang.

Mbah Lenggono masih terdiam tak menjawab, matanya masih menatap dimana hilangnya satu sosok yang membuat ingatanya kembali ke masa lalu.

"Jangan masuk mas Diro!" larang mbah Lenggono pada Diro yang melewatinya mendekati bangunan dengan ruang kecil tak berpintu.

"Kenapa mbah?" tanya Diro penuh keheranan.

"Ruangan itu khusus untuk upacara persembahan SENCOKOLO. Tapi kini dia sudah tak bertuan dan..." Mbah Lenggono terdiam sebentar sebelum meneruskan kalimatnya, membuat Diro bertambah penasaran.

"Celaka! Kita harus cepat kerumah Mardani." ujar mbah Lenggono seperti mengingat sesuatu.

Tanpa membuang waktu lagi, mbah Lenggono dan Sudiro meninggalkan halaman belakang rumah keluarganya.

Langkah cepat dan buru-buru membuat Sudiro dan mbah Lenggono, tak menyadari jika satu pasang mata mengawasi dengan tajam sedari mereka berada di bangunan kecil.

Sepasang mata dari sesosok tubuh di penuhi darah serta dalam belengguan rantai-rantai hitam.

Setelah berbasa-basi dengan Suyuti, sang penjaga rumah keluarganya, Sudiro segera memacu sedan mewahnya ke sisi barat. Menuju tempat yang sudah terjadi kengerian dengan memakan dua nyawa sekaligus, Munaji dan istrinya.

***

Semantara, malam sudah meratakan wajah gelapnya ke seluruh penjuru bumi jawa timur, juga tak terlihat adanya tanda-tanda penerangan dari kerlipan bintang maupun rembulan yang biasa menghiasi, seakan membebaskan mendung-mendung tipis yang mulai berkumpul menambah pekatnya malam.

Namun cuaca gelap gulita, tidak menyurutkan laju kendaraan tak terlalu mewah yang membawa tiga penumpang perempuan, dengan salah satu di antaranya terlihat hanya terbaring lemah serta mata terpejam, dalam dekapan dan pangkuan sesosok wanita muda ayu.

Sesekali wanita muda berkebaya putih mengusap dan membelai wajah pucat di atas pangkuanya, rasa nyeri dalam dadanya di tekan kuat-kuat agar air matanya tak menetes.

Semakin lama jalanan yang mereka lalui, semakin sunyi. Tanjakan yang berkelok dan memutar dengan sisi kanan kiri jurang, menunjukan jika tempat yang mereka tuju bukanlah sebuah tempat biasa.

Debur ombak laut terdengar bergemuruh ketika mobil kijang yang membawa mereka berhenti tepat di ujung jalan buntu, sedikit bersusah payah mereka membawa tubuh Laswati melewati terjalnya jalan bebatuan menanjak menuju puncak.

Hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega setelah mencapai puncak. Ya... sebuah puncak, namun bukan puncak sebuah gunung, melainkan sebuah gundukan lumayan lebar membentuk sebuah bukit di pesisir laut.

Beberapa bekal obor yang mereka bawa dan di nyalakan membuat sedikit jelas satu tempat datar beralaskan tanah berkerikil, yang kemudian di lapisi kasur tipis bertilam kain putih bersih.

"Bapak boleh menunggu di mobil." ucap Mayang pada sang sopir setelah selesai membantu.

"Baik buk." jawabnya dengan membungkukan badan.

Setelah kepergian sang sopir, Mayang menaburkan bunga-bunga mengelilingi tubuh Laswati.

Sementara Wuri melucuti pakaian ibunya dan mengganti dengan selembar kain hijau yang di tutupkan menyeluruh layaknya menutup mayat.

Tak tanggung-tanggung, 11 dupa Mayang bakar sekaligus dan menancapkan di sisi sebelah kanan tubuh Laswati, yang seketika membuat suasana di puncak berubah mencekam.

Kepulan asap dupa menyebar tak beraturan dengan datangnya angin riuh sampai membuat nyala obor beriak, takkala Wuri dan Mayang duduk bersimpuh memejamkan mata sembari membaca sebuah lirik mantra berbahasa jawa kuno yang sulit di mengerti.

Sebuah nama gelar keagungan sesekali mereka sebut yang tersisip di beberapa bagian mantra, membuat gemuruh ombak semakin cepat dan keras terdengar.

Iringan angin riuh mewarnai datangnya wangi bunga melati beradu kasturi, bersumber dari satu sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan Mayang dan Wuri.

Angin malam yang sejatinya dingin, terasa beda takkala sosok Sang Ratu sudah berdiri di depan Wuri dan Mayang, serta menghadap tubuh membujur Laswati yang tertutup kain hijau.

Seakan kewibawaannya mempengaruhi seluruh sudut kawasan puncak yang lumayan lebar, dengan rerimbunan dan bebatuan serta jurang yang menjulang.

Sejenak Sang Ratu terpaku menatap tubuh Laswati sebelum wajahnya menengadah keatas, tak ada yang tau dengan apa yang ia lihat dan baca, hingga sesaat setelahnya, ia menyiramkan air dari kendi kecil yang di bawa satu sosok perempuan muda di belakangnya.

"Sekarang, kuburkan apa yang sudah Nyi Lengi berikan padamu Cah Ayu," ucap sosok sang Ratu ditujukan pada Wuri.

Tak ada suara jawaban yang keluar dari bibir Wuri, ia hanya menganggukan kepala pelan serta bangkit dari duduknya. Wuri melangkah perlahan dan berhenti tak jauh dari tempatnya semula.

Wuri menoleh sejenak kearah Sang Ratu sebelum satu anggukan dan senyum tipis ia lihat, seolah menjadi restu atas apa yang akan ia lakukan.

Sebuah bungkusan kain merah pemberian dari Nyi Lengi, ibu angkatnya, perlahan di bukanya.

Ada aura aneh yang Wuri rasakan ketika matanya melihat bulatan-bulatan kecil berwarna merah kehitaman, isi dari bungkusan itu. Bulatan-bulatan itu seperti Wuri rasakan berkedut, saat tanganya menyentuh salah satu untuk menguburkan di lubang yang tak terlalu lebar dan dalam.

Wuri terkejut dan beringsut mundur ketika ia meletakan bulatan lembut itu, tiba-tiba satu jeritan suara menyayat terdengar dari dalam lubang.

"Teruskan Cah Ayu, berikan kematian sempurna untuk mereka," ucap Sang Ratu seperti tau antara rasa ragu dan takut yang Wuri rasakan.

Jeritan demi jeritan yang melengking dan menyayat, Wuri dengar jelas ketika tanganya memasukan kembali bulatan-bulatan kedalam lubang sedalam lima jengkalan. Bahkan, diantara suara jeritan-jeritan itu, ada salah satu suara yang sangat ia hafal,-

suara yang dulu selalu ia dengar setiap hari, suara yang selalu berkata lembut, suara yang selalu menasehatinya untuk menjadi wanita kuat. Tapi kini, yang ia dengar dari suara itu, adalah jeritan menyayat yang seketika membuat matanya panas menahan rasa pedih dalam hatinya.

Secercah kebahagaiaan menghiasi wajah Wuri, setelah ia merampungkan tugasnya, matanya melihat satu pergerakan dari tubuh tertutup ibunya. Di susul satu suara batuk berat membarengi terbukanya mata Laswati perlahan.

"Ibu," seru Wuri yang semringah menunjukan kegembiraanya.

Cah Ayu. Tugasku telah selesai, kamu telah terbebas dari jeratan Wadal 'ROGOHNYOWO'. Tapi bukan berarti kamu telah aman.

GETEH PENGAREP yang kini ada di rahimmu, akan menjadi incaran banyak makhluk. Kelak jika kamu berhasil menyelamatkanya, akan ada seseorang tokoh besar dari golongan kalian-

yang membantunya memutus semua mata rantai Pancer 'RogohNyowo.'" terang Sang Ratu yang membuat Wuri seketika di penuhi tanda tanya.

Perlahan ia melepaskan pelukan ibunya yang baru sadar bersandar pada tubuh Mayang.

Wuri menatap dalam-dalam sosok Sang Ratu yang tersenyum, seolah tau akan kerisauan hati Wuri setelah mendengar penuturanya.

"Satu yang harus kamu tau Cah Ayu, kebahagiaanmu untuk bisa bersanding dengan lelaki manapun, tak akan lagi bisa kamu rasakan.

Karna kamu keturunan terakhir keluarga Rengko yang memegang ikatan denganku." kalimat yang baru saja di ucapkan Sang Ratu, seketika membuat tulang-tulang wuri seperti terlolosi.

"Janjiku pada Eyangmu sudah kupenuhi malam ini. Untuk itu, setelah malam ini, kamu bebas mengatur langkah hidupmu sendiri dengan tanpa pendamping. Satu pesanku! Biarkan kelak keturunanmu memilih jalan hidup mereka masing-masing!" sambung sang Ratu kembali.

"Mayang, berikan pusaka Laweyan pada Wuri sebagai simbol terakhir keluarga Rengko." seru Sang Ratu kembali yang kali ini memberi perintah pada Mayang.

Mayang yang sedari tadi terdiam mendengarkan, sembari menyangga tubuh Laswati, perlahan tanganya mengeluarkan sebilah keris terbungkus kain putih tanpa kerangka. Keris dengan kepala naga bermata batu hijau,-

yang sudah di gunakan Laswati mencapai tujuanya membalas dendam pada sosok Sanira atau abdi Ranggi, kini telah perpindah ketangan Wuri.

Laswati yang masih pucat dengan tatapan sayu, sedikit menyunggingkan senyum setelah mendengar dan melihat semuanya. Ada kelegaan yang terpancar dari sorot matanya begitu juga dengan Mayang.

Sementara Wuri, terlihat masih begitu bingung dengan semua ucapan Sang Ratu. Terlebih ketika tangannya menerima sebuah pusaka ikatan yang di terimanya dari Mayang, membuatnya semakin di penuhi rasa penasaran.

Sampai sosok Sang Ratu pergi menghilang bersama satu Embanya, Wuri masih tak bersuara. Hatinya di liputi dengan berbagai pertanyaan dengan semua ucapan Sang Ratu yang sulit di cerna dan di telaah oleh pikiranya.

Apalagi, mendengar ia menjadi pewaris terakhir satu ikatan dari trah Rengko, yang artinya dulu pernah terjadi satu ikatan perjanjian antara Eyangnya dan Sang Ratu sampai kemudian turun temurun.

Namun kenapa keluarganya hanya biasa-biasa saja? Kenapa tak seperti keluarga Suyono atau Satrio dengan segala gemerlap kekayaan yang tak terhitung? Lalu perjanjian seperti apa yang Eyangnya buat dengan Sang Ratu? ahh... Entahlah batin Wuri menyerah memikirkanya.

***

Suara gebyuran air tak lazim terdengar di salah satu rumah di tepian hutan. Rumah dengan berbagai lukisan tangan para penari, semakin lengkap dengan beberapa patung yang juga berbentuk penari-penari cantik.

Sekitar 6 obor tertancap di belakang rumah, tepatnya disebuah bangunan tanpa atap berdinding anyaman bambu. Tampak gentong besar di dalam sudut kanan dengan gayung bergagang bambu panjang, terlihat tengah di pegang oleh seorang sosok wanita tua jangkung berambut panjang sepinggang.

Ia terlihat tengah mengguyurkan air dari dalam gentong yang jernih bercampur bunga warna-warni kepada sesosok tubuh yang terbujur berbalut kain putih. Sosok lelaki muda dengan wajah seputih kapas dan mata menghitam terpejam.

Dari mulut sosok wanita yang tengah menjamas tubuh Suntoro, terdengar bait-bait mantra yang begitu panjang dan luwes dengan iringan suara gamelan. Ya... suara gamelan. Terdengar aneh, namun bukan hanya suara gamelan saja yang terdengar mistis dan menakutkan.

Di dalam halaman belakang, tepatnya di area penjamasan yang tengah di lakukan Nyi Tanjung, secara tiba-tiba muncul sosok-sosok bayangan hitam mengililingi bangunan penjamasan.

Kemudian sosok-sosok itu menari mengikuti alunan gamelan dengan memutar. Bahkan, sesekali terdengar suara sahutan dari mereka ketika suara merdu dan nyaring Nyi Tanjung yang memperdengarkan sebuah kidung mantra menyebut satu nama.

Tak cuma hanya itu, suasana bertambah menyeramkan di dalam ruang penjamasan, dimana tubuh Suntoro yang hanya di lapisi kain putih tipis, tengah di jilati puluhan sosok hitam berlidah panjang. Mata sosok-sosok itu merah dengan daun telinga teramat lebar.

Saat alunan kidung dan gamelan terdengan cepat dan lebih cepat, satu sapuan angin kencang yang hampir saja memadamkan obor-obor, membuat suasana riuh menyeramkan.

Satu klebatan bayangan tiba-tiba saja muncul dan membuat suasana seketika hening. Tak ada satupun di antara sosok-sosok yang berada di tempat itu bersuara, semuanya terdiam dan tertunduk menyambut kedatangan satu sosok wanita cantik berkemben dan berselendang merah.

"Tanjung, lepaskan ikatanya," ucap sosok berselendang merah memberi perintah pada Nyai Tanjung.

Tanpa membantah, Nyi Tanjung segera mendekat pada kepala Suntoro. Sekelip mata kemudian, tanpa aba-aba tangannya mencabut paksa beberapa helai rambut dari kepala Suntoro.

Entah apa yang Nyi Tanjung baca pada beberapa helai rambut Suntoro, ketika tiba-tiba Suntoro bergerak dan duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya yang masih seputih kapas, seketika menegang, dengan hidung mendengus kencang seperti tengah menahan satu amarah.

Sosok Suntoro kemudian menunduk sembari menjura hormat, ketika matanya menatap sosok berkemben dan berselendang merah yang berdiri di depanya dengan tatapan mata sinis bermakna.

"Lepaskan dendam mu ngger. Mari, ikutlah ketempat barumu." ucap sang ratu Jebar pada Suntoro.

Seketika angin kencang kembali mengibas tempat itu, takkala teriakan keras membahana keluar dari tenggorokan Suntoro.

***

Beralih kepada dua sosok laki-laki yang berdiri berdampingan, tengah menatap seorang lelaki muda dan wanita muda yang terduduk di halaman belakang sebuah rumah. Ada yang aneh dari mereka, tangan dan kaki terikat satu sama lain dengan saling berhadapan.

Tampak wajah keduanya pucat, namun tatapan tajam dengan badan lusuh beserta rambut yang acak-acakan. Hanya geraman terdengar dari mulut keduanya, tanpa bisa berkutik.

"Apa tak ada cara lain untuk melepaskan mereka dari wadal tumbal ini, mbah?" satu suara dari belakang, sedikit membuat kaget dua lelaki yang berdiri berdampingan.

"Cara ini saja aku belum tau apakah bisa menyelamatkan atau tidak! Sebab bukan saja balak projo yang mengikat mereka, tapi makhluk tak bertuan yang kini menguasai jiwa mereka." sahut salah satu lelaki tua tanpa menoleh.

"Maksud mbah Lenggono?" kembali satu sosok lelaki umur 50an bertanya yang kini sudah berada di samping mbah Lenggono dan Sudiro.
Mendengar pertanyaan itu, Mbah Lenggono melirik lelaki berkemeja batik lengan pendek yang juga tengah menatapnya lekat.

"Kamu akan tau sendiri nanti!" sahut mbah Lenggono yang kembali mengalihkan pandanganya kearah dua sosok suami istri, Mardani dan Tini.

"Ini sudah lewat tengah malam, cepat bawa kesini air dalam gentong tadi!" Suara tegas mbah Lenggono memberi perintah kepada lelaki atau sauadara dari Munaji.

Bergegas ia setelah mendengar perintah, yang kemudian kembali lagi setelah beberapa saat bersama tiga orang, dengan membawa sebuah gentong besar.

Gentong yang berisi air dengan campuran darah ayam hitam beserta beberapa macam bunga, mereka letakkan di dekat sosok Mardani dan Tini. Keduanya semakin meraung ketika bau amis dan wangi bunga tercium dari gentong,-

mereka meronta-ronta dan menjerit, tapi, tali-tali hitam yang mengikat mereka terlalu kuat, sehingga hanya tetesan darah keluar dari tangan dan kaki mereka yang terikat.

Suasana malam yang awalnya begitu dingin, mengingat waktu sudah larut, mendadak berubah panas dan mencekam. Raungan dan jeritan dari Mardani serta Tini kini berubah rintihan setelah kepala mereka di cengkram mbah Lenggono dengan kuat.

Sesaat kemudian, sosok berbaju batik berlengan pendek mengguyurkan air dari gentong ketubuh Mardani dan Tini, yang seketika melolong sembari melotot dan mendongakkan kepalanya keatas.

Namun suara mereka lirih karena kepala mereka masih dalam cengkraman tangan Mbah Lenggono yang kuat sembari melafatkan bait mantra jawa kuno.

Sejenak suasana hening ketika mbah Lenggono mengisyaratkan untuk menghentikan menyiram tubuh keduanya, sama halnya ia mengendurkan cengkramanya sebelum tiba-tiba ...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close