Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK TERATAI PUTIH (Part 43) - Sumirah dan Fatimah


SUMIRAH dan FATIMAH

"Jika kau ingin istrimu kembali, temui aku di Rawa Ireng! Kang Mas Anggara!"

Setelah mengucap kata-kata terakhirnya, kepala ular raksasa jelmaan Sumirah menyelam sepenuhnya ke dalam sungai dan akhirnya menghilang.

Meninggalkan Anggara yang linglung, bingung antara sedih, kecewa dan marah. Dirinya merasa dibodohi oleh Sumirah sekaligus merasa menjadi suami dan ayah yang gagal.

"Cepat ambil sorban itu dan kejar Sumirah! Sebelum nyawa istrimu dan calon anakmu menjadi tumbal keserakahan wanita itu!"

Suara serak kakek tua terdengar ditelinga, Anggara segera membalik badan ke belakang. Entah Sejak kapan telah berdiri kakek tua penjaga masjid tiban.

"Cepat nak! waktumu tak banyak! Segera ambil sorban peninggalan sahabatku, dan segera tolong istrimu."

Lagi terdengar sang kakak memperingatkan Anggara yang tengah linglung karena Sumirah. Anggara yang sadar segera beristighfar.

"Astagfirullah!" Anggara bergegas berdiri, dan melangkahkan kakinya ketempat dimana sorban tersebut berada.

"Terima kasih Kek!"

Setelah mengucap terima kasih, Anggara segera berlari menuju Rawa Ireng yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Tanpa ragu Anggara melangkahkan kakinya ke tempat yang konon menurut kepercayaan warga Kalimas adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.

Sementara itu sang kakek masih berdiri, menatap punggung Anggara yang tengah mengejar waktu.

"Semoga Allah melindungi mu, istrimu, dan bakal anakmu, nak Anggara."

Wuuush..

Setelah berucap, sang kakek menjelma menjadi kepulan asap putih, lalu menghilang.

Ditempat lain, saat Anggara tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengejar sang istri. Sumirah yang berwujud ular raksasa telah terlebih dahulu sampai di Rawa Ireng.

Tubuh ularnya melingkari sebuah meja batu. Tempat dimana dulu dirinya bersumpah setia kepada ratu penguasa Rawa Ireng.

Kepala ular Sumirah yang berwarna merah menyala berdiri tegak, mulutnya yang berhiaskan sepasang taring yang tajam terbuka lebar.

Hoooeeks!

Brught!

Ular Sumirah memuntahkan tubuh Fatimah yang tadi dia telan. Fatimah yang tak sadarkan diri tergeletak di atas meja batu dengan tubuh yang dipenuhi lendir.

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Kepala merah ular Sumirah mendekati tubuh Fatimah, lidah bercabangnya menjilati tubuh tak berdaya Fatimah. 

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sssst.... Sssst.... Sssst....

"Andai aku tak membutuhkanmu hidup-hidup. Niscaya akan aku telan engkau Fatimah. Tak tahukah engkau, kalau aroma tubuhmu begitu wangi. Sayangnya ritual berpindahnya sukma tak bisa dilakukan jika bakal wadah yang digunakan sudah menjadi mayat. Aku harus menggunakanmu dalam keadaan hidup, Fatimah!"

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sumirah menjulurkan lidahnya. Seketika Fatimah telah berganti pakaian. Tubuhnya telah kering dan kini berbalut kemben warna emas. Rambut hitam yang biasa Fatimah tutupi kini tergerai dengan bunga kamboja putih yang terselip di telinga kanannya.

Tak lama akhirnya Fatimah pun terbangun dari pingsannya. Namun begitu kelopak matanya terbuka, Fatimah langsung ketakutan. Fatimah tersadar jika dirinya tak bisa berteriak. Suara tak mampu keluar dari mulutnya. Tangan, kaki dan juga tubuhnya tak bisa digerakkan. Hanya kepalanya saja yang bisa digerakkan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri.

Fatimah melotot karena ketakutan, di sekelilingnya nampak tubuh ular Sumirah yang tengah melilit meja batu tempat dirinya terbaring. Mau tak mau butiran bening jatuh juga dari kedua bola mata Fatimah. Perempuan ayu tersebut menangis tanpa dapat mengeluarkan suaranya.

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sssst.... Sssst.... Sssst....

Sumirah berdesis menatap Fatimah yang menggigil ketakutan. Lidah bercabangnya menjulur. Kepalanya semakin mendekat ke wajah Fatimah. Pupil ularnya seolah menguliti wanita ayu istri dari Anggara tersebut.

"Aku tak mau kau menyebut nama Tuhanmu! Jadi lebih baik kau diam saja seperti itu, Fatimah!"

Setelah berucap, Sumirah merubah dirinya ke wujud manusianya.

"Selamat datang di Rawa Ireng, Fatimah!"

Sumirah mengusap lembut wajah ayu milik Fatimah, detik kemudian tangannya mencengkeram erat rahang istri Anggara tersebut, yang membuat si empunya wajah meringis kesakitan.

"Aku terluka parah Fatimah. Tubuhku hancur. Kau tahu Fatimah, satu-satunya cara agar aku tetap hidup adalah dengan mendapatkan wadah yang baru untuk sukmaku. Hal itu harus aku lakukan agar aku tidak mati. Asal kau tahu, wadah baru itu adalah tubuhmu, Fatimah!"

Sumirah kembali menarik wajahnya, lalu tersenyum lebih tepatnya menyeringai.

"Ayo kita mulai ritualnya, Fatimah!"

BERSAMBUNG
close