Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK TERATAI PUTIH (Part 41) - Keputusan Anggara


KEPUTUSAN ANGGARA

Selepas Anggara dan Fatimah bertemu dengan Sumirah di Masjid Tiban. Sepasang suami istri itu langsung membahas mengenai tawaran yang baru saja diberikan Sumirah kepada mereka. Anggara dan Fatimah Tengah duduk beralaskan tikar di rumah mereka.

"Kak Anggara!."

"Iya Fatimah? ada apa?"

Fatimah meremas baju yang dia kenakan, seolah tengah ragu dan juga ketakutan. Anggara yang menyadarinya pun menggenggam erat jemari istrinya.

"Katakan saja Fatimah, jangan takut. Aku akan selalu di sampingmu!."

Fatimah menggigit bibir bawahnya, lalu menganggukan kepalanya.

"Sewaktu Sumirah yang menjelma dengan wujud ular hijaunya dan saat ular tersebut melintasi kita, aku mendengar suara Kak Anggara. Suara itu berbisik tepat di telinga Fatimah kakak."

"Suara? suara apa Fatimah? Aku waktu itu tak mendengar apapun."

"Suara itu berbisik, dan bilang kalau aku akan kehilangan suami dan anakku. Suara itu mirip sekali dengan suara Sumirah Kak. Sejujurnya Fatimah sedikit takut."

"Berarti kau tengah mengandung anakku Fatimah. Sepertinya Sumirah memang sedang mengincarmu."

"Iya Kak, Fatimah juga berpikir begitu. Tapi ada hal yang membuat Fatimah bingung kak."

"Apa maksudmu Fatimah?"

"Untuk apa Sumirah mengejarku Kak? Jikalau memang dia menginginkanmu maka yang dikejar adalah kamu bukan aku Kak. Tidakkah Kak Anggara berpikir demikian?."

Anggara terdiam mencerna kata-kata istrinya. Sejujurnya Anggara takut dengan pikirannya sendiri. Dia tahu mengapa Sumirah begitu terobsesi dengan Fatimah. Tak lain dan tak bukan adalah untuk mengambil tubuh Fatimah seperti nyai Mutik yang mengambil tubuh Martini, nenek buyutnya. Namun Anggara hanya diam tak ingin membuat Fatimah semakin ketakutan.

"Sebaiknya kita harus bagaimana Kak?."

Suara Fatimah membuyarkan pikiran lelaki yang tampan tersebut.

"Sore ini kita pulang ke pulau seberang. Kamu sudah tak aman di sini lagi Fatimah."

"Pulang? tapi aku tak ingin berpisah denganmu Kak. Aku sudah berjanji untuk mendampingimu dalam suka dan duka saat merebut Masjid Tiban. Kamu juga berjanji akan selalu ada disampingku. Mengapa sekarang Kak Anggara menyuruh Fatimah untuk pulang?"

"Ini demi kebaikanmu Fatimah, bukan hanya dirimu yang harus dilindungi namun juga ada anak kita yang telah bersemayam di rahimmu yang harus kita jaga Fatimah. Aku tak ingin kamu dan calon anak kita ada dalam bahaya."

"Tapi aku takut Kak, kalau kakak."

Fatimah menghentikan kalimatnya dan agama dari Anggara berkerut.

"Takut kenapa Fatimah? Bukankah di sana nanti akan ada Abah yang justru melindungimu."

Fatimah menggelengkan.

"Aku bukan menghawatirkan diriku Kakak, namun yang aku khawatirkan justru dirimu."

"Aku? maksudmu apa Fatimah?"

"Tak tahukah engkau kalau aku cemburu Kak Anggara."

"Cemburu? cemburu bagaimana maksudnya?"

"Kau ingat Kak, tadi pagi kau masih terpengaruh oleh tatapan Sumirah. Padahal aku ada disampingmu saat itu."

Fatimah diam setelah mengeluarkan unek-uneknya. Matanya pun telah berkaca-kaca. Sejujurnya Sejak pertama kali bertemu dengan Sumirah di hatinya sudah timbul rasa cemburu. Apalagi saat dengan mata kepalanya sendiri dirinya tahu betapa cantiknya seorang Sumirah.

"Fatimah, aku...!"

Suara Anggara tercekat, dirinya bingung harus bersikap bagaimana. Jika boleh jujur, dirinya sendiri juga bingung apakah masih mencintai Sumirah atau tidak. Dirinya mencintai Sumirah dengan tulus atau hanya karena terpengaruh oleh susuk teratai putih yang ada di tubuh wanita itu. Hatinya sendiri merasa ambigu. Terlebih saat ini sang istri tengah mengandung benihnya dan tak mungkin dirinya tega menyakiti hati istrinya yang lemah lembut itu. Hanya demi sebuah cinta kepada perempuan yang rela menggadaikan iman dan jiwanya kepada makhluk rendahan sekelas iblis.

"Fatimah, maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakitimu dan aku, aku hanya...!"

"Sudahlah Kak, aku mau istirahat, Aku lelah!"

Belum sempat Anggara menyelesaikan kalimatnya, sang istri yang tengah merajuk berdiri lalu melangkahkan kakinya ke arah kamar. Duduk di tepi dipan sambil menangis sesenggukan. Tangannya meraba lembut perutnya yang masih rata.

"Tenang nak, biyung akan berjuang agar kau bisa bertemu dengan Rama mu kelak. Biyung takkan membiarkan Rama mau diambil oleh perempuan iblis yang jelita itu."

Sreeeek....

Pintu kamar yang hanya tertutup selembar kain gorden terbuka. Anggara nampak berdiri di depan pintu sambil menatap Fatimah ragu. Sang istri yang masih merajuk membaringkan tubuhnya, memunggungi sang suami.

Krieeeeet...

Anggara duduk di samping istrinya, mengusap rambutnya perlahan.

"Maafkan aku Fatimah."

Hening, Fatimah tak menjawab.

"Ini semua demi kebaikanmu dan calon anak kita Fatimah, kamu mau ya pulang ke pulau seberang."

"Apa Kakak akan menyerahkan sorban peninggalan dari kakek buyutmu Kak?."

Fatimah tak menjawab pertanyaan sang suami, tapi justru balik bertanya. Anggara terdiam cukup lama, dirinya sendiri masih bingung.

"Dengarkan aku Fatimah!."

Fatimah membuang muka saat mata sang suami menatap wajahnya dengan serius. Namun dengan lembut jemari sang suami menarik dagunya, hingga kedua bola mata tersebut saling beradu, menembus kalbu masing-masing pasangannya.

"Pulanglah kau ke pulau seberang setelah kau menemaniku menyerahkan sorban peninggalan kakek buyutku Fatimah. Demi Allah, aku akan melindungimu dan calon bayi kita. Percayalah padaku."

BERSAMBUNG
close