Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 4) - Pernikahan Berdarah

Winarni dan Sudiro akan melangsungkan pernikahan, namun dari keluarga Winarni yaitu Mbah ILyas, ia meyakini kalau di balik pernikahan itu ada maksud lain.

Begitu pun dengan Sudiro yang sudah mengetahui kalau Mbah ILyas memasang pagar gaib untuk membuat ingon Sudiro tidak bisa masuk. Tapi rencana Mbah ILyas tampaknya gagal total, Mbah Lenggono mampu merobohkan Mbah ILyas dengan tragis.

Selain itu, Sudiro tampaknya merencanakan sesuatu dengan sosok bayi laki-laki. Apakah benar, kalau bayi itu akan di tumbalkan? Dan Bagaimana nasib keluarga Winarni selanjutnya?


Bagian 4
PERNIKAHAN BERDARAH

"Bocah polos tanpa salah dan dosa. Ditumbalkan, dimasak dan di jadikan lauk untuk makan. Demi keserakahan, ketamakan, dari jiwa orang yang sudah rela menggadaikan hidupnya demi mengagungkan sebuah kemewahan"

Mbah Lenggono tampak memucat saat suara tanpa wujud, untuk kedua kalinya terdengar keras dan menggema sekitaran halaman belakang rumah Mardani.

Sama halnya dengan keadaan tiga orang yang tadinya membawakan gentong berisi air, terlihat mulai tegang menahan rasa takut, tapi tidak pada satu lelaki berkemeja batik pendek.

Sosok yang mengaku bernama Munawar dan masih sedarah dengan Munaji, nampak begitu tenang.

Meski kini tempat itu begitu mencekam dengan kemunculan puluhan Pocong yang menebar bau busuk menyengat.

"Cepat kalian tinggalkan tempat ini! " teriak mbah Lenggono di tujukan pada tiga orang yang semakin ketakutan.

Sedangkan mbah Lenggono sendiri, masih berdiri dengan kedua tangan mencengkram pelan kepala Mardani dan Tini.

Kepanikan mulai menjalari tempat itu, saat pocong-pocong berwajah menyeramkan, melayang mengarah ketempat dimana Mardani dan Tini terduduk dengan tubuh basah kuyup.

Namun belum sempat Pocong-Pocong itu berhasil mendekat, tiba-tiba, makhluk-makhluk berbalut kain putih lusuh berwajah hitam itu menjerit bersahutan dan menghilang bersamaan.

Mbah Lenggono yang heran memalingkan wajahnya, taulah ia ternyata Munawar yang sudah mengusir sosok Pocong-Pocong Balak Projo. Munawar melangkah mendekati tubuh Mardani dan Tini, dari wajahnya yang di penuhi buliran keringat tersirat satu senyum kelegaan.

Namun ketika tangannya baru saja akan menyentuh tali-tali yang mengikat Mardani dan Tini, mendadak satu tangan menarik bahunya.

"Jangan kamu kira ini sudah berakhir!" ucap tegas mbah Lenggono sambil menarik Munawar menjauh.

"Apa maksudnya mbah!" seru Munawar dengan rasa jengkel.

Tak ada sahutan dari Mbah Lenggono, matanya mengedar kesekeliling halaman seperti tengah merasakan sesuatu. Sampai beberapa saat kemudian, tangannya kembali menarik Munawar mundur.

"Kamu lihat sekarang!" terang mbah Lenggono pada Munawar.

Munawar yang masih di liputi rasa jengkel, seketika tercekam! Melihat puluhan bola-bola api beterbangan membuat lingkaran di atas kepala mardani dan Tini.

Hawa panas begitu terasa takkala bola-bola api jatuh membentur tanah, di iringi dentuman-dentuman kecil mengawali munculnya sosok-sosok berkepala plontos dengan dua tanduk sejengkal, mata merah menyala. Seringaian dari dua taring di sudut bibir mereka seakan memberi isyarat,-

akan keganasan yang juga siap merobek apapun dengan kuku-kuku tajam dan panjang dari tangan-tangan mereka.

"Makhluk apa ini mbah!" gumam Munawar yang sudah menciut nyalinya setelah melihat sosok-sosok bertubuh merah terus menyeringai.

Mbah Lenggono terdiam mengacuhkan pertanyaan Munawar, ia fokus dengan kemunculan sosok Jurig di depanya yang siap menyerang. Tapi bukan itu yang membuat mbah Lenggono beringsut mundur, ada satu hawa pekat ia rasa selain dari puluhan sosok yang sudah mewujudkan diri di depanya.

Dan terbukti beberapa saat kemudian, membuat wajahnya semakin menegang, saat satu sosok yang sama, dengan wujud lebih besar, muncul bersama suara tawa yang keras. Suara tawa yang sebelumnya sudah terdengar dan rupanya sosok inilah pemiliknya.

"SENCOKOLO" lirih suara mbah Lenggono saat mengenali sosok yang baru muncul.

Keringat mengucur deras dari pori-pori mbah Lenggono dan Munawar, seakan aroma maut sangat dekat di rasakan oleh keduanya.

Apalagi, kini sosok Sencokolo mengeluarkan geraman marah sembari menatap dengan bola mata merah nyalang.

Semua upaya telah mbah Lenggono keluarkan untuk menghalau Sencokolo, bahkan Munawar pun tak ketinggalan dengan mengeluarkan kemampuannya. Namun keduanya terlihat pasrah, setelah tak ada satupun usaha mereka yang bisa membuat mundur Sosok Sencokolo.

"Bbuummm...."

Semua terdiam, terperanjat dengan suara hantaman keras yang mampu menghentikan langkah Sencokolo. Di susul dengan ringikan suara kuda, beserta kemunculan satu sosok wanita cantik memakai batik bercorak dengan sebuah mawar terselip di telinga.

"LANDUNG JAGAR, jupuk sukmo rebut rogo!" (Ambil sukma merebut raga)

Suara berat dari sosok yang baru muncul dan berdiri menyisir rambutnya sendiri dengan jari-jari tanganya, seakan menjadi tameng kuat membuat sosok Sencokolo mengerang dan mundur.

Namun naas untuk Mardani dan Tini! Tubuh keduanya tiba-tiba saja terangkat melayang, berputar sejenak dan terlempar dengan posisi kepala terlebih dahulu jatuh menghantam tanah.

Tak ada tetesan darah yang keluar, tak ada suara jeritan, tapi lebih dari itu! Mata keduanya melotot, mulut menganga dengan leher patah tanpa bernafas lagi. Dengan mata kepala sendiri, Munawar menyaksikan kejadian tragis yang menimpa keponakanya, tak kuasa menahan emosi.

Wajahnya merah padam, nafasnya memburu seirama dadanya yang naik turun tak beraturan, menandakan ia tengah menahan amarah.

Munawar berniat menghampiri sosok wanita yang masih berdiri dengan senyum sinis, menatap dua tubuh tanpa nyawa terkapar dalam keadaan terikat.

Tapi mbah Lenggono yang membaca gelagat Munawar, tak tinggal diam. Tanganya segera mencengkram kuat lengan Munawar sembari menggelengkan kepala sebagai isyarat.

Mbah lenggono tau jika Munawar mengira, bahwa kematian tragis Mardani dan Tini, bukan karena sosok Sencokolo, melainkan oleh sosok perempuan yang tak lain adalah RATU PAMBAYUN.

"Jangan halangi aku Mbah!" seru Munawar berusaha melepaskan tangan Mbah Lenggono dari lengannya.

"Rasah kemeruh! Lihat baik-baik." sahut Mbah Lenggono menghardik.

Munawar sedikit menuruti perkataan mbah Lenggono, matanya kemudian menatap kembali sosok Sencokolo yang kini sedang berhadapan dengan Sang Ratu Pambayun.

"Wes tutug Balak Projo ngrengkuh sukmo loro iku. Sak liane dadi pelindungaku wengi iki. Minggiro! Entek urusanmu neng papan panggonan kene."

(Sudah cukup Balak Projo mengambil sukma dua itu. Yang lainya jadi perlindunganku malam ini. Menyingkirlah! Habis urusanmu di tempat ini.) ucap Ratu Pambayun pada sosok Sencokolo dengan tenang.

Suasana seketika hening, sepeninggalan Sosok Sencokolo. Ratu Pambayun yang masih berdiri tenang sambil membelai rambutnya, melirik kesamping kirinya. Dimana satu sosok laki-laki yang telah memanggil kehadiranya, melangkah pelan mendekati tempatnya.

"Satu permintaanmu sudah selesai, kutunggu tetalenmu secepat mungkin." ucap Ratu Pambayun pada sosok yang sudah berada di dekatnya.

"Baik Ratu, terima kasih telah menyelamatkan kami." sahut sosok yang tak lain Sudiro sembari menjura hormat.

Sekelip mata kemudian, sosok Ratu Pambayun menghilang, Meninggalkan tempat yang seketika di liputi rasa duka dalam kengerian. Duka mendalam akan kematian Mardani dan Tini, yang meninggal dalam keadaan mengerikan akibat Balak Projo dari Suntoro.

Meskipun kini Suntoro sendiri tak melihat hasil dari ritualnya yang bertujuan membalas dendam pada Munaji, tapi, dengan meminta bantuan dari sosok ingonnya, Sencokolo, berimbas pada seluruh keturunan Munaji.

Munawar, kini menjadi satu-satunya kerabat dekat Munaji yang mau tidak mau harus mengurus segalanya, termasuk anak satu-satunya Mardani dan Tini yang masih kecil. Ia terlihat menunduk pasrah dengan malapetaka yang sudah merenggut empat nyawa keluarganya, dalam rentan waktu berdekatan.

"Bawalah anak Mardani kerumahmu, tinggal dia satu-satunya keturunan Munaji. Kelak kamu bisa mendidiknya." ucap mbah Lenggono memberi saran pada Munawar di sela-sela mengurus mayat Mardani dan Tini.

Munawar yang mendengar ucapan Mbah Lenggono, mengerutkan keningnya. Ada tanda tanya besar dalam dirinya, meskipun sebenarnya ia tau akan keganasan Balak Projo bila sudah tertanam pada seseorang. namun, ia merasa jika ucapan Mbah Lenggono mengandung makna lebih.

"Kenapa sosok perempuan tadi membiarkan Mardani dan Tini mati mbah? kenapa tak mau menolong!" seru Munawar dengan emosi tertahan.

"Dewi Pambayun tak mungkin menyelamatkan Mardani dan Tini! Itu bukan tanggung jawabnya. Sebab mereka juga punya aturan." jawab Mbah Lenggono tegas.

"Beruntung dia mau menyelamatkan kita. Kamu tau bagaimana keganasan Balak Projo, apalagi dengan adanya Sencokolo, mustahil aku atau kamu mampu menyelamatkan. Dan itu terbuktikan!" kembali mbah Lenggono mempertegas penjelasanya.

"Kini yang harus kamu lakukan adalah mengurus keturunan terakhir Munaji. Jangan sampai para Jurig mengincarnya terus, meskipun tanpa Sencokolo,-

tapi jangan anggap enteng dan meremehkan Balak Projo yang masih mengikat pada keturunan Munaji." sekali lagi ucapan berupa penjelasan dan pesan dari Mbah Lenggon, membuat Munawar hanya diam terpaku.

Pagi harinya, berita kematian Mardani dan Tini membuat geger masyarakat kampung itu dan wilayah sekitarnya. Satu tragedi yang menimpa satu keluarga dalam waktu berdekatan, membuat ingatan ngeri pada benak orang-orang yang tau kejadian dan mengenal keluarga Munaji.

Sampai sekarang, tragedi itu masih melekat pada ingatan orang-orang, dan kerabat-kerabat Mardani dan Tini, terutama pada anaknya yang meskipun ia dengar dari cerita.

Alunan merdu nan lembut suara sinden yang khas tinggi melengking, bersama iringan gamelan seirama dengan tetabuhan lainya, sangat membuai telinga dalam lantunan gending-gending jawa.

Hal itu juga yang tengah di nikmati seorang lelaki dalam sebuah kamar, dengan kesendirian serta dalam posisi menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi goyang.

Buaian musik tradisioanal jawa, dari sebuah tape recorder membawanya dalam alam ketenangan. Matanya terpejam, meski tak sepenuhnya tertidur, terlihat dari jari-jarinya yang bergerak selaras mengikuti ketukan irama gamelan.

Namun jika di telisik lebih jauh, tak sepenuhnya anggapan kedamaian dan kenyamanan serta merta dirasakan. Saat melihat lebih jauh kondisi dalam kamar, suasana seram dan mistis akan terasa kental menyelimuti.

Mulai dari aneka bunga yang bertaburan di atas sebuah tampah, kepulan asap dupa menyengat serta penerangan hanya dari lilin-lilin, yang menyala dan berjejer mengelilingi sebuah meja bulat, terletak di samping ranjang besi berkelambu putih bersih.

Tak ketinggalan dua lukisan tangan berwarna, yang menggambarkan satu sosok perempuan cantik dan satu sosok lelaki tua berkebet memakai blangkon hitam, menempel pada dinding tepat di atas kepala ranjang.

Cukup lama sosok berperut buncit terbawa suasana, sebelum tiupan angin lembut menyapu seisi ruang kamar dan menyadarkanya akan kehadiran satu sosok perempuan berparas ayu.

"Nyai Dewi!" gumamnya sembari bangkit dan bersimpuh ketika matanya melihat satu sosok sudah duduk di sisi ranjang besi.

Harum kasturi begitu kuat terhembus dari tubuh sosok berkebaya kuning, sampai mengalahkan harum bunga yang berserak dan asap dupa disamping ranjang.

"Satrio! kemarilah." serunya memanggil.
Satrio segera bangkit dan mendekat serta duduk di sisi sosok dewi Ratu.

"Apa kamu lupa, ini malam apa? Apa kamu lupa, tugasmu malam ini?" Satrio yang mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Dewi Ratu, tertunduk.

"Tentu tidak Nyai Dewi," jawab Satrio lirih.

"Lalu kenapa kamu tak seperti biasanya?" tanya Dewi Ratu kembali yang kini terlihat mengerutkan kening.

Satrio menatap sayu pada wajah cantik di depanya, yang sudah turun temurun menjadi perewangan keluarganya.

Ada sedikit kecemasan terbersit pada diri Satrio, yang menghantui setelah kejadian besar di Alas Pati Jiwo, sampai membuatnya kehilangan sosok Mbah Mungin.

"Maaf Nyai Dewi, aku sangat kehilangan Mbah Mungin. Juga beberapa malam aku melihat sosok Suntoro dalam mimpiku." ucap Satrio.

Sang Dewi Ratu tersenyum mendengar keluh kesah dari abdi sambungnya, tangannya mengusap wajah dan rambut Satrio dengan lembut, membuat Satrio memejamkan mata meresapi sentuhan Sang Junjungannya.

"Jangan khawatir, aku tak akan membiarkan RANGGI JATI nya si Wuning menyakiti abdi sambungku. Kamu tenang saja, selama kamu masih menepati perjanjian kita! Kamu dan seluruh keturunanmu dalam perlindunganku." Terang Dewi Ratu.

"Siapapun yang berani mengganggumu, akan berhadapan denganku!" kembali Dewi Ratu mempertegas ucapanya.

"Sudahlah, sekarang kamu tunaikan kewajibanmu padaku malam ini." kali ini dengan senyum manis, sosok Dewi Ratu membelai Satrio sebelum membaringkan tubuhnya di ranjang empuk dilapisi tilam spray halus nan lembut.

Satrio yang sudah merasa tenang, seketika wajahnya berubah, setelah tiupan lembut dari bibir Dewi Ratu menyapu wajahnya.

Tiupan yang selalu ia rasakan manakala empat puluh satu hari sekali, ketika ia wajib melayani keinginan dari Junjunganya sebagai salah satu syarat selain tumbal nyawa tentunya.

***

Jika di tempat Satrio tengah terjadi pergulatan antara dua sosok beda alam, lain halnya di sebuah rumah kecil berdinding papan rapuh dan beralaskan tanah.

Rumah kecil yang berdiri di sebuah kampung pedalaman, dengan rumah-rumah penduduk yang masih berjauhan dan rata-rata masih menggunakan penerangan lampu teplok.

Di dalam nampak dua orang laki-laki duduk di balai bambu menghadap ke satu meja kayu tanpa kain tilam. Tak ada percakapan dari keduanya, mereka seperti tengah menantikan sesuatu dengan sedikit tegang.

Apalagi wajah satu sosok yang terlihat masih muda, ia seperti begitu cemas dengan dada bedebar-debar.

Suasana yang begitu hening di rumah itu, tiba-tiba terusik dengan jeritan seorang wanita yang seperti tengah mengejang kesakitan. Semakin lama, suara jeritan dan teriakan semakin keras.

Sampai akhirnya, suara tangis bayi seketika menghentikan suara jeritan dan teriakan dari seorang wanita yang baru saja melahirkan.

Dua orang laki-laki yang tadinya duduk dengan harap-harap cemas, seketika bangkit dan berdiri, setelah mendengar suara tangisan bayi.

Senyum kelegaan terpancar dari keduanya, setelah di persilahkan masuk kedalam kamar sempit dan remang, oleh seorang perempuan 60an bertapi kain batik serta kebaya lusuh.

Keduanya melihat bayi mungil yang masih merah, dengan tali pusar baru saja di potong dengan welat bambu oleh sang wanita tua.

"Anakmu lanang." (anakmu laki-laki)" ucap wanita tua yang sudah menolong kelahiran anak pertama dari pasangan muda yang sudah menjadi suami istri.

"Iya mbah, terima kasih sudah membantu istri saya melahirkan mbah." sahut sang lelaki muda, bapak dari si kecil mungil yang baru beberapa menit melihat dunia, dengan berbinar.

Di sebelah sang bayi, tergolek satu tubuh wanita muda yang pucat dan berkeringat berbalut kain selimut kumal. Matanya sayu melihat bayi laki-laki, anak pertamanya yang masih suci.

"Cocok sekali perkiraanmu, Paklek." ucap lelaki muda pada sosok yang berdiri di sampingnya.

Sosok lelaki yang di panggil Paklek, hanya tersenyum mendengar ucapan keponakanya. Matanya ikut berbinar menatap bayi mungil yang tengah di balut kain bedong oleh tangan cekatan wanita tua.

Sebuah senyum dan tatapan yang mengandung arti, senyum dalam bayangan yang bakal menjadi wujud limpahan upah begitu besar, setelah mendapatkan bayi laki-laki pertama atau GETEH PANGKEP, untuk kepentingan tuan barunya.

"Wuning, Aku minta padamu, tinggalkan tempat ini!" satu suara kalem berwibawa yang keluar dari bibir sosok perempuan bermahkota, memecah suasana hening di halaman.

Sosok perempuan berkemben dengan selendang merah tersampir di pundak, menciutkan wajah cantiknya. Pandanganya lurus ke arah sosok yang baru saja berbicara dengan menyebut namanya.

"Apakah ini akan menjadi rusaknya daratan dan lautan! Apa kamu lupa dengan sebuah peraturan!" jawabnya tegas.

"Bukan aku yang ingin merusak tatanan! Tapi, kalau kamu ingin meneruskan semua ini, jelas kamu yang memancing pergolakan di lautan dan daratan!" kembali sosok cantik berkebaya hijau mempertegas ucapanya.

"Apa maksudmu?" sedikit mengendur kini ucapan dari Nyi Wuning.

"Yang berhak menuntut balas dalam peristiwa di kedatonmu, bukan kamu! Tapi abdi sambungmu yang sudah gagal! Itu artinya, kamu hanya bisa mendampingi dan mengawasinya, bukan dengan tanganmu sendiri!" Tegas dan kalem, kembali suara yang keluar dari bibir sosok bermahkota berlian hijau.

"Karena yang akan kamu celakai saat ini adalah Abdi Laweyan sambungku! Jadi, jika kamu memaksakan diri untuk tetap mencelakainya, terpaksa aku sendiri yang akan melawanmu!" sambungnya kembali dengan tegas, membuat Ratu Jebar beringsut mundur.

"Baiklah Nyai ratu! Kali ini aku mengalah. Tapi ingat ucapanmu! Urusan Abdiku, jangan pernah tanganmu mencampurinya!" ucap sosok Nyi Wuning sebelum beranjak menghilang bersama satu sosok perempuan jangkung bergaun biru panjang.

Tarikan nafas kelegaan, terdengar dari dua sosok yang berdiri berdampingan. Wajah keduanya yang sedari awal di penuhi ketegangan, kini kembali mengendur meski sedikit menyisakan guratan pucat pada kulit wajah yang mulai menua.

"Keluarlah, Nduk." ucap sosok sang Ratu menatap ke arah pintu, seperti tau jika di balik pintu ada satu sosok yang tengah mengamati.

Hingga tak berapa lama kemudian, satu wajah ayu dengan rambut tergerai lurus sepinggang muncul dari balik pintu, setelah mendengar perintah dari junjunganya.

"Aku bisa mencegah, jika Ratu Jebar ingin ikut campur. Tapi aku tak bisa membantu bilamana para abdinya yang mengincar Wuri, termasuk Suntoro." ucap sang Ratu di tujukan pada tiga sosok perempuan yang sudah berdiri berdampingan.

Tak ada jawaban dari ketiganya, mereka tertunduk dengan pikiran masing-masing.

"Meskipun Rahim Wuri masih ada Nyi Lengi yang menjaganya, Aku harap jangan meremehkan. Teruslah muneng pada sang pencipta Nduk."

Sebuah pesan yang kembali di ucapkan sosok sang Ratu, sebelum sosoknya yang menebar wangi melati berpadu kasturi menghilang di kegelapan malam.

Sepeninggalan sosok Sang Ratu, ketiga wanita, Wuri, Laswati dan Mayang, masuk kembali kedalam. Tanpa menyadari jika ada satu wajah pucat dengan mata meneteskan air bening, tanpa satu suara yang mampu keluar dari mulutnya.

Kesedihanya semakin memuncak, manakala matanya yang sembab, melihat sosok Wuri mengelus perutnya dengan lembut sebelum berjalan masuk.

***

Beralih kesuatu tempat, dimana tiga orang laki-laki, diantara salah satunya terlihat paling muda, duduk berhadapan dengan seorang lelaki dan perempuan setengah abad.

Sebuah meja kayu terlapisi kain batik bercorak, dengan beberapa gelas kopi beserta empat piring berisi aneka makanan tradisional di atasnya, menjadi saksi satu perundingan matang sebuah pertalian.

Yang menjadi awal akan di satukanya seorang laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan, pernikahan.

"Jadi semua sudah selesai, tinggal kita menentukan hari pernikahanya." ucap seorang lelaki bertubuh tambun, yang menjadi wakil dari sosok lelaki muda di sebelahnya, Sudiro.

"Kalau untuk hari pastinya, saya tak bisa menentukan sendiri. Saya akan merundingkanya terlebih dahulu dengan keluarga besar saya. Jadi saya mohon,-

Mas Sudiro dan keluarga untuk sedikit bersabar." jawab lelaki berkopiah hitam lusuh, yang duduk berdampingan dengan seorang wanita berkerudung hitam berenda.

"Ohh tentu kang. Cuma dari kami minta, kalau bisa supaya jangan sampai lewat satu minggu ini. Sebab Mas Diro sibuk dengan proyek dan perkebunannya." Jawab Suyuti kembali beralasan.

"Maaf kang Suyuti, bukan kami ingin memperlambat, cuma Kang Suyuti juga tau kan keadaan kami yang baru saja bangkrut. Jadi kami butuh persiapan untuk acara resepsinya." jawab lelaki tua yang bakal menjadi mertua Sudiro.

"Kalau soal itu, kang Lasno gak usah khawatir. Semua biaya untuk acara resepsi yang kang Lasno butuhkan, berapapun, akan mas Diro tanggung." sahut Suyuti yang membuat mata Lasno dan istrinya berbinar.

"Kapanpun kang Lasno mau buat acara itu, kami dari keluarga mas Diro siap. Satu lagi, setelah mas Diro dan Dek Winarni menikah, kang Lasno bisa kembali memulai usaha kang Lasno yang baru hancur." ucap Suyuti kembali dengan nada iming-iming yang tak mungkin di tolak sahabatnya sendiri.

Karena Suyuti sendiri tau, jika Lasno yang punya usaha peternakan baru saja mengalami kebangkrutan total. Wajah Lasno dan Murni, istrinya, seketika terperangah melihat Suyuti mengeluarkan amplop coklat tebal, dan menyerahkannya kepada mereka.

Suyuti yang menyebut jumlah dalam amplop itu sebagai awal untuk acara resepsi, dan berjanji kembali memberi dengan jumlah lebih, membuat semringah dan senyum bahagia mengembang jelas dari Lasno dan Murni. Keduanya menerima dengan bahagia,-

bahkan menganggap Diro layaknya dewa penyelamat, tanpa mereka tau atau menyelidiki siapa Sudiro sebenarnya. Lasno dan istrinya hanya tau berdasarkan cerita Suyuti yang di buktikan malam ini,-

membuat keduanya semakin yakin menerima niat baik Sudiro untuk memperistri putrinya, Winarni.
Malam beranjak larut ketika Suyuti, Diro dan mbah Lenggono meninggalkan kediaman Lasno.

Satu senyum tipis, lebih tepatnya senyum sinis, tersungging dari sudut bibir Sudiro. Bayangan dengan apa yang ia impikan semakin nyata di depan. Sebuah impian yang sangat Sudiro ambisikan, untuk menjadi orang kuat dan kaya raya, di hormati dan di segani semua orang di wilayahnya.

"Sudah kamu pikir masak-masak keputusanmu ini Lasno?" tanya lelaki tua berbaju putih dombor.

"Sudah Pakde. Winarni juga tak keberatan menikah dengan Sudiro. Di samping ia orang baik, bertanggung jawab juga sudah mapan." jawab lelaki berbaju batik lengan panjang begitu antusias.

"Tapi firasatku merasakan ada sesuatu yang lain dari pernikahan ini." kembali lelaki tua, tak lain adalah kakak dari orang tua Lasno yang sudah meninggal, Ilyas, mengungkapkan keresahanya.

"Maksud, Pakde?" tanya Lasno sembari mengerutkan keningnya.

"Aku merasa ada keburukan dari pernikahan Nduk Win dan...."

"Sudiro" sahut Lasno cepat memberi tau nama calon menantunya.

"Ya Sudiro." termangu mbah Ilyas setelah menyebut nama Sudiro.

"Keburukan seperti apa yang Pakde maksud!" ucap Lasno sedikit menegang.

"Aku baru merasakan, belum melihatnya. Tapi aku yakin..."

"Sudahlah Pakde! Aku tak mau berdebat. intinya saya ingin Pakde nanti malam bisa ikut menyaksikan pernikahan Nduk Win.-

Karena Pakde saudara paling tua pengganti bapak. Jadi saya minta doanya." tukas Lasno dengan wajah menampakkan ketidaksukaanya.

Mbah Ilyas menghela nafas panjang mendengar ucapanya di potong Lasno dengan sengit. Pikiranya melayang, mencoba menembus perasaan aneh yang dirasa sejak menginjakkan kakinya di rumah Lasno.

"Semoga hanya keburukan kecil" ucap batinya berharap.

Menjelang sore hari, suasana rumah Lasno terlihat sedikit sibuk. Hilir mudik kerabat dan tetangga dekat, mempersiapkan acara sakral yang bakal di gelar di rumahnya nanti malam.

Sesuai kesepakatan, Sudiro dan Win akan melangsungkan ijab qobul terlebih dahulu, dan resespsi dengan pesta besar bakal di gelar menyusul kemudian.

Beberapa lelaki tua berpakaian batik dengan kopiah hitam, tampak sudah duduk di kursi yang berjejer. Mereka yang memang di tunjuk Lasno untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai pria, terlihat begitu bahagia.

Tapi tidak untuk Mbah Ilyas, ia yang duduk di kursi pinggir pintu, tampak begitu gelisah. Wajahnya menunjukan keresahan dan kekawatiran, sejak matanya melihat kabut-kabut mulai menyelimuti rumah Lasno.

Kabut yang awalnya tipis, kini tampak bergulung menebal dan seperti mengurung, menimbulkan rasa anyep yang sangat, di rasa mbah Ilyas.

Sapuan angin dingin disertai kabut hitam seperti membentuk bayangan, di rasa mbah Ilyas bersliweran.

Seperti ikut mengiringi sebuah mobil sedan hitam yang baru saja memasuki halaman rumah Lasno. Mata mbah Ilyas menatap tajam disertai detak jantung yang terpacu, manakala tiga sosok lelaki keluar dari sedan mewah.

Bukan penampilan ketiganya yang menarik perhatiannya, tapi sosok-sosok yang ada di belakang mereka. Andaikan semua yang ada di tempat itu bisa melihat, tentu acara sakral yang tinggal beberapa puluh menit lagi akan di gelar, bakal berantakan dengan ketakutan.

Tapi sayang, semua hal ganjil dan menakutkan malam itu, hanya mbah Ilyas sendiri yang bisa melihat dan merasakannya.

"Rupanya ada yang memberi sambutan tak enak!" gumam mbah Lenggono ketika matanya beradu dengan tatapan mbah Ilyas.

"Kuserahkan padamu, Mbah. Jangan biarkan dia merusak acara ini." sahut Diro sebelum melangkah.

Mbah Lenggono yang tau dengan maksud ucapan Diro, mengangguk pelan. Kemudian matanya mengedar ke segala penjuru rumah Lasno, seperti tengah mencari sesuatu yang mengganjal,-

dan ia menemukan itu di sudut sebelah kanan, depan rumah Lasno. Sebuah untaian Janur kuning yang terikat dengan sebuah kain putih, menebarkan bau wangi minyak kasturi putih.

Ketika Sudiro dan Suyuti sudah masuk kedalam, dan di ikuti semua orang yang menyambutnya, mbah Lenggono menyingkir. Ia melangkah menuju tempat tergantungnya untaian janur JANGOR. Tapi begitu sampai, mbah Lenggono tersentak!

Manakala sesosok lelaki tua berbaju putih lengan panjang, sudah berdiri di samping Janur Jangor. Mata lelaki yang lebih tua darinya, menatap nyalang penuh amarah. Tanganya mengepal kuat dengan wajah menggurat tegang, menunjukan keberaniannya.

"Manusia kotor! Teganya kalian mau menjadikan cucuku jalan persekutuan dengan Iblis!" hardik mbah Ilyas.

Mendengar itu, mbah Lenggono tersenyum sinis.

"Seribu Janur Jangor kau tanam, tak akan merubah, bahkan menggagalkan semua ini. Karena perjanjian sudah berikat mahar!" balas mbah Lenggono Ketus.

Suasana yang kontras, seketika terjadi di rumah Lasno. Jika di dalam, suasana penuh hikmad sedang berlangsung, tapi tidak di luar.

Hawa mencekam pekat terasa, manakala mbah Ilyas, di hadapkan pada makhluk-makhluk berwujud aneh dan mengerikan. Serta di tambah sosok mbah Lenggono, yang terlihat siap dengan segala ilmu kebatinannya. Mbah Ilyas, memang sengaja memasang JANUR JANGOR.

Sebuah ilmu dengan simbol janur kuning, dari pohon kelapa wulung. Yang bertujuan menghalangi masuknya makhluk-makhluk peliharaan, ingon dan perewangan pada sebuah rumah serta dalam acara-acara yang sakral. Hal itu mbah Ilyas lakukan, karena merasakan keganjilan sedari awal ia datang kerumah Lasno.

Meskipun usahanya memagari rumah Lasno dengan Janur Jangor, berhasil membuat semua makhluk yang mengiringi Sudiro tertahan di halaman rumah, tapi kini, ia sendiri yang harus menanggung dan mengahadapinya.

Satu yang membuat perhitungannya salah, sosok mbah Lenggono. Mbah Ilyas tak menyangka jika usahanya bakal tercium oleh kuncen sambungnya Sudiro, sehingga membuat usahanya kali ini beresiko fatal.

Puluhan sosok hitam jangkung bermata bolong dan berambut panjang, kini tengah mengepung mbah Ilyas. Bau busuk tercium sangat menyengat, dari lendir-lendir yang terus menetes dari mulut menganga sosok-sosok tersebut.

Note:
Mbah Sinom adalah anak tertua mbah Rengko, kakak dari bapaknya Laswati yang meneruskan menjadi Laweyan Lenggan. Mbah Sinom meninggal saat menyelamatkan Wuri di Alas Purwo.

Laweyan Lenggan adalah, seorang penerus ilmu kebatinan dari orang tuanya, yang mensyaratkan tidak boleh menikah setelah mendapatkan simbol. Kenapa keluarga Rengko yang bersekutu dengan penguasa laut selatan tak sekaya keluarga yono dan satrio?

Karena mbah Rengko, tak mengambil perjanjian pesugihan, beliau yang kala itu menjadi seorang kejawen tulen dan di tuakan di desanya, memilih mengikat perjanjian ilmu untuk melindungi desa dan keluarganya. Maklum, pada waktu itu keadaan sangat rawan.

Mbah Rengko sendiri tak mau kaya dengan menumbalkan keturunannya. Laweyan lenggan akan berakhir di keturunan ketiga, itu artinya Wuri-lah laweyan lenggan terakhir keturunan mbah Rengko. Selajutnya akan di bahas tentang trah suyono.

*****

Kalimat Ijab dan Qobul yang di lafadkan Sudiro begitu lancar, semringah kebahagiaan terpancar jelas, dari semua yang menyaksikan. Terlebih Lasno dan Murni, saat para saksi menyebut kata SAH, sebagai penanda resminya Sudiro menjadi menantu mereka.

Iringan Doa yang di lantunkan lelaki sepuh dengan panggilan Mbah Mudin, Sebenarnya cukup menggetarkan hati. Apalagi, Doa yang dibacakan untuk Sudiro dan Winarni, khusus, mengandung makna permohonan kebaikan dan kelanggengan keduanya.

Tapi sayang, pernikahan yang sudah di campuri tangan-tangan Iblis dan nafsu duniawiyyah, nampaknya malah membawa malapetaka bagi keluarga Lasno. Diawali dari sosok yang tengah berada di luar rumah.

Mbah Ilyas, tengah duduk bersila berhadapan dengan mbah Lenggono. Mungkin satu hal aneh atau di luar nalar, jika dilihat oleh mata orang biasa. Mereka hanya akan melihat suasana sunyi, dan dua lelaki tua yang duduk berhadapan dengan mata terpejam.

Tapi tidak bagi yang punya, atau membuka mata batinnya. Mereka akan bisa melihat, satu pemandangan ngeri dan menegangkan.
Suara riuh dan beberapa kali dentuman, terdengar keras dari tempat, seperti tanah lapang.

Wujud dari perlawanan mbah Ilyas, kepada sosok-sosok bayangan hitam bermata bolong, yang sedang mengelilinginya.

Seikat Janur kuning yang menjadi senjatanya, berkali-kali mengeluarkan percikan api, ketika berbenturan. Tapi tampaknya tak begitu ampuh untuk merobohkan atau menumbangkan makhluk-makhluk berlendir, dan berbau busuk.

Mbah Ilyas yang sendirian, mulai terlihat kewalahan. Wajahnya menegang, dengan tubuh sudah terbasahi oleh keringat. Namun, sepertinya tak ada kata menyerah dalam dirinya.

Mbah Lenggono yang mengendalikan sosok-sosok hitam, terlihat tenang. Senyum sinisnya nyaman tersungging di sudut bibir, manakala melihat mbah Ilyas, harus jatuh bangun menghadapai puluhan sosok BETOROKOLO.

Sampai suatu kesempatan, rambut panjang dari sosok-sosok Betorokolo, mengibas kuat ke arah tubuh mbah Ilyas. Meskipun sempat mbah Ilyas hadang dengan seikat Janur kuning yang mengeras, tetap saja, tubuh tua mbah Ilyas terpental kebelakang.

Belum sempat mbah Ilyas mengatur nafas atau mengusap darah dari sudut bibirnya, satu bayangan berkelebat cepat dan tiba-tiba sudah berjongkok di samping tubuhnya yang lemah. Pekikkan serta raungan panjang, memecah kesunyian alam gelap bawah sadar.

Ketika tangan mbah Lenggono, menarik paksa lidah mbah Ilyas dan memotongnya dengan sebilah keris hitam. Tubuh mbah Ilyas seketika menggigil hebat, dengan darah mengalir deras, dari mulutnya yang sudah tak berlidah.

Berbeda dengan mbah Lenggono, wajahnya yang sangar, terlihat begitu gembira. Matanya menatap sinis, sembari tangannya membolak-balik sepotong lidah berlumur darah yang kemudian di lemparkanya kepada salah satu sosok Betorokolo.

Mata sayu mbah Ilyas beberapa kali mengatup, ia seperti ngeri, bahkan tak kuat melihat potongan lidahnya sendiri, menjadi rebutan sosok-sosok Betorokolo.

"Wes cukup ngene ae! Iki dadi pengeleng kanggomu!" (sudah cukup seperti ini saja! ini jadi peringatan untukmu!) ucap mbah Lenggono dengan tatapan tajam.

"Ayo muleh!" kembali mbah Lenggono berucap tegas.
Mbah Ilyas yang masih di dera rasa sakit, tiba-tiba saja merasakan satu sentakan, dari tangan yang mencengkram kuat lenganya.

Tubuh mbah Ilyas terjengkang kebelakang saat ia kembali membuka matanya. Rupanya, ia dan mbah Lenggono telah usai bermain di alam kebatinan. Darah kembali mengalir dari mulutnya, dadanya sesak, tulang-tulangnya seperti remuk.

Tapi, ada satu yang membuat mata mbah Ilyas melotot tajam, sampai semua urat dari leher dan wajahnya mengejang, ketika ia tau mulutnya tak mampu bersuara, di karenakan, Lidahnya.

Sedangkan mbah Lenggono, setelah matanya terbuka, ia buru-buru bangkit, tanganya segera merampas se ikat Janur Jangor yang tergantung dan menempel pada sudut rumah Lasno.

Sejenak ditatapnya untaian Janur Jangor berbau wangi kasturi putih, sebelum ia membuka tiga tali putih kecil yang mengikat lembaran-lembaran Janur Jangor di tangannya.

Ketika tiga ikatan berhasil ia lepas, dan segera membuangnya, seketika itu juga gemuruh angin menderu riuh. Klebatan bayang-bayang hitam seperti berlarian memenuhi rumah Lasno.

Namun, lagi-lagi tak ada yang menyadarinya. Hanya tiupan angin dingin yang sekira dirasakan Lasno dan orang-orang yang masih berkumpul, setelah acara sakral, baru saja selesai.

"Kalau mau istrahat, ajak suamimu masuk Nduk" ucap Lasno pada Winarni, yang baru saja resmi menjadi istri Diro.

Gadis cantik berkulit bersih dan berambut ikal, dengan kebaya khas seorang pengantin, menganggukan kepalanya pelan.

Rasa canggung masih terlihat jelas dari sikapnya, ketika berdiri menunggu dan mengajak Sudiro meninggalkan orang-orang yang masih berkumpul sembari bersantap.

"Lho... dari tadi kemana Pakde Ilyas? Pamitnya sebentar kok sampai sekarang gak kelihatan." gumam Lasno celingukan, tapi sosok yang ia cari tak nampak oleh matanya.

"Iya, kemana mbah Ilyas ini." sahut yang lainya.

Suasana sedikit riuh, manakala Lasno dan orang-orang, baru menyadari tentang keberadaan mbah Ilyas.

Beberapa kerabat dari Lasno kemudian mencoba mencari kedalam, namun nihil. Sampai salah satu dari mereka, menemukan dan memberi tahu jika Mbah Ilyas pingsan di halaman samping.

Binar keceriaan dari wajah Lasno dan beberapa kerabatnya, mendadak berubah. Berganti guratan-guratan rasa sedih, melihat keadaan mbah Ilyas yang sangat memprihatinkan. Tubuh dan pakaianya kotor, wajahnya seputih kertas dengan bercak darah, mengering di bibirnya.

Lasno dan kerabat-kerabatnya menggotong tubuh mbah Ilyas masuk kedalam, setelah yakin masih ada denyutan nadi dari tangan mbah Ilyas. Beberapa orang mulai berpikir tentang kejadian yang menimpa mbah Ilyas.

Ada yang menganggap jatuh dan ada yang berpikiran jika mbah Ilyas di santet. Tak ada satupun yang berpikir atau curiga pada sosok mbah Lenggono. Padahal, saat pamit dan menghilangnya mbah Ilyas, bebarengan dengan perginya mbah Lenggono.

***

Malam semakin larut, gelap pekat dengan hawa dingin yang mulai menelusup kepori-pori, seperti tak dirasa oleh sesosok perempuan tua, yang berdiri di depan gubuk kecil, sebuah perkebunan.

Dua obor yang menjadi penerang di teras tempatnya berdiri, menggambarkan suasana sunyi dan penuh kedamaian. Namun jika melihat dari raut wajah keriputnya, yang terkena pancaran cahaya obor, ia seperti tengah gelisah.

Matanya menatap lurus kedepan, kejalan setapak yang terhampar, seperti sedang menunggu sesuatu.
Sesaat tanganya mengolak-alik susur sirih yang menyumpal bibir, dan membuang ludah berwarna merah, setelah dua sosok yang di tunggunya muncul dari jalanan yang gelap.

"Maaf Mbok Uci, kami terlambat." ucap salah satu dari kedua sosok laki-laki yang berperut buncit.

"Hampir saja saya pergi! Karena saya pikir Mas Satrio lupa." sahut perempuan tua yang di panggil Mbok Uci dengan sedikit cemberut.

"Siapa lagi yang kamu bawa? Dan kemana si tua mungin?" sambungnya bertanya, saat matanya menatap sosok lelaki setengah baya di belakang Satrio, yang asing baginya.

"Ohh... ini kang Likun. Mbah Mungin... Mbah Mungin sudah meninggal beberapa hari yang lalu, Mbok." jawab Satrio pelan terbata dan menunduk, seperti mengingat kembali sosok Kuncen sambung setianya, Mbah Mungin.

"Apa...! Mungin mati!" sahut Mbok Uci terkejut.

"Tak kusangka Mungin akan mendahuluiku." sambung Mbok Uci kembali.

"Mbah Mungin terbunuh Mbok." sahut Satrio yang sejenak merubah wajah keriput Mbok Uci.

"Kalau benar Mungin terbunuh, pasti bukan orang sembarangan yang mampu melakukan itu." ucap Mbok uci seperti menelisik kembali sosok Mbah Mungin pada ingatanya.

"Benar Mbok. Tapi, sudahlah. Kita disini bukan untuk membicarakan kematian Mbah Mungin." tegas satrio.

"Sekarang mana Mbok?" tanya Satrio.

Mbok Uci yang mendengar permintaan Satrio, segera melangkah masuk kedalam gubuk.

Dan tak berapa lama kemudian, Mbok Uci kembali keluar dengan menuntun seorang bocah laki-laki 7 tahunan.

"Seperti biasa Mas Satrio." ucap Mbok Uci sembari menyerahkan bocah kecil, yang langsung di raih oleh Likun.

"Terima kasih, Mbok. Besok, anak Mbok Uci saya tunggu di rumah." sahut Satrio berterima kasih.
Seringaian Mbok Uci, mengiringi kepergian Satrio dan Likun, dengan membawa bocah lelaki yang tak berbaju.

Tubuh kecil bocah itu, tampak menggigil kedinginan, tanganya terikat kedepan, kedua matanya tertutup kain hitam, serta mulut tersumpal seonggok kain, membuatnya tak bisa berbuat apa-apa layaknya seorang tahanan.

Setelah berjalan kaki beberapa menit, sampailah mereka di jalan besar perkebunan. Tapi mereka masih meneruskan langkah, dan baru berhenti pada sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi kiri jalan.

"Kita lewat jalan memutar." perintah Satrio pada Likun, yang sudah duduk di kursi kemudi.

"Baik, Pak." jawab Likun menyanggupi.

Perlahan, mobil mewah Satrio, mulai berjalan meninggalkan perkebunan luas miliknya. Melewati jalanan berkerikil menembus gelapnya malam.

Likun yang hafal dengan kondisi jalan, merasa heran atas permintaan Satrio. Jika ia harus mengambil jalan memutar, itu artinya, ia akan melewati sebuah sungai besar. Entah apa tujuan utamanya, yang pasti perasaan Likun sendiri mulai tak enak.

"Siapa namamu, Cah bagus?" tanya Satrio kepada bocah kecil, yang sudah Satrio buka semua ikatan dan kain yang menyumpal.

Tak ada jawaban dari mulut sang bocah, ia malah menyurut mundur kesudut jok, dengan ketakutan.

Wajah anak bermata bulat tampak pucat pasi, bahkan bibirnya mulai membiru menahan dingin. Tangannya bersedekap menggigil, dengan mata mulai meneteskan buliran-buliran bening.

"Jangan takut. Om, gak akan menyakitimu. Malah, sebentar lagi Om akan membawamu ketempat bagus dan enak." rayu Satrio dengan senyum terlihat di paksakan.

Mendengar ucapan Satrio, bibir anak itu bergerak seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.

Setelah berjalan beberapa lama, Likun yang mulai di rundung was-was, tiba-tiba saja di kejutkan satu bayangan di depanya. Membuat naluri drivernya muncul, yang dengan cepat menginjak rem kuat-kuat.

"Kenapa berhenti!" sentak Satrio yang kaget, ketika tiba-tiba Likun menghentikan laju mobilnya mendadak.

"Maaf pak, seperti ada sesuatu di depan." ucap Likun gugup.

Satrio yang mendengar penuturan Likun, terdiam sejenak. Matanya kembali menatap bocah kecil yang masih meringkuk di sudut jok dengan mata sayu.

"Wes wancine." (Sudah Saatnya) gumam Satrio lirih.

"Jalan terus kang, dan jangan kamu hiraukan, apapun yang kamu lihat!" ucap Satrio memberi perintah sekaligus pesan pada Likun.

Mendengar perkataan bosnya, wajah Likun memucat. Jantungnya berdebar, mengiringi rasa takut, yang mulai menyusupi pikiranya. Satu keanehan awal, mulai Likun rasakan. Dimana keadaan jalan yang setaunya berkerikil tak rata, kini mendadak berubah rata dan mulus.

Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Likun, saat ia melihat kembali keanehan yang terpampang, sebuah gapura besar dan indah di depanya. Tapi, di balik keindahan gapura dengan gaya bangunan jaman dahulu,-

satu kengerian Likun rasakan ketika matanya melihat dua patung yang berdiri tegak di dalam gapura, dengan wujud mengerikan seolah hidup dimata Likun.

"Pelankan jalanya kang." Suara lirih Satrio, yang meminta Likun untuk melambatkan laju mobilnya, setelah melewati gapura.

Likun yang mulai melambatkan mobilnya, tersentak kaget, saat melirik dari kaca kecil di depannya yang memantul kebelakang. Ketakutan langsung mencuat, manakala ia melihat di jok belakang, ada sosok lain yang duduk di samping sang anak kecil.

Sosok yang membuat jantung Likun bukan hanya berdebar, melainkan memacu kencang tak beraturan. Pikiranya semakin terguncang hebat, saat matanya tak bisa lepas untuk terus menatap dari kaca.

Sosok perempuan berambut panjang dengan bola mata rata putih, tengah mengusap kepala bocah kecil yang sudah terpejam kedua matanya.

Hening, hanya keringat yang masih mengucur dari tubuh Likun. Padahal, di dalam mobil, AC hidup dengan sensasi kesejukan pastinya.

Ketakutan yang Likun rasakan semakin menguap, manakala sosok wanita yang masih duduk di jok belakang, tersenyum menggoda dengan bola mata putihnya.

Sedangkan Satrio tampak begitu tenang, matanya menatap jalanan sunyi yang lurus, seperti acuh, tak menganggap kehadiran sosok yang duduk di sampingnya.

"Berhenti di depan itu kang." perintah Satrio tiba-tiba.

Likun yang sedikit terkejut, menghentikan laju mobil tepat di depan sebuah gapura berpintu gerbang, di sisi sebelah kiri.
Kembali nalar akalnya seperti di kebiri, menyaksikan semua yang tampak asing, tak masuk akal, tapi nyata di matanya.

"Bawakan bocah itu kang!" perintah Satrio, membuat Likun tersadar jika dirinya masih terduduk di dalam mobil.

Ada rasa iba menyeruak dalam diri Likun, takkala matanya menatap bocah kecil yang terpejam dengan wajah pucat pasi.

Sekilas bayangan mengerikan tetiba saja menghampiri benaknya, bayangan tentang sesuatu akan terjadi selanjutnya, pada si bocah yang entah siapa orang tuanya.

"Cepat kang!" kembali suara Satrio sedikit keras, saat melihat Likun ragu.

Dua sosok garang menakutkan yang berdiri di depan pintu gapura, segera membukakan pintu kepada Satrio. Mereka seperti mengenal Satrio, membuat Likun yang membopong si bocah dan menyusul di belakang, semakin yakin akan firasatnya tentang siapa sebenarnya sosok Satrio, majikan barunya.

Likun menundukan kepalanya ketika melewati dua penjaga yang memegang cambuk, nyalinya ciut setelah menyadari jika dua sosok garang itu bukan Manusia.

Senyap dan lembab seolah tak ada angin yang bertiup. Itulah yang Likun rasakan ketika memasuki sebuah halaman luas, dengan satu bangunan seperti pendopo berdiri kokoh di tengah-tengahnya.

Suatu tempat bercahayakan obor-obor berukuran besar, yang menempel di tiap-tiap pilar dengan posisi menyilang.

"Kemarikan bocah itu. Dan Kang Likun tunggu disini!" perintah Satrio pada Likun, saat berada di depan pendopo dengan tiga tangga menjadi jalan masuk kedalamnya.

Setelah menerima sang bocah, Satrio berjalan ke sebelah kiri pendopo dan menghilang di balik gapuro kecil yang baru tampak di mata Likun.

Hawa pekat sangat Likun rasakan, ia benar-benar yakin jika keberadaanya bukanlah di dunia manusia,-

melainkan di alam lain yang ia sendiri tak mampu menjabarkanya. Selagi asyik dengan renunganya, Likun di kejutkan dengan kemunculan sesosok wanita setengah baya, dari gapura kecil yang di masuki Satrio tadi.

Sosok bertapi jarit, terlihat menyunggi sesuatu dengan kedua tanganya, dan memasuki dalam pendopo melaluli tangga di sisi belakang.

"Monggo." ucapnya dengan jempol tangan sebagai isyarat mempersilahkan Likun untuk masuk kedalam pendopo.

Seakan mengandung mahgnet, ucapan sosok wanita itu langsung di turuti Likun. Kakinya seolah ketarik masuk kedalam pendopo, dimana terdapat sebuah meja kayu tanpa kursi, yang sudah terpenuhi hidangan, lengkap dengan ceret dan cangkir, terbuat dari kuningan emas.

"Monggo di santap." ucapnya kembali dengan lembut, sebelum sosok perempuan itu pergi tanpa menunggu jawab, ucapan dari Likun.
Likun seperti terhipnotis, manakala matanya menatap beragam makanan yang tersusun rapi di atas meja, beralaskan dedaunan.

Sehingga membangkitkan selera dan hasaratnya untuk menyantap, tanpa memikirkan asal serta terbuat dari apa makanan itu.

Tanganya cekatan memilih dan menyantap beberapa jenis makanan untuk menyumpal rasa lapar yang tiba-tiba terasa.

Hingga tak menyadari, jika ada sepasang mata yang mengawasi dengan senyum tipis mengembang, ketika Likun mulai memakan hidangan yang sengaja di suguhkan untuknya.

Sendau puas beberapa kali keluar dari mulut Likun, menandakan rasa nikmat yang mengobati laparnya. Membuatnya lupa akan ketakutan, kengerian, yang menggelanyuti pikiran dan batinya di awal.

"Sudah kenyang kang?" satu suara mengagetkan Likun yang baru meletakan cangkir minumnya.

"Ehh... Pak Satrio! Sudah Pak." jawab Likun gugup.

"Kalau begitu, kita pulang sekarang." ajak Satrio. Lalu melangkah lebih dulu yang di ikuti Likun di belakangnya.

Likun benar-benar merasakan keanehan, setelah keluar dari pendopo. Dirinya kini seolah tak lagi merasakan ketakutan dengan tempat dan beberapa bayangan yang nampak di matanya bersliweran. Likun juga sepertinya sudah lupa dengan sang bocah kecil, dan tak perduli lagi akan nasibnya.

"Kita jalan lurus saja." ucap Satrio ketika Likun mulai menghidupkan mobilnya.

"Baik Pak." jawab Likun menurut.

Perlahan mobil Satrio yang di kemudikan Likun, berjalan meninggalkan tempat yang mungkin hanya orang-orang tertentu bisa mengetahuinya.

Jalanan yang masih sama, rata lurus dan sunyi, dilalui dalam keheningan di dalam mobil tanpa adanya bocah kecil lagi. Bocah polos tanpa salah dan dosa, yang telah terenggut kebahagiaanya.

Menjadi korban keserakahan, ketamakan, dari jiwa orang yang sudah rela menggadaikan hidupnya demi mengagungkan sebuah kemewahan.

Setelah beberapa menit melaju dan melewati kembali gapura besar yang hampir sama persis di awal masuk, Likun mulai merasa seperti kembali kedunia alam manusia.

Jalanan yang terhampar dan tengah ia lewati, kembali berlubang tak rata serta berkerikil, membuat ingatanya melayang kepada hal-hal yang baru saja ia alami.

Perasaan tak enak tiba-tiba saja menyergap batin Likun, ketika akan melewati sebuah jembatan tak begitu panjang. Kegusaran yang sama, tampaknya juga di rasa Satrio.

Di lihat dari wajahnya tertekuk dengan mata memicing lurus kedepan, seperti tengah mengawasi atau merasakan sesuatu di depanya.

"Jalan saja kang!" perintah Satrio pada Likun yang tampak ragu, meski Satrio sendiri tak begitu yakin.

"Iya pak" jawab Likun memantapkan diri.

Meski Likun berhasil melewati jembatan tanpa terhalang apapun, namun hawa mencekam lebih ia rasakan setelahnya. Apalagi, matanya melihat jalanan yang terbentang di depan, kini tampak di selimuti kabut tebal, membuat kecemasan tergambar begitu lekat di wajahnya.

"Bbrrraaakkk....!" satu hantaman keras di bagian depan mobil, seketika menghentikan laju mobil Satrio, yang di kemudikan Likun.

"Ada apa Kang!" tanya Satrio yang terkejut.

"Nggak tau Pak! Tapi itu....!" jawab Likun terputus. Karena matanya seketika melotot kaget, melihat satu sosok lelaki bertelanjang dada, berdiri di depan mobil yang masih dalam keadaan lampu menyala.

"Suntoro!" gumam Satrio. Ketika matanya dengan jelas melihat wujud sosok yang menghadangnya.

"Bagaimana ini Pak!" tanya Likun mulai merasakan gelagat kurang baik. Apalagi melihat sorot mata tajam penuh amarah dari sosok Suntoro, membuat tubuh Likun mulai menggigil.

"Tabrak saja kang!" jawab Satrio yang malah memberinya perintah.

Spontan Likun yang mendengar, mencoba menancap gas kuat-kuat. Namun sayang, hanya suara mesin saja yang menderu, tanpa sedikit pun, roda mobil Satrio bisa maju kedepan.

"Celaka! mobil kita sepertinya terganjal sesuatu, Pak!" seru Likun dengan wajah pucat.

Satrio diam, ia seperti tak menghiraukan ucapan dan ketakutan Likun, matanya masih terus menatap sosok Suntoro yang mulai menyeringai.

"Dia ingin balas dendam padaku rupanya!" gumam Satrio pada dirinya sendiri.

"Keluar Satrio!" bentakan keras dari sosok Suntoro begitu menggema.

Sesaat hening, tak ada sahutan dari Satrio yang tetiba memejamkan matanya di dalam mobil.

Sedangkan Likun, nyali dan keberanianya sudah rontok, sejak pertama melihat Sosok Ranggi Anom Suntoro, yang muncul dengan satu amarah.

"Heemmggg... LECUT TRENGGANU!" gumam Suntoro di iringi geraman ketika Satrio keluar.

"Suntoro! Hutang nyawa Bapakmu masih terlalu banyak pada keluargaku!" ucap Satrio sinis.

"Kamu beruntung masih setengah hidup! Tapi malam ini, nampaknya kamu ingin kusempurnakan agar bisa berkumpul dengan Bapakmu!" kembali Satrio menghardik, membuat sosok Suntoro marah dengan mengerang keras!

Langit malam yang gelap, bercampur kabut hitam pekat di ujung jembatan, berubah sedikit terang. Kilatan dan percikan-percikan api silih berganti, datang dari dua bayangan yang tengah mengundang maut.

Likun yang menyaksikan dari dalam mobil, begitu tercekat, mendapati dua sosok tengah berlompatan. Namun, matanya seperti terfokus pada satu sosok berkepala botak di tengah, dengan menyisakan lenciran panjang rambut belakangnya.

Likun meyakini, jika sosok tersebut adalah peliharaan dari Tuannya, Satrio. Sebab, kemunculanya bebarengan dengan keluarnya Satrio dari dalam mobil.

Sedangkan Satrio sendiri, Likun lihat hanya berdiri di depan samping mobil, dengan tangan bersedekap dan mata terpejam. Keringat begitu jelas membasahi wajahnya yang gembul, dengan sesekali kulit wajahnya tertarik menegang, seperti tengah menahan sesuatu.

Hingga beberapa saat kemudian, Tubuh gempal dengan perut membuncit Satrio, terpental kebelakang, setelah satu dentuman keras terdengar sebelumnya.

Darah mengalir seketika dari hidung dan bibir Satrio, matanya mengerjap disertai erangan menahan sakit, pada bagian dadanya yang beberapa kali ia tepuk dengan tanganya sendiri.

"Rupanya LECUT TRENGGANU tak sehebat nama besar pemiliknya." hardik sosok Suntoro, sembari menatap nyalang Satrio yg masih terduduk.
Mata Satrio menatap nanar Suntoro, ia terlihat pasrah saat sosok Suntoro, melangkah mendekat dengan membawa aroma maut, yang siap di terima olehnya.

Ketika sosok Suntoro, tinggal beberapa langkah lagi dari Satrio, tiba-tiba sapuan angin kencang mendorong tubuh Suntoro hingga terguling kebelakang.

Jerit kerasnya membuat Satrio terkejut, kemudian menengadahkan wajahnya yang sudah pucat, menatap satu sosok yang baru saja menyelamatkanya, berdiri tegak membelakanginya.

"Nyai Dewi!" seru Satrio dengan sisa-sisa tenaganya.

"Lecut Trengganu bukan tandingan Ranggi Anom! Sekarang pergilah, biar aku menghadangnya." ucap sosok wanita bergaun kuning tanpa menoleh ke arah Satrio.

"Tapi, bukankah Nyai Dewi dalam keadaan..."

"Cepatlah! Jangan sampai terlambat! Aku tak bisa lama-lama menahanya!" potong sosok Nyai Dewi sambil menarik tubuh Satrio masuk kedalam mobil.

"Bawalah cepat Tuanmu pergi dari sini! Jangan hiraukan apapun yang kamu lihat!" kini ucapan sosok wanita berbola mata putih rata, dengan gaun kuning kebesaranya, di tujukan pada Likun yang masih duduk di kursi kemudi, menggigil ketakutan sedari tadi.

Tapi begitu mendengar perintah dari sosok yang sudah ia lihat beberapa waktu lalu, Likun seperti mendapat kekuatan baru. Tanpa menunggu perintah kedua kali, ia segera menancap gas mobil Satrio, meninggalkan tempat paling mengerikan seumur hidupnya.

Likun terus memacu laju mobil tanpa memperdulikan keadaan jalan dan sosok-sosok hitam yg mengejarnya. Matanya sesekali melirik Satrio yang duduk terpejam dgn wajah pucat pasi. Pikiran dan batinya mengutuk dirinya sendiri, yang sudah masuk kedalam permainan hidup orang-orang ber alam dua.

Pagi itu, untuk pertama kalinya Sudiro, mengunjungi proyek bangunannya dengan membawa Winarni, istrinya. Dua laki-laki berpakaian rapi yang baru saja memberikan intruski kepada puluhan pekerja, menyambut kedatangan Sudiro dengan begitu antusias.

Wajah dingin Sudiro terlihat puas melihat bangunan yang baru 30% berdiri, meski sempat terbengkalai akibat kematian Munaji.

Selesai meninjau dan mendengarkan semua penjelasan dua pemborong tentang hal proyek, Sudiro mengajak Winarni ke tempat di mana ia dulu di besarkan.

Sebuah rumah berlantai dua yang menyimpan banyak misteri dengan puluhan nyawa melayang karenanya.

Setelah menempuh waktu beberapa jam, sampailah Sudiro di rumah yang telah ia percayakan sementara pada Suyuti.

"Ohh... pak Diro. Nduk Win." sapa Suyuti yang keluar dari pintu saat melihat kedatangan majikanya.

"Kang Suyuti, dimana para penjaga?" tanya Diro heran, sebab, saat kedatanganya tak ada sesiapapun yang menyambut dan membukakan pintu gerbang.

"Maaf Pak, Idris dan Ratno saya khususkan malam." jawab Suyuti menjelaskan.
Diro terdiam, sebelum beberapa saat kemudian, ia menyuruh istrinya masuk kedalam. Sedangkan Diro sendiri, mengajak Suyuti melangkah kehalaman belakang, melalui samping kanan halaman bertaman.

"Bagaimana Kang? Apa sudah siap untuk nanti malam!" tanya Diro ketika mereka sudah berada di joglo pribadi Suyono, dulu.

"Tenang Pak, nanti malam saya pastikan beres!" jawab Suyuti yang membuat Sudiro tersenyum penuh kemenangan. Matanya menatap lepas kedepan, membayangkan betapa hebat dan jayanya ia sebentar lagi.

***

Suara tangisan bayi yang tadinya keras, dari sebuah rumah sederhana berdinding papan dan berlantai tanah, tiba-tiba mereda. Seiring terdengar tembang jawa yang biasa di nyanyikan untuk meninabobokan seorang bayi, dengan lantunan irama mengayun, mendayu-dayu.

Dari pencahayaan lampu teplok yang menjadi penerangan utama rumah itu, tampak seorang wanita muda, berbalut kebaya lusuh, tengah menggendong bayi laki-laki mungil penuh kasih.

Timanganya yang nyaring, menggambarkan ungkapan sayang dari seorang ibu, yang juga di rasa nyaman oleh sang anak, hingga membuatnya terlelap dalam dekapan.

Namun, jika di lihat dengan seksama, dari mata wanita muda itu, tampak dua bulir bening mengalir deras membasahi pipi. Tak henti-henti ia menciumi bayi dalam gendongannya, sampai beberapa kali bayi yang tengah tertidur, seperti jengah mendapat ciuman ibunya yang beruntun.

Guratan kesedihan sangat mendalam, semakin terpancar jelas, ketika telinganya mendengar suara deru mobil, berhenti tepat di halaman rumahnya. Jantungnya berdegup kencang,-

setelah suara derit pintu yang di susul dengan derap langkah dari beberapa orang, menandakan waktu perpisahan dengan sang bayi mungil, akan segera tiba.

"Dek, kamu kanapa?" tanya seorang laki-laki yang tak lain bapak dari si bayi.

"Mas, apa mas yakin, akan menyerahkan anak kita pada majikannya Paklek Suyuti?" sahut wanita muda dengan air mata masih berderai.
Sejenak sang suami terdiam, ada rasa ngilu di dadanya, saat ia menatap bayi dalam gendongan istrinya.

"Dek, biarlah untuk sementara, anak kita di rawat majikan paklek Suyuti. Lagian, nanti kita masih bisa menengoknya, kan aku juga kerja di proyeknya majikan Paklek, jadi bisa tau kabar anak kita ini nantinya." sahut Murdi, sang suami, mencoba memberi pengertian pada istrinya.

"Tapi perasaanku tak enak mas! Aku merasa seperti ada tujuan lain dari majikannya Paklek." kembali sang istri mencoba mengungkapkan kegusaranya.

"Sudahlah Dek, kita tak boleh berprasangka buruk! Yang penting kita doakan anak kita nantinya baik-baik saja." ucap Murdi mengakhiri perdebatanya dengan sang istri.

Meskipun istri Murdi bersikeras, pada akhirnya, sang bayi mungil berpindah ke gendongan Murdi. Ia lantas membawa Bayi mungil itu kedepan, dimana dua orang laki-laki sudah menunggunya, Suyuti dan Mbah Lenggono.

Tanpa curiga sedikitpun, Murdi menyerahkan bayi laki-laki itu pada Suyuti, yang sebenarnya masih terhitung saudaranya. Senyum semringah Suyuti, di rasa istri Murdi bagaikan sayatan sembilu di hatinya. Perih, tapi tak akan bisa mengembalikan bayinya yg sudah berada di dalam mobil.

Satu jeritan dari istri Murdi, mengiringi kepergian bayinya. Tapi, bukan karena itu tampaknya jeritan dari istri Murdi, melainkan dari sosok wanita cantik berbadan kuda, yang mengikuti laju mobil dari belakang sembari menyeringai.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close