Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 18) - Kuku Perogoh Sukma Vs Pedang Merah Darah


Bocah berambut keriting itu meniup-niup singkong bakar yang baru saja ia cabut di rerimbunan pekarangan belakang. Baunya sudah mengharum. Perutnya seketika merintih lapar belum diisi seharian tapi ia belum mau memasukkan potongan singkong panas itu ke perut sekalipun liurnya sudah sampai ke sudut bibir. Sesekali ia melongok ke arah jalan setapak yang lengan, hanya beberapa kicau burung prenjak yang terdengar, hingga muncullah setitik bayangan orang yang semakin mendekat.

Anak kecil itu gembira bukan kepalang ia lantas menyongsong kedatangan rombongan keluarganya. Seorang anak umur belasan tahun, memiliki badan tegap dan tinggi namun begitu kurus menggendong seorang kakek renta, disampingnya turut berjalan mengiringi seorang nenek tua membawa keranjang anyaman bambu dan anak perempuan yang lebih kecil.

"Nenek! Kakek!"

"Kakang Menggala!" seru gadis cilik itu.

"Ratri, kakang Jagadnata, kemarilah ada singkong  bakar!" panggil Menggala.

Si Sulung menurunkan si Kakek dengan hati hati di atas batang pohon yang tumbang. Mereka duduk  mengelilingi api unggun yang dibuat Menggala.

"Maafkan Kakek Cu, untung ada kakakmu ini, kalau tidak mungkin malam hari kami baru sampai" sahut lelaki yang digendong sambil mengurut mata kakinya yang terkilir.

"Cah bagus sudah menunggu lama ya? Kakekmu ini membuat masalah dengan mengejar ayam hutan, kakinya terkilir sehingga harus dibopong. Jadinya kami terlambat dari ladang. Ayam kabur penyakit malah datang. Kau pasti sudah lapar"

Bocah itu menggeleng lalu menunjuk beberapa umbi ketela pohon yang sudah matang kehitaman. Kedua orang tua itu tersenyum. Dengan lahap mereka memakan ketela pohon yang sudah dibakar anak kecil itu. Perut mereka begitu kosong setelah seharian tidak diisi makanan.

Sang nenek dengan berkaca-kaca menatap ketiga bocah itu. Namun mereka tidak mengerti arti tatapan sang nenek, mereka lebih asyik bercanda dan menjahili satu sama lain.

"Sayang sekali nasibmu ini nak, seharusnya kau sekarang tinggal di kerajaan dan makan-makanan enak tapi karena gara-gara pemberontakan pamanmu si tua bangka kamu harus melarikan  diri ke tengah hutan seperti ini. Lihat seluruh tulang yang menonjol  di tubuhmu" keluh si Nenek mengusap kepala anak yang paling besar.

"Hus jangan bicara sembarangan Gantri, jika sampai kedengaran telik sandi Kerajaan Sabrang Samudra bisa-bisa kita di kekkh" sahut si Kakek itu sambil mencekik leher sendiri.

"Alah di tengah hutan begini mana ada telik sandi segala, lagipula kerajaan itu jauh diseberang lautan sana, kemari pun akan berhadapan dengan Kerajaan Kalingga, mana berani mereka! Sukur-sukur kerajaan itu habis ditelan ombak samudra." balas sang Nenek ketus.

Kakek itu melotot namun tak bisa berkata apa-apa, ketika mereka asyik makan tiba-tiba dari ujung jalan muncul bayangan seseorang berjalan tertatih-tatih. Dia berteriak minta tolong lalu terjatuh ke tanah. Si Sulung segera beranjak untuk memeriksa.

"Kek Manusia! Banyak darah!" 

"Jagadnata! hati-hati jangan terlalu dekat!" teriak si kakek.

Kakek itu terkejut hari sudah menjelang malam dan hantu siluman mulai bergentayangan, apakah sosok itu korban kejahatan makhluk demit? Jika iya mereka harus segera menyalakan api di luar pondok, sebagai perlindungan dari binatang buas atau demit dan siluman. Keduanya membenci cahaya yang keluar dari api. 

"Jangan dibawa masuk!" larang si Kakek meninggikan alisnya yang penuh dengan kerutan.

"Sudahlah Rambit, lelaki ini tak berdaya butuh pertolongan! Jangan ingkari kalau kita punya darah biru-darah penganyom" tukas si Nenek.

Walau Kakek Rambit tidak setuju dia diam saja agar si Nenek tidak membocorkan lebih banyak lagi jika mereka adalah anggota kerajaan yang sedang dalam pelarian, akhirnya mereka merawat orang asing itu di dalam pondok kecil. 

Jangan pernah menyepelekan sepercik kecil api atau pun setetes air yang jatuh, karena ia bisa berubah menjadi bencana.

Awalnya hanya sebuah kesalahan kecil yang kemudian tumbuh menjadi malapetaka. Saat rembulan sudah mencapai puncaknya terdengar raungan majhluk menyeramkan dari dalam pondok reot. Orang asing yang terbaring di bale bambu ruang depan mendadak berubah menjadi makhluk jejadian yang menyeramkan di sebut Lembuk. Makhluk ini berpostur bungkuk, berambut panjang dan bertaring dengan mata menyorot berwarna merah. Sekejap saja sang Nenek sudah terkapar di tanah dengan mata melotot dan leher hampir putus tergigit.

Sedang si Kakek berusaha menahan serangan lelembut itu dengan segala kekuatan yang tersisa menggunakan kedua tangan ringkih. Suara berisik pertarungan hidup-mati itu membangunkan ketiga bocah itu dari buaian mimpi mereka, namun mereka seakan masih ada di alam mimpi melihat pemandangan mengerikan terhampar. Si Kakek menjerit menyuruh mereka untuk kabur tetapi si Sulung menolak, ia segera mengambil parang yang terselip didinding bambu rumah. Pertarungan tak terelakkan diselingi dengan jeritan  yang menyayat hati.

Pagi menjelang, gubuk itu porak poranda, terbuka semua dinding bambunya akibat pertarungan. Dari jauh terdengar suara derap kuda yang perlahan mendekat. Tampak sepasukan prajurit kerajaan berpatroli melintasi tempat itu. Dari koyakan baju dan beberapa pelindung badan yang retak mereka seperti habis mengalami pertarungan panjang.

"Aneh kenapa ada gubuk ditempat terpencil ini?" tanya seorang prajurit.

"Lihat ada beberapa anak kecil bersimbah darah disana, sepertinya sudah sekarat" sahut yang lain.

Di tengah rombongan itu terdapat dua orang tua berbaju aneh dan dandanan kontras sekali menunggang kuda, yang satu memiliki rambut, alis, kumis yang hitam nan panjang serasi dengan jubah yang juga berwarna hitam, yang satu lagi berbaju putih, dengan alis rambut dan jenggot serba putih. 

"Siluman telah memangsa keluarga mereka, anak-anak ini tak ada harapan lagi, cepat kita lanjutkan perjalanan siapa tahu kita bisa menyusul iblis itu." perintah lelaki berbaju putih.

Prajurit itu memberi hormat lalu membuat tanda dengan tangan agar rombongan melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba sebuah batu sekepalan tangan melayang ke arah kakek berbaju putih itu, namun di tengah jalan batu itu terpental akibat tenaga pelindung kakek tadi. Keduanya serentak menyorot ke arah bocah lelaki. Para prajurit menyumpah dan mengacungi senjata ke arah anak yang duduk bersimbah darah. Namun bocah itu tersenyum mengejek dan sesumbar bahwa prajurit Kalingga bukan manusia dan tak punya hati karena telah meninggalkan mereka begitu saja.

"Kami tak punya waktu melayanimu, apalagi merawatmu. Sepanjang jalan ini telah banyak manusia bergelimpangan karena ulah bangsa siluman yang kami buru. Nah istirahatlah dengan tenang bocah" ujar kakek berbaju hitam.

Bocah itu batuk darah, dengan dada kembang kempis akibat luka cabikan, ia berusaha berdiri dengan bersandar pada tiang bambu yang doyong "Selama namaku Jagadnata! aku tak perduli walau harus mati sekalipun, aku akan memaksa kalian membawa kedua adikku! Walau aku harus membunuh semua prajurit! bentak Jagadnata tertatih berusaha memungut batu. Dia berusaha melempar batu kembali tapi tenaganya terlalu lemah. Ia jatuh limbung. 

Tiba-tiba bayangan hitam berkelebat, menahan badan kurus yang sudah sempoyongan.

Baju orang itu berkibar hitam panjang diterpa angin. Ternyata si kakek berjubah hitam sudah ada di sampingnya dalam sekedipan mata. Ia menoleh ke arah kakek berbaju putih.

"Kakang! anak ini bukan sembarangan dilihat dari namanya. Begitupun wataknya sangat keras, biar kujadikan murid si Malaikat Hitam hahaha!" seru si Kakek aneh sambil mengelus janggutnya yang hitam.

***

Jubah hitam yang berkibar itu mengingatkan Jagadnata saat  diselamatkan oleh gurunya. 

Tangan Larantuka segera menotok titik vital di bahu dan punggung lelaki itu sekejap Jagadnata merasakan aliran darah yang bergejolak awut-awutan ingin meledak tiba-tiba mulai surut. Mendapat kesempatan kedua, Ia mengatur pernapasan agar luka dalamnya sembuh. Kini jendral perang itu berhutang nyawa kepada pemuda yang ia tawan sebelumnya. 

"Guru!" seru Candika bersalto dari balik pepohonan dan mendarat tepat di samping gurunya, nada suara terdengar begitu cemas. 

"Murid bodoh kenapa kamu malah menyusul kesini!" bentak Jagadnata marah, hampir saja ia menampar pipi muridnya itu. 

"Maaf guru, demi menyelamatkan nyawa semua orang, murid telah melawan perintah guru datang kemari. Juga membuka ikatan tawanan Larantuka. Murid pantas dihukum berat" jawab Candika dengan menunduk penuh sesal. 

Candini segera datang dan memeluk kakaknya dengan mata masih sembab, dan ketika ia menyampaikan gugurnya Patih Menggala kepada Candika sontak tangis kedua bersaudari itu meledak kembali. 

Lamat-lamat Jagadnata memandangi kedua muridnya bergantian, terlihat raut wajah penuh kekhawatiran dan duka, ia lalu menghela napas panjang sambil menggeleng kepala sesekali. 

"Hmmmh apa boleh buat, yang sudah terjadi biarlah sudah, kalian memang keras kepala seperti ibumu Ratri. Seharusnya kalian tidak perlu berlatih ilmu dan meneruskan kehidupan sebagai gadis bangsawan saja. Menikah dan memberikan keturunan bagi keluarga kita itu akan lebih baik. Sekarang ikuti perintahku, kalian kembali ke kerajaan Kalingga bersama pemuda ini untuk meminta bantuan. Biarlah aku yang menghalangi dedemit itu mengejar kalian" tegas lelaki itu. 

"Tidak mau guru... Paman kami akan mendampingi Paman sampai akhir!" teriak Candini dengan mata berkaca. 

"Dendam kematian paman Menggala harus dibalaskan, ini sumpahku sebagai pendekar!" ujar Candika dengan mata memerah. 

Jagadnata terbatuk hebat mendengar penolakan murid sekaligus keponakannya itu. Kepalanya menjadi pusing sebab kedua bersaudari itulah satu-satunya penerus trah keluarganya. 

Larantuka kemudian berdiri dan memberi hormat. 

"Kisanak tidak perlu khawatir, biar saya yang menghadapi Gondo Mayit dan anak buahnya" tawar Jagadnata sambil berjalan pincang ke arah Nyi Ratu Gondo Mayit dan Nagindi. 

Jagadnata melengos, "huh, bisa apa kau bocah, menahan tapakku saja kau sudah tersungkur. Didepanmu ini adalah dedengkotnya demit hutan tumpasan, ilmunya setingkat diatasku kau tidak akan punya kesempatan apalagi kakimu sudah cacat!" ejek lelaki berkumis tebal itu. Ia was-was Larantuka akan segera terbunuh. Lebih baik melarikan diri saja untuk membuat perhitungan lagi di kemudian hari.
"Segera angkat kaki saja dari sini selagi bisa!" 

"Ssshh paman jangan berkata begitu!" larang Candika. 

"Cecunguk ini rupanya juga telah mengguna-gunai keponakanku sampai kepincut setengah mati, baik, hebat juga ilmunya he!" ejek Jagadnata. 

Muka Candika lantas memerah bak kepiting rebus. 

Nagindi tertawa centil mendengar percakapan mereka, ia mendekati Larantuka perlahan sambil memainkan jalinan rambut lurusnya yang berwarna hijau. 

"Benar apakata manusia ini, sayang sekali jika lelaki secakap dan segagah kamu harus setor nyawa ke Kanjeng Ratu, nah baiknya kamu bergabung ke dalam pasukanku Cah Bagus. Akan kulatih kau menjadi senopati pasukan ular!" bujuk Nagindi manja, ia mengitari pemuda itu sambil melenggang genit.
"Dan kaki pincang ini akan sembuh dengan bantuan minyak ularku hi hi hi" 

Namun Larantuka hanya diam mematung. Siluman ular itu semakin berani memegang dada Larantuka yang bidang. Paras hidung mancung dan mata sempurna itu telah menjerat hatinya. Jantung Nagindi berdegup kencang ingin segera menundukkan lelaki itu dan membawa ke pembaringannya. 

"Wanita iblis hentikan, kami jijik atas kelakuan binalmu!" bentak Candini bangkit sambil mengacungkan pedang. 

Siluman itu tertawa, ia berbalik membelakangi Larantuka. "Apa salah jika kami berdua saling suka? Dan aku ingin segera menikahinya, mau apa!" 

Selesai berucap Nagindi langsung berbalik secepat kilat, dengan licik mengirimkan totokan pelumpuh berbahaya ke dada Larantuka. 

Namun tahu-tahu jari Nagindi sudah dicekal Larantuka, begitu erat bagai capitan besi. 

"Aku tidak menikah dengan siluman, tapi aku memburu, mengejar dan menguliti kaum iblis. Akan kukejar mereka walaupun harus ke liang perut bumi!" seru Larantuka dengan wajah putih menegang. 

Nagindi terkejut, mendadak aura pembunuh keluar dari pemuda misterius itu, sungguh pekat membuat sekujur tubuh Nagindi merinding. 

"Bangsat! Aku sudah menawarkan cara mudah untukmu, baiklah rupanya kamu mencari jalan sulit berbatu, Hiaatt!"

Ilmu Ular Siluman Iblis Hitam segera ia keluarkan, jemari membentuk kepala ular, secepat kilat menyasar wajah Larantuka dari samping kiri. Sasarannya adalah bola matanya. 

Tangan Larantuka berkelebat menepis serangan itu dengan enteng. Angin tepisan itu cukup membuat dada Nagindi sesak, ia segera menendang tiga kali ke arah iga kanan larantuka dengan jurus Sabetan Ekor Naga Wisa yang bisa menghancurkan kerasnya pilar batu. Namun larantuka malah melenting ke atas dan mengirimkan serangan ke arah kepala Nagindi. 

"Heaa Tapak Naga Wisa!" jerit Nagindi menghempaskan telapak tangan berwarna kehijauan ke atas. Jurus ini sangat berbahaya, lawan yang bersentuhan dengan telapaknya akan jatuh kelojotan ke tanah terkena bisa. 

Jagadnata melotot melihat ilmu simpanan musuh.

"Awas!" 

Namun serangan Nagindi hanya merobek udara kosong, Larantuka secepat kilat bersalto di udara dan tapaknya menyambar bahu siluman itu dari belakang, Dhessssss! tak ayal Nagindi terjerembab ke depan sambil muntah darah. 

Tak terima dipermalukan siluman itu bangkit menyerang Larantuka seperti kesetanan, belasan jurus dikerahkan, mengalir deras laksana air bah, nyata siluman itu bukan tandingan Larantuka, berkali-kali ia harus menelan pil pahit,  serangannya kandas karena kalah cepat dan sekujur tubuhnya menjadi sasaran pukulan pendekar itu. Tiap pukulan serasa godam besi yang merontokkan tulang. 

Nagindi segera mundur dan merapal mantra aji Malih Rupo, asap hijau menerobos pertarungan, ia berubah menjadi ular raksasa berwarna hijau dengan sisik setebal lempengan baja. Matanya yang berbentuk garis menatap tajam mangsa didepannya. 

"Keh-keh hehe, bocah, kali ini kau akan kumakan saja supaya tidak ada yang memilikimu selain aku hssssssss!" desis ular raksasa itu lalu terbang berputar bagai naga di atas langit padang rumput. 

Membuat semua orang yang menyaksikan ternganga lebar. 

Semua tenaga ilmu ular iblis hitam Nagindi salurkan dalam sekali hantam. Ular itu melesat bagai anak panah dari langit menghujam ke tanah. Angin serangan begitu tajam menusuk kulit. 

Mulut Nagindi memiliki gigi runcing seukuran paha orang terpentang lebar, batu karang paling keras pun akan hancur lumat dibabat gigi tajam beraliran tenaga dalam itu. 

Warga desa menutup mata, takut membayangkan Larantuka di telan bulat-bulat oleh ular itu. 

"Bagaimana ini mbakyu? Kita harus menolong Larantuka" tukas Candini. 

Gadis berbaju biru itu menggeleng dengan mata tidak berkedip. "Tenang dinda, Larantuka adalah pemuda sakti, ilmunya diatas rata-rata. Bila kita kesana hanya akan menjadi penghalang saja" 

Angin ribut terdengar makin keras saat ular raksasa itu menyambar dari langit. 

Larantuka segera merendahkan kuda-kudanya, melolos kembali pedang di pinggang dan menyilangkannya didepan dada. Sinar merah berpendar lambat menggidikkan. 

Nyi Gondo Mayit melihat pemandangan itu dengan sedikit gamang, ada yang mengganjal di pikiran, pemuda itu serasa tak asing baginya namun siapa? Ia coba mengingat kembali, mata beriris merah itu membulat saat menyadari sesuatu namun hal itu  sudah jauh terlambat. 

"Nagindi menghindar!"

Larantuka berguman, "Jurus Pedang Merah Menyerap Darah" 

Sinar merah merobek udara dalam kecepatan sekedipan mata, diikuti dengan raungan menyeramkan dari Nagindi. 

Tebasan Larantuka tepat menyilang di pangkal mulut ular raksasa itu, gigi tajam nan kokoh terpotong menjadi dua tembus merobek kulit dan daging, sontak darah hitam muncrat membasahi tanah. 

"Hsssssssshhh saakitt,  tobat Batara Antaboga! Aammpuun hsssssshh"
Jerit Nagindi sambil bergulingan diatas tanah. Kau menipuku, kau tidak cacat, kau orang sakti hsssss!"

Asap hijau kembali menyeruak, dan ular itu berubah kembali menjadi manusia berkelamin wanita dengan bibirnya bersimbah darah. 

Nagindi memegangi mulut yang sudah robek sampai ke telinga, nyaris membuat kepalanya terbelah dua. Luka sayatan tadi terus menerus mengeluarkan darah membuat penampilan wanita itu semakin mengerikan. Ia berusaha menutup luka dengan tangan tapi darah itu tetap merembes keluar. 

"Tiiidaakk wajahkuu yang canntiik hssssshh, kenapa, kenapa luka ini tidak mau sembuh?" teriak Nagindi penuh histeris meraba mukanya. 

Sebagai bangsa siluman ia bisa dengan mudah menumbuhkan bagian tubuh yang terputus atau terluka dengan sekejap mata. Namun luka yang ditimbulkan pedang aneh itu tak mau menutup seperti biasa. 

Wanita siluman itu segera merangkak dan memeluk kaki Nyi Gondo Mayit. Air matanya bercucuran mengiba meminta pertolongan. 

Namun Nyi Gondo Mayit memandang Nagindi dengan dingin, wutttt dalam sekejap, kaki itu mendepak tubuh Nagindi hingga jatuh bergulingan tiga tombak jauhnya. 

"Dasar budak tak berguna!" desis Nyi Gondo Mayit. Ia kemudian menatap tajam musuhnya dan memperhatikan baik-baik. 

"Aku pernah mendengar di daerah selatan ada satu orang pendekar yang sangat ditakuti oleh para iblis, menurut kabar angin, berpakaian serba hitam dengan kulit seputih gading. Dan membawa pedang berwarna merah. Konon sudah ribuan siluman tewas di tangan pembasmi iblis itu, rupanya sosok itu sekarang ada didepanku."

Larantuka mengangguk pelan sambil tetap menghunus pedangnya ke arah tanah. Pedang itu berkilat merah seperti meminta darah. 

"Sepertinya kau telah menjadi duri didalam daging. Aku kehilangan beberapa pelayan setiaku, rencanaku untuk tumbal akbar bahkan hampir gagal, ini karena ulahmu bukan? Apa tujuanmu menginjakkan kaki ditanah utara jawi ini?" tanya Nyi Gondo Mayit. 

Larantuka tersenyum dingin, matanya menyorot tajam, "Aku Larantuka datang karena kalian para pemuja iblis. Aku punya dendam kesumat terhadap kaummu dan tak akan mati sebelum kalian musnah semua"

Nyi Ratu Gondo Mayit terdiam, sepertinya pemuda ini tidak berbohong, kedatangannya murni untuk membalaskan dendam. Mungkin semua keluarganya telah habis dimangsa kaum siluman.

"Baiklah Cah bagus, aku tidak bisa berkata lagi jika dendam kesumat yang menjadi alasan utama. Nah majulah! Serang aku dengan segala kesaktianmu, ingat aku berbeda dengan penguasa dari kawasan selatan hahahaha"

Suara wanita itu membahana berkumandang ke seantero padang ilalang Hutan Tumpasan, memekakkan telinga, menusuk hingga ke dada. 

"Awas tutupi telinga kalian, jika tidak kalian bisa jadi tuli atau separuh gila!" perintah Jagadnata. 

Candika dan Candini beserta orang-orang tersisa segera menutup kedua telinga sesuai perintah. 

Sambil tertawa Nyi Gondo Mayit menyilangkan kedua tangan didepan dada. Kukunya segera memanjang luar biasa seperti pedang tumbuh dari jari. 

Tringgg...

Suara logam berdenting kembali terdengar.  Debu debu berterbangan saat kedua orang sakti itu mulai bentrok. 

"Hahaha, heeaah,  begini saja kemampuanmu bocah? Hiaaaaatttt"

Nyi Ratu Gondo Mayit segera menerjang berputar dan menyambar, gerakan yang cepat membuat tubuhnya memudar seperti bayangan merah. 

Larantuka tak kalah gesit, tubuhnya bergerak secepat angin menjadikan tubuhnya berubah menjadi bayangan hitam. 

Sepasang bayangan hitam dan merah itu saling bentrok dan memotong jalur, lalu susul-menyusul  sesekali menjauh lalu bertemu kembali disertai percikan api pertempuran yang dahsyat. Debu-debu segera berterbangan, angin berhembus kencang. Kecepatan mereka begitu tinggi, sukar untuk diikuti mata manusia biasa. 

Jagadnata terbelalak melihat pertempuran ini, ia belum pernah melihat gerakan silat yang cepat dan mematikan seperti ini. Benar-benar kemampuan sejati yang tidak ada bandingannya. 

"Diatas langit masih ada langit" lirih pendekar Kalingga itu mengguman. 

Nyi Gondo Mayit berkali-kali mengeluarkan jurus cakaran kuku maut yang siap merobek isi perut lawan, Larantuka tak kalah gesit ia menyabetkan pedangnya dengan lincah untuk menangkis dan balas menusuk dengan penuh hawa pembunuh. 

Larantuka mencelat selangkah mundur sambil membaca mantra, "Langit terbelah, Bumi Goncang segara asat, aji Merobek Surga Membelah Neraka!" 

Larantuka menggerakan pedangnya vertikal mengirim tujuh sinar merah memanjang ke arah lawan. 

Wutttt wutttt padang rumput segera bermandikan  cahaya merah. 

"Hahaha ini simpananmu, hmmh baik aku terima bocahh!"

Wanita itu mengibaskan kedua lengan kiri dan kanan bergantian seperti menari, cahaya merah panjang tadi seperti dipantulkan tenaga gaib sehingga meleset dari sasaran. 

Wuuttt kreeekk brak! 

Semua pepohonan tersabet kelebat sinar merah tadi lantas hancur terpotong berkeping-keping. Tanah pun terbelah meninggalkan irisan lubang dalam. Membuktikan ketajaman serangan itu bukanlah barang mainan. 

Tawa Nyi Ratu Gondo Mayit semakin kencang ia melayang setinggi empat tumbak sambil menyilangkan kedua tangan diatas kepala. 

"Nah bocah sekarang giliranku, ajian Kuku Perogoh Sukmo, ajian yang dapat Merobek Usus Mencacah tulang!"

Wanita iblis itu meluncur turun bak malaikat pencabut nyawa, kukunya yang panjang merobek udara langsung ke arah dahi Larantuka disertai tekanan tenaga dalam mahadahsyat, membuat napas sesak dan tubuh berat untuk menghindar ke kiri atau kekanan. 

Pemuda itu berkomat-kamit lalu mengangkat kakinya ke lutut kaki yang lain, ia mulai berputar dengan pijakan satu kaki, perisai pertahanan 'Kubah Surga Neraka' segera dikerahkan, sontak cahaya merah berkilauan menutup tubuh Larantuka membentuk bola yang berputar cepat.

"Luar biasa, aku belum pernah melihat kesaktian seperti ini" Ujar Candini dan Jagadnata berbarengan. 

Namun serangan Nyi Gondo Mayit laksana Petir Hitam menyambar lembayung mega berwarna merah. 

Suara memekakkan gendang telinga kembali terdengar. Bumi bergetar hebat, Angin benturan terasa tajam menyengat tubuh. 

Suara jeritan kesakitan terdengar, ternyata dari warga. Ada serpihan merah menancapi tubuh mereka. Serangan itu juga mengarah ke Jagadnata yang duduk bersila namun ia sigap menangkap dengan tangan. 

"Hloh apa ini, logam berkilauan warna merah?"

Candika menahan napas dengan tangan melihat pemandangan di depan, "Ce-celaka guru, pedang pusaka pendekar Larantuka..." 

Mata Larantuka melotot, pedang pusaka iblis merah darah sudah rompal dihajar kuku perogoh sukmo, menyisakan mata pedang kemerahan yang cuma sejengkal dari gagang. 

Celaka...

BERSAMBUNG
close