Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BELENGGU SUKMA (Part 2) - Penemuan Mayat

Mayat tak dikenal menggegerkan warga desa. Saat ditemukan, mayat itu tidak lagi utuh, otaknya menghilang entah kemana.


Pagi hari, pagi-pagi sekali Pak Teja mengumpulkan anak-anak, menyuruh mereka sarapan dan bersiap-siap, beliau akan mengajantar mereka ke balai desa bertemu dengan kepala desa dan perangkat-perangkatnya untuk membicarakan program-program kerja yang telah mereka siapkan.

“Selamat datang ya, Mas-Mbak. Panjenengan datangnya dari jauh-jauh. Semoga bisa kerasan saat KKN di desa Suguhan” ucap Pak Kepala Desa.

Beliau pun menyampaikan jika potensi yang bisa dijadikan program di sini adalah pertanian dan sungai yang mengalir besar mengelilingi desa.

Penjelasan beliau tak begitu menarik, malah membuat beberapa anak-anak ngantuk karena perkataannya yang jauh melebar dari pokok pembahasan yang harus dibahas.

Selepas dari balai desa, Pak Teja mengajak anak-anak keliling desa, memperkenalkannya ke seluruh warga dan mengantar ke tempat yang berpotensi dijadikan program kerja. Lagi-lagi, hampir di semua pertigaan atau perempatan, selalu dijumpai sajen-sajen kecil seperti sebelumnya.

Setelah beberapa menit berjalan, sampailah mereka pada sebuah proyek jembatan besar yang akan menghubungkan tiga desa.

“Nah, ini sungai yang dikatakan tadi, Mas-Mbak. Sungai sedang surut karena musim kemarau.”

“Dan tempat ini, rencananya akan dibuat wisata oleh desa. Mungkin mas dan mbaknya punya rencana bagus untuk tempat ini nanti bisa dibicarakan dengan saya terlebih dulu.” terang Pak Teja.

Di dekat situ, terlihat juga sebidang tanah dengan lima buah gazebo kayu berdiri di atasnya. Gazebo itu sederhana, hanya terbuat dari bambu yang tersusun dan atap daun kelapa yang sudah mengering.

Lagi-lagi, di situ banyak sekali dijumpai sajen-sajen yang berserakan, apa lagi di sekitaran proyek jembatan ada sebuah tempat khusus untuk meletakkan sesajen itu.

Pak Teja kembali menyinggung soal sajen, dia mengatakan jika itu warga lakukan demi menjaga tempat ini dari hal-hal jahat yang akan datang dan demi kelancaran proyek ini. Hampir setiap hari, warga bergantian menaruh sajen ke sini demi kelancaran proyek pembangunan ini.

“Memang, apa dampaknya jika tidak memberi sajen itu, Pak?” tanya Bayu sambil menatap sajen-sajen di dekatnya.

“Tidak ada yang berani untuk tidak melakukannya, Mas. Saya sejak kecil sudah hidup di sini. Sudah dari dulu aturan di desa untuk selalu melakukan itu. Jika ada yang melanggar, warga percaya jika akan ada bencana yang menyerang desa.”

“Lalu untuk siapa sesajen itu dipersembahkan, Pak?” balas Bayu lagi.

“Untuk mereka-mereka yang sudah tinggal lama di sini, mereka-mereka yang sudah ada lebih dulu di sini sebelum saya dan orang-orang di desa ini.” ucap Pak Teja.

“Apa tidak berlebihan?” bisik Bayu pada Darma.

“Sudahlah, kita tidak perlu percaya, kita hormati saja budaya di desa ini yang sudah berkembang sejak lama.” jawab Darma.

Rasa-rasanya seperti ada yang sedang disembunyikan oleh Pak Teja agar tidak diketahui oleh Bayu, Darma dan teman-temannya. Apa itu? Mereka pun tidak mengetahuinya.

Semuanya berpencar, melihat ke segala penjuru yang mereka inginkan. Walau sedang surut, suara arus sungai cukup keras sampai telinga, banyak sekali batu-batuan dengan bentuk unik di dasar sungai, pantas saja banyak warga gunakan untuk menghias pelataran rumahnya, seperti pelataran rumah Pak Teja.

Hanya berjarak kurang lebih sepuluh meter dari sebidang tanah yang diatasnya berdiri gazebo, tampak beberapa patok dari semen berdiri dengan jarak tak begitu jauh satu dengan yang lainnya, hal itu lantas membuat Arbi dan Darma yang melihatnya lantas menanyakannya kepada Pak Teja.

“Pak Teja, patok apa itu?” tanya mereka berdua karena merasa penasaran, karena patok itu berdiri diantara rumput-rumput liar yang tumbuh di atas tanah itu.

Pak Teja menghampiri mereka berdua, berjalan pelan dengan wajahnya tersenyum. “Itu hanya pembatas tanah, Mas.” jawab beliau.

Meski masih masuk dalam wilayah desa Suguhan, proyek pembangunan jembatan memiliki jarak cukup jauh dengan area pemukiman warga desa. Hamparan sawah dan lebatnya hutan bambu yang panjang membatasi area desa dan proyek ini, akses jalannya pun masih berupa tanah dan beberapa bagian terdiri dari bebatuan kering yang disusun sedemikian rupa.

Cuaca sudah mulai terik ketika Pak Teja mengajak mereka pulang ke rumahnya.

“Ayo, kita pulang, Mas-Mbak. Sudah siang, mulai panas.” ajak Pak Teja.

“Karena masih jarang penerangan di sini, kalian jangan ke daerah sini jika sudah gelap ya, Mas-Mbak.” ucap Pak Teja.

Saat melangkah pergi dari area gazebo, Darma menangkap sesuatu diantara deretan pohon bambu dengan matanya.

Laki-laki berperawakan tinggi dengan rambut gondrongnya yang acak-acakan sedang menatap jauh ke arahnya dan teman-temannya. Darma belum mengerti, siapa dia, dan tidak memiliki pikiran negatf tentangnya.

Namun, agak lama Darma memperhatikannya, entah bagaimana bisa tiba-tiba saja tubuh laki-laki itu membesar, hampir setinggi pohon di dekatnya, wajahnya menyeringai menakutkan.

Seketika itu Darma membuang muka, berbalik ke arah yang lainnya, namun ternyata Darma kembali menemukan sosok aneh lagi dengan matanya. Mereka berjejer dengan wujud manusia namun dengan penampilan compang-camping dan kulitnya yang penuh dengan sayatan luka.

Semakin kesini perasaan Darma semakin janggal, ia yakin jika yang dia lihat semua itu bukanlah manusia, melainkan sosok gaib yang menunggu wilayah ini, mereka berdiri berjejer seolah mengawasi kedatangannya dan teman-temannya.

Di tengah rasa takut yang ia simpan sendiri, tiba-tiba saja sikap Maya berubah.

“May? Kamu lihat apa, May?”

“Maya!” teriak yang lain memanggil Maya.

“Kamu melihatnya juga, May?” bisik Darma. Tapi Maya hanya diam dan terus melihat ke sana

Wajah Pak Teja berubah, seperti menyadari ada hal janggal yang baru saja menghampiri Maya dan anak-anak KKN nya

“Ayo, Mas-Mbak. Kita segera pulang. Mbak Maya digandeng saja.” ucap Pak Teja.

Mendadak tubuh Maya berat, Dela dan Putri pun mengaku berat saat berusaha menggandeng dan menarik tubuh Maya.

“Biar saya saja, Mbak.” ucap Pak Teja. Pak Teja berjalan ke belakang, menuntun Maya yang wajahnya masih dalam keadaan melamun itu.

“Ayo, Mbak, kita pulang saja. Di rumah sudah disiapkan makan.” ucap Pak Teja.

Pak Teja memanggil Darma yang berada di dekatnya, memintanya membantu menuntun Maya agar cepat sampai ke rumah.

Saat dalam keadaan menuntun Maya, Darma mencoba mencuri pandang, menatap ke arah dimana sosok-sosok tadi yang ia lihat. Mereka masih ada di sana memperhatikan dengan tatapannya yang menakutkan.

“Padahal ini baru siang hari, kenapa ada pemandangan begini.” batin Darma.

Setibanya di rumah, mereka melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang mempersiapkan program kerja pribadinya, makan, istirahat, bahkan tidur siang. Malamnya, semuanya berkumpul, membicarakan rencana satu minggu ke depan dan mulai mempersiapkan apa saja yang akan digunakan.

Malam itu, Pak Teja menghampiri anak-anak sambil membawa secangkir air putih hangat yang di dalamnya terdapat beberapa lembar kelopak bunga melati.

“Ini minumkan ke Mbak Maya ya, Mbak.” kata beliau kepada para perempuan.

“Untuk apa, Pak?” tanya Dela

“Biar besok tubuhnya sudah sehat. Ini obat, bukan apa-apa.” terang Pak Teja, beliau pun langsung pergi keluar rumah

“Jangan berpikir terlalu jauh, jika itu memang obat, minumkan saja ke Maya dan lihat bersama besok, bagaimana keadaannya.” ucap Arbi.

Di hari kedua itu, mereka belum banyak melakukan aktivitas atau melakukan program kerja. Perkenalan dengan pejabat desa dan keliling menyapa warga desa sudah membuat mereka cukup lelah.

***

Selasa, Minggu kedua KKN.

Dela tengah bersiap untuk melakukan program kerjanya sore nanti. Rencananya, dia akan belajar dan bermain bersama dengan anak-anak desa yang telah dia aja sehari sebelumnya. Lokasi yang ia tentukan adalah gazebo pinggir sungai di ujung desa,-

alasannya, tak lebih karena udara sejuk sore hari di sana menurutnya akan membuat anak-anak senang saat belajar dan bermain bersamanya nanti.

Tapi, saat sudah siang, Dela baru menyadari jika yang lain sedang sibuk dengan program kerjanya masing-masing sampai petang nanti

Dela memperhatikan alat peraga yang sudah ia siapkan, rasa-rasanya tidak sanggup jika ia bawa seorang diri. Tak berselang lama, satu orang muncul di hadapannya, dia adalah Maya. Mengetahui kedatangan Maya, tanpa basa-basi Dela mengajaknya sore nanti.

Singkat cerita, sore datang, kurang lebih pukul setengah empat sore Dela sudah mengumpulkan anak-anak. Sesuai dugaannya, anak-anak datang dengan wajahnya yang ceria.

“Yuk, jalan.” ajak Dela.

Dibantu Maya, Dela membawa alat-alat peraga yang akan ia gunakan.

“Mau kemana, Mbak?” tanya warga saat melihat Dela bersama anak-anak.

“Jalan-jalan, Bu. Sambil belajar.”

“Jangan sampai jembatan ya, Mbak. Sudah sore.” ucap warga yang lain.

Dela hanya menganggukkan badan seraya memberi senyum kepada warga yang menyapanya. Tidaklah mereka tahu, jika tujuan Dela adalah ke sana. Ya, ke gazebo tepi proyek jembatan sana.

Di sepanjang jalan, Dela dan Maya saling bercanda dengan anak-anak, sesekali Dela mengajak mereka bernyanyi bersama agar perjalanan mereka tidak membosankan.

Sesampainya di sana, Dela lantas memeragakan alat peraganya satu persatu, mengajak anak-anak bermain sambil belajar ditemani sepoi-sepoi angin sore kala itu. Suasana di sana memang terasa sejuk, terlebih lagi jika sore hari.

“Aneh, mengapa warga memeringatinya ke sini saat sore? Padahal waktu bagus-bagusnya ke sini adalah saat begini.” ucap Dela dalam hati.

“Del, ayo pulangg. Sudah kesorean.” ajak Maya. Tapi Dela masih hanyut dengan suasana di sana bersama anak-anak.

Waktu terus berjalan, tanpa Dela sadari, matahari sudah hampir tak terlihat lagi. Dela lalai dengan waktunya, ia melihat Maya sudah kesal kepadanya.

“Ayo, pulang anak-anak. Sudah sore.” ajak Dela kepada anak-anak.

“Aku sudah mengajakmu dari tadi.” ketus Maya.

Tapi mengatur anak-anak ketika bermain memang tak semudah itu

“Ayo, May. Udah mau gelap,lama-lama takut nih.” ucap Dela

Dela berjalan paling depan dengan anak-anak, meninggalkan Maya di belakang

“Maya! Cepatlah!” teriak Dela saat menyadari Maya tiba-tiba saja diam tak bergerak

“May!” teriak Dela lagi

“Mbak Maya! Mbak Maya!” teriak anak-anak bersahutan

Dela masih diam memperhatikan, ia ingin tau sejauh mana Maya bergerak. Namun, ternyata keputusannya salah, Maya malah semakin berani menapakkan kakinya ke arah semak-semak yang tidak mungkin dilaluinya

“May, Maya!” panggil Dela. Dela semakin panik melihatnya. Dela pun berlari mengejarnya. Sontak anak-anak pun turut mengikuti Dela di belakangnya.

Bercanda dan bermain memanglah dunia anak-anak, bahkan di situasi seperti ini pun mereka masih sanggup tertawa dan menganggap jika yang dilakukan Maya adalah sebuah candaan.

“Mbak Maya lihat setan ya? Mana mbak setannya?” tanya salah satu anak dengan wajah bergurau. Hal itu lantas memancing respon anak-anak yang lain dan ikut bergurau bersamanya.

“Mana mbak setannya?” tanya mereka. Maya terus berjalan meski Dela memanggilnya berulang kali.

“Maya! Maya! Mbak Maya!” panggil Dela bersahutan dengan anak-anak.

Dela mencari barang apapun di dekatnya, ranting, kerikil atau sampah untuk dilemparkannya ke arah Maya.

“Maya”

“Maya” Teriak Dela sambil melemparnya berulang kali.

Sampai, disatu waktu sebongkah batu agak besar mengenai punggungnya lalu membuatnya sadar lalu berbalik arah.

“Kok, aku di sini. Dela!” ucap Maya.

“Mbak Maya! Sini mbak,jangan kesana! Rumputnya banyak durinya” panggil anak-anak.

Maya mencari jalan kembai, mencari jejak kakinya yang hampir tidak kelihatan karena sebentar lagi akan gelap.
Maya terlihat linglung, ia bingung dengan dirinya sendiri.

Setibanya di rumah, yang lain menunggu mereka berdua dengan harap-harap cemas.

“Kalian dari mana?” cecarnya pada Dela dan Maya.

“Gazebo sungai.” tutur Dela.

“Sampai maghrib begini? Nggak baik kalian keluar sampai jam segini, apa lagi di tempat itu yang sekelilingnya gelap.” tegur Bayu.

Tidak hanya Bayu, yang lain, saat menyadari Maya dan Dela baru pulang dari ujung desa petang-petang pun mengomel pada mereka. Dela dan Maya memilih menghindar lalu masuk ke dalam kamar dan Dela memilih tidak menceritakan kejadian barusan.

Malamnya, Maya mengeluh sekujur badannya pegal-pegal dan terasa sakit di semua sendi tubuhnya.

“Kenapa, May?” tanya Putri saat menyadari ada yang aneh dengan Maya.

“Sakit.” jawab Maya dengan memijit lengan tangannya.
Rapat malam hari itu pun Maya izin tidur lebih dahulu karena sudah tak kuat menopang tubuhnya sendiri.

***

Baru saja jamaah subuh pulang dari musholla, sinar matahari pun baru muncul dari timur. Sejak sepulangnya dari musholla, Darma, Bayu dan Arbi lalu bersantai di depan rumah sambil menikmati secangkir teh hangat dan udara pagi, sementara para perempuan masih di kamar.

Diantara mereka bertiga yang tengah ngobrol, sebuah teriakan laki-laki paruh baya menggema di salah satu jalan, terdengar pelan hingga semakin lama semakin kencang.

“Ono mayit… ono mayit ning kali… (ada mayat… ada mayat di sungai)” teriaknya histeris di sepanjang jalan yang ia lewati. Namanya Pak Warsidi, penggarap sawah yang sawahnya berada tak jauh dari proyek jembatan.

Tak ayal jika Pak Warsidi bisa menjumpai hal itu di saat matahari baru saja memulai aktivitasnya.

“Ono mayit… Ono mayit….” (ada mayat… ada mayat….) teriaknya lebih keras saat melihat beberapa warga yang sudah berlalu-lalang.

Hal itu lantas membuat warga yang mendengarnya pun keluar rumah dan mendekat, termasuk Darma, Bayu dan Arbi.

“Opo?” (Apa?)

“Sopo?” (Siapa?)

“Neng endi?” (dimana?) Tanya warga saling bersahutan.

“Neng kali…” (Di sungai) jawab Pak Warsidi dengan napas yang terengah-engah.

Setelah itu, warga berduyun-duyun ke sungai, ke titik yang disebutkan. Bayu, Darma dan Arbi pun turut ke sana, sebelumnya mereka meminta para perempuan untuk berjaga-jaga di rumah saja. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke lokasi yang dimaksud Pak Warsidi.

Di sana sudah ada cukup banyak orang sedang berjajar di pinggiran sungai menatap mayat laki-laki yang tertelungkup tersangkut diantara bebatuan yang dialiri air. Sebagian besar mereka menutup hidung, karena mayat itu sudah mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Tiga orang pemuda yang memiliki keberanian pun diperintah untuk memindahkan mayat itu ke tepi sungai. Mereka adalah Agus, Suroso dan Wiryo.

Darma menawarkan diri membantu walau dengan perasaannya yang agak takut dan tanpa pengalaman.

“Serius, Dar? Berani” tanya Arbi dan Bayu saat mendengar Darma menawarkan diri.

“Sudah lah, sudah kewajiban kita begini, supaya mereka menganggap kita berguna KKN di sini.” bisik Darma.

Secarik kain yang cukup tebal menutup hidung dan mulut mereka berempat, demi mencegah bau tak sedap mayat itu mengganggu proses evakuasi yang akan mereka lakukan

Saat keempatnya siap, proses evakuasi pun segera dilakukan. Awalnya, mereka berjalan mendekati mayat yang belum diketahui identitasnya itu, melewati bebatuan sungai licin dengan penuh kehati-hatian.

“Hati-hati, Mas.” ucap Agus kepada Darma.

Ini kali pertama Darma melakukan evakuasi terhadap mayat, jangankan evakuasi, memandikan jenazah saja belum pernah ia lakukan. Wajar, jika rasa tegang menyelimuti perasaan Darma.

“Kira-kira, ini disebabkan apa ya, Mas?” tanya Darma.

Namun ketiganya hanya menggelengkan kepala

Saat sudah dekat, raut wajah Darma berubah, begitu pun tiga orang yang lainnya saat semakin dekat dengan mayat itu. Mereka berempat terperanjat, bahkan dua orang sampai jatuh terduduk karena melihat kondisi mayatnya.

Pasalnya, mayat itu tampak berlubang di bagian tempurung kepalanya, seperti bekas ditikam berkali-kali, sisa-sisa darahnya pun masih sedikit mengalir dan menyebabkan air sungai di dekatnya berubah berwarna merah.

“Astagfirullah.” ucap Darma dan tiga orang lainnya. Bau busuk menyeruak ke hidung mereka bertiga, menyebabkan mual dan ingin muntah.

Sikap mereka yang janggal pun disadari oleh warga yang memperhatikan mereka.

“Nek ora wani, ndang balek mrene, ben sing liyane wae sing ngangkat mrene. (Kalau tidak berani, kembalilah ke sini, biar yang lain saja yang mengangkatnya kemari.” teriak warga.

Namun, salah satu diantara mereka, yakni Suroso mengangkat jempol tangan kanannya, memberi tanda jika mereka sanggup melakukan tugasnya.

Suroso mengambil alih, mengarahkan Agus, Wiryo dan Darma. Suroso mengangkat bagian kepala.

Darma dan Agus bagian punggung dan pinggul, sementara Wiryo di bagian kaki. Namun, lagi-lagi mereka terkejut, hal itu disebabkan karena Suroso.

“Ora mung sirahe sing bolong, uteke yo wes ora ono. (Tidak hanya kepalanya saja yang bolong, otaknya juga sudah tidak ada)” ucap Suroso.

Ketiganya pun semakin terperanjat. Darma yang penasaran pun ikut melihat ke kepala mayat itu. Benar, kepalanya berlubang hingga menembus tempurung tengkoraknya, otaknya pun tak ia lihat di sana, hanya lubang dengan darahnya yang masih basah.

“Wes-wes, lek ndang pindahno wae, aku wes ora tahan karo ambune. (Sudah-sudah, segera pindahkan saja, aku sudah tidak tahan dengan baunya.” tegas Wiryo dan Agus.

Perlahan mereka mengangkat mayat itu, kemudian melangkah pelan melewati bebatuan sungai dengan hati-hati. Warga yang melihat dari tepi sungai pun saling berteriak mengarahkan mereka.

“Mengerikan.” itulah yang terbesit dalam pikiran Darma saat mengangkat mayat itu.

Saat sudah sampa di pinggir sungai, mereka letakkan mayat itu di atas beberapa lembar daun pisang sudah disiapkan warga sebelumnya.

Warga di sana langsung mengelilingi mayat itu sambil menutup hidungnya rapat-rapat, lalu mengamati wajah mayat itu dengan sungguh sungguh, berusaha mengenali siapa sebenarnya mayat itu.

“Luwih apik gowo wae nang deso, ben awake dewe gampang nek misale arep ngopo-ngopo.” (Sebaiknya dibawa saja ke desa, agar kita mudah jika akan melakukan apa-apa.) ucap salah satu warga.

Semua warga di situ mengangguk mengiyakan, mayat dipindahkan ke desa dengan dinaikkan mobil bak terbuka, setelah itu warga beramai-ramai mengikutinya karena masih dihantui oleh rasa penasarannya.

Darma, Bayu dan Arbi pun kembali ke desa, namun, beberapa bercak darah masih menempel di tangan Darma, melihat itu, Bayu lantas memintanya untuk membersihkannya dulu ke air sungai.

“Bersihkan dulu tanganmu, Dar.” suruhnya.

Darma berjalan kembali ke tepi sungai, membasuh tangannya dari sisa-sisa darah mayat tadi. Tapi, Darma merasa tidak nyaman dengan posisinya, dia merasa ada yang sedang memperhatikannya namun entah apa.

Saat beres dengan tangannya, Darma berbalik arah, hendak menyusul Bayu dan Arbi di seberang jalan. Namun, betapa terkejutnya dia, kerumunan makhluk yang ia lihat sebelumnya saat pertama kali kesini, kembali ia lihat lagi tapi dengan wajah dan bentuk yang mengerikan.

Darma mulai berspekulasi sendiri, soal mayat tadi dan sosok-sosok makhluk yang ia lihat ini.

“Apakah semua ini ada benang merahnya?” batin Darma.

Belum tuntas dengan pikirannya sendiri, teriakan Bayu terdengar memanggilnya “Dar! Lama sekali lah kau ini. Cepatlah!”

Darma bergegas menyusul Bayu dan menyusul warga yang sudah agak jauh di depan mereka. Suasana Desa Suguhan mendadak ramai, Bayu pun mengarahkan seluruh anggota KKN untuk aktif membantu kebutuhan para warga.

Tidak lama kemudian, kepala desa datang bersama lima orang polisi. Mereka mendekat, mengamati mayat yang baru saja ditemukan.

“Siapa yang pertama kali menemukan mayat ini?” tanya kepala desa.

“Saya, Pak.” seseorang menyelinap dari kerumunan warga, tak lain dia adalah Pak Warsidi.

Polisi meminta semua warga menjauh, kemudian memanggil orang-orang yang bisa dimintai keterangan termasuk Agus, Wiryo, Suroso dan Darma yang mengangkat mayat itu dari tengah sungai. Sementara, polisi yang lainnya pergi ke area sungai tempat ditemukannya mayat itu.

Kepala desa, polisi dan orang-orang yang akan dimintai keterangan beralih ke ruang tertutup untuk diskusi lebih lanjut.

“Kapan Pak Warsidi menemukan mayat itu?”

“Seperti biasa, Pak. Setiap pagi saya selalu ke ladang, tapi pagi tadi, ada bau busuk di sana, saya pikir bangkai hewan, tapi setelah saya cari malah ada mayat di tengah sungai dekat ladang saya.”

“Dari keterangan warga yang berkumpul, apa tidak ada yang mengenalinya?” tanya polisi. Namanya Pak Rojo.

“Tidak ada, Pak.”

“Saya pun tidak mengenalinya, Pak.” terang kepala desa.

Suroso menyela, dia menanyakan kondisi mayat dengan kepalanya yang bolong dan tanpa otak. Dari sini, diskusi semakin liar, berbagai spekulasi mereka bicarakan, mulai spekulasi logis,bahkan hingga spekulasi magis yang dikaitkan dengan cerita lama desa.

“Cerita lama?” Darma yang mendengarnya pun penasaran dengan kalimat itu.
Ada begitu banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawabannya. Ada begitu banyak spekulasi dan dugaan. Semuanya masih abu-abu dan hanya sedikit penjelasan.

Hingga dua jam kemudian, tidak satu pun diantara mereka mengenali mayat itu, atau ada warga yang mengaku ada satu anggota keluarganya yang hilang, sehingga, melalui pemerintah desa dan kepolisian setempat,-

mayat itu diserahkan ke pihak yang berwenang untuk dilakukan autopsi dan dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

***

Setelah kejadian aneh saat menemani Dela melaksanakan program kerjanya, sendi di tubuh Maya terasa teramat sakit dan susah digerakkan, beberapa kali dia dipapah saat hendak makan atau sekadar ke kamar mandi.

Sore itu, Maya memutuskan untuk mandi setelah sehari sebelumnya belum bersahabat dengan air. Namun, kali ini Maya kembali merasakan perasaan janggalnya.

Disetiap kali guyuran air membasahi tubuhnya, ia merasa ada yang sedang berdiri di belakangnya, seperti ada yang sedang ikut membasuh tubuhnya. Beberapa kali Maya menoleh, lalu mengamati sekelilingnya, dan mencoba untuk tidak menghiraukannya.

Saat keluar dari kamar mandi pun, Maya merasa seperti ada yang sedang mengikutinya, tengkuk lehernya terasa dingin, sesekali Maya meraba lehernya sambil menoleh ke belakang untuk sekadar memastikan jika tidak ada siapa-siapa di sekelilingnya.

Maya mempercepat langkah kakinya, agar segera sampai di kamar, namun, saat tiba di rumah depan, Maya menangkap orang asing di depan rumah sedang berdiri menatapnya. Orang asing itu tersenyum menyeringai, sambil menganggukkan kepalanya kepada Maya.

“Siapa?” pikir Maya.

Orang asing itu perlahan berjalan masuk mendekati Maya, semakin dekat, orang asing itu berubah menjadi wujud yang menakutkan, tubuhnya membesar dengan taring panjangnya yang berliur. Rambut panjangnya pun tampak berantakan menjuntai hingga punggung.

Barulah di situ Maya sadar, jika yang dia lihat bukanlah orang asing, melainkan demit yang entah dari mana asalnya. Dia menggeram dengan suara berat, membuat Maya beringsut mundur dari tempatnya berdiri, kakinya terasa lemas.

Sialnya, tubuhnya yang masih terasa sakit itu membuatnya terjatuh dengan posisi terduduk dengan pandangannya yang masih menatap ke depan ke arah makhluk mengerikan itu.

Maya menenggelamkan wajahnya diantara lututnya, kakinya gemetar sambil membatin dimana teman-temannya berada, mulutnya seolah terkunci dan tidak bisa berteriak.

Tak lama kemudian, diantara rasa paniknya yang tak lagi terbendung, suara menyeramkan itu sekarang hilang seiring dengan suara kedatangan Pak Teja yang terkejut meihat keadaan Maya.

“Lho, Mbak, kamu kenapa?” tanya Pak Teja panik, kemudian membantu Maya berdiri dan mendudukkannya di kursi ruang tamu.

“Kenapa, Mbak? Kamu jatuh ya?” tanya Pak Teja.

Maya menggeleng. Maya sukar membalas pertanyaan Pak Teja, karena ia tak sanggup mendeskripsikan rupa makhluk mengerikan itu.

“Ada orang, Pak. Laki-laki” tutur Maya singkat.

“Badannya besar, tegak, rambutnya panjang dan bertaring. Apa bapak nggak melihatnya?” imbuh Maya.

“Ha? Siapa, Mbak? Nggak ada siapa-siapa.” tanya Pak Teja.

Pak Teja keluar rumah, memeriksa sekeliling rumahnya, mencari orang yang dimaksud Maya namun tak juga menemukannya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close