Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BELENGGU SUKMA (Part 3) - Penghuni Sebelum Mereka

Selama ini warga hidup diantara ancaman, sajen-sajen itu adalah persembahan kepada mereka. Tidak memberi sajen artinya berani mati.


Part 3 - Penghuni Sebelum Mereka

Maya merasa lelah setelah seharian melaksanakan program kerjanya, sehingga malam itu, setelah rapat dan evaluasi rutin digelar, ia langsung beranjak tidur meski teman-temannya masih asyik ngobrol di ruang tamu.

Namun, diantara ketenangan tidur yang ia harapkan, Maya malah mendapatkan mimpi, dan mimpi itu seperti sebuah kejadian yang nyata baginya. Di mimpi itu, Maya tiba-tiba saja berada di sebuah tempat yang tidak asing baginya. Deretan rumah-rumah kecil tampak di ujung pandangannya.

Suara aliran air turut terdengar di telinganya. Maya sadar, jika saat ini ia sedang berdiri di atas tanah yang tak jauh dari sungai di desa Suguhan, sendirian dengan kegelapan malam yang hanya diterangi oleh cahaya dari rembulan malam.

Namun, Maya merasa ada yang janggal. “Di mana proyek pembangunan jembatannya?” batin Maya. Sejauh mata memandang, Maya hanya melihat sungai dan belukar yang terjejer di tepinya.

Maya lantas melangkah, menyusuri tanah di sekitarnya, ia melihat keadaan di sekitarnya sambil terus berpikir mengapa dirinya tiba-tiba berada di sana. Sebuah eraman tiba-tiba saja mengagetkan Maya, suaranya berat dan semakin lama semakin mendekat.

Maya berubah panik, matanya celingukan mencari keberadaan suara itu yang seperti sedang mengintainya.

“Hrrrrggggghhhh”

“Hrrrrggggggghhhhh”

Sesosok laki-laki muncul di ujung penglihatannya, pakaiannya compang-camping dan memiliki postur yang tinggi dan besar.

Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Maya berada. Maya meringkuk mundur, semakin lama sosok laki-laki itu semakin dekat dengannya dan semakin jelas wujud tubuhnya.

Rambutnya panjang terurai berantakan, dengan taring diantara dua bibirnya, Maya baru tersadar, ternyata suara geraman tadi adalah suara dari sosok laki-laki itu. Maya semakin panik, perasaannya diselimuti ketakutan. Dengan hati-hati ia menjauh.

“Ndok…. Kamu adalah orang yang aku tunggu selama ini….”

“Baumu wangi… aku sangat menyukai aroma manusia sepertimu…. Kemarilah…. Ikutlah denganku….” Ucap sosok laki-laki itu yang semakin membuat Maya ketakutan ketika mendengarnya.

“Tolong… tolong…..” teriak Maya, ia terus menjauh dan sosok laki-laki itu terus mengejarnya. Namun naas, kaki Maya tersandung bebatuan di sekitar sungai, Maya berusaha bangkit, namun kakinya teramat sakit karena tulang keringnya terbentur batu cukup keras.

Tidak membutuhkan waktu lama, sekarang sosok laki-laki itu sudah berada dekat dengan Maya. Dia menatap Maya dengan tajam, taringnya tajam tumbuh panjang, badannya sangat tinggi dan besar, mirip seperti buto yang ada di kebanyakan cerita.

“Baumu wangi… aku suka dengan aroma manusia sepertimu.” ucapnya sambil mengendus tubuh Maya yang sudah tak berdaya itu.

Maya tidak tahu lagi harus melakukan apa, tapi beruntung, saat itu Maya tersentak dari tidurnya karena Dela membangunkannya dengan kasar.

“Apa? Ada apa? Kenapa kamu membangunkanku?” tanya Maya dengan keadaan kaget.

Maya terduduk di atas kasur dengan tubuh penuh keringat, napasnya terengah-engah dengan jantng yang masih tak beraturan.

“Kamu yang kenapa, May? Kamu tidur, tapi napasmu tak beraturan.”

Maya mendadak diam, ia bingung dengan mimpinya yang dialaminya dan pertanyaan Dela barusan.

“Enggak, cuma mimpi buruk saja.” tutur Maya. Maya menenangkan diri selama beberapa menit. Suara jangkrik yang riuh di luar rumah menandakan bahwa malam sudah semakin larut.

***

Matahari yang cerah menyinari desa Suguhan pagi itu. Sinarnya menyeruak di antara pepohonan dan atap-atap rumah warga membentuk garis-garis cahaya yang menghangatkan tubuh. Butiran embun pun terlihat menempel di dedaunan, berkilau seperti Mutiara.

Bayu, Darma dan Arbi sudah bersiap pergi dari rumah, hendak bersilaturahmi ke salah satu rumah warga, karena menuturut penuturan warga yang lain, beliau ini adalah salah satu tetua di desa, dan suaranya sangat didengarkan oleh warga desa.

Terlebih jika desa Suguhan mengalami masalah, pasti banyak warga meminta pertolongan kepadanya. Atas dasar itu, kemudian mereka berpikir sangat perlu untuk bersilaturahmi dengannya, sekadar ngobrol dan tanya-tanya mengenai keadaan desa.

“Assalamualaikum.. Permisi.” ucap Bayu sesaat setelah sampai di depan sebuah rumah warga yang bernama Mbah Rahman.

Beberapa menit kemudian terdengar sahutandari dalam rumah, laki-laki paruh baya dengan tongkat di tangan kanannya muncul dari salah satu kamar di rumah itu.

“Walaikumsalam” jawabnya sambil tersenyum.

“Silakan duduk, Mas. Mas-mas KKN ya?” imbuhnya.
Di situ, melalui Bayu, mereka langsung menjelaskan maksud dan tujuannya ke sana.

Tak disangka, di rumahnya, Mbah Rahman bercerita banyak hal, tentang keluarganya, kehidupannya dan tentang desa Suguhan. Baginya, desa Suguhan ini sudah lebih dari sekadar desa dan rumah tempat ia tinggal, tapi lebih dari itu.

Sebuah figura berisi selembar kertas coklat terpajang di salah satu sisi tembok rumahnya, di atas kertas itu tertulis sebuah kalimat.

“Terima kasih, Rahmawati, sukmamu abadi bersamaku. Namamu akan selalu ada dan tumbuh dengan usiaku. Rahmawati, aku akan selalu mencintaimu walau dunia membatasi antara keberadaanmu dan keberadaanku.”

“Rahmawati, kalau boleh tahu, siapa Pak?” tanya Bayu karena sempat membacanya saat baru masuk ke dalam rumah.

Sejenak kepala Mbah Rahman menunduk, kemudian kembali tegak lalu tersenyum dan berkata, “Rahmawati… Dia istri saya yang sangat saya cintai hidup dan mati, Mas.

Sekarang dia sudah tenang dengan pemiliknya yang sesungguhnya. Surat itu, adalah surat yang saya tulis tepat setelah dia dikuburkan dua puluh tahun yang lalu.” ucap Pak Rahman.

“Maaf, Mbah, saya tidak tahu.” ucap Bayu merasa sungkan.

“Tidak masalah, Mas.” balas Mbah Rahman.

“Tahu kenapa desa ini dinamai desa Suguhan?” tanya Pak Rahman.

Darma, Arbi dan Bayu menggeleng bersamaan.

“Memangnya kenapa, Mbah?” timpal Bayu.

“Coba lihat di beberapa sudut desa dan di persimpangan desa. Apa kalian melihatnya?” tanya Mbah Rahman.

“Apa, Mbah?” Darma, Bayu dan Arbi belum menyadarinya.

Beberapa detik kemudian, barulah Darma teringat. “Apa ada kaitannya dengan sesajen-sesajen itu, Mbah?”

Mbah Rahman tersenyum, seraya menganggukkan kepalanya.

“Benar, Mas. Suguhan itu bahasa jawa yang artinya memberikan, menyuguhkan. Dan sajen-sajen itu diberikan untuk menyuguhkan kepada mereka.”

“Mereka?” sahut Bayu.

“Iya. Mereka yang ada dan hidup lebih dulu di tanah ini sebelum kami para warga yang tinggal di sini. Sajen itu disuguhkan kepada mereka.” jawab Mbah Rahman.

“Maksudnya? Leluhur desa?” tanya Bayu.

“Bukan. Mereka bukan dari golongan manusia. Mereka sudah ada bahkan sebelum tanah ini terjamah manusia.” jawab Mbah Rahman.

Jauh sebelum dihuni oleh banyak orang, tanah desa Suguhan adalah seperti di sekelilingnya, berupa tanah pegunungan dan konon dulunya dihuni oleh ratusan bahkan ribuan demit yang memiliki kekuatan yang sangat hebat.

Selain itu, tanah ini dulunya juga dijadikan jadi tempat mengubur jenazah, bahkan konon sudah ada sejak jaman penjajahan. Mulai dari korban pembunuhan, korban perang, bahkan korban kecelakaan juga dikuburkan di tanah ini.

Hingga, tibalah disatu waktu, tanah itu berganti dengan pemukiman warga yang terus berkembang hingga sekarang.

“Proses ketika mengalihkannya menjadi pemukiman penduduk pun tidak mudah, Mas. Sesajen itu adaah syarat-syaratnya, dan harus terus dilakukan. Jika tidak….”

“Jika tidak?” sahut Bayu.

“Jika tidak, desa ini akan celaka.” ucap Mbah Rahman.

“Terus, akan sampai kapan sesajen terus diberikan? Kenapa sampai mereka mengganggu warga jika itu tidak dilakukan?”

“Bukan mereka yang mengganggu. Tapi manusia yang memilih tinggal di tanah ini yang mengganggu mereka.” jawab Pak Rahman sambil mengangka wajahnya memandangi langit-langit rumahnya.

Kemudian matanya terpejam, Mbah Rahman mencoba mengingat kembali ingatannya yang menyangkut dengan sesuatu yang beliau sebut ‘mereka.’

“Jika Mbah Rahman tahu sejarah itu, mengapa Mbah Rahman mau tinggal di sini?” sahut Darma.

Mbah Rahman tersenyum, “Jika sejak kandungan saya tahu sejarah itu dan bisa memilih di mana saya dilahirkan, saya akan memilih untuk tidak dilahirkan di sini, Mas. Bapak dan Ibu saya pun ada di sini jauh setelah semua itu terjadi.” jawab Mbah Rahman.

“Istri saya adalah salah satu korbannya. Dia, Rahmawati memiliki wangi kembang wijaya Kusuma yang menarik keberadaan para danyang desa ini.

Banyak diantara mereka yang menginginkan Rahmawati, ingin menjadikannya istri, ratu, bahkan budak sekalipun. Sehingga, hampir di sepanjang hidupnya, dia mengalami banyak sekali teror.”

“Sampai, di satu waktu, saya tidak menyadari jika demit-demit itu sudah mempengaruhi Rahmawati sampai sejauh itu, dia tiba-tiba saja hilang, sebelum dinyatakan hilang, beberapa orang melihatnya berjalan ke arah sungai.

Tapi, saat saya dan warga mencarinya, tidak ada seorang pun yang menemukan Rahmawati.”

Linangan air mata keluar dengan sendirinya dari mata Mbah Rahman. Rahmawati adalah kecintaannya, dia dipaksa ikhlas karena kepergian istrinya secara tiba-tiba.

“Rahmawati. Hidup atau mati, aku akan selalu mencintaimu.” kalimat penutup pada selembar kertas yang terpajang di rumahnya itu.

“Mereka tidak bisa diusir, atau bahkan dihilangkan dari sini. Hanya dengan sajen-sajen itu, warga desa bisa menangkalnya, Mas. Semoga petaka seperti itu tidak lagi terjadi” ujar Mbah Rahman.

***

Di bawah lampu pijar kamarnya yang tak begitu terang, Bayu, Darma dan Arbi belum tidur, mereka bertiga tengah asyik ngobrol di sana, membicarakan banyak hal. Namun, suasana yang semula tenang tiba-tiba saja berubah ketika tercium bau anyir darah hingga ke dalam kamar.

“Apa kalian menciumnya juga?” tanya Darma, dia yang pertama kali menyadarinya.

Bayu dan Arbi pun tersadar sejak saat itu, bau anyir semakin kuat menusuk melalui lubang hidung mereka.

Tidak lama setelah itu, timbul suara berisik ayam dari kendang milik Pak Teja di belakang rumah. Mereka bertiga yang merasa penasaran pun keluar kamar, berencana mencari bau anyir yang mengganggu mereka bertiga.

Darma melangkah lebih dulu, sementara Arbi dan Bayu di belakangnya. Mereka menuju belakang rumah, ke tempat kendang ayam yang mereka curigai keberadaannya.

“Apa ada yang maling ayam?” celetuk Arbi.

“Entahlah. Bisa jadi iya.” jawab Bayu.

Pintu belakang rumah sudah sedikit terbuka ketika mereka bertiga melihatnya. Rasa panik pun seketika datang membersamai mereka, firasat mereka semakin kuat, jika ada yang tidak beres di belakang rumah.

“Pak Teja?” panggil Darma.

“Pak Teja belum pulang dari sore.” ujar Bayu mengingatkan.

“Lalu siapa?” tanya Darma, dia menghentikan langkahnya, lalu menatap Bayu dan Arbi dan saling bertanya-tanya.

Tak berapa lama setelah itu, Darma kembali berjalan, memastikan siapa yang berada di belakang rumah malam-malam begini. Sementara Bayu dan Arbi menunggunya di bibir pintu.

“Krrieeetttt….” suara pintu belakang ketika Darma membukanya perlahan.

Semakin lama, pintu menjadi terbuka lebar, sekarang Darma bisa melihat dengan jelas suasana di luar. Beberapa detik Darma diam termangu, melihat seseorang yang berada di depannya.

Darma memicikkan matanya, gelapnya malam menghalangi penglihatannya melihat dengan jelas. Beberapa detik kemudian, barulah matanya dapat menangkap sosok yang berada di depannya. Rasanya Darma tak percaya dengan apa yang ia lihat dengan dua matanya.

“Siapa, Dar?” tanya Bayu dan Arbi bersahutan. Tubuh Darma terkaku dengan mata yang terbelalak, melihat wanita yang tidak asing dari pandangannya, wanita itu tengah jongkok dengan ayam di genggamannya, dia mencabik-cabik ayam di tangannya utuh-utuh dengan giginya.

Matanya putih, pupil matanya menghilang. Wajah dan tangannya dipenuhi darah, merubah dirinya menjadi seseorang yang menakutkan. Napas Darma terengah, lalu menggeram, hendak teriak namun dia berusaha tenang agar tidak membangunkan seisi rumah.

Baru kali ini, Darma melihat pemandangan mengerikan seperti ini.

“Ada apa, Dar?” Bayu menyusulnya dari belakang. Arbi pun demikian. Tapi, sesaat setelah mereka bertiga melihat kejadian di depannya, mereka pun terperanjat.

Suasana mengerikan tak terhindarkan lagi, Bayu dan Arbi spontan berteriak seraya menghardik Maya.

“Maya!!! Apa yang kamu lakukan?” hardik Bayu dengan keras.

“Apa yang terjadi padamu?!!!” tanya Arbi dengan nada ketakutan.

Maya terus menggeram dan terus mengkoyak satu-persatu ayam di sekelilingnya. Wajah Maya yang pendiam, sekarang berubah mengerikan. Maya terlihat layaknya setan dengan banyak darah di sekujur tubuhnya.

Mereka bertiga bingung harus melakukan apa, mereka terus meneriaki Maya, memintanya melepaskan ayam di genggamannya. Tanpa mereka sadari, suara mereka menyebabkan para perempuan yang sudah tidur tiba-tiba saja bangun dan menyusul mereka bertiga.

“Astagfirullah….”

“Astagfirullah, Maya!!”

“Maya!!” teriak mereka.

Maya masih terus mencabik-cabik ayam di genggamannya tak peduli ada banyak orang di depannya.

Tubuhnya yang kecil itu kini berubah menjadi mengerikan, kerudungnya tak lagi di kepala, matanya menyipit, mulutnya menyeringai sambil mengunyah daging ayam mentah-mentah. Sementara, darah dari ayam yang dia kunyah terus menetes dan membasahi tubuhnya.

Entah setan apa yang sedang memengaruhinya sehingga merubahnya menjadi demikian.

Entah dari mana datangnya, Pak Teja kini muncul di hadapan mereka, menyadarkan Maya yang penuh dengan darah.

Pak Teja tampak memegang kepala Maya dengan tangan kanannya, mulutnya komat-kamit membacakan doa yang entah doa apa yang beliau baca. Tidak lama setelah itu, Maya melemas dan tidak lagi melahap ayam di tangannya.

Darma dan Bayu membantu Pak Teja memapah Maya ke dalam rumah, lalu meminta para perempuan membersihkan sisa darah yang masih menempel di tubuh Maya sebelum akhirnya diistirahatkan lagi di dalam kamar.

Maya kini terlihat menggigil, wajahnya putih pucat, matanya terpejam sambil sesekali meringis seakan menahan sakit. Teman-temannya yang awalnya merasa takut berubah menjadi prihatin. Ada apa sebenarnya dengan Maya? Mengapa dia menjadi aneh seperti ini?

“Apa yang terjadi dengan Maya, Mas-Mbak? Siapa yang memergokinya pertama kali?” tanya Pak Teja.

“Saya, Pak. Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Maya, saat menemukannya, Maya sudah dalam keadaan seperti yang bapak lihat tadi.” tandas Darma.

Maya terlihat menggigil, mulutnya tampak membuka dan menutup. Dengan suara lirih ia menggumamkan sesuatu.

“Haus… aku haus…. Aku ingin minum….” lirihnya dengan mata yang masih terpejam.

Putri pun bergegas mengambilkannya air minum, lalu mendekatkannya pada Maya. Anehnya, Maya malah menggeleng, menjauhkan segelas air yang didekatkan kepadanya.

“Darah….” lirih Maya lagi.

Semua orang yang mendengarnya berusaha mencerna apa yang Maya katakana.

“Apa Maya?” Bayu bertanya.

“Darah……” lirih Maya. Matanya tiba-tiba membuka, matanya masih putih sepenuhnya tanpa ada pupil hitamnya.

“Darah…. Carikan aku darah…. Carikan aku darah…..” lirihnya lebih keras.

Teman-temannya dibuat melongo oleh tingkah laku Maya yang belum kunjung mereda. Pak Teja yang tampak diam, kini terlihat masuk ke dalam kamarnya, lalu kembali lagi dengan mambawa sebuah kain jarik yang entah akan dia gunakan untuk apa.

“Selimutkan di atas tubuh Mbak Maya, Mbak, untuk jaga-jaga. Ini bukan kain jarik biasa. Semoga bisa meredakannya” ucap Pak Teja.

Benar saja, Maya terlihat lebih tenang, dan kembali tidur walau masih dengan napas yang terengah-engah.

Pak Teja meminta Bayu, Darma dan Arbi tidur di ruang tamu saja, berjaga-jaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi. Malam itu suasana sudah sedikit lebih tenang, namun, tidur di luar menjadikan Bayu, Darma dan Arbi kedinginan dan dihantui rasa cemas.

Mereka bertiga tidur berdempetan dengan selimutnya masing-masing.

“Aku merasa ada yang tidak beres.” ucap Arbi.

Seoalah benar, setelah Arbi mengatakan itu, suasana berubah seketika.

Duggg….

Bayu, Darma dan Arbi mendengar sesuatu dari belakang rumah. Menyadari hal itu mereka pun mulai membaca tiga surat utama perlindungan diri ; Al-Ikhlas. Al-Falaq dan An-Naas. Mereka membacanya berulang-ulang.

Dugggg….

Duggggg…..

Suara asing itu kedengaran lagi. Seperti suara langkah kaki. Langkahnya pelan namun suaranya kedengaran jelas hingga ke depan rumah.

“Pak Teja?” ucap Arbi.

“Nggak mungkin kaki Pak Teja menimbulkan suara seperti itu.” timpal Darma.

Hrrrggghh….

Hrrggghhh…..

Sekarang, suara langkah itu disertai dengan suara menggeram. Mereka bertiga semakin cemas, mereka pun memejamkan mata dan menutupnya dengan selimut. Mulut mereka terus komat-kamit membaca doa.

PRAAANG!!

Krrieeetttt….

Peralatan dapur terdengar berjatuhan, bersamaan dengan suara pintu belakang yang terbuka perlahan.

“Sialan! Apa lagi itu?!!”

Bayu, Darma dan Arbi berpadangan.

“Aku masih ingat jelas, pintu belakang sudah aku tutup dan kancing.” ucap Arbi.

“Mungkin lebih baik kita lihat.” bisik Darma kepada Bayu dan Darma.

Tapi Arbi tidak menghiraukannya dan mengatakan, “Kita tidur saja lah.”

Tapi Darma sudah kepalang penasaran, dia masih teguh dengan keinginannya.

Darma beranjak sendirian, dengan jantung berdebar ia berjalan pelan menuju belakang. Namun,baru lima langkah sampai di perbatasan antara rumah depan dan belakang,dia dikejutkan dengan banyaknya sosok mengerikan berwujud manusia namun dengan tubuh yang penuh dengan luka dan nanah,-

satu di antara mereka memiliki postur yang lebih besar dan tinggi, dan bagian yang mengerikannya adalah sosok yang paling besar itu membawa sepotong kepala di tangannya.

“Astagfirullah.” Darma terperanjat lalu seketika berlaro kembali ke posisinya semula dan menambah kencang rapalan doa-doanya.

“Apa?!!! Ada apa. Dar???!!!” Bayu dan Arbi bersahutan bertanya.

Darma bingung menjelaskannya bagaimana, ia hanya menjelaskannya dengan kata yang terlintas di otaknya saja. “Nggak tau, pokonya mengerikan.” tegas Darma yang membuat Bayu dan Arbi seketika terdiam dan berhenti bertanya.

Beberapa menit kemudian, barulah Darma teringat, bahwa makhluk-makhluk yang ia lihat tadi adalah makhluk yang dijumpainya di sungai ujung desa sana tempo lalu.

Tak disangkanya, sekarang mereka menyambangi posko KKN nya, dan Darma pun berpikir jika kejadian yang menimpa Maya tadi berkaitan erat dengan kemunculan mereka.

***

Pagi harinya, suara adzan subuh membangunkan mereka bertiga. Ketiganya mengeluh pegal-pegal setelah semalaman dihantui oleh rasa takut yang tak berkesudahan.

Dering HP Bayu bunyi, sebuah panggilan masuk di HP nya.

“Pak Bagus… Telfon dari Pak Bagus.” celetuk Bayu. Pak Bagus adalah dosen pendamping kelompok mereka. Bayu manggut-manggut dalam percakapannya. Entah apa yang dia bicarakan dengan Pak Bagus.

Beberapa menit kemudian, Bayu menutup panggilannya, kemudian berujar, “Jam sepuluh, Pak Bagus akan datang dan sidak ke sini.”

Darma dan Arbi yang mendengarnya pun sontak terduduk, lalu menoleh ke jam dinding rumah yang sudah hampir menunjuk ke angka tujuh.

Memang sudah disampaikan, jika dalam berjalannya KKN, dosen pendamping akan menyempatkan datang memantau, tapi kenapa mendadak begini? Apa lagi, semalaman baru saja ada insiden yang membuat satu kelompok bingung mengatasinya.

“Pak Bagus akan datang jam sepuluh. Kumpul di ruang tamu, ya.” tulis Bayu di grup whatsapp KKN mereka.

Tak lama kemudian, satu persatu para perempuan datang, kemudian mempersiapkan laporan harian KKN mereka. “Jaga-jaga jika sewaktu-waktu ditanya.” kata Bayu.

“Perlukah memberi tahu Pak Teja?” tanya Bayu.

“Tentu saja perlu, beliau tuan rumah. Kita juga perlu bertanya pada beliau mengenai kondisi Maya yang masih lemas itu.” kata Dela.

“Di mana Mbak Maya?” tanya Pak Teja, sesaat setelah diberi tahu jika Pak Bagus akan datang.

“Masih lemas, Pak. Badannya demam, tadi sudah kami beri penurun panas.”
Terlukis wajah cemas pada Pak Teja, dia tampak bingung entah apa yang dipikirkannya.

“Ya sudah, Mbak. Biarkan Mbak Maya istirahat saja. Jika nanti Pak Bagus menanyakan, dijawab saja jika sedang sakit biasa ya, jangan bilang perkara semalam.” ucapnya.

Semua mengangguk setuju, tanpa bertanya alasannya pun mereka sudah paham apa tujuannya. Ya, tidak lain agar program KKN mereka tetap berjalan dengan lancar.

Singkat cerita, satu buah mobil datang mendekat ke pekarangan rumah, satu orang supir bersama dengan penumpangnya turun dari atas mobil yang tak lain adalah Pak Bagus.

“Assalamualaikum.” ucap salamnya seraya menjabat tangan Bayu, Pak Teja dan yang lainnya yang sudah menunggunya di depan rumah.

Saat itu, Pak Bagus banyak menanyakan sejauh mana program KKN sudah terlaksana, dan menanyakan bagaimana anak-anak KKN nya kepada Pak Teja.

Semua menutup rapat-rapat soal semua kejadian janggal yang menimpa mereka.

“Semua berjalan lancar dan tidak ada masalah apa-apa, Pak.” ujar Bayu saat ditanya sudah mengalami kesulitan apa selama KKN di desa Suguhan.

“Oiya, seingat saya, jumlah perempuannya ada lima, yang satunya kemana?” tanya Pak Bagus tiba-tiba.
Bayu memandang teman-temannya, seolah bingung dengan lontaran pertanyaan Pak Teja yang tiba-tiba menanyakan Maya.

“E-e-e, Maya yang bapak maksud? Dia sedang tidak enak badan, Pak, kemarin kelelahan habis bantu yang lain melaksanakan program kerja. Sekarang Maya di dalam kamar sedang istirahat.” ucap Dela.

“Benar tidak apa-apa kan?” tanya Pak Bagus memastikan.

“Iya, Pak. Maya hanya perlu istirahat saja.” jawab yang lain.

Terdengar suara gesekan pintu terbuka dengan tiba-tiba.

Srrreekkkk…..

Seorang perempuan muncul dari sebuah kamar dengan wajah pucat dan lemas. Semua orang yang menyadari kemunculannya kini menatapnya dengan heran.

“Mbak Maya” panggil Pak Teja.

Maya tiba-tiba saja keluar kamar, kemudian bergabung dengan teman-temannya bertemu dengan Pak Bagus. Dela dan Putri pun spontan membantunya, lalu mendudukkannya diantara mereka berdua.

“Kamu istirahat saja, Maya.” bisik Dela.

“Mbak Maya kalau masih kurang sehat, di dalam kamar saja istirahat. Saya tidak masalah.” ujar Pak Bagus.

Maya menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya, bibirnya pucat putih dan tubuhnya terasa dingin.

Beruntung, perhatian Pak Bagus tidak terfokus kepadanya, dan Bayu pun mengalihkan perhatiannya dengan cara banyak memberinya pertanyaan.

Setelah hampir satu jam, Pak Bagus pun pulang, diantar oleh Pak Teja dan yang lainnya keluar rumah. Mungkin ini akan menjadi kunjungannya pertama dan terakhir di desa Suguhan, karena katanya, akan bertemu lagi ketika penarikan nanti di kampus.

“Maya, sebaiknya kamu istirahat saja…” ucap Putri sambil menoleh ke tempat Maya berdiri.

Tapi, setelah menoleh, Putri tidak melihat keberadaan Maya, dia lantas mencarinya di antara teman-temannya yang lain dan tidak menemukannya juga.

“Dimana Maya?” bisik Putri pada Dela.

“Tadi kan di situ.” Jawab Dela menunjuk ke satu arah.

“Enggak ada.” tegas Putri.

Setelah mobil Pak Bagus pergi dan tak terlihat lagi, buru-buru Putri ke dalam kamar, mencari keberadaan Maya.

Degg… Jantung Putri terhenti, dia melihat Maya di atas kasur sedang tertidur, dan tidak ada gerak-gerik yang menunjukkan jika dia baru saja keluar kamar.

“Ma-Maya, dia tidur…” ucap Putri dengan bibir bergetar dan perasaannya campur aduk.

“Lalu… Maya yang keluar kamar?” tanya Putri dengan raut wajah panik.

Semuanya saling pandang, termasuk Pak Teja. Pak Teja menyelinap masuk ke dalam kamar, menatap Maya beberapa lama.

“Jika besok Mbak Maya masih belum sehat, bapak akan cari cara.” ketus Pak Teja. Hari itu berakhir dengan sebuah misteri.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
BELENGGU SUKMA (Part 4)

*****
Sebelumnya

Spoiler part 4:
Gerombolan laki-laki itu menerobos kegelapan malam tanpa hambatan. Padahal, jalanan sepi tanpa ada penerangan. Darma beberapa kali menyalakan senter HP nya hanya untuk membantunya berjalan.

Sesekali Darma menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika dia masih di tempat yang aman.

“Apa kalian udah pernah jalan ke arah sini?” tanya Darma.

Bayu dan Arbi menggeleng.

Arbi tersandung, lalu tersungkur di atas tanah tempatnya berdiri. Saat Darma dan Bayu membantunya, barulah mereka bertiga tersadar, jika sekarang mereka berada diantara puluhan makam.

“Opo kowe kabeh pengen mati koyok sing mbok delok iki? (Apa kalian ingin mati seperti yang kalian lihat ini?)” sebuah suara berat muncul entah dari mana asalnya.

Ketiganya mencari keberadaan segerombolan orang tadi yang tiba-tiba lenyap di antara gelapnya malam, menyisakan suara-suara yang membuat mereka merasa ketakutan.

“Aku nggak tahu apa maksud ucapannya itu. Tapi, itu terdengar seperti sebuah peringatan.” pungkas Darma.

“Kita pergi saja dari sini.” pekik Arbi.

Tapi, nampaknya keinginan mereka pergi sudah terlambat.

Tubuh Darma, Bayu dan Arbi mendadak kaku, dari kejauhan grombolan laki-laki misterius itu kembali muncul, memperlihatkan wujudnya yang menyala kemerahan diantara gelapnya malam.
close