Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA (Part 1)

Pendakian kali ini, mengantarkanku ke sebuah tempat yang tidak semestinya aku datangi


Cerita ini, saya adaposi dari cerita lama saya yang sudah mengalami beberapa pembaharuan bersama dengan orang yang mengalaminya secara langsung.

Dari cerita yang sudah mengalami penyempurnaan dan pembaharuan ini, saya harap teman-teman pembaca bisa lebih menikmatinya dengan baik.

Libur semester sekolah memang sangat ditungu- tunggu oleh kalangan siswa, selain karena durasi liburnya yang cukup lama, karena di saat itulah mereka bisa melepaskan penat setelah dihadapkan dengan padatnya jadwal sekolah berbulan-bulan lamanya.

Saat libur semester berlangsung, banyak yang memanfaatkannya dengan cara bepergian dengan keluarga, teman atau malah hanya digunakan untuk bermalas-malasan di rumah.

Bagaimana denganku? Berbeda dari teman sekelasku yang lain, aku mengisi liburanku dengan mendaki gunung bersama 2 orang teman kampungku.

Edi, begitulah orang-orang memanggilku. Aku adalah siswa yang baru saja naik tingkat menuju kelas 12. Bagiku, gunung dan hutan adalah salah satu tempat bermain favoritku.

Walau baru memasuki usia 17 tahun, beberapa puncak gunung sudah berhasil aku gapai. Mana saja? Aku rasa, tidaklah perlu aku menyebutkannya, sebab, bukan seberapa banyak gunung, tapi, seberapa banyak pelajaran yang bisa aku ambil di setiap perjalananku.

Cerita ini berawal, saat aku sedang asik nongkrong di warung Pak Joyo langgananku dekat rumah. Ditemani secangkir susu hangat dan suara perbincangan bapak- bapak yang mengisi telingaku.

Disitu, dengan segelas susu dan gorengan yang tersaji di atas meja, aku hanya berselancar keliling dunia melalui alat canggih di tanganku, Handphone.

“Ternyata kamu disini. Pantas saja, aku cari di rumah tidak ada” ucap seseorang dari kejauhan yang berjalan ke arah warung Pak Joyo.

“Pak, es teh satu” ucapnya memesan, saat sudah berada di dalam warung. Ternyata, dia bukanlah orang asing dikehidupanku, dia adalah Kosim, teman rumah yang kerap nongkrong bersamaku.

“Ed, besok naik gunung yuk” ucapnya tanpa basa-basi atau sekadar memakan gorengan terlebih dulu.

“Besok kapan?” tanyaku.

“Ya, ya besok, besok Rabu”

Aku yang masih mengunyaghbakwan tiba-tiba berhenti lalu melotot melihat Kosim saat mendengar perkataannya.

“Haa?”

“Kau gak dengar? Apa suaraku kurang jelas?”

“Iya, Rabu besok, ayo ke Merapi” tambahnya.

Nampaknya bocah satu ini serius mengajakku mendaki gunung.

“Sek...sek... kamu ini gila ya? Kamu piker aku tidak ada pekerjaan di rumah libur-libur begini?”

“Ayolah, Ed. Ke Merapi lho ini, tempo hari, kamu kan pernah cerita kalau ingin mendaki kesana?” Kosim merayuku.

“i-i-iya sih. Emang....”

“Nah, makanya, gasskan aja” sautnya saat aku belum selesai melanjutkan kalimat perkataanku

“Dengarkan dulu! Rencanamu sama siapa?”

“Ali, rencana besok pagi aku berangkatnya” pungkas Kosim.

“Emang gak salah lagi aku memberi label gila di jidatmu, Sim!” umpatku kesal.

“Sebenarnya aku tertarik dengan ajakanmu. Tapi, besok pagi aku ada pekerjaan rumah dari bapakku. Kalau berangkat pagi aku tidak bisa”

“Apa begini....”

“Gimana?”

“Sebentar! Aku mikir dulu sebentar”

“Bocah edan! Aku kira sudah ada solusinya” ucapku.

“Oh, iya, kamu menyusul aja, aku sama Ali naik dulu, jalanku pelan kok. Tapi, kalau kamu lama, ya aku nanti menunggunya di pasar bubrah saja”
(Pasar Bubrah : lokasi camp sebelum puncak Merapi)

“Kamu kan sudah biasa mendaki gunung, Ed. Sudah banyak gunung yang kamu daki, masak begitu saja kamu tidak berani?”

Mendengar perkataan Kosim,aku sejenak diam untuk berpikir, mempertimbangkan ajakan Kosim. Berangkat, atau tidak? Jika berangkat, bagaimana izinku ke bapak ibu? Jika tidak, Merapi adalah salah 1 gunung keinginanku, entah kapan lagi aku bisa kesana jika aku menolak ajakan Kosim.

“Kelamaan!” tegur Kosim melihatku melamun.

“Sabar! Aku diam begini itu lagi mikir!”

“Langsung sat-set lho, Ed!”

“Ya, gimana, ya... Ya udah lah, aku mau”

“Nah, gitu dong dari tadi”

“Mulutmu ringan sekali ya, Sim? Kalau gini, aku yang berat. Berat cari alasan ke orang tuaku supaya aku bisa pergi menyusulmu”

“Hehehe” Kosim hanya nyengir mendengarku, sambal menyedot es teh nya yang tinggal setengah gelas.

Pagi harinya, HP ku bergetar, menandakan ada pesan masuk yang baru saja dating.

“Ed, aku sama Ali sudah otw” tulis Kosim melalui pesan singkat. Aku terkejut membacanya, karena, saat pesan darinya masuk, jarum jam masih menunjuk ke angka 7.

“Gila! Gasik banget” gumamku.

“Apa gak kepagian, Sim?” balasku.

“Kan, aku sudah bilang pagi, Ed” balasnya lagi.

“Iya sih, tapi kan.... Ah, sial” umpatku dalam hati.

Aku sudah mengiyakan ajakannya kemari, sekarang yang terpenting adalah apa alasanku kepada orang rumah agar aku bisa keluar rumah hingga besok.

Setelah meletakkan HP, aku kembali merebahkan badanku. Sambil menatap langit-langit kamar, aku berpikir,

“Bagaimana jika akun terus terang saja jika hendak mendaki gunung? Ah tidak, pasti mereka melarangku, aku harus cari alasan lain”

“Aku selesaikan dulu saja pekerjaan rumahku” ucapku sambil bangun lalu keluar rumah.

Pagi itu, bapak menyuruhku membenarkan lampu belakang rumah yang sudah 2 hari mati karena ulah tikus yang tak kenal tempat bermain. Setelah selesai sarapan dan mengisi tenaga, aku mulai pekerjaanku dengan secepat mungkin dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tugas pertama selesai, sekarang gantian menjalankan tugasku sendiri, yaitu menyusul Kosim dan Ali ke Merapi.

Tapi, sebelum kesitu, aku harus melewati orang tuaku yang berada di depan rumah. Aku harus mencari alasan yang cepat dan tepat agar langsung diizinkan keluar rumah sampai besok.

Setelah semuanya beres, dengan seginap jiwa dan raga, walau dengan keraguan, aku memberanikan diri melangkahkan kaki mengampiri bapak-ibu di teras rumah.

Di luar, bapak ibu sedang menikmati waktu di atas kursi Panjang yang terbuat dari bambu. Sungguh hari tua yang diinginkan. Semoga kelak, saat aku tua, bisa menikmati waktu-waktu seperti bapak ibuku sekarang ini.

“Lagi pada ngapain, Pak-bu?” aku basa-basi terlebih dulu.

“Ngobrol aja, Ed. Tumben kamu nanya-nanya begitu?”

“Hehehe” aku sedikit nyengir.

“Anak kalau ada maunya ya begini” saut ibuku.

“Hehehe, aku mau ke rumahnya Dika, malamnya tidur disana, katanya ada acara di rumahnya”

“Acara apa?” tanya bapak.

“Adiknya sunat, Pak”

“Oh, kalau disana jangan aneh-aneh lho, jangan kumpul sama anak-anak yang gak baik” nasehat bapak. Dia khawatir aku kumpul-kumpul dengan orang yang tidak baik.

“Iya, Pak” jawabku sambil menganggukkan kepalaku.

“Mau kesana jam berapa?” tanya ibu.

“Mungkin sebentar lagi, Bu. Mau mandi sama siap- siap dulu sebentar” jawabku.

“Ya udah sana” suruh ibu.

Aku kembali ke dalam rumah, dengan perasaan senang.

“Yesssssss........” ucapku pelan sambil masuk ke dalam kamar.

Di kamar, aku menyiapkan beberapa alat yang akan ku bawa. Gak banyak, hanya daypack ukuran 30 liter, diisi sleeping bag, headlamp, matras, jas hujan dan beberapa plastik berisi makanan ringan.

Saat semuanya siap, aku menunggu waktu yang tepat untuk keluar rumah. Karena jika bapak ibu melihatku keluar rumah dengan daypack yang aku bawa, pasti mereka akan curiga. Karena daypack ini sangat jarang aku pakai sekolah atau bepergian kecuali aku pakai saat mendaki gunung.

Waktu sudah lewat setengah hari, matahari pun sudah sangat terik. Aku melihat jam dinding di kamar, sudah 10 menit sejak aku selesai berkemas, bapak ibu tidak juga ke dalam rumah. Rasa tak sabar dan rasa ingin segera lari keluar rumah semakin terbakar.

“Kenapa lama sekali, Pak-bu” gumamku.

Hingga, tak lama kemudian, bapak ibu ke dalam rumah. Aku yang sejak tadi di dalam kamar pun mulai memasang kuda-kuda. Ku buka sedikit pintu kamar, melihat kemana bapak dan ibu setelah masuk ke dalam rumah.

“Bismillah....” Aku memantapkan keluar kamar dengan lebih dulu menghampiri bapak dan ibu.

“Bu, Edi berangkat” ucapku sambil menghampiri ibu yang sedang menghangatkan sayur tadi pagi.

“Pak, Edi berangkat, ya” ucapku gantian menghampiri bapak di dalam kamar.

Setelah itu, aku kembali ke dalam kamar, mengambil daypack dengan segala isinya untuk dibawa keluar.

“Aku sudah seperti maling di rumah sendiri” ucapku dalam hati.

Maafkan aku bapak, ibu. Aku hanya anak remaja nakal yang masih suka berbohong kepadamu. Maafkan aku.

“Ayo, kita berangkat” kataku, sambil menaiki motor yang selalu sabar dan setia mengantarkanku kemana saja.

Kurang lebih jam 2 siang, dengan diawali doa, dan daypack di punggung dan helm di kepala, aku mulai menarik gas motorku.

Saat sudah di luar desa, aku menepikan kemudiku untuk menghubungi Kosim terlebih dulu. Tapi, setelah berkali-kali aku memanggil, panggilanku tak kunjung tersambung.

“Mungkin gak ada sinyal” pikirku.

“Sim, aku sudah berangkat. Kamu dan Ali pelan-pelan saja jalannya biar aku bisa nyusul kalau kalian masih di jalan” ketikku dalam pesan singkat.

Siapa tau, sinyal tiba-tiba datang dan pesanku terbaca oleh Kosim. Aku sempatkan membeli 2 botol air mineral berukuran besar dan beberapa bungkus madu untuk menemani pendakianku nanti.

Jika lancar, tak lebih dari 3 jam harusnya aku sudah sampai di basecamp pendakian Selo.

Saat sudah melewati area kota Boyolai, jalanan perlahan menjadi naik. Di beberapa titik, Merapi sudah terlihat dengan kedua mataku, gagahnya Merapi memang tidak diragukan lagi. Membuat siapa saja ingin mendakinya.

Beberapa orang dengan carier di punggungnya pun sesekali berlawanan arah dan berpapasan denganku, menandakan jika mereka baru saja turun dari gunung Merapi, atau bahkan gunung Merbabu.

Karena, Selo adalah tempat populer bagi kalangan pendaki. Selain Merapi, melalui Selo, pendaki juga bisa mendaki ke gunung Merbabu. Jadi, tidak asing, jika melihat pendaki lalu-lalang di sekitar sini.

Kemiringan jalan semakin curam saat aku hampir sampai, udara pun terasa semakin dingin karena keberadaanku yang semakin tinggi.

“Parkirnya disini, Mas” teriak salah satu laki-laki paruh baya yang menggunakan jaket gunung di badannya. Di arah yang ditunjuknya, tertulis ‘basecamp pendakian gunung Merapi’

“Alhamdulillah, akhirnya sampai”
Saat sudah memakirkan motor, sambil istirahat, aku meletakkan daypack dan duduk sebentar di sekitaran basecamp.

“Sepi ya, Mas?” tanyaku pada salah satu pendaki.

“Gak begitu sih, Mas. Tadi sudah ada beberapa pendaki yang naik. Bukan weekend juga soalnya” tandas pendaki tersebut.

Benar juga, pikirku demikian.

Saat sudah merasa cukup, aku mulai mengurus simaksi (surat izin masuk Kawasan konservasi) di loket pendaftaran pendakian.

Disana, di dalam buku bercorak batik, tertulis beberapa nama pendaki yang sudah mendaki duluan sebelumku di hari itu, hingga, aku menemuka 2 nama orang yang tak asing di mataku. ‘Kosim Mahfud Ardi dan Ali Sudaryono. Ya, berarti mereka sudah di atas.

“Maaf, mas, mau mendaki berapa orang?” Tanya petugas basecamp di loket pendaftaran.

“Sendiri, Pak”

“Lho, kok sendiri saja, Mas? Mas nya dari mana?” jawabnya.

“Iya, pak. Saya dari kota ******. Dua teman saya sudah duluan mendaki, ini namanya” kataku, sambil menunjuk nama Kosim dan Ali

“Ohh, mau nyusul temennya to, saya kira bener-bener sendirian” jawab lelaki dengan topi hitam dan jaket gunung itu.

“Ini, Mas. Hati-hati di jalan” ucapnya sambil memberikan 2 lembar kertas bertuliskan simaksi dan parkir kendaraan.

Saat simaksi beres, aku bersiap memulai pendakian. Aku memeriksa lagi barang-barang di dalam daypack.
Sebelum muai pendakian, kuperiksa lagi barang- barang bawaanku untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

“Semuanya aman”

Tak lama kemudian, aku mulai pendakian.

“Bismillah, sudah siap semua.

Merapi, hari ini adalah hari yang aku nantikan sejak lama. Merapi, bersahabatlah, Merapi, aku datang!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close